Quantcast
Channel: kim-jongin « WordPress.com Tag Feed
Viewing all 621 articles
Browse latest View live

[99th Mission] CH 12 : The Patency

$
0
0

99thmission12

99th Mission

Chapter 12 : The Patency

***

Numb.

Kepala Jongin berdenyut sakit. Ia mulai berpikir kalau dia sedang berhalusinasi.

Jongin mulai tidak percaya akan kesadarannya. Bukankah barusan Jongin pingsan? Apa gara-gara itu kedua matanya rabun mendadak dan dipertunjukkan hal-hal yang mustahil?

Tapi ini nyata, Jongin tahu itu meskipun ia berusaha mengelak.

Kedua mata lelaki itu menatap lurus ke tepat pada dua hazel Chaeri. Jongin sudah pasrah sejak tadi, ia hanya punya pemikiran untuk segera menyelesaikan misi ini bahkan jika harus mati. Tapi bahwa seorang Seo Chaeri mengarahkan lurus sebuah mulut pistol ke dada kirinya adalah hal yang terakhir yang ia harapkan.

Jongin tidak pernah mempertanyakan Chaeri. Ia selalu berkeyakinan gadis itu dipihaknya. Dan kenyataan yang tergelar di depannya cukup membuat Jongin tak berdaya.

Jongin tidak bergerak sedikitpun, kedua matanya layu, ia kehilangan segalanya. Ia tak punya apa-apa. Dan Jongin pun bahkan tidak bisa melawan.

Jongin tidak bisa bepikir. Gravitasinya tersedot ke arah sosok yang berdiri di ujung sana. Ia tidak mendengar tawa sengit Jinseok, teriakan kesetanannya soal kemenangan, ataupun segalanya. Waktu terhenti. Hanya ada Jongin yang pasrah dan kecewa dengan kedua mata tegas Chaeri.

“Chae.” Jongin berusaha bersuara. Ia tahu kalau gadis itu tak akan mendengarnya, mereka terlalu jauh, tapi toh itu sudah dilakukannya.

Lucu sekali. Jinseok benar-benar kejam, pikir Jongin. Dia menggunakan kelemahan semua manusia untuk membuat Jongin benar-benar berlutut dan kehilangan keberanian untuk bahkan meludah seperti beberapa detik lalu. Kelemahan yang tak bisa Jongin pungkiri : Cinta.

“Kau tunggu apa lagi, dokterku yang cantik? Kau sudah banyak meledakkan kepala manusia, sayangku. Apa yang kau tunggu? Bunuh opsir tidak berguna itu.”

Tangan Chaeri gemetaran.

Chaeri tidak punya pilihan, itulah yang Jongin simpulkan.

Gadis itu mencengkram pistolnya, kedua matanya terpejam. Dan dengan itu, lima buah moncong pistol yang lain terarah tepat ke kepala Chaeri.

Chaeri dipaksa membunuhnya. Dan Jongin tahu apa yang harus dia lakukan.

“Bunuh aku, Chae.” Katanya jelas, cukup untuk Chaeri mendengarnya, namun lembut dan penuh akan provokasi. “Tak apa. Bunuh aku. Aku matipun, sebuah organisasi tak akan mengalahkan negara ini. Kami akan tetap menang. Bunuh aku, Chae.”

“Kau sudah dengar kata pacarmu? Bunuh dia sekarang. Atau kau yang mati.”

Ada keraguan terlintas di kedua mata itu. Jongin tau pasti.

Napas Chaeri tidak beraturan. Keringat bercucuran membasahi sekujur tubuhnya. Pistolnya tidak stabil, tangan gadis itu tak bisa berhenti gemetar.

“Tunggu apa lagi?!”

Chaeri menggelengkan kepalanya.

Tok. Tok. Tok.

Bunyi benda padat yang menubruk lantai kemudian memantul, menimbulkan suara yang entah bagaimana terdengar keras di telinga Jongin.

Tidak. Jongin ingin menjerit. Peluru yang terjatuh dari pistolnya tanpa sempat diluncurkan.

Kedua mata Jongin melebar, “NO!”

Shot.

Jongin menahan napas.

Seluruh senapan anak buah Kang Jinseok itu meluncurkan pelurunya mengenai tubuh Chaeri dari berbagai sisi dan gadis itu jatuh tidak berdaya, berlutut, kemudian terjengkang ke belakang. Napasnya terhenti, kedua matanya terbuka lebar, tetapi bibirnya tersenyum seolah-olah dia tidak menyesali apa yang barusan terjadi. Seolah-olah Chaeri tidak menyesal kehilangan nyawanya.

Kai berteriak kencang.

Seolah hari itu belum cukup buruk, ia harus melihat kematian gadis yang dicintainya dengan mata kepalanya sendiri. Untuk menyelamatkan dirinya.

***

Sejauh ini tidak ada hal yang berarti terjadi. SeHun nyaris besar kepala. Memimpin duaratus orang prajurit menuju markas terbesar musuhnya, SeHun sama sekali tidak terlihat takut. Ia menjadi seorang opsir gagah berani yang sedang menuju ke sebuah tempat asing yang menjadi sarang lawannya.

Ia berhasil sampai ke dalam gedung, dan menelusuri setiap tempat hingga mendengar suara peluru yang terhempas dari bagian atas gedung. SeHun segera membawa semua prajuritnya naik. Disanalah baru halangan muncul (yang kebetulan tidak main-main). SeHun setidaknya harus kehilangan setengah dari prajuritnya hingga akhirnya ia sampai di lantai atas.

Tempat di mana Kang Jinseok duduk di singgasananya, di mana tubuh Seo Chaeri terkapar di lantai, dan di mana Kim Jong In terlihat seolah sekarat secara fisik dan emosi.

SeHun menggertakkan giginya.

“Halo, opsir mudaku.” Kata lelaki berengsek itu. “Kau tak tahu betapa lama aku menunggu hari ini terjadi?”

“Sama juga denganku. Hari kematianmu?” tanya SeHun, alisnya terangkat. Ia membenarkan letak topi kepolisiannya kemudian berjalan mendekati rekannya yang disandera oleh musuh. Jinseok mengangkat jarinya, memberi isyarat pada anak buahnya untuk melepaskan Kim Jong In.

“Tidak. Tidak.” Katanya. “Itu masih sangat lama.” Kang Jinseok tersenyum ganjil. “Aku menunggu hari ini untuk memberimu hadiah, opsir mudaku.”

SeHun bertanya-tanya soal hadiah itu, tapi mukanya tidak berubah. Tetap dingin dan tenang.

“Kuharap kau suka kejutan,” kata lelaki itu, ia menepukkan kedua tangannya.

Tak lama, SeHun disuguhi pemandangan yang tak pernah ia bayangkan. Hal yang bahkan membuat seseorang seperti Oh SeHun terlihat seperti seseorang yang kejatuhan kuda terbang alias shock berat sekaligus nampak seperti orang bego.

Aerin Cho.

Gadis itu diseret keluar dengan paksa. Dia menangis tak keruan, sebuah mulut pistol terarah ke kepalanya.

Tapi di atas itu semua, hal yang paling tidak masuk akal adalah dua lelaki yang menarik keluar Ellin secara paksa. Zhang Yixing yang mengkhianatinya (persis seperti dugaan Ellin), dan—

.

.

.

.

…dan dari postur tubuhnya, wajahnya, caranya berdiri, SeHun yakin itu adalah,

Lu Han.

SeHun yang masih shock benar-benar tidak bisa mempercayai keyakinannya sendiri, tetapi di sisi lain, dia tahu kalau lelaki itu adalah Lu Han. Lelaki yang ia kagumi, ia jadikan teladan, ia jadikan panutan selama bertahun-tahun.

Lelaki yang detik itu menggenggam dua pistol dengan tenang, salah satunya ke arah Ellin, yang satunya ke arah SeHun. Ke arah SeHun.

Lu Han mengarahkan ujung pistolnya ke arah SeHun.

SeHun tidak tahu apa yang harus dirasakannya saat itu. Antara terkejut, bingung, tidak percaya, linglung, marah, kecewa, kalut, dan segalanya.

SeHun tidak bisa bergerak, napasnya tersenggal satu persatu, ia bahkan tidak repot menutupi keterkejutannya. Ini semua terlalu banyak baginya untuk diterima.

“Lama tidak bertemu, SeHun-ah.” Ucap lelaki itu, tenang dan santai. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Dan suaranya pun sama persis. SeHun tidak bisa mengelak. Ia ingat sekali wajah Lu Han dan ia cukup tahu kalau lelaki yang di hadapannya ini benar-benar Lu Han.

Bahkan Jongin yang tadinya nyaris terlihat mati kini mengangkat wajahnya, kedua matanya membulat lebar.

“Dan kau juga, JongIn-ah, kalian tumbuh dengan baik.” Kata lelaki itu.

Jinseok tertawa keras sekali, seolah mengumandangkan kemenangan kejinya ke seluruh dunia. SeHun betul-betul linglung, terlalu kehilangan fokus di kepalanya untuk bergerak sedikitpun. SeHun seolah-olah hilang. Dia seolah-olah tidak ada di sana.

“Jadi Oh SeHun, kurasa kau yang akan mati hari ini.” Kata lelaki berengsek itu. “Letakkan pistol manismu, atau Lu Han-mu akan membunuh bonekaku yang kau curi.”

SeHun tidak bergerak sedikitpun.

“Ayolah. Aku tidak bisa menunggu selamanya.” Kata Jinseok.

SeHun tetap terbeku.

Kemudian Lu Han berjalan mendekati SeHun, ujung pistol tetap terarah ke kepala Ellin dan SeHun. Hingga ia merangkul SeHun, mulut pistol yang digenggamnya tepat mencium sisi kiri kepala SeHun, sekali tembak, SeHun sudah mati. Dan bahkan SeHun tidak bisa melakukan apapun. Ia masih terlalu terkejut.

Namun bukannya menembak, Lu Han berbisik, “Sadarlah. Kau jauh menang jumlah. Aku janji akan jelaskan semua padamu. Bahkan aku rela membusuk di penjara.” Suaranya lembut, terdengar khawatir, dan tulus.

SeHun ingin tidak mempercayainya. Ia baru saja menerima pengkhianatan terburuk seumur hidupnya.

Tapi SeHun harus bergerak. Lelaki itu mendapatkan kesadarannya kembali ketika Lu Han dan Yixing mengamankan Ellin. Dia membawa pasukannya bergerak cepat, benar saja, Kang Jinseok betul-betul kalah jumlah dan mereka berhasil ditumpas dalam waktu yang cukup singkat (SeHun terkejut akan fakta itu).

“Penghianat!” jerit Jinseok.

Lu Han tersenyum. Seolah-olah dia mengatakan, kau tahu dari dulu aku pengkhianat. Dan Kau menawariku bertarung di sisimu.

Jinseok yang melihat keadaan anak buahnya yang kalah, mulai menembak ke segala arah tanpa aturan, menjerit-jerit, mulutnya bersumpah serapah. Pistolnya tak terkendali, peluru meluncur ke arah teman dan lawan. Lelaki itu tak lagi peduli. Ia seolah-olah gila.

Melihat itu, SeHun bertindak cepat dan menembak Jinseok ke dada kirinya. Kang Jinseok terlempar ke tanah, sempat menembakkan satu peluru ke arah SeHun sebelum jatuh tak berdaya. Kaki SeHun yang malanglah yang menjadi korban.

“Fuck it.”

SeHun benci harus menang dalam keadaan berlutut.

***

Banyak sekali hal yang harus diurus SeHun.

Ketika salah satu petugas tim medis berusaha menolong SeHun yang terluka, ia mengusir mereka semua. Meminta salah satu orang untuk membawa Kai terlebih dahulu (yang sebetulnya sudah dilakukan), atau mengamankan orang lain.

Kemudian SeHun menyaksikan anak buahnya yang tidak terluka bertindak cepat dengan memborgol para musuh yang masih hidup, termasuk dua orang yang dipercayainya, Zhang Yixing dan Lu Han.

Kemudian sebuah ingatan menghantam kepalanya.

Cho. Ae. Rin.

Kedua mata SeHun memandang segala arah. Dan ketika ia tidak menemukan Aerin, ia menendang siapapun itu yang sedang berusaha membebat kaki SeHun, barangkali seorang petugas medis yang memberikan pertolongan pertama sebelum SeHun kehilangan terlalu banyak darah. Ia berusaha mati-matian berdiri dan menolak semua bantuan. Dengan jalan pincang, lelaki itu menjerit-jerit ke segala arah dan bertanya dimana Ellin.

“Katakan padaku dimana dia! Dimana Cho Aerin! Dimana gadis itu sekarang?!”

SeHun muak harus berusaha tenang.

“Dia sudah dibawa ke Rumah Sakit. Trauma berat. Butuh sedikit rehabilitasi.” Jawab seseorang. SeHun kemudian memejamkan kedua matanya, menghempaskan napas lega untuk pertama kalinya di hari yang buruk itu, lalu kakinya yang kesakitan layu seketika. Ia ambruk di tempat.

Ia tak lagi melawan, dan membiarkan paramedis melakukan apapun terhadap kakinya. Ia hanya terdiam, entah melamunkan apa. Tapi semua orang tahu SeHun tidak baik-baik saja.

Mereka kembali ke markas.

Dalam perjalanan ke markas lewat lautnya, SeHun sadar dia tidak bisa seperti ini. Dia satu-satunya anggota pimpinan dari Tim yang masih cukup bisa disebut ‘baik-baik saja’ untuk menyelesaikan semuanya.

Pertama, ia harus menerima telepon dari Departemen Kepolisian Nasional, kemudian Rumah Sakit darurat untuk memastikan semua orang baik-baik saja, kemudian mengatur anak buahnya yang tersisa, dan melakukan segala hal pasca misi yang lain.

Rasanya kepala SeHun mau meledak.

Tapi dia adalah Oh SeHun. Ia harus melakukannya.

***

“Jadi, selanjutnya apa?” Kai bertanya. SeHun menghela napas berat, kedua mata lelaki itu tertuju pada rombongan orang-orang yang bergantian untuk menaruh setangkai bunga di atas gundukan tanah yang menimbun kawan-kawannya, sorot matanya kosong.

SeHun melirik Jongin, ia tahu kalau lelaki itu juga sama depresinya dengan SeHun. Bahkan jauh lebih buruk.

Kesampingkan urusan cinta, ia baru saja kehilangan dua teman terbaiknya dan dua pertiga pasukan tim nya, dikhianati dua orang dokter yang dipercayainya, kemudian disuguhi sebuah fakta yang mencenangkan soal sahabatnya yang telah lama hilang. Itu membuat SeHun yang biasa tenang dan dingin harus mengalami mental breakdown parah.

SeHun bahkan tidak bisa menangis. Sejak misi ini selesai, SeHun tidak pernah meneteskan airmatanya sedikitpun. Ia lelah secara fisik dan psikologis, dan menangis hanya akan menambah parah semua itu.

Rasanya baru kemarin si tiang Chanyeol kembali bersama Jongin dari investigasi lokasi dengan senyum lebar konyolnya yang membuat SeHun heran kenapa bibir itu masih belum sobek juga. Dan rasanya baru kemarin ia diteriaki gila-gilaan oleh Byun Baekhyun. Dan baru kemarin ia mengunjungi ‘makam’ Lu Han dan bernostagia sembari mengenang betapa ‘mulia’ hyungnya itu.

Hati SeHun mencelus. Ia tidak tahu kalau ia bahkan akan kehilangan hal-hal kecil semacam itu.

Ia bahkan nyaris tidak punya rencana. Ia membayar sangat mahal hanya untuk menancapkan peluru di dada Kang Jinseok. Ia nyaris kehilangan segalanya, dan yang paling parah, tujuan hidupnya. Ia tiba-tiba tidak suka menjadi polisi. Ia ingin berhenti, menikah, membuka toko roti kecil dan bahagia sampai tua.

Bicara soal itu, rencananya terdengar perfect sekaligus blur, sama sekali tidak tertata dan tidak ambisius, bukan gaya SeHun. Lupakan soal gaya SeHun, ia hanya akan menjadi SeHun yang baru yang tidak dikenal, bukan polisi yang selalu terancam nyawa.

Sekarang, yang jelas, ia masih belum memutuskan pilihan clichè yang masih menantinya. Gila saja. Ia masih butuh penjernihan pikiran, mereka bilang, jangan biarkan rasa sedihmu mengambil keputusan. Dan kondisi SeHun terlalu melankolis untuk itu.

Jadi, selanjutnya apa?

Entahlah, aku juga tidak tahu.

“Aku mau pensiun saja.” Kata SeHun.

“Aku mau mati saja.” Balas Jongin.

SeHun speechless.

“Kalau begitu biarkan aku yang membunuhmu.” Katanya sarkas. Jongin meliriknya tanpa berkata apapun.

“Aku baru saja mendapat sejuta hal yang memukulku dan rasanya aku juga mau mati. Tapi apa yang akan kulakukan kau juga ikut-ikutan membuat acara bunuh diri. Itu tidak lucu. Kalau kau mati, aku bersumpah akan menghabisi seluruh keluargamu dan keluargaku, lalu bunuh diri,”

“Keluargamu dan keluargaku?”

“Biar tidak ada yang balas dendam, karena sudah kuhabisi mereka semua.”

Kalau saja ia tidak dalam kondisi seperti ini, Jongin yakin ia akan tertawa terbahak-bahak.

“Jangan mati.” Kata SeHun pelan, seperti bisikan angin. Lelaki itu mengambil satu langkah menjauh dari Jongin dengan bantuan kruknya, “Aku membutuhkanmu.” Katanya sebelum pergi dengan langkah pincangnya meninggalkan tempat itu. Kedua mata Jongin mencermati setiap pergerakannya hingga lelaki itu hilang dari pandangan.

***

Gadis itu terus berbolak-balik di koridor markas. Seolah-olah menunggu seseorang. Dan Kris rasa —kalau tidak salah hitung, dia sudah melakukannya selama setengah jam penuh.

Rasanya Kris mengenal gadis itu. Barangkali belum pernah bertemu. Tapi Kris yakin dengan segala diskripsi yang kelihatannya memang cocok, Kris tahu siapa itu. Tubuh jenjangnya, wajahnya yang mirip dengan gambar seseorang yang sering dilihatnya.

Gadis itu mirip Lu Han, meski seumur-umur Kris hanya pernah melihat Lu Han lewat beberapa foto dan dokumen-dokumen di markas.

Dan Kris cukup yakin kalau dia adalah Alexa Lu.

“Alexa Lu.”

“Siapa kau? Darimana kau tahu nama—” Alex menggelengkan kepalanya tiga kali, “Dengar, itu tidak penting dan aku harus bertemu dengan—”

“—Oh SeHun?” potong Kris, dia menghela napas sembari tersenyum pahit, “Namaku Kris Wu, aku dari divisi penyuplai senjata di sini. Karena nyaris semua orang di sini depresi berat, aku satu-satunya yang masih dalam keadaan baik untuk berdiskusi. Aku adalah orang baru, meskipun agak mengejutkan juga bagiku, tapi setidaknya aku masih cukup baik-baik saja. Apa yang ingin kau katakan pada SeHun?”

“Banyak hal. Kau kenal namaku, dan mungkin kau pernah mendengar soal aku. Aku kekasih SeHun, dan aku adalah adik dari Lu Han jadi tunjukkan padaku di mana mereka sekarang!” kata gadis itu dengan gelisah dan tidak sabar. Wajahnya kacau, rambutnya berantakan, dan bajunya acak-acakan.

Kris menghela napas.

***

SeHun menghela napas.

Setelah dibukanya pintu besi itu, ia melihat sosok yang didambakannya begitu lama. Duduk tak berdaya di balik selembar kaca tebal di sisi lain ruangan. Tangannya terikat, pakaiannya bewarna abu-abu kehijauan membosankan.

Lelaki itu menghela napas. Jujur, ia masih belum sanggup menelan kenyataan ini mentah-mentah. Ia merasa baru saja dibakar hidup-hidup.

Dan akhirnya ia duduk di sana. Terdiam. Seperti lelaki yang lain. Kedua matanya memindai lelaki yang duduk di sana, tidak ada yang banyak berubah. Bahkan pandang matanya pun masih sama, masih hangat dan masih penuh akan kasih sayang. SeHun ingin meludah. Setelah semua yang terjadi?

“Kakimu baik-baik saja?” tanya Lu Han.

SeHun tidak menjawab.

“Aku tahu hari ini akan datang, SeHun-ah.” Kata lelaki itu, dia tertawa kecil.

Tubuh SeHun menegang. Terlalu banyak. Terlalu banyak hal yang dia ingin tanyakan pada lelaki ini. Terlalu banyak yang ia ingin katakan.

“Kenapa…” dan hanya itulah yang sanggup keluar dari bibirnya.

Lu Han tersenyum.

“SeHun-ah,” panggilnya lembut. SeHun mengangkat wajahnya, kedua pasang mata mereka bertemu. “Kau tidak berubah banyak.” Komentarnya.

“Kau barangkali terkejut, adikku. Tapi inilah yang kau lihat. Aku datang ke Jinseok dengan mauku sendiri. Bukan paksaan dari siapapun. It’s my free will.” Ucapnya tenang. “Aku juga tahu konsekuensinya. Dan aku akan menjalaninya. Kenapa? Hm. Bagaimana aku menjelaskannya, ya.”

“Kau hidup, akupun hidup. Hanya saja jalan kita berbeda. Ada banyak hal yang bisa kuambil, SeHun-ah, memandang kehidupan dari dua sisi. Si penjahat, si pahlawan, dan si tidak memihak siapapun, dan si penghianat. Di sini kita bisa menemukan keadilan, SeHun-ah.”

“Yah, biarpun ada harga yang harus kubayar mahal, aku bahkan harus berhadapan dengan pistol adikku. Ya Tuhan.” Lu Han tertawa. “Kau pasti marah padaku, tapi percayalah padaku kalau aku tahu apa yang aku lakukan, adikku. Aku tahu pasti apa yang telah kuperbuat, jangan khawatir.”

“Aku tidak mengerti,” dengus SeHun. Ia menggelengkan kepalanya berkali-kali. “Kau sinting.”

“Barangkali, SeHun-ah.” Lu Han menjawab, tanpa repot-repot mengelak. Ia memandang SeHun dengan tatapan hangatnya. Kali ini SeHun ingin muntah, lelaki itu bersikap seolah-olah dia tidak tahu dia akan menghabiskan seumur hidupnya di dalam penjara.

“Tapi kau teladanku, Hyung. Kau yang membuatku sampai di sini. Kau 80%, tidak, maksudku 100% motivasiku. Sekarang aku tak punya alasan apapun untuk menjadi polisi.” Suara SeHun menghilang di akhir kalimatnya, dan opsir muda itu menangis (setelah berhasil cukup lama menahannya). Dia mengusap air matanya secepatnya.

Satu-satunya alasanku bertahan adalah orang yang mengecewakanku paling berat.

“Andai aku bisa memelukmu, SeHun-ah.” Katanya pelan. Jemarinya menari kecil pada permukaan kaca yang membatasi mereka, “Jangan berhenti jadi opsir yang percaya diri, adikku. Karena itulah dirimu. Tapi jika ingin berhenti, berhentilah. Jangan jadi orang lain. Pilihlah jalan sesuka hatimu. Jagalah teman-temanmu, lindungi mereka yang kau cintai. Karena hidupmu adalah pilihanmu, bukan milik orang lain.”

“Tuan Oh, waktumu habis.” Seorang opsir berperut buncit yang kelihatannya hampir pensiun mengingatkan.

SeHun hanya termenung, ketika Lu Han tersenyum sekali lagi. “Ngomong-omong soal memilih, kau adalah orang yang bijak, SeHun-ah. Kau akan mengambil jalan yang paling tepat.” Kata lelaki itu, mengedipkan sebelah matanya kemudian beranjak terlebih dahulu dari kursi. Meninggalkan Oh SeHun yang masih belum pulih dari semua kelinglungannya.

Fuck you, Lu Han. What an explanation. You’re only making things complicated with your damn riddles.

***

“SeHun,” seseorang memanggil namanya begitu ia masuk ke dalam markas. SeHun melirik ke samping, menemukan Alexa Lu duduk di atas kursi tamu markas. Lelaki itu menghempaskan napas, membawa kaki pincangnya untuk duduk di sebelah Mei.

“Mei,” sapa SeHun balik, dengan nama asli Alex.

“Kakimu terluka.” kata Alex.

“Yeah. Setidaknya aku hidup.”

Alex tidak mengatakan apapun, tapi pandang matanya mengisyaratkan dia sangat lega melihat Oh SeHun hari itu. Baik-baik saja. Dan Alex tahu hal-hal seperti kaki tertembak bukanlah masalah buruk bagi SeHun. Dan dia tahu ada hal lain yang harus dia khawatirkan.

“Lu Han?” tanya gadis itu, suaranya hilang, nyaris seperti bisikan.

SeHun menggelengkan kepalanya.

“Aku tahu kakakku sinting.” Kata Alex ia menghempaskan napasnya. “Tapi aku tidak tahu dia sesinting ini.” Ucapnya lagi. “Dia punya sudut pandang yang sangat luas. Dia banyak bercerita padaku banyak hal dulu. Banyak bicara yang sama sekali tidak aku mengerti. Dia bukan nasionalis. Dia juga bukan anarkis atau pemberontak. Dia hanya hidup bersandar pada dirinya sendiri. Hidup dengan logikanya yang rumit. Persis seperti ayahku.” Mei tertawa.

“Ayah bisa dibilang sama sintingnya. Suka sekali bercerita teori-teori yang tak kupahami. Dan sudut pandangnya itulah yang membuatnya bercerai dengan ibuku.”

“Dia tidak seperti itu waktu dia muda, Alex.”

Alexa menggeleng. “Dia selalu seperti itu, SeHun. Dia hanya menahan dirinya untuk tidak mengatakan apapun. Karena dia ada di kepolisian. Dia tahu dia harus menjaga sikapnya.”

SeHun memijat pelipisnya. Sakit kepala.

“Bagaimanapun,” kata Alex pelan. “Aku tidak menyesal dia masih hidup. Aku selalu berharap dia hidup. Meskipun aku harus menerima kenyataan kalau dia akan dipenjara seumur hidup dan, bahwa dia sesinting ayah.”

“Kau ingin menemuinya? Mungkin besok kau bisa. Aku baru saja dari sana, dan dia hanya bisa dikunjungi sekali sehari.”

“Tidak sekarang. Aku akan gila jika bertemu dengannya. Untuk saat ini, kunjungi dia untukku, SeHun.”

Alex berbisik ke telinganya, “Dan terimakasih sudah baik-baik saja.” Alex mencium pipi SeHun. Lelaki itu memejamkan matanya. Tanpa berkata apapun.

***

Here we go! The (finally revealed) patency, Lit’ bit twist for you, wkwkwk. So he’s alive. Lu Han is alive all this time. It’s makes sense, isn’t it? Everyone thinks he’s died but he’s alive. Lol.

And for Jongin, forgive me, i made your life seems so extremely hard T-T (don’t kill meh)

And Ellin? Oh, let’s meet her in the next chapter, I’m not promising, but let me try my best to update this as soon as possible. (because we never know what tomorrow bring us to. Justwhatamitalkingabout-_-)


LOVE - [3]

$
0
0

LOVE – [3]

Im Yoona – Oh Sehun

Bae Irene – Kim Jongin/Kai

Standard Disclaimer Applied

KAIGERL’s Present

-OoO-

 

 

Yoona terdiam dan tidak berkedip ketika jemari Sehun menyentuh pipinya. Ia baru tersadar ketika Yein memekik kencang karena ice cream nya jatuh ke lantai. Buru-buru ia mengambil selembar tissue di meja dan membersihkan wajahnya. 

 

 

“Ice creamku jatuh.” Rajuk Yein dengan mata berkaca-kaca.

 

 

“Kau bisa memakan ice cream milikku.” Ujar Kai.

 

 

-OoO-

 

 

“Sampai bertemu lagi, Yein-ah.” Irene menyamakan tingginya dengan gadis kecil itu kemudian mengacak rambutnya pelan.

 

 

“Sampai bertemu lagi Irene unnie.” Ujar Yein, kemudian bocah itu berbalik ke arah Kai dan memegang tangan kakaknya.

 

 

Oppa ~ aku mau digendong.”

 

 

M-Mwo? Tidak mau!” Ujar Kai ketus.

 

 

Oppa ~ “ Bocah itu merengek.

 

 

Yak! Jangan bersikap seperti itu pada anak-anak.” Yoona memukul belakang kepala Kai membuat namja itu mengaduh pelan. Kemudian Yoona berjongkok dan meraih kedua bahu Yein.

 

 

“Yein digendong oleh unnie saja, ne?” Bocah itu mengangguk dengan cepat.

 

 

Kai dan Yoona berjalan duluan kembali ke mobil, kini tinggallah Sehun dan Irene. Gadis bertubuh mungil itu melambaikan tangannya pada Yein sambil tersenyum. Sangat berbeda dengan Sehun yang sejak awal terus menampilkan raut wajah super dinginnya.

 

 

Aigoo ~ mereka tampak seperti keluarga bahagia.” Ucap Irene. Kemudian ia baru sadar bahwa Sehun sudah tak di sampingnya. Ia melihat namja itu telah berjalan menuju ke mobil, Irene terpaksa berlari kecil menyusul namja itu.

 

 

“Keluarga yang bahagia, huh?” Gumam Sehun setelah menutup pintu mobilnya.

 

 

Ya! Kenapa kau meninggalkan aku?”

 

 

-OoO-

 

 

Karena masa hukuman sudah berakhir, Sehun bisa kembali bermain bersama timnya. Ia baru saja datang dan langsung menuju ke ruang ganti. Tanpa diduga, ia menemukan Yoona berada di sana sendirian. Entah kemana anggota tim yang lain.

 

 

“Apa yang kau lakukan di sini?” Tanya Sehun.

 

 

Yoona gelagapan ketika menyadari bahwa hanya mereka berdua di ruangan ini. Ia berada di ruangan ini untuk membawakan Kai baju basketnya. Tapi ia sendiri tidak menemukan siapa-siapa di ruangan ini termasuk Kai.

 

 

“Aku membawakan ini untuk Kai.”

 

 

“Jadi sekarang kau ini apa? Pelayan namja itu atau pengasuh adiknya?” Maafkan Sehun yang tidak bisa mengontrol perkataannya. Ucapan sinis itu meluncur begitu saja ketika mendengar alasan gadis itu berada di sini.

 

 

Yoona menggigit bibir bawahnya, ia merasa direndahkan oleh Sehun. “Itu bukan urusanmu.” Ujarnya tak kalah dingin. Kemudian ia beranjak dari tempatnya hendak keluar dari ruangan itu, tapi seseorang mencegatnya.

 

 

“Apa yang kau lakukan?” Yoona menatap namja itu sinis.

 

 

“Sebenarnya apa yang terjadi padamu?” Sehun balas bertanya dengan nada suara yang meninggi.

 

 

“Apa yang terjadi padaku? Aku baik-baik saja, seperti yang kau lihat.”

 

 

“Bohong.” Ujar Sehun cepat. “Kau kenapa mau disuruh-suruh oleh namja itu, huh? Im Yoona yang kukenal tidak akan mau diperlakukan seperti itu.”

 

 

“Apa maksudmu dengan diperlakukan seperti itu? Kai sahabatku, dan tidak ada salahnya kalau aku membantunya. Tidak seperti dirimu yang tanpa sebab yang jelas tiba-tiba saja memusuhi Kai.”

 

 

“Apa?”

 

 

“Jangan pura-pura bodoh, aku memperhatikanmu waktu itu.” Yoona merujuk pada pertandingan hari pertama dimana Sehun tidak pernah memberi bola pada Kai. “Dan satu lagi, apa benar kau mengenalku Oh Sehun ssi?” Yoona menghempaskan tangan lelaki itu.

 

 

Namja itu mendengar pintu ruangan dibanting dengan cukup keras. Hal itu menyadarkan Sehun bahwa Yoona telah pergi. Sehun mengacak rambutnya kesal kemudian menendang sebuah botol minuman di lantai.

 

 

-OoO-

 

 

“ARRGHHH. . .”

 

 

Sehun meninju cermin toilet dengan keras, cairan merah terlihat di sekitar kepalan tangannya. Sehun menatap pantulan dirinya di cermin. Ia merasa begitu menyedihkan sekarang. Ia merasa seperti pecundang.

 

 

*brakk

 

 

Seseorang membuka pintu toilet dengan keras membuat Sehun cukup terkejut. Melalui cermin, namja itu melihat seorang gadis masuk dan menatap tajam ke arahnya. Dia adalah Im Yoona.

 

 

Di pertandingan tadi, Sehun tampil sangat baik dengan mencetak banyak point. Namun ia seringkali menabrak Kai dengan keras sehingga membuat namja itu terjatuh. Bagi yang lain, itu tampak seperti ketidaksengajaan. Namun tidak untuk Yoona, ia tahu lelaki pucat itu sengaja menabrak Kai. Karena itu, ia berada di sini untuk berbicara dengan Sehun dan meminta penjelasan namja itu.

 

 

“Kenapa kau melakukan itu, huh?”

 

 

“Karena dia menyebalkan.” Ujar Sehun enteng dan tanpa rasa bersalah sama sekali. Hal itu membuat Yoona semakin marah.

 

 

Menyebalkan? Dia bahkan berusaha sangat keras saat kau tidak ikut bermain.”

 

 

“Aku tidak peduli.”

 

 

*plak

 

 

Yoona menampar Sehun dengan keras, ia tidak terima Sehun menganggap perbuatannya pada Kai adalah hal yang tidak perlu dipedulikan. Sedangkan Sehun, namja itu tampak terkejut dan tidak menduga bahwa Yoona akan menamparnya.

 

 

“Kai itu sahabatmu.”

 

 

Yoona memang gadis yang kejam, tapi ia tidak pernah menyakiti Jieun sedikitpun. Aneh memang, mengingat sikapnya yang sangat buruk. Sebenarnya, beberapa sifat buruk yang disematkan kepadanya tidak sepenuhnya benar. Seperti Yoona dicap sombong, padahal ia hanya tidak terlalu bisa bersosialisasi dengan orang sekitarnya. Dan karena itu pulalah, ia juga dicap sebagai orang angkuh. Tapi mengenai kebiasaannya yang suka membully gadis-gadis yang dekat dengan Sehun memang tidak bisa dimaklumi.

 

 

“Apa setelah gagal mendapatkanku, kau mengincar Kai?” Sehun tersenyum meremehkan. Perlahan ia berjalan ke depan dan memojokkan gadis itu di dinding toilet.

 

 

“Minggir! Aku mau pergi.” Yoona menatap tajam tepat di mata Sehun yang hanya berjarak beberapa sentimeter dari wajahnya.

 

 

“Kalau aku tidak mau?” Tantang Sehun.

 

 

“Aku akan memaksamu.”

 

 

Yoona mendorong dada Sehun, bersamaan dengan itu Sehun memajukan tubuhnya dan menempelkan bibirnya di bibir Yoona. Sehun semakin merapatkan tubuhnya ketika merasakan pergerakan dari yeoja itu.

 

 

“Mhhh. . .”

 

 

Yoona berusaha melepaskan diri dari Sehun. Ia tidak ingin terbuai oleh ciuman yang selama ini sangat diinginkannya. Terlebih ketika mengingat Irene, Yoona mengerahkan tenaganya untuk mendorong namja itu.

 

 

“Mhhhh.. .”

 

 

Akhirnya Yoona berhasil mendorong namja itu, ia menatap Sehun dengan nafas tak beraturan. Kedua bahunya naik turun dan tatapan mata yang menyiratkan kekesalan luar biasa.

 

 

“Kau pikir apa yang baru saja kau lakukan?” Bentak Yoona.

 

 

“Jangan naif, kau menginginkan ini sejak dulu Im Yoona.”

 

 

“Ya, tapi itu dulu.” Ujar Yoona sendu.

 

Raut wajah gadis itu membuat Sehun melunak, ia kemudian berjalan ke arah wastafel dan membasuh wajahnya, tidak peduli dengan tangannya yang terus mengeluarkan darah. Yoona yang baru sadar akan hal itu langsung panik dan menghampiri Sehun. Ia juga baru sadar bahwa cermin toilet pecah.

 

 

“Ya Tuhan, tanganmu.” Yoona meraih tangan Sehun dan bergidig ngeri melihat luka itu. “Ikut aku.” Tanpa persetujuan Sehun, Yoona membawa namja itu ke ruang kesehatan.

 

 

-OoO-

 

 

Sehun terus menatap gadis yang sedang mengobati lukanya. Sesekali ia meringis pelan ketika Yoona tak sengaja menekan lukanya. Setelah selesai, Yoona menyimpan kembali kotak P3K di dalam lemari.

 

 

“Tampaknya kau tidak bisa ikut pertandingan lagi.” Ujar Yoona. Kemudian suasana hening menyelimuti keduanya. Tak tahan lama-lama di sana, Yoona berinisiatif untuk pergi terlebih dahulu.

 

 

“Baiklah, aku pergi.”

 

 

“Jangan!” Ujar Sehun cepat. “Jangan pergi dulu.”

 

 

Yoona menghela nafas pelan, dengan terpaksa ia menuruti perkataan Sehun untuk tidak pergi. Ia sendiri tidak tahu kenapa ia menurut pada namja itu. Jujur saja, Yoona mulai lelah dengan semua ini. Ia ingin memperbaiki semuanya.

 

 

Gadis itu mendudukkan dirinya di kursi dan menghadap ke arah Sehun. Yoona ingin membiasakan diri untuk berhadapan dengan Sehun tanpa rasa gugup.

 

 

“Maaf, aku berbuat kasar padamu.”

 

 

Yoona menghela nafas lagi, ia menatap Sehun dengan pandangan yang lebih lembut. Gadis itu meraih tangan Sehun yang tidak dibalut perban.

 

 

“Ayo perbaiki semuanya.”

 

 

“A-apa?” Tanya Sehun tak mengerti.

 

 

“Aku memang menyebalkan, tapi aku akan berusaha memperbaiki diriku.” Sehun menunggu Yoona melanjutkan kalimatnya. “Hubungan kita tidak begitu baik, karena itu aku ingin mengajakmu berteman atau setidaknya jangan menatapku dengan pandangan sinismu.”

 

 

Sehun masih bungkam, seharusnya ia merasa senang karena Yoona ingin memperbaiki hubungan mereka. Tapi, berteman? Sehun tidak terlalu menyukai status itu.

 

 

“Oh ya, kau tidak perlu khawatir. Mengenai kejadian tadi, aku tidak akan memberitahu Irene.”

 

 

“Apa maksudmu?” Tanya Sehun tak mengerti ketika gadis itu menyebut nama Irene.

 

 

“Tsk! Jangan pura-pura bodoh, dia ‘kan kekasihmu.” Yoona meninju pelan lengan namja itu.

 

 

Kekasih?”

 

 

“Tidak usah malu-malu mengakuinya, satu sekolah juga tau.”

 

 

“Bukankah kau menyukaiku?” Pertanyaan Sehun tidak ada hubungannya sama sekali dengan perkataan Yoona barusan. Dan itu membuat Yoona salah tingkah, gadis itu menggaruk kepalanya dan tersenyum aneh/?

 

 

“A-aku sudah sering mengatakannya.” Seperti yang dikatakan Yoona, Sehun bahkan tidak perlu bertanya karena ia sudah tahu jawabannya. “T-Tapi tenang saja, aku akan segera melupakan perasaanku.”Yoona beranjak dari tempatnya. “Aku pergi dulu, anyeong Sehun ssi.”

 

 

Tanpa basa-basi Yoona segera keluar dari ruangan itu dengan langkah tergesa-gesa. Entah kenapa ia salah tingkah ditanya langsung seperti itu oleh Sehun. Sepertinya yeoja itu sudah memiliki rasa malu(?). Benar ‘kan? Selama ini Yoona dengan tidak tahu malunya mendekati Sehun dan mengklaim bahwa namja itu miliknya.

 

 

“Tu-tunggu, Yoona-ya.” Sehun buru-buru menyusul Yoona keluar dari ruang kesehatan. Namun langkahnya terhenti ketika melihat Yoona telah pergi bersama Kai.

 

 

Ia menatap sendu punggung gadis itu. Mengingat perkataan Yoona tadi membuat Sehun merasa begitu sesak. Terlebih melihat yeoja itu pergi dengan laki-laki lain. Ia seperti baru saja kehilangan sesuatu yang berharga. Ya, Sehun baru menyadari bahwa sesuatu itu sangat berharga setelah ia kehilangannya.

 

 

-OoO-

 

 

Yak! Kau harus berjalan pelan seperti ini.” Yoona memperagakan cara jalan pelan yang menurutnya benar.

 

 

“Terlalu lambat, lagipula aku tidak apa-apa.” Kai mengacak rambut gadis itu.

 

 

“Tidak apa-apa bagaimana? Kau terjatuh cukup keras.”

 

 

“Lebih baik kau diam, karena suaramu membuat telingaku sakit.”

 

 

Yak! Sudah bagus aku mau membantumu.” Yoona memukul keras lengan Kai dan membuat namja itu meringis.

 

 

“Kau kasar sekali padaku.” Ujar Kai dengan raut wajah yang membuat Yoona ingin sekali menonjok namja tan itu.

 

 

“Ckckck! Sehun yang membuatmu jatuh kau bilang tidak apa-apa, giliran aku memukulmu pelan kau bilang aku kasar sekali. Bela saja terus sahabatmu itu!”

 

 

Yoona mengambil langkah lebar-lebar dan meninggalkan Kai. Namja itu berteriak memanggil Yoona namun tak diindahkan, Kaipun berlari meski harus terseok demi mengejar yeoja itu.

 

 

-OoO-

 

 

Tak terasa hari demi hari berlalu hingga tiba saatnya pertandingan final. Tim basket Seoul SHS keluar sebagai pemenang setelah mengalahkan tim basket SMA Shinwa. Untuk merayakan kemenangan ini, Seoul SHS akan mengadakan prom nite sekaligus sebagai penutupan. Semua sekolah yang berpartisipasi dalam turnamen juga diundang dalam acara penutupan.

 

 

“Untukmu.”

 

 

Kai yang sedang menyalin catatan Yoona terkejut dengan kedatangan gadis itu yang baru saja kembali dari kantin. Di atas mejanya terdapat minuman kaleng dan camilan keripik kentang yang diletakkan oleh Yoona. Kai membuka minuman tersebut kemudian meminumnya. Kemudian, ia meraih bungkus camilan yang sudah terbuka.

 

 

“Astaga, aku lupa mengambil buku di perpustakaan.” Yoona bangkit dari tempat duduknya kemudian berlari keluar dari kelas.

 

 

Kai hanya melongo, kemudian memusatkan perhatiannya pada isi camilan. Ya, camilan. Ada sesuatu yang aneh di dalam bungkusan camilan itu. Kai merogoh sesuatu yang aneh itu kemudian mengeluarkannya. Sebuah gelang karet yang dibungkus plastik.

 

 

“Apa ini berhadiah?” Kai berujar bingung. “Tapi sejak kapan keripik tentang seperti ini berhadiah?” Kai membuka plastik yang membungkus gelang tersebut. Setelah diperhatikan lebih terliti, ternyata ada tulisan ‘kkamjong’ di sana.

 

 

“Im Yoona, ini bukan perbuatanmu ‘kan?” Ujarnya tak percaya. Ia pun memakai gelang karet berwarna hitam itu. “Tidak buruk.”

 

 

Beberapa saat kemudian, Yoona masuk kembali ke kelas dan membawa beberapa buku di tangannya. Gadis itu mendudukkan bokongnya di kursi dan mulai membuka bukunya satu persatu. Tak sengaja, pandangannya menangkap benda di pergelengan tangan Kai.

 

 

Omo! Dari mana kau mendapatkan gelang jelek itu?” Tanya Yoona.

 

 

“Dari seseorang yang jelek.” Dalam hati Kai terkekeh melihat tingkah Yoona. Ia tahu gadis itu terlalu gengsi untuk mengakui bahwa gelang itu adalah permberiannya, meski dengan menggunakan kedok ‘kerupuk berhadiah’.

 

 

“Yah, untuk orang yang jelek.” Yoona memeletkan lidahnya.

 

 

Gomawo.” Ujar Kai sangat pelan, namun masih bisa didengar Yoona. Gadis itu hanya tersenyum dan kembali sibuk dengan bukunya.

 

 

Fokus keduanya kembali terganggu oleh kehadiran Irene. Gadis itu menarik kursi dan duduk lebih dekat dengan Yoona. “A-Ada apa?” Tanya Yoona.

 

 

“Begini, sepulang sekolah nanti aku dan Sehun oppa akan mencari kostum untuk promnite. Kalian mau ikut tidak?”

 

 

Yoona menatap Kai dengan tatapan bertanya. “Memangnya kenapa kami harus ikut?” Yeoja itu bertanya balik.

 

 

“Tentu saja, kalian akan berpasangan untuk promnite nanti ‘kan?”

 

 

“Pasangan? Aku berpasangan dengan si Kkamjong ini? No.” Yoona menggelengkan kepalanya.

 

 

“Memangnya aku mau berpasangan denganmu? Ya Tuhan, masih banyak gadis cantik di luar sana.” Kai ikut menggelengkan kepalanya.

 

 

“Eiyyy, kalian berpasangan saja.”

 

 

Kai dan Yoona bertatap-tatapan, saling meneliti dari ujung rambut hingga ujung kaki. Setelah Yoona pikir-pikir lagi, sepertinya tidak ada namja yang mau berpasangan dengannya. Dan Kai adalah satu-satunya orang yang bisa ia paksa.

 

 

“Baiklah, aku berpasangan dengan Kai saja.”

 

 

Yak! Aku ti—“

 

 

“Aku tidak meminta pendapatmu!” Ucap Yoona cepat, tak mengizinkan Kai melanjutkan kalimatnya. Namja itu mendengus sebal, namun ia tak berkutik lagi setelahnya.

 

 

“Baiklah, ingat ya. Pulang sekolah.”

 

 

-OoO-

 

 

Seperti rencana, mereka berempat menuju sebuah butik yang sangat terkenal. Giliran pertama adalah para namja yang melakukan fitting baju. Sungguh, mereka terlihat seperti pasangan calon pengantin, hanya saja masih ada seragam sekolah yang mereka kenakan.

 

 

“Tidak. Itu tidak cocok untukmu, lengannya terlalu pendek.” Kritik Yoona untuk pakaian yang dicoba oleh Kai.

 

 

“Dari tadi kau selalu mengkritik apa yang aku kenakan.” Ujar Kai, ia sudah mencoba beberapa macam model pakaian namun tak ada satupun yang mendapat persetujuan dari Yoona.

 

 

“Habisnya aku terbiasa melihatmu dengan pakaian berantakan. Kau yang berpakaian resmi seperti ini membuatku geli—aaaaaa.”

 

 

Karena tidak tahan dan gemas dengan gadis itu, Kai menarik kedua pipi Yoona keras-keras. Gadis itu tidak tinggal diam, ia mencengkram lengan Kai dan berusaha membebaskan pipinya. Ketika melihat pipi putih itu mulai memerah, Kai akhirnya menghentikan aksinya.

 

 

Aigoo, pipimu jadi merah.” Kai mengusap-usap pipi putih itu.

 

 

“Kau menariknya kuat sekali bodoh!” Yoona menginjak kaki Kai dengan keras membuat lelaki itu mengaduh pelan.

 

 

Pemandangan berbeda diberikan oleh Irene dan Sehun. Jika Yoona dan Kai selalu ribut dan tidak menemukan kecocokan, maka Sehun dan Irene tampak tenang. Setelah Sehun dan Kai menentukan pilihan mereka, kini giliran para gadis.

 

 

Sambil menunggu, Kai dan Sehun duduk tenang. Tak ada yang bersuara, tampaknya hubungan kedua sahabat itu belum terlalu baik, padahal turnamen sudah selesai. Selama beberapa menit menunggu, kedua tirai terbuka dan menampilkan kedua gadis cantik dalam balutan gaun yang sangat indah.

 

 

Irene tampak manis, elegan, dan mengeluarkan aura seorang wanita yang lemah lembut. Gadis itu memakai gaun panjang berwarna putih tanpa lengan, dan renda yang menutupi sebagian dada hingga lehernya. Sedangkan Yoona, ia memakai gaun panjang berwarna hitam yang menampilkan sebagian dadanya. Berbeda dengan aura lembut Irene, Yoona tampak misterius, keras, namun elegan.

 

 

Yak! Jangan hanya melihatku seperti itu, berikan pendapatmu.”

 

 

Kai terlonjak kaget ketika mendapati Yoona telah berada dekat di hadapannya. Lelaki itu bangkit dari sofa dan berputar-putar mengelilingi gadis itu sambil berpikir.

 

 

“Kau tampak seperti malaikat pencabut nyawa.”

 

 

Yak!” Yoona memukul Kai dengan keras, padahal ia sengaja memilih gaun berwarna gelap agar matching dengan kostum Kai yang juga berwarna gelap.

 

 

“Kau ambil yang itu saja.”

 

 

“Kau tidak ingin memberikan pendapatmu? Mungkin ada yang kurang dari gaun ini?” Yoona berputar-putar berharap Kai mengomentari gaunnya.

 

 

“Tidak. Itu sudah pas.”

 

 

“Tap—“

 

 

“Tunggu! Ibuku menelpon.” Kai merogoh ponselnya dan keluar dari ruangan itu dan menerima telepon dari ibunya.

 

 

Irene yang juga telah mendapat persetujuan dari Sehun langsung memilih gaun yang dikenakannya tadi. Kemudian ia permisi untuk ke toilet. Kini tinggallah Sehun dan Yoona berdua di ruangan itu. Yoona menatap sekelilingnya, dan menyadari bahwa hanya ada mereka berdua.

 

 

Tak sengaja tatapannya bertemu Sehun, gadis itu salah tingkah. Ia berjalan tergesa-gesa hendak menuju ke sofa, namun ia menginjak gaunnya sendiri. Yoona hampir saja terjatuh, namun seseorang memegang pinggangnya dan mencegahnya jatuh menyentuh lantai

 

 

“Te-terima kasih.” Bertambah sudah kegugupan Yoona. Perlahan gadis itu menegakkan kembali tubuhnya.

 

 

“Kau tidak apa-apa?” Tanya Sehun.

 

 

“Ya, aku tidak apa-apa.”

 

 

Yoona menjilat bibirnya yang terasa kering, ia mengedarkan tatapannya ke segala arah namun kembali lagi menatap Sehun. Ia gugup sekali, dan untuk menghilangkan itu ia tertawa aneh.

 

 

“A-Apa benar aku terlihat seperti malaikat pencabut nyawa?” Tanya Yoona pada akhirnya. Ia hanya berusaha untuk menghilangkan suasana canggung di tempat itu.

 

 

Gadis itu mempoutkan bibirnya ketika melihat namja di depannya terkekeh pelan. Dan dengan itu, suasana canggung di antara mereka mencair. Setelah berhenti tersenyum, ia menyisir rambutnya ke belakang kemudian memperhatikan Yoona dari atas sampai bawah.

 

 

“Aku rasa yang dikatakan Kai benar. Kau seperti malaikat pencabut nyawa dengan gaun hitam itu.”

 

 

Yak! Kalian sama saja. Menyebalkan.” Ujar Yoona kesal, dan Sehun tertawa kembali melihat ekspresi kesal gadis itu. “Tapi jangan senang dulu Tuan Oh, kau juga tampak seperti mayat dengan jas putih itu asal kau tahu.” Tak ingin diejek, Yoona mengejek balik Sehun.

 

 

“Tapi aku tampan.” Sehun membela diri.

 

 

“Aku juga cantik.” Ujar Yoona tak mau kalah.

 

 

“Ya, kau cantik.”

 

 

“Aku memang can—“ Gadis itu tak melanjutkan kalimatnya. Ia menatap Sehun seperti ingin memastikan bahwa lelaki itu baru saja menyebutnya cantik. Yoona merasa pipinya akan memerah, tapi ia meyakinkan dirinya bahwa namja itu hanya ingin menghiburnya.

 

 

“Maksudku, aku memang seperti malaikat pencabut nyawa.” Yoona tersenyum tipis namun menyiratkan kesedihan. Kemudian ia berbalik hendak menyusul Kai. “Di mana kau, Kkamjong? Atau aku akan mencabut nyawamu sekarang juga.” Teriak Yoona.

 

 

Sementara Sehun , ia menatap punggung gadis itu dengan sendu. Sehun tidak bersungguh-sungguh mengatakan bahwa Yoona seperti malaikat pencabut nyawa. Ia memuji Yoona cantik tulus dari hatinya, tapi ia bingung kenapa tiba-tiba Yoona pergi dan meninggalkannya.

 

 

-OoO-

 

 

Kai turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah Yoona. Han ahjumma menyambutnya di luar dan memberitahu Kai bahwa Yoona masih bersiap-siap. Malam ini, Kai terlihat sangat tampan dan jauh dari kata urakan seperti kesehariannya. Rambutnya disisir rapi (up) , dan setelan jas hitam yang sangat pas di tubuh tingginya.

 

 

Beberapa saat kemudian, Yoona keluar dari kamarnya dan menghampiri Kai yang menunggu di ruang tamu. Gadis itu tampak garang dengan eyeliner menghiasi mata rusanya hingga tampak sangat tajam dan menusuk siapa saja yang menatapnya.

 

 

“Bagimana? Aku semakin mirip dengan malaikat pencabut nyawa bukan?” Yoona merangkul lengan Kai.

 

 

“Kau hanya memerlukan sayap sekarang.” Kai menampilkan smirknya.

 

 

-OoO-

 

 

Pesta diadakan di sebuah hotel berbintang, tidak mengherankan jika mengingat bahwa Seoul SHS adalah sekolah elit yang dipenuhi oleh siswa-siswi kalangan atas. Kedatangan Kai dan Yoona menjadi pusat perhatian. Pasangan itu tampak sangat mencolok dengan kostum hitam dan kompak menampilkan wajah tanpa ekspresi.

 

 

“Tersenyumlah, kalian membuat orang-orang di sini takut.” Canda Irene.

 

 

Dan dengan itu, Yoona tersenyum membuat kesan garangnya luntur begitu saja. “Yak! Kkamjong, hentikan itu. Kau tampak menggelikan.” Ujar Yoona ketika melihat Kai dan namja itu masih saja memasang wajah datarnya.

 

 

“Kau cantik sekali dengan gaun itu Irene ssi.” Puji Yoona.

 

 

Jinjja? Ini gaun yang dipilihkan Sehun oppa untukku.” Irene tersenyum sambil menatap Sehun.

 

 

Yoona memperhatikan Sehun dan Irene bergantian. Apa ia cemburu? Jangan ditanya. Ia sangat cemburu melihat kedekatan mereka. Melihat bagaimana Irene merangkul lengan Sehun, dan bagaimana Sehun tersenyum lembut kepada Irene.

 

 

“Kalian sangat serasi, seperti pasangan pengantin.” Yoona tidak berbohong mengatakan itu meski hatinya teriris-iris. Irene tersenyum dengan rona merah di kedua pipi putihnya.

 

 

“Sudahlah, lebih baik kita tinggalkan pasangan kekasih ini.” Kai menarik lengan Yoona dengan cukup keras membuat gadis itu hampir kehilangan keseimbangan.

 

 

Kai tidak tahan melihat senyum palsu gadis yang sedang ia genggam tangannya. Ia tahu Yoona sedang berusaha melupakan Sehun dan ia senang dengan itu. Tapi ia tidak suka melihatnya bersikap seperti mendukung dan senang atas hubungan Sehun dan Irene.

 

 

“Apa kau ini masokis?” Tanya Kai dengan sedikit emosi setelah membawa gadis itu jauh dari keramaian pesta.

 

 

Yoona tidak menjawab, ia hanya tertunduk tak berani menatap Kai. Sebenarnya ia bersyukur Kai membawanya pergi, karena ia sendiri tidak sanggup melihat Sehun bersama gadis itu. Yoona sudah bertekad akan melupakan Sehun, tapi setiap kali berhadapan dengannya ia tak bisa mencegah jantungnya berdetak dengan keras.

 

 

“Maaf, tapi tidak semudah itu aku melupakannya.”

 

 

Kai mengacak rambutnya kesal, ia kembali menatap Yoona dan menemukan bahu kedua gadis itu naik turun. Bisa dipastikan Yoona sedang menangis. Kini kekesalannya semakin memuncak, ia benci melihat gadis itu hancur.

 

 

Kai menangkup kedua pipi gadis itu dan tanpa basa-basi langsung menempelkan bibirnya di atas bibir tipis Yoona. Kai menahan kepala gadis itu ketika ia memberi lumatan-lumatan kecil di bibir yang terasa asin itu. Yoona yang terbuai mengalungkan lengannya di leher Kai dan membiarkan lelaki itu terus mencumbu bibirnya.

 

 

-OoO-

 

 

Oppa, kau dari mana sa—“

 

 

Irene tertegun ketika Sehun mengabaikannya dan melewatinya begitu saja. Ia menatap lelaki itu keluar dari ruang pesta, segera saja ia berlari menyusul Sehun. Namun ia terlambat, karena pria itu telah pergi dengan mobilnya.

 

 

“Ada apa denganmu?” Tanyanya dengan wajah sendu.

 

 

-OoO-

 

 

Sehun mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sangat tinggi. Tidak peduli bahwa ia bisa saja menabrak dan membahayakan pengguna jalan lainnya. Ia tidak peduli, ia terus menginjak pedal gas dan mengemudikan mobilnya entah ke mana.

 

 

“Brengsek kau, Kim Jongin!”

 

 

Flashback On

 

 

“Oppa, pesta dansanya sudah dimulai. Ayo.”

 

 

“Mm, tunggu sebentar.”

 

 

Sehun berjalan menjauh dan meninggalkan Irene di sana yang menatapnya bingung. Sehun tidak mengatakan akan pergi ke mana, dan mau tidak mau Irene hanya bisa menunggu namja itu selesai dengan urusannya.

 

 

Sehun pergi mencari Yoona, ia merasa harus menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi. Sehun menyadari sikap Yoona padanya. Ia menyadari bahwa gadis itu sedang berusaha menjauhinya, dan ia tidak akan membiarkan itu terjadi. Terlebih lagi, kedekatan Yoona dan Jongin yang semakin menjadi.

 

 

Akhirnya Sehun menemukan Yoona, namun tidak dalam situasi yang bagus. Tangannya terkepal ketika melihat sepasang laki-laki dan wanita bericuman . Rahangnya mengeras melihat lelaki itu mencium si wanita dengan intim. Dan ia tak sanggup berdiri lebih lama ketika melihat si wanita mengalungkan tangannya di leher lelaki itu.

 

 

Flashback Off

 

 

Setelah pergi tanpa tujuan, akhirnya Sehun memilih menepikan mobilnya di area sungai Han. Ia melepas jas putihnya menyisakan kemeja putih kemudian keluar dari kendarannya. Angin malam menerpa dan menerbangkan rambutnya.

 

 

Sehun melonggarkan dasi yang melingkar di kerah kemejanya. Hazelnya menatap lurus ke depan, dan beberapa kali ia menghela nafas. Tiba-tiba ia merasakan ponselnya bergetar, satu pesan masuk dari Irene.

 

 

From : Irene

Kau di mana? Aku mengkhawatirkanmu.

 

 

Untuk sejenak ia hanya memandangi layar ponselnya. Irene. Ia baru ingat bahwa di pesta tadi ia meninggalkan Irene begitu saja tanpa penjelasan. Perasaan bersalah menghampirinya. Ia segera mengetik pesan balasan untuk gadis itu.

 

 

To : Irene

Aku baik-baik saja.

 

 

Setelah itu Sehun menonaktifkan ponselnya. Untuk saat ini, ia tidak ingin diganggu oleh siapapun. Ia merasa perlu untuk menjernihkan pikirannya.

 

 

-OoO-

 

 

Dalam perjalanan pulang, tak ada yang melakukan pembicaraan. Yoona menatap jalanan yang dilaluinya, sedangkan Kai fokus menyetir. Mereka tidak berdua, ada Irene yang duduk di jok belakang. Yoona menawarkan gadis itu untuk pulang bersama setelah mengetahui bahwa Sehun pergi dari pesta. Ia cukup penasaran dengan alasan mengapa lelaki itu tiba-tiba pergi bahkan sampai meninggalkan Irene.

 

 

“Bisakah kau menurunkan aku di depan sana?”

 

 

“Maksudmu di depan sana?” Tanya Kai memperjelas ucapan Yoona, dan gadis itu mengangguk mengiyakan. Kai ingin menanyakan alasan kenapa gadis itu turun di sana, tapi ia menghormati itu dan memilih untuk tidak bertanya.

 

 

-OoO-

 

 

Entah untuk alasan apa Yoona turun di tempat ini, ia sendiri tidak tahu. Langkah kakinya membawanya menuju suatu tempat di sungai Han. Ya, dia meminta pada Kai untuk menurunkannya di sungai Han. Yoona terus berjalan tanpa mempedulikan tatapan aneh orang lain. Dirinya yang memakai gaun pesta seperti itu tentu saja mengundang perhatian.

 

 

Gadis itu berhenti di sana, ia memejamkan mata menghirup oksigen dalam-dalam hingga memenuhi semua ruang di paru-parunya kemudian menghembuskannya perlahan.

 

Flashback On

 

Beberapa menit kemudian, Kai melepas tautan bibirnya dengan bibir Yoona. Ia menatap dari dekat wajah gadis itu yang sedang menggigit bibirnya. Ia bersyukur melihat Yoona tidak menangis lagi.

 

 

“Kenapa?” Iris madu itu menatap tepat pada sepasang iris kelam milik namja bernama lengkap Kim Jongin itu.

 

 

“Kau benar-benar tidak tahu?” Namja itu balik bertanya.

 

 

“Maaf, tapi aku—“

 

 

“Aku tahu. Tapi biarkan aku mengatakannya. “ Kai menatap lekat gadis cantik yang berdiri di hadapannya.

 

 

“Aku mencintaimu.”

 

Flashback Off

 

Yoona membuka kembali kelopak matanya. Untuk sesaat gadis itu hanya menatap lurus ke depan, kemudian berbalik hendak meninggalkan tempatnya. Namun, langkah kakinya terhenti ketika menemukan sosok lelaki berdiri beberapa meter di depannya.

 

 

“Kau di sini?” Tanya Yoona yang lebih seperti gumaman.

 

 

Tungkai panjang namja itu melangkah mendekati Yoona. Gadis itu tidak bergerak ketika sepasang lengan melingkar di pinggangnya dan sesuatu yang kenyal menempel di bibirnya, menciumnya dengan sangat lembut membuat jantungnya berdetak sangat cepat.

 

 

Kau jahat Oh Sehun. Kau membuat harapan itu muncul kembali.” Batin Yoona sambil menatap wajah namja yang sedang menciumnya dengan mata terpejam.

 

 

.

 Update cepet kan? XD

Maaf kalo gak memuaskan, gue ngejar target selesein ff ini sebelum UAS.

oKai. Next chap bakal diprotect, yg mau password kirim aja ke kaigerl88@gmail.com , jangan lupa cantumin uname yg kalian pake buat komen ;)

Broke Up [2/3]

$
0
0

image

Cast: Kim Jongin aka Kai
          Shin Juyeong (OC)
          Lee Sungyeol
Genre: Romance, Fluff
Ranting: General
PG-17!!

Happy Reading!!!

Author POV

Dua bulan telah berlalu sejak Shin Juyeong di putusi oleh Kim Jongin–member boyband yang menyebalkan. Tidak ada lagi air mata yang turun. Tidak ada lagi Shin Juyeong yang pucat, tidak mau makan, setiap malam mengurung dirinya dikamar, dan jangan lupakan Shin Juyeong yang seperti ‘mayat hidup’ saat menjalani aktivitasnya.

Gadis itu sudah bersumpah akan membuat mantan kekasihnya menyesal dan memohon-mohon untuk kembali. Tapi, dalam urusan seperti ini otaknya memang tidak bisa diajak bekerja sama. Dirinya masih saja belum menemukan cara untuk membuat Kim Jongin menyesal.

Nunna, sore ini jadi ‘kan?”

Suara Minhyuk membuyarkan lamunan Juyeong. Ia mengangguk disertai senyuman yang mengembang. Lalu memasukan nasi gorengnya kedalam mulut.

Sore nanti ia dan adiknya akan menonton film di bioskop, memanjakan lidah dengan berbagai makanan, dan menghabiskan uangnya. Minhyuk selalu tahu bagaimana membuat nunna nya lupa dengan kisah percintaannya yang kandas. Dan Minhyuk juga selalu tahu cara membuat nunna nya jatuh miskin.

“Kau ingin pulang dulu? Atau aku jemput disekolahmu?” Tanya Juyeong setelah menghabiskan sarapannya.

“Sekolah.”

                                                                              ***

“Kau tidak syuting?”

Jongin menoleh mendapati sang leader yang sedang duduk disampingnya. Kemudian memfokuskan pandangannya ke arah televisi yang sedang menayangkan berita, “Tidak.”

“Kau akan pergi dengan Juyeong hari ini?” Tanya Suho lagi seraya mengambil alih remote tv, dan mengganti salurannya.

“Tidak.”

Suho menghentikan jarinya, “Kau ada masalah dengan Juyeong?”

Jongin beranjak dari sofa, ia melangkahkan kakinya menuju lemari es. Mengambil air minum dan menuangkannya digelas, “Tidak ada.”

“Jangan sampai menyesal.” Celetuk Sehun seraya menguap.

Jongin tersedak dari minumnya mendengar celetukan Sehun. Apa yang dikatakan oleh maknae itu memang benar, sangat tepat dengan kenyataannya sekarang.

“Awas jika kau membuat keputusan bodoh.” Baekhyun menimpalinya.

Mungkin jika Jongin belum menelan air minumnya, dapat ia pastikan air minum yang bercampur dengan liurnya itu menyembur keluar sekarang.

Mengapa para hyungnya itu seperti tahu jika hubungannya dengan Juyeong sedang renggang?

Drt…

Ponsel yang berada di saku jeans pria itu bergetar. Ia meraihnya,

Yeoboseyo? Jin-a? Sekarang? Baiklah.”

                                                                                     ***

Shin Juyeong mencuci tangannya setelah menuntaskan semua pemeriksaan kesehatan hewan di kebun binatang-tempat dirinya bekerja. Ia menghela nafas ketika pikirannya tak sengaja memikirkan mantan kekasihnya.

Apa dia baik baik saja?

Apa tidurnya cukup?

Apa dia makan secara teratur?

Dan, apa Kai menaruh hati kepada partnernya di we got married?

Ah, tidak. Ia tarik kembali pertanyaan terakhirnya. Jika Jongin suka–bahkan cinta kepada Jin, ia tidak akan pernah terima!

Juyeong memutar kerannya. Kemudian membalikkan badannya bermaksud untuk pergi keruangannya dan mengambil tas.

“Dor!”

“Ya! Sungyeol! Kau mengagetkanku!” Juyeong mengelus dadanya, kaget, melihat lelaki bertubuh tinggi itu ada di depannya. Sungyeol tertawa kecil.

“Kau terlalu menghayati tadi membuatku enggan untuk mengganggumu.” Sungyeol tersenyum mengejek.

“Kau akan langsung pulang?” Lanjut Sungyeol.

Juyeong menggeleng, “Aku akan nonton bersama Minhyuk, kau mau ikut?”

“Bolehkah?”

Dengan pasti Juyeong mengangguk. Tanpa ditawari juga Sunyeol akan ikut.

“Aku yang menyetir ya?”

                                                                             ***

To: Minhyuk
Aku sudah di depan sekolahmu. Lima menit kau belum sampai, nunna tinggal.

Send.

Juyeong menaruh handphonenya kedalam tas setelah mengirimi adiknya pesan agar adiknya yang bandel itu cepat datang karena hari ini ia sangat malas menunggu.

Ia melirik ke arah sebelahnya, Sungyeol sedang asik berkencan dengan androidnya-bermain game, membuat Juyeong tidak mau mengganggunya.

Saat Juyeong membalikkan pandangannya, “Dor!” Minhyuk muncul dibalik jendela mobilnya dengan wajah tanpa dosa ia mengagetkan kakak perempuannya.

“YA! SHIN MINHYUK! KAU MENCOBA MEMBUNUHKU HUH?” teriak Juyeong begitu adiknya masuk kedalam mobil.

Minhyuk mengabaikannya dengan menyapa Sungyeol, “Oh hyung! Jadi kau kekasih benerannya nunna?”

Sungyeol memasukkan handphonenya kedalam saku. Membalikkan tubuhnya menghadap Minhyuk kemudian menjabat tangan ala pria sejati.

“Bukan, aku hanya simpanan nunnamu.” Canda Sungyeol yang disambut tawa oleh Minhyuk.

“Simpanan? Jangan bercanda hyung! Kekasih saja nunna tidak pernah membawanya kerumah, Haha.” ejek Minhyuk tak tanggung-tanggung.  Ugh, Ya Tuhan, rasanya Juyeong ingin memasukkan kembali adiknya kedalam perut ibunya sekarang!

Dua makhluk tampan ini masih saja menjadikan dirinya obyek godaan jika saja ia tidak langsung menatap tajam mereka dan mengancam.

“Kalian ingin aku celakakan diperjalanan nanti, huh?”

Sungyeol dan Minhyuk langsung terdiam. Ancaman konyol itu terdengar serius bagi mereka. Karena, jika Juyeong kesal pasti selalu ada yang menjadi korban. Hih, membayangkan dirinya beserta sahabat nunnanya terkapar dengan balutan perban dan infusan dirumah sakit itu mengerikan.

Sungyeol berdeham singkat, ia menatap Juyeong dengan manik matanya seolah-olah mengatakan ‘kita berangkat sekarang?’ dan yang langsung dibalas dengan anggukan sebelum mata wanita itu terpejam.

Suasana di mobil menjadi hening. Minhyuk sibuk dengan gadgetnya, sedangkan Sungyeol sibuk menyetir. Dan Juyeong pun juga sama, sibuk tertidur.

Sebenarnya kedua pria itu tidak begitu menyukai suasana hening seperti ini. Hanya saja jika mereka berisik mereka takut akan membangunkan singa yang sedang tidur ((Juyeong)).

Sungyeol melepas sabuk pengamannya saat sampai ditempat tujuan. Ia memiringkan badannya menghadap ke arah Juyeong bermaksud untuk membangunkan wanita itu.

Nunnamu sedang patah hati ya?” tanya Sungyeol sembari menelusuri wajah Juyeong.

Minhyuk mengangguk, “Iya sepertinya.”

“Kau tahu siapa kekasih nunnamu?”

                                                                                ***

Juyeong memberhentikan jalannya yang berada dikedua pria itu. Ia menghentakkan kakinya keras, kesal. Karena perlakuan sahabat lelakinya dan adiknya sangat menjengkelkan.

“Ya! Kalian ini pria bukan, sih?!”

Sembur Juyeong kesal. Sungyeol dan Minhyuk yang berada beberapa meter di depan Juyeong tertawa. Bagaimana bisa malaikat dan iblis bersatu mengerjainya?

Sungyeol langsung menghampiri Juyeong, lalu mengambil alih semangkuk popcorn besar dari capitan tangan Juyeong.

Tuhkan, Sungyeol memang malaikatnya!

“Percepat langkagphmu nyonya kura-kura!” ucap Sungyeol sebelum meninggalkan Juyeong dan bergabung bersama Minhyuk.

Baiklah. Ia tarik kembali kata-katanya tadi.

“Nyonya kura-kura dengkulmu! Dasar pria tidak tahu diri!” cibir Juyeong sembari menyusul mereka.

Juyeong menoleh saat mendengar beberapa bisikan yang sangat mengganggunya. Entah semua orang sedang membisikkan sesuatu dan ia tidak tahu apa yang menjadi bahan bisikan mereka.

Siapa peduli? Pikir Juyeong seraya meluruskan pandangannya kembali.

Sedetik kemudian ia mematung melihat pemandangan yang mengerikan. Ia melihat seseorang yang dicintainya–Jongin bersama Jin di bioskop ini. Berdua. Tanpa alat penyamaran apapun. Tanpa kamera yang menemani mereka.

Mereka sedang tidak syuting ‘kan? Jadi mengapa mereka bisa bersama? Disini?

Nunna! Mengapa kau diam saja?” teriak Minhyuk membuyarkan segala kemungkinan yang ada di otak Juyeong.

Tak disangka mata Jongin bertemu dengannya. Membuat perasaan rindu yang selama ini terkubur di dalam menguap begitu saja walaupun hanya dengan bertatap mata. Entah, Juyeong tidak mengerti dengan semua ini.

Rasanya senang karena bisa menatap sepasang mata hazel itu lagi tapi terlalu menyesakkan untuk memasukinya ebih dalam. 

Juyeong memutuskan eye’s contactnya, lalu ia berlari menghampiri Minhyuk dan Sungyeol dengan perasaan dan pikiran yang campur aduk.

‘Apakah mereka berpacaran?’

***

Hallo!!!!

Maafin baru sempet uodate lagi setelah sekian lama yaaa… Tugas numpuk bgt hikshiks *curhat*
Jadi ini mau di perpanjang wkwk awalnya mau 2chap tapi takut kepanjangan jadi 3chap aja deh, gapapa kan ya? Diusahain deh cepet update.

Udah deh segitu aja. Rcl ya chingudeul! Gamsahamnida

Kevnwu.

Hello Seoul

$
0
0

Author: Stuckwitu

Cast: Kim Jongin (EXO), OC

Genre: drama, friendship, fluffy

Rating: General

Length: Oneshoot

Disclaimer: FF ini tidak bermaksud SARA, apabila ada kesamaan kejadian, yhaaa namanya juga FF

“apa kau sudah selesai berkemas?” aku mendengar ibu bertanya untuk sekian kalinya padaku. Aku tersenyum mendengar ibu berkali-kali bertanya, takut-takut bila salah satu barangku akan tertinggal. “hm! Sudah aku lihat semua bu, sepertinya sudah lengkap semua.” aku mengangguk mantap sambil menatap ibu dengan senyuman lebarku. Ibu menghampiriku dan mengelus lembut pipiku, “Irene anakku, jaga dirimu baik-baik disana. Aku akan selalu merindukanmu.” ucap ibu sambil menatapku cemas. Kulihat mata ibu mulai berair, tidak ingin berlarut dalam kesedihan aku-pun memalingkan wajahku sambil berpura-pura sibuk membereskan barangku.
—-
Keesokan harinya, kedua orang tuaku dan adik kecilku—Bobby mengantarku hingga bandara. Ibuku memelukku sambil menangis, sehingga adikku yang berusia 4 tahun pun ikut menangis, “kakak, kakak cepat pulang yah, aku akan merindukan kakak.” kata Bobby sambil menarik-narik ujung dress-ku dan terisak. “Irene, ingat, jangan lupa sholat, makan yang benar dan jangan sampai telat. Beradaptasi-lah dengan baik disana, hm?” ucap ibu sambil memelukku makin erat dan mengecup keningku cukup lama. Aku yang tak tahan melihat ibu menangis pun akhirnya ikut menangis. “baik ibu, selalu doakan aku disana yah?” kataku sambil mengangguk kecil. “ayah akan selalu merindukanmu Irene. Putri ayah sudah besar dan tumbuh cantik. Jangan lupa jaga dirimu dan belajarlah yang rajin.” ayah menepuk pundakku pelan dan tersenyum. Bisa ku lihat mata ayah sedikit berair disana, sedih bila anak gadis satu-satunya meninggalkannya. “aku harus segera masuk, ayah ibu Bobby, doakan aku yah.” aku memeluk mereka bersamaan dan melambaikan tanganku tanda ingin berpisah.
Aku mendapatkan beasiswa kuliahku di negeri ginseng—Korea. Tak pernah sedikitpun terbesit dalam pikiranku, aku akan menjalani kehidupan ku seorang diri di negara yang tak pernah aku kunjungi untuk menempuh pendidikan. Selama sebulan sebelum keberangkatan aku selalu membayangkan bagaimana kehidupanku tanpa ibu dan ayah dan akan seperti apa jadinya. Satu hal lagi yang membuat aku merasa tertantang sekaligus membuat nyaliku menciut, aku tinggal di negara yang minoritas penduduknya Muslim. Aku selalu membayangkan, apakah mudah untukku menemukan masjid atau apakah mudah untukku menemukan makanan halal atau mungkin mudahkah untukku menahan diri saat aku berpuasa. Kegusaran terus melandaku disaat-saat menjelang keberangkatanku. Atas kebanggan orang tuaku padaku, aku memantapkan hatiku untuk berjuang hidup di negeri orang.
—-
“apa kau butuh bantuan?” seorang pria berkulit tan menawarkan bantuan padaku. Untung saja, 6 bulan sebelum keberangkatanku aku rajin mendatangi tempat kursus bahasa korea, bila tidak aku tidak tahu bagaimana bisa aku sampai di apartemenku bahkan menjawab pertanyaan pria di depanku ini. “tidak, aku baik-baik saja.” jawabku menolak dan berusaha agar terdengar sopan. “apa kau baru disini?” mengapa dia terus bertanya padaku padahal kami belum tahu satu sama lain, jujur aku risih untuk berbicara dengan orang yang belum ku kenal karena aku tak tahu apakah dia pria baik atau bukan, walaupun pria dihadapanku ini terlihat sangat tampan dan baik, bahkan tubuhnya amat tinggi. “iya, aku baru pindah untuk kuliah disini.” jawabku seadanya. “benarkah? Kau bukan orang Korea, kan? Kau berasal dari mana? Dan dimana kau alan kuliah?” tanya nya seolah ingin banyak tahu. Aku menghembuskan napas samar sebelum menjawab “aku berasal dari Indonesia dan aku kuliah di Seoul national university.” aku tersenyum samar padanya. “ah~ aku juga berkuliah disitu jurusan akuntansi. Aku juga baru masuk kuliah tahun ini. Namaku Kim Jongin dan aku tinggal didepan ruangan mu.” pria bernama Jongin itu mengulurkan tangannya didepanku. Takut dikira sombong, aku pun membalas jabatan tangannya. “namaku Irene Larasati. Dan kebetulan akupun juga jurusan akutansi, senang berkenalan denganmu. Aku harap kita bisa menjadi tetangga yang baik.” jawabku sambil tersenyum. “hm! Senang berkenalan denganmu juga, teman!” jawab Jongin dengan anggukan kecil sambil tersenyum. “aku harus masuk dulu, aku rasa aku harus istirahat. Sampai nanti.” aku mengangguk tanda hormat kepada Jongin dan Jongin pun membalas anggukan ku juga. ‘teman pertamaku di Seoul’ ucapku dalam hati sambil tersenyum kecil.

Ting tong
Malam tiba dan aku sudah selesai berkemas. Aku menghampiri pintu apartment ku saat ada yang menekan tombol bel ruanganku. ‘siapa yang datang’ pikirku dalam hati. “hai Irene, aku berniat mengajakmu makan malam bersama, anggap saja sebagai perayaan pertemanan kita hari ini.” kata Jongin sambil tersenyum tulus. Haduh! Bagaimana ini, bagaimana aku menolak ajakan Jongin? Bagaimana aku menjelaskan bahwa aku takut dia mengajakku makan makanan tidak halal. Aku terus terdiam hingga Jongin menyadarkanku, “apa kau tidak apa-apa? Jadi bagaimana?” Jongin menanyakanku sambil tersenyum tipis. “aku umm a-aku umm.” “bagaimana?” tanyanya agak tidak sabaran. “jadi begini, aku masih ada barang yang berantakan dan perlu aku bereskan malam ini juga. Maafkan aku Jongin, bagaimana bila besok kau kubawakan makanan buatanku? Aku yang akan memasaknya untukmu.” jawabku sedikit berbohong.
Terlihat raut wajah kecewa jelas tergambar. Aku merasa bersalah padanya. “dan besok siang bagaimana jika sepulang mengurus berkas kuliah ku, kau mengajakku berkeliling Seoul, aku juga ingin berbelanja keperluan dapur. Bagaimana?” tanyaku antusias dan meyakinkan Jongin. “baiklah, aku akan menjemputmu juga untuk berangkat bersama.” jawabnya pasrah diiringi napas yang terdengar agak berat. “ide bagus, aku juga belum tahu letak apartment ke kampus. Terima kasih banyak Jongin.” ucapku sambil tersenyum padanya. “ah bukan apa-apa, selamat malam Irene.” senyum Jongin sambil melambaikan tangannya dan membuka pintu ruang apartmentnya. “malam Mr. Kim.” lambai tanganku membalas Jongin.
Aku menutup pintu rapat dan menyandarkan punggungku pada pintu. Huuuufff. Deru panjang napasku lega. Bagaimanapun juga aku masih merasa tak enak pada Jongin. ‘aku harus mengatakan padanya besok’ tekadku bulat.

“jadi begini, umm aku sebenarnya.. Umm aku, aku adalah seorang muslim, maka dari itu aku menolak ajakanmu kemarin, maafkan aku.” ucapku sambil tersenyum. Akupun melanjutkan, “aku pikir kau harus mengetahuinya karena, kau tahu, ada banyak hal yang boleh kau lakukan sedangkan aku tidak.” aku bernapas lega dan menatap mata Jongin sambil tersenyum tipis. “seharusnya kau mengatakannya padaku sebelumnya. Aigoo, aku jadi malu saat mengajakmu meminum soju malam ini dan kau hanya tersenyum tanpa mengatakan iya atau tidak.” jawab Jongin sambil tertawa kecil.
Obrolan kami terhenti saat pramusaji menyajikan minuman bubble tea yang kami pesan “tapi kita masih teman, kan?” tanya Jongin menyadarkanku. “tentu saja! Apa karena aku muslim aku sangat membatasi diriku dalam bergaul? Tentu tidak, tapi aku punya batasanku dalam bersikap terhadap lawan jenis, termasuk kau.” tunjukku pada jongin sambil tertawa kecil.
Obrolan kami berlanjut hingga waktu sholat ku tiba. “permisi sebentar, aku akan ke masjid di seberang cafe ini, tidak apa kan bila kau menunggu sebentar?” tanyaku pada Jongin. “tentu saja, aku akan menunggumu disini.” Jawab Jongin sambil tersenyum tipis.

“apa kau menunggu lama?” tanyaku pada Jongin saat aku kembali. “tidak, hanya 20 menit saja, kok.” jawab Jongin santai. Aku mendudukan diriku kembali didepan Jongin. Obrolan kami berlanjut hingga 30 menit kemudian. “ayo pulang, aku kan berjanji padamu akan membuatkanmu makanan.” usulku pada Jongin yang hanya dijawab dengan anggukan kecil.

Ting tong.
Aku menekan tombol bel ruang apartment Jongin. “hai Irene.” sapa Jongin. “hai, ini makananmu. Selamat malam Jongin.” aku memberikan makanan yang kubuat pada Jongin dan melambaikan tanganku pada Jongin. “kau tidak ingin masuk?” tanya Jongin. “tidak baik bagiku masuk kedalam dan hanya berdua denganmu.” jawabku sambil tersenyum tipis. “oh, baiklah, terima kasih dan selamat malam.” lambai tangan Jongin dan diikuti olehku dengan masuk ke ruang apartmentku.

Lima bulan sudah aku menetap di Seoul. Hari-hariku dipenuhi oleh berangkat bersama Jongin, belajar di perpustakaan bersama Jongin, makan siang bersama Jongin, dan pulang bersama Jongin. Aku seharusnya tidak seperti ini, aku seharusnya bisa menjaga jarakku dengan Jongin. Bagaimana bila orang lain salah menilai hubungan pertemanan kami? Bagaimana tanggapan teman-temanku di klub muslim kampus? Bagaimana aku bisa mempertanggung-jawabkan perbuatanku pada Tuhan dan orang tuaku? Oh sungguh aku merasa bersalah pada diriku sendiri, bagaimana cerobohnya aku. Ya, walaupun aku tidak pernah melakukan apa-apa dengan Jongin, tapi aku takut dengan tanggapan teman-teman yang lain, yang tahu bahwa aku seorang muslim. “kau menyukainya?” lamunanku berhasil dirubuhkan oleh Alia—teman satu negara dan juga dari klub muslim kampus. “entahlah, tidak seharusnya aku seperti ini. Tapi…” deru napasku terdengar panjang dan berat dan wajahku tertekuk. “bukan Irene, bukan salahmu. Perasaan tidak bisa disalahkan, tapi Irene.” Alia behenti sejenak, sebelum.melanjutkan, “tapi dia.. Kau tahu.. Berbeda agama dengan kita.” kata Alia sedikit berbisik. “aku tahu, maka dari itu aku takut bila dia tahu dan mungkin saja ‘kan dia juga memiliki perasaan yang sama.” aku kembali bernapas panjang dan terdengar sangat berat. “ya, aku tahu perasaanmu Irene.” jawab Alia sambil menepuk bahuku pelan.

“ayo pulang.” ajak Jongin saat kelas Mr. Ahn selesai. Aku hanya mengangguk tanda setuju. Kami pun berjalan beriringan keluar kampus menuju halte bus. Selama 5 bulan selalu bersama Jongin, selalu banyak pasang mata para gadis ke arah Jongin, bahkan terkadang mereka menunjukkan tatapan mautnya ke arahku. Aku hanya bergidik ngeri dan tidak menghiraukannya.
Aku terus diam tanpa bicara karena terlarut dalam lamunanku, takut bila Jongin tahu jika aku menyukainya, takut bila aku akan sakit hati walaupun aku tak pantas sakit hati, takut bila ia tahu maka hubungan pertemanan kami akan berubah. Terlalu banyak yang aku pikirkan hingga Jongin membuyarkan lamunanku, “apa yang kau pikirkan? Sejak kembali dari klub mu, kau terus terdiam?” tanya Jongin sambil menaikkan satu alis matanya—keheranan. “aku tak apa-apa.” jawabku bohong. Jongin hanya mengangkat kedua bahunya dan tak mempermasalahkannya lebih lanjut. “bisakah kau berjanji padaku? Bisakah kau berjanji padaku, kau akan terus menjadi temanku?” tanyaku pada Jongin, membuka suara. “tentu saja!” jawab Jongin dengan anggukan mantap. “baiklah, terima kasih Kim Jongin.” ucapku sambil menggenggam erat tali tas ranselku dan tersenyum pada Jongin. “tenang saja, Irene. Aku akan terus menjadi temanmu.” ucap Jongin dengan senyuman lebarnya.

POSSESSIVE HUSBAND' SERIES - THE DAYS WE FELT THE DISTANCE

$
0
0

IMG_20160217_145547

Poster by lily21lee

“You can close your eyes to the things you don’t wanna see, but you can’t close your heart to the things you don’t wanna feel.” Johny Deep

Ada saat dimana cinta mungkin tak semenggebu-gebu dahulu. Saat dimana kau ingin berjarak barang sebentar dengan dia yang katanya kau cintai setengah mati. Tapi bukan berarti kau tidak mencintainya dengan tulus. Hanya saja perasaan paling manusiawi itu kerap kali muncul. Adalah rasa jenuh yang kemudian menghinggapi hatimu. Untuk kau yang pernah jatuh cinta, tentu saja jenuh bukan lah hal baru. Tapi bukan kah jenuh mu itu adalah pertanda bahwa hatimu masih hidup? Bahwa masih ada hari esok untuk mencintainya lebih dalam lagi. Jadi, tidak apa-apa untuk sesekali merasa jenuh.

Bagi kebanyakan orang keluarga itu nampak sempurna. Ada suami super tampan dengan kekayaan melimpah ruah, istri jelita serta seorang balita mungil yang kini berusia dua tahun. Kim Tae Rin sudah menjelma menjadi sosok gadis kecil yang mewarisi kecantikan ibunya. Namun sayangnya, Tae Rin akan jauh lebih menyukai bersama ayahnya yang tampan dan dengan kompak melakukan aksi pembullyan terhadap Jo Eun Hee. Alasannya sederhana saja, Tae Rin yang masih balita itu sudah tahu benar bahwa dia mempunyai ayah luar biasa tampan. Dia seringkali merasa tidak rela saat Jongin berdekatan dengan Eun Hee dan akan menangis keras begitu melihat ayahnya mendekati ibu kandungnya. Jongin kerap kali tertawa geli, sambil dengan sabar menggendong Tae Rin-nya dan mengatakan betapa dia mencintai putrinya. Walaupun tentu saja cinta pada Eun Hee tetap saja masih berlebihan seperti dulu. Selamanya akan begitu, mungkin?

“Kau tahu? Aku rasa Tae Rin sangat mirip denganmu.” Ujar Eun Hee di suatu malam dengan bibir mengerucut sebal. Jongin baru saja menidurkan Tae Rin yang merengek seharian karena ayahnya tak kunjung pulang.

“Oh ya?” Pria itu menukas kalem. Dia lalu menggenggam tangan Eun Hee dan membimbing wanita tersebut untuk masuk ke kamar mereka sendiri. “Apa istriku sedang mulai aksi cemburunya lagi, eh?” Dia terkikik geli dan segera terdiam begitu mendapati death glare dari Eun Hee. Mereka duduk saling berhadapan di sofa dengan warna cokelat dan kamar yang menguarkan aroma citrus segar.

“Berhenti menertawakanku, Jong! Putri kesayanganmu itu semakin posesif saja. Kau tidak dengar dia terus merengek seharian hanya karena merindukanmu, ah ya…dia bahkan menangis dengan keras tiap kali melihatmu berdekatan denganku. Ya Tuhan…aku jadi merasa seperti seorang istri simpanan.” Cerocos Eun Hee tanpa jeda. Diam-diam dia sendiri merasa konyol akan kecemburuannya pada Tae Rin, tapi tetap saja perasaan tersebut kian menyebalkan jika tidak diungkapkan.

“Dia memiliki wajah secantik kau, Eun Hee-ya.” Ada rona merah yang tercetak jelas di kedua pipi Eun Hee saat Jongin menyebutnya dengan cantik, juga sensasi membakar saat tangan besar itu menangkup wajah mungil Eun Hee. “Aku rasa saat dia memiliki sebagian besar sifatku, semua terdengar adil, kan?”

Dengan enggan Eun Hee menjauhkan wajahnya dari genggaman hangat Jongin. Dia merasa perlu bernapas dengan baik dan mengontrol diri, sementara kehadiran pria di hadapannya jelas sama sekali tidak membantu menenangkan jantungnya yang berdentum-dentum memukul rongga dada.

“Sesukamu lah. Mungkin ini terdengar sangat konyol, tapi aku memang sangat cemburu pada kedekatanmu dan Tae Rin. Oh ya baiklah kau boleh menertawakanku sepuasnya setelah ini.” Eun Hee berbicara dengan nada diketus-ketuskan, mencoba terlihat tegas dengan melipat kedua tangan di depan dada. Dia menunggu reaksi Jongin yang akan mengolok-oloknya habis-habisan, tapi di luar perkiraan Jongin hanya diam dan menatapnya penuh atensi.

Eun Hee mengangakan mulutnya selama beberapa detik sebelum kembali di posisinya dan balas menatap mata kelam Jongin dengan seksama. Sebenarnya kakinya begitu lemas, sehingga dia berkali-kali membenarkan posisi duduknya yang tetap saja tak nyaman.

“Berapa lama kita menikah?”

“Empat tahun tiga bulan.”

“Kau masih mencintaiku, Jong?”

“Tentu saja.”

“Sebeerapa banyak?”

“Tidak tahu. Aku mencintaimu. Itu saja.”

Eun Hee mendenguskan napasnya dengan kasar saat mendengar jawaban-jawaban singkat dan jelas dari Jongin. Kim Jongin tetaplah Kim Jongin yang tidak pernah suka dengan basa basi. Wanita itu mengetuk-ngetukkan jarinya di paha, berpikir dengan keras tentang sesuatu yang akan dia katakan.

“Selama tenggat waktu itu berapa kali kita melakukan hubungan jarak jauh?”

“Sering sekali. Aku tak menghitungnya karena aku benci berjauhan denganmu.” Eun Hee nyaris tersedak saat mendengar jawaban Jongin kali ini. Begitu tulus dan tegas hingga tidak ada kemungkinan pria di hadapannya berbohong.

“Kau pernah merasa bosan denganku?”

“Tidak sama sekali.” Dia menjawab lagi dengan tegas. “Dan kau sendiri?” Untuk pertama kalinya Jongin balik melontarkan pertanyaan pada Eun Hee. Ada sesuatu yang mengusiknya, sesuatu yang membuatnya tak nyaman sedari tadi begitu melihat iris mata Eun Hee. Hal yang harus dia konfirmasi saat ini juga.

“Sebenarnya….” Eun Hee menggantungkan kalimatnya dengan sengaja, berlama-lama dalam menjawab pertanyaan Jongin. Dia tahu benar titik lemah suaminya, kekhawatiran berlebihan pria itu pada banyak hal. Anxiety disorder itu masih ada.

“Sebenarnya apa Eun Hee? Aku tidak suka menunggu.” Dia setengah menghardik dengan nada bossy, nada yang sudah sangat lama tidak Eun Hee dengar dari suaminya.

“Rasa bosan itu sedang aku rasakan. Ya rasa bosan padamu. Dan oh…tolong jangan menyelaku, Sayang.” Eun Hee mengangkat sebelah tangannya begitu melihat Jongin membuka mulut untuk melakukan protes. Tapi ajaib, pria itu kembali terdiam dan duduk dengan rahang terkatup rapat serta kilat gelisah di balik iris hitamnya.

“Kau tahu kan perasaan ini sangat manusiawi? Aku harus hidup setiap harinya dengan orang yang sama, menghabiskan waktu di masa depan juga dengan orang yang sama, tentu saja aku bisa bosan. Aku juga tidak bisa semakin mencintaimu dari hari ke hari, bisa saja kan-“

“STOP!” Jongin berteriak. Dia berdiri dan suaranya menggelegar memenuhi ruangan. Eun Hee nyaris terjungkal saking terkejutnya, tapi lagi-lagi dia berhasil menguasai diri dan masih berada dalam posisinya seperti semula.

“Kim Jongin dengarkan ak-“

“I SAID STOP IT! I DON’T WANT TO HEAR ANYTHING RIGHT NOW! DAMN! WHAT THe HELL’S WRONG WIH YOUR HEAD? ARE YOU MAD?” Teriaknya lagi, dia lalu berjalan dengan gelisah di depan Eun Hee, meremas rambutnya dengan kencang berkali-kali dan melepaskan dua kancing kemejanya. Otaknya mendadak macet, seluruh sistem di tubuhnya berteriak marah. Bosan? Bagaimana mungkin dia bisa merasa bosan dengan istrinya sendiri? Ketololan macam apa lagi yang harus dia hadapi? Bukankah dia baru saja merasakan betapa sempurnanya hidup, dan oh…apalagi ini Eun Hee mengutarakan rasa bosannya. Dia mulai berpikir tidak-tidak terutama soal perceraian.

“Kali ini kau harus mendengarkanku, Jong.” Eun Hee menarik Jongin agar pria tersebut kembali duduk di tempatnya semula. Jongin menuruti dengan enggan, setengah meronta pada genggaman tangan kecil Eun Hee.

“Aku ingin pergi berlibur, ke suatu tempat yang nyaman. Mungkin aku akan pergi ke Sisilia atau Nantes. Dua minggu ku rasa cukup. Ibuku sudah mengatur semua keperluanku. Jadi kau tidak peru khawatir.”

“Kita pergi bersama.” Sergah Jongin dengan cepat. “Sisilia, Nantes, atau ujung dunia sekalipun ayo kita pergi bersama.”

“Tidak bisa Jong. Aku ingin pergi seorang diri. Aku rasa aku juga tidak perlu mengkhawatirkan Tae Rin, dia lebih menyukaimu. Lagi pula hanya dua minggu, tidak akan lama. Aku janji.”

Suasana hening mendadak tercipta. Tidak ada lagi teriakan Jongin atau sumpah serapah seperti sebelumnya. Jongin menunduk dalam, ekspresi wajahnya masih tidak terbaca sekalipun sorot matanya jelas mengisyaratkan kekhawatiran sekaligus kesedihan mendalam.

“Apa kau sebosan itu denganku, Kim Eun Hee?” Jongin membuka suara, lirih dan serak. Pria itu mungkin tengah menahan air matanya. “Apakah hidup denganku semengerikan itu? Apa aku seburuk itu sampai-sampai kau merasa bosan?”

“Aku kan sudah bilang hanya perasaan bosan saja, tidak perlu khawatir.”

“Aku mengkhawatirkan banyak hal Eun Hee-ya. Dan kemungkinan kau akan meninggalkanku adalah yang paling menakutkan. Tidak peduli sehari, seminggu atau dua minggu tetap saja kau berusaha membuat jarak di antara kita. Sangat rentan Eun Hee.”

“Oh ayolah Jong…”

“Perasaan manusia sangat rentan, terutama ketika pasanganmu jauh darimu. Akan banyak hal-hal buruk yang bermunculan di otakmu. Hal-hal memuakkan yang sayangnya tidak bisa kau enyahkan hanya karena kau tidak menyukainya.” Jongin bersikeras menjelaskan opininya, berbicara seolah Eun Hee tak baru saja menyergah kata-katanya.

“Kita sudah sering berjauhan Kim Jongin, terutama saat kau harus bergelut dengan perjalanan bisnismu. Kita bahkan pernah berjauhan beberapa bulan, tak saling bicara atau menyapa. Kita pernah melaluinya.”

“Hanya karena kita pernah melaluinya bukan berarti aku menyukainya Kim Eun Hee. Jadi tolong, jangan bosan denganku. Aku tahu aku memang egois, dan aku tidak akan mau mengubah keegoisanku.” Jongin berdiri lalu berlutut sambil memegang kedua tangan Eun Hee. Dia menatap wanitanya dengan serius, dengan tatapan penuh cinta seolah dunia tak berarti apa-apa tanpa Eun Hee. Dia kemudian berbicara, dengan nada selembut beludru dan nyaris membuat Eun Hee linglung. “Jika kau bosan denganku maka aku memaksamu untuk tetap menahannya. Kau harus tetap di sisiku sampai kapanpun. Tidak peduli aku sangat memuakkan, menyebalkan dan membuatmu nyaris gila, kau tidak boleh kemana-mana. Kau harus tetap di sampingku. Jangan pernah berpikir soal perceraian dan semacamnya. Kau mengerti?”

“Apa seumur hidupmu kau selalu seserius ini?” Eun Hee akhirnya kembali berbicara setelah sedari tadi sibuk mencerna kata demi kata yang Jongin ucapkan. Permohonan yang penuh ancaman. Sangat Kim Jongin.

Ne?”

            “Kau tidak tahu apa artinya bercanda?” Eun Hee nyaris tergelak, tapi dia tidak melakukannya begitu melihat ekspresi tegang Jongin.

“Aku tidak peduli kau bercanda atau tidak yang jelas kau harus tetap di sampingku sampai kapanpun.”

“Ya Tuhan aku bisa gila.”

“Aku bahkan tidak peduli jika kau gila. Aku masih akan tetap mencintaimu.”

“Aku ingin pingsan sekarang.”

“Tolong jangan.” Jongin kembali panik, dia sudah kembali berdiri memegang kedua bahu Eun Hee dan mensejajarkan posisi mereka.

“Aku hanya bercanda soal pergi ke Sisilia Kim Jongin. Kau ini sangat serius!” Eun Hee mengacak rambutnya sendiri. Dia merasa sangat frustasi, padahal tadi dia hanya mengatakan candaan soal rasa bosannya pada Jongin. Tapi dasar Kim Jongin yang kaku, sikap terlalu serius pria tersebut malah membuatnya frustasi. Dia harus meninjau ulang renca-rencananya untuk membuat candaan dengan suaminya itu. Jongin bisa semenyebalkan ini bahkan untuk hal sepele.

“Aku ingin menidurimu sampai pagi.”

Mwo?” Eun Hee merasakan jantungnya nyaris merosot ke perut begitu mendengar perubahan topik pembicaraan di antara mereka.

“Kau sendiri yang mengatakan aku tidak bisa bercanda kan? Dan kali ini pun demikian. Aku sangat serius ingin menidurimu sampai pagi. Anggap saja sebagai hukuman karena kau telah mengerjaiku.”

Eun Hee baru akan berteriak untuk menanggapi ide gila Jongin saat bibir tebal pria itu sudah membungkam bibirnya. Dalam hitungan detik mereka terlibat dalam ciuman panas dan sudah bisa ditebak bahwa Jongin akan serius dengan ucapannya soal “meniduri sampai pagi.”

 

 

#2 TeleLOVEela Event - The Truth My Senses Told

$
0
0

The Truth My Senses Told

by Liana D.S.

casts: f(x) Luna (Park Sunyoung) x EXO Chen (Kim Jongdae) // genre: Romance, Fluff // length: Vignette (1,4K+ words) // rating: PG-13 // prompt: “I choose you over everyone.”

Kuingat kau dengan mataku, kuikuti jejakmu dengan pikiranku, selalu ku menyertaimu.

***

Pesta malam ini hanya dihadiri mereka yang tak mempunyai pasangan dan ingin mendapatkan satu. Sunyoung termasuk salah seorang dalam golongan ini, tetapi ternyata ia tidak menikmati pesta sebagaimana harusnya. Ada sesuatu yang kurang dan menyebabkan Sunyoung kesepian di tengah kerumunan orang, apalagi ia datang semata karena ajakan seorang teman yang sekarang sudah bersenang-senang sendiri di lantai dansa. Jengah, Sunyoung beranjak keluar dan memilih untuk mengagumi keindahan bintang-bintang ketimbang dibuat iri oleh berpasang-pasang pria-wanita yang tampak mesra. Siku si gadis bertumpu di atas handrail yang membatasi teras dengan taman belakang Kediaman Jung yang luas. Tidak butuh waktu lama bagi dara berambut lurus sebahu itu untuk kemudian larut dalam lamunan.

Tanpa disadari, seorang pria telah berdiri begitu dekat di belakang Sunyoung. Sepasang tangannya menggenggam handrail sedemikian sehingga Sunyoung terperangkap di antara lengannya. Hangat yang menyebar dari tubuh pria itu tertangkap kuncup-kuncup peraba di punggung Sunyoung—dan barulah si gadis menoleh dengan jantung berdegup kencang.

“Di sini dingin, Sunyoung-ah. Ayo masuk.”

Sunyoung terkesiap kaget saat mendapati wajahnya dan si pria terpisah beberapa sentimeter saja. Segera didorongnya pria itu agar ia memiliki cukup ruang untuk meraup oksigen sebanyak mungkin.

“Pulang sana,” Wajah Sunyoung terasa panas sampai telinga; ia berharap rona malunya tidak kelewat kentara, “Kau salah dress code, tau, Dae.”

Lelaki di samping Sunyoung—Kim Jongdae—tertawa ringan selagi bergeser menjauh, terlihat santai dan sangat kontras dengan Sunyoung yang mendadak tegang. Si pria berdiri menghadap rekan wanitanya, satu lengan disandarkan pada handrail dan bobot tubuhnya ditumpukan pada sebelah kaki.

“Apa boleh buat? Jasku dipinjam Jongin, sih. Aslinya dia yang diundang ke sini dan aku cuma mendampingi, jadilah aku salah kostum.”

Sesungguhnya, Sunyoung tidak terlalu keberatan soal ‘salah kostum’ itu. Dalam balutan kemeja katun biru-hitam dan celana panjang yang keras meneriakkan ‘ini setelan kantor’, Jongdae masih menyuguhkan pemandangan yang luar biasa menyita napas. Jongin adik Jongdae dapat dipastikan menjadi pusat perhatian di dalam, tetapi jika Jongdae sedikit berlama-lama ‘menyusup’ di tengah undangan, ia pasti akan memperoleh fokus setara. Pesona kakak-beradik Kim memang bukan main, parahnya saat ini, seluruh pesona Kim tertua tersaji untuk Sunyoung seorang, tanpa terbagi.

Dan Sunyoung tidak sanggup menangani ketakjubannya sendirian.

Binar mata Jongdae tidak tersembunyi sekalipun pemiliknya mengenakan kacamata. Garis wajahnya pun tegas dan sempurna, dibentuk tulang pipi tinggi dan kokohnya rahang, bisa tampak mengintimidasi jika saja kurva manis di bibir Jongdae jarang tersungging. Ya, lengkung unik nan lucu itu, yang sudut-sudutnya naik lebih tinggi dari kebanyakan orang, senantiasa berhasil mencerahkan hari siapa saja yang melihat. Tak berhenti sampai sini, cara Jongdae berpakaian memberi kesan bidang pada tubuh atasnya… dan Sunyoung setengah mati mengenyahkan pikiran untuk melemparkan diri ke sana. Memangnya Sunyoung siapa? Layakkah dia menerima hadiah sehebat itu? Membayangkan tubuh mungilnya diselimuti cinta oleh Jongdae membuat Sunyoung menggigil—tidak, tidak, surga itu amat jauh dari jangkauan Sunyoung. Amat jauh. Bukankah Sunyoung sebatas sahabat akrab Jongdae yang kubikelnya bertetangga di kantor? Selesai, tamat, titik, dan Sunyoung melenyapkan harapan-harapannya sebelum tumbuh lebih subur.

“Terus kau tidak berniat pulang?”

“Tadinya, tapi ada seorang gadis yang terabaikan di pesta dan aku ingin menolong.”

“Sialan.”

Sekali lagi Jongdae terkekeh dan Sunyoung memejam sejenak, meresapi momen singkat ketika keriangan si pria memenuhi rungunya. Layaknya bangun ruang, suara Jongdae memiliki berbagai sisi: ada kalanya ia terdengar begitu lembut, atau getir menahan pedih, tetapi beruntung, yang sekarang mengemuka adalah keceriaan tanpa pretensi, mirip tawa anak-anak. Bedanya, ada pondasi yang lebih jantan menyusun tawa itu, juga dinding pengendalian diri yang membatasi tawanya agar tidak berlebihan.

Merdu.

Dan memancing rasa rindu.

“Musiknya berganti,” Jongdae menoleh sekilas ke lantai dansa sebelum berbalik pada Sunyoung, “Yakin tidak mau menari? Jelek-jelek begini, aku juga belajar langkah dansa dari Jongin, kok.”

Bukan tawaran yang buruk. Sunyoung memang belum berdansa sejak menginjakkan kaki ke Kediaman Jung…

…tapi tunggu.

Mana bisa Sunyoung berdansa dengan Jongdae jika itu berarti mengizinkan Jongdae memasuki wilayah pribadinya? Berdansa memaksa pria dan wanita berada pada proksimiti yang agak keterlaluan… sedangkan ini Jongdae! Dari kejauhan saja, kemunculan pria itu membuat jantung Sunyoung melompat kegirangan sampai kadang-kadang salto. Jujur, sebelum pesta malam ini, Jongdae dan Sunyoung tak pernah saling ‘menginvasi’; sekalinya Jongdae ‘menyerang’ seperti tadi saat baru datang, kaki Sunyoung langsung lemas rasanya.

“Boleh.”

Percuma.

Refleks Sunyoung mengkhianati pergolakan batinnya.

Bodoh, Park Sunyoung! Kenapa kau terima ajakannya?!, Si gadis mengumpat-umpat dalam hati, tetapi terlambat untuk menghindar. Jongdae telah meraih tangannya, tersenyum mengundang, dan merendahkan tubuhnya sopan.

“Jadi, boleh aku berdansa dengan Nona?”

Rasa geli akibat sikap sok gentleman Jongdae berpadu ganjil dengan kepakan sayap kupu-kupu di perut Sunyoung. Sedikit konyol memang melihat Jongdae seperti ini, walaupun di sisi lain, sikap itu sungguh melambungkan Sunyoung sebagai ‘gadis yang tak dilirik’. Jongdae membuat Sunyoung merasa diinginkan dan itu merupakan sebuah kehormatan besar, sehingga tak ayal lagi, Sunyoung mengangguk sembari melangkah maju.

Debar antisipasi memenuhi Sunyoung saat Jongdae menyusuri pinggang rampingnya. Tangan itu seakan menemukan tempat yang tepat dan dengan hati-hati, kedua lengan tersebut merapat, membawa Sunyoung mendekat. Sunyoung sendiri berpegang pada bahu Jongdae sebelum dengan ragu-ragu mengalungkan lengannya ke leher Jongdae. Wangi cologne dan sabun di situ tercium sangat baru, jelas menunjukkan bahwa dia ke sini bukan sekadar ‘mengantar’ Jongin, tetapi Sunyoung tidak berani menebak alasan di balik itu. Dibiarkannya Jongdae memimpin langkah, diam-diam berdoa supaya dansa ini menjadi lebih panjang dari semestinya.

“Sebelumku, dengan siapa kau berdansa?” Tiba-tiba Jongdae bertanya. Sunyoung menjawab dengan gelengan lambat.

“Aku ‘kan gadis yang terabaikan.”

Biarpun mengatakannya untuk bercanda, Sunyoung sebenarnya sedang mengaku minder berada pada kesempatan semacam ini. Sulit baginya menggaet satu lelaki dalam semalam seperti kebanyakan gadis, apalagi jika kesan pertama si lelaki sudah jatuh di matanya. Teman Sunyoung yang mengajaknya ke pesta ini bermaksud baik, sayang eksekusi rencananya keliru… dan Sunyoung jadi berakhir menyedihkan di keramaian ruang pesta.

Memahami hal itu, sebelah telapak tangan Jongdae terangkat, membelai pipi pualam Sunyoung.

“Tapi kamu sebenarnya tidak terabaikan, Sunyoung-ah. Kamu cantik dan aku peduli padamu.”

Deg!

“A-apa-apaan?” Buru-buru Sunyoung menunduk; sekujur tubuhnya serasa kesemutan, “Jangan bicara macam-macam, ah. Aneh mendengarnya.”

“Kenapa? Karena aku sahabatmu yang hobi bergurau?” Jongdae membenamkan dirinya ke belantara rambut hitam Sunyoung, “Padahal tadi itu aku tulus mengucapkannya.”

Sensasi menggelitik di kulit kepala Sunyoung begitu akut hingga ia harus menghela napas dalam, berjuang untuk tidak tampak kewalahan. Alhasil, cologne tipis Jongdae yang amat menggoda itu terhirup makin banyak. Cuma Sunyoung yang Jongdae beri akses seluas sekarang, seakan Jongdae memang bersiap sedemikian rupa ke pesta ini buat memenangkan hatinya. Ya Tuhan. Lidah Sunyoung kelu dan kata yang ia susun dalam kepala terucap sebagai patahan-patahan kacau.

“Aku… Kalau begitu… Eum… Te-terima kasih…”

“Jangan berterima kasih. Aku cuma menyampaikan fakta karena setelah sekian lama mempelajari dirimu, aku tidak menemukan satu sisi pun darimu yang tidak cantik.”

Ibu jari Jongdae mengusap bawah bibir Sunyoung, sementara telunjuknya menggerakkan dagu ke atas hingga Sunyoung tengadah. Jongdae memiringkan kepalanya sedikit, jarak antara mereka kian tipis, dan suhu udara meningkat tak wajar. Tekanan lengan Jongdae pada pinggang Sunyoung menguat; si gadis ujungnya memahami ke mana ini semua mengarah.

Keduanya menutup mata bersamaan.

Selanjutnya yang terasa hanyalah lumatan panjang dan lembut di bibir masing-masing. Perlahan tapi pasti, mereka berdua sama-sama membuka diri untuk saling merasakan. Sejuk peppermint yang mencampuri manis stroberi dari lipstiknya membenarkan hipotesis Sunyoung bahwa Jongdae hadir di sini sengaja ingin menemuinya (dan, barangkali, menciumnya), bukan asal menemani adik lalu pulang lagi, bukan juga menghampirinya karena bosan pada kecantikan gadis-gadis di lantai dansa, apalagi datang cuma untuk menyelamatkan Sunyoung dari kemuraman. ‘Mengantar Jongin’ dan ‘salah dress code’ dijadikan kedok supaya ia bisa bebas menemui sosok jelita yang tengah merindu di teras Keluarga Jung…

Astaga, Jongdae mencintaiku.

…dan pesan yang hendak Jongdae sampaikan pada Sunyoung dibaca dengan sangat baik.

Ketika ciuman itu diakhiri, Sunyoung dan Jongdae mengunci tatapan pada satu sama lain seraya mengatur napas. Desah lega, damai, dan bahagia yang disusul tawa kecil kemudian meluncur lepas dari Jongdae.

“Aku tak mengira bercumbu dengan sahabatku sendiri akan terasa sebegini dahsyat.”

Untuk pertama kalinya, pada wajah Jongdae Sunyoung jumpai semu merah serupa miliknya.

“Kenapa harus mencium sahabatmu jika kau cukup tampan untuk mencari seorang kekasih? Lagipula, dari sekian banyak sahabat perempuanmu, mengapa aku yang memperoleh perlakuan istimewa ini?”

Jongdae merangkum wajah Sunyoung dan bertanya balik.

“Menurutmu, pria yang jatuh cinta menetapkan kriteria khusus dalam memilih?”

Tidak, tentu saja tidak. Pertanyaan retoris itu cukup melelehkan Sunyoung seperti cokelat masak di atas panci panas. Dirangkulnya Jongdae demi menyalurkan buncah menyenangkan dalam dada sekaligus menyangga tubuhnya yang mulai lunglai… dan reaksi Jongdae bagus sekali. Ia mengeratkan dekapan, mengamankan posisi si gadis dalam rengkuhnya, lalu membelai kepala Sunyoung yang bersandar pada ceruk lehernya. Tidak ada lagi kata ditukar setelah itu; kelima indera, enam jika jiwa ikut dihitung, lebih lihai meneruskan segala sensasi dibanding aksara.

Musik tidak lagi mengalun dari lantai dansa, tetapi Sunyoung dan Jongdae masih enggan melepaskan satu sama lain.

Bersama dengan usainya pesta, sebuah ikatan baru bersemi indah di bawah bintang.

TAMAT

My Answer Is.. You Chapter 12

$
0
0

maiy12

Author : lightmover0488
Cast : Kim Jongin, Kim Kyura (OC), Luhan
Support Cast : Chanbaek, Kim Jongdae, Oh Sehun
Genre : Comedy, Romance, Fluff, School Life, Pg15, Family, Friendship
Disclaimer : Copyright by lightmover0488

prev 1  2  3  4  5  6  7  8  9  10  11

===

+ My Answer Is.. You 12 +

:: Enjoy ::

 

.

Jongin berjalan dengan sangat tergesa-gesa keluar dari gerbang Soojung seperti sekolahnya itu akan meledak sebentar lagi, menilik jam ponselnya yang sudah menunjukkan pukul 20.15 KST. Dan semakin mempercepat langkah kedua kakinya. Hiss, kenapa juga tugas piketnya harus hari ini? Mengingat hal itu benar-benar membuatnya sangat kesal.
Pagi hari tadi, Jongin merasakan sekolahnya sangatlah aman dan tentram seperti biasanya. Tanpa desas desus aneh seputar dirinya–yeah mungkin hanya beberapa pandangan para gadis yang selalu menatapnya kemanapun dia pergi. Namun entah kapan tepatnya hal itu berubah. Setelah jam pulang sekolah Jongin harus mengikuti kelas tambahan sampai malam, dan dia baru mendengar jika Soojung gempar lantaran Siswa Yeonwoo sudah mengetahui gadis yang sedang dipeluknya di foto adalah Kim Kyura?
Woh, Jongin rasa dia ingin sekali langsung berteleportasi ke samping tubuh Kyura sekarang juga. Entah apa yang terjadi pada gadis itu dengan terkuaknya rahasia ini. Pikiran Jongin kacau balau, selama kelas tambahan berlangsung saja dia sampai mendapat hardikan keras beberapa kali dari Guru Lee karena terus saja gelisah dan membuat siswa lain tidak nyaman. Yang jelas, saat ini dia hanya ingin bertemu Kyura. Melihat dan memastikan keadaannya baik-baik saja.
“Jongin-ah, kau mau kemana?” Tiba – tiba suara Yebin mengagetkan Jongin yang sudah hampir sampai gerbang sekolahnya. Dilihatnya Yebin yang baru keluar dari ruang olahraga berjalan ke arahnya.
“Aku mau ke Yeonwoo,”
“Apakah kau akan bertemu gadis yang dulu aku lihat di Lotte bersama Luhan?”
Jongin lalu mengangguk.
“Apakah dia ada hubunganya dengan Kau yang keluar dari agency?” Yebin baru tau tadi sore tentang foto Jongin yang sedang berpelukan dengan seorang gadis. Mungkin saja gadis itu sangat tidak menyukai Jongin menari dan menyuruhnya berhenti, kan? Yang dia tidak mengerti, kenapa Jongin sampai merelakan mimpinya begitu saja? Demi apa? Apakah Jongin tidak tau bahwa dirinya saja ingin sekali memasuki agency itu.
“Kenapa kau bertanya seperti itu? Aku keluar karena aku ingin fokus dengan study–”
Agency mengijinkanmu tidak terlalu terfokus pada kegiatan trinee sampai kau lulus SMA, Jongin-ah. Kau pikir aku tidak tau? Lantas kenapa kau keluar?”
“Yebin-ah, Ayahku tidak mengijinkanku. Bukankah aku sudah pernah bercerita padamu dulu?”
“Oh, begitu? Kau bilang akan mengundurkan diri saat kelulusan. Kenapa? Apakah karena gadis itu?”
“Yebin-ah.. kenapa kau seperti ini?”
“Karena aku menyukaimu,”
Jongin mematung, otaknya tiba – tiba saja seperti sedang cidera. Tidak bisa berpikir. Kenapa disaat sulit seperti ini Yebin mendatanginya dengan pernyataannya yang membuat Jongin semakin pusing saja?
“Yebin-ah, maafkan aku.. tapi–aku, maksudku aku kira kau hanya menganggapku sebagai temanmu..”
“Tentu saja kau adalah temanku, teman yang sangat spesial, karena itu aku sangat menyukaimu ,Jongin-ah. Ah.. kenapa aku sangat menyukai saat – saat kita bersama dulu,” Yebin memutar bola matanya menghindari mata Jongin yang membuatnya semakin gugup sekaligus malu. Mungkin dirinya sama seperti gadis – gadis yang mengejar Jongin namun Yebin merasa berada di level yang lebih tinggi dari gadis – gadis itu, Dia mengenal cukup baik diri Jongin selama setahun penuh dan perasaan sukanya tumbuh begitu saja pada Jongin dan itu tidak bisa dikatakan hanya sekedar fangirl saja bukan?
“Yebin-ah.. aku sungguh minta maaf tapi aku harus pergi sekarang,” Jongin menepuk pelan lengan Yebin berniat kabur dari sana karena tidak bisa menanggapi pernyataan gadis itu. Lagipula tujuannya buru – buru kan tidak lain dan tidak bukan untuk melihat keadaan Kyura.

 

+ My Answer Is… You 12 +

 

“Kyura-ya.. Coba aku liat dulu eo. Nanti jika infeksi bagaimana?” Luhan terus saja berjalan di belakang Kyura di koridor sekolah lantai 2 gedung para siswa kelas 3 yang sudah gelap karena kelas tambahan sudah selesai sekitar setengah jam yang lalu. Kyura yang sangat tidak menyangka hidupnya akan menjadi seperti ini hanya membungkam mulutnya rapat – rapat. Selesai sekolah tadi beberapa siswa kelas 2 mengeroyoknya di belakang ruang konseling yang sudah terkenal dengan keangkerannya. Tanpa bisa meminta pertolongan pada Daena maupun Cheonsa karena kedua temannua itu sedang menghadap wali kelas mereka, Kyura terpaksa menghadapi gadis – gadis itu sendirian. Seperti dugaannya sebelumnya, sekolah menjadi sesuatu yang sangat menakutkan ketika semua orang tahu kebenaran tentang dirinya dan Jongin. Dan entah bagaimana sekarang Luhan terus saja memaksanya untuk membuka jas sekolahnya seolah dia tahu kejadian mengerikan itu. Memikirkanya saja membuat bulu kuduk Kyura kembali meremang.
“Aku sudah bilang aku tidak terluka,” Kata Kyura yang langsung menggema di seluruh koridor lantai 2 itu, “Kau pulanglah,”
Luhan hanya bisa mendengus keras, walaupun dia tidak tau pasti kenapa Kyura seperti itu namun dia mengira ini ada hubungannya dengan berita tersebarnya nama gadis yang berada di foto sedang berpelukan dengan Jongin. “Sepanjang kelas tambahan tadi kau terus memegangi lengan kirimu. Kau pasti terluka kan? Bagaimana kau bisa terluka? Kenapa? Atau.. Siapa yang melukaimu?”

Kyura membisu. Ia benar-benar tidak habis pikir bagaimana bisa laki-laki yang sejak tadi mengekorinya itu bisa membaca situasi dengan begitu cepat dan tepat. Ia juga tidak bisa menemukan jawaban yang tepat untuk pertanyaan-pertanyan Luhan yang sungguh diluar prediksinya. Jika Luhan bisa membaca situasi sampai sejauh itu, bukannya tidak mungkin kan kalau dia sudah tau alasan Kyura terluka? Jadi, mencari-cari alasan sudah tidak ada gunanya lagi sekarang.

“Kyura-ya.. Kau harus menjauh dari Jongin jika tidak mau terus – terusan diganggu seperti ini,” Luhan berkata saat mereka berdua sudah berada di lantai dasar hendak menuju pintu gerbang, “Semua ini karena dia kau jadi seperti ini. Dan apakah Dia memperdulikanmu?”
Kyura menghentikan langkah kakinya lalu menoleh pada Luhan dengan wajah sangat lelah. Tepat seperti dugaannya, Luhan tahu penyebabnya.
“Dia menghilang. Dan semua pihak memojokkanmu,” Lanjut Luhan saat Kyura hanya memandanginya dalam diam
“Tapi, Aku.. menyukainya,” Kyura berkata hampir tak terdengar oleh Luhan, apalagi oleh Jongin yang berdiri tak jauh dari keduanya. Laki – laki yang masih berseragam lengkap itu tertegun di tengah – tengah pintu masuk Yeonwoo yang hanya diterangi beberapa lampu yang menyala.
“Aku akan seperti ini terus sampai beritanya terlupakan dari sekolah, Kyura-ya..” Ujar Luhan lagi seolah – olah tidak mendengar pernyataan Kyura barusan
“Kau selalu saja berkata ‘seperti ini’ ‘seperti ini’–” Kyura yang sepertinya tersadar sesuatu lantas mendongak menatap mata Luhan. Kali ini lebih lekat dari pada sebelumnya, “Seperti ini?”
Luhan mengangguk lalu tiba – tiba saja melepaskan tas gendong Kyura sekaligus jas seragamnya. Kejadiannya begitu cepat sampai – sampai Kyura tidak sanggup mencegah tangan Luhan. Dan dia baru menyadarinya sekarang, bahwa maksud Luhan adalah dia akan selalu menjaga dan memperhatikan Kyura seperti ini?
Sementara di sisi lain, Jongin lagi – lagi seperti melakukan dejavu. Dia sedang marah pada dirinya sendiri yang tidak bisa melakukan sesuatu. Sesuatu untuk mencegah perbuatan Luhan ataupun sesuatu untuk melindungi Kyura. Dia hanya bisa mematung di tempatnya berdiri, seperti terpatri di tanah saat Luhan kini menggulung lengan kemeja putih Kyura.
“Aku sudah tau kau pasti terluka, mungkin kau bisa menyembunyikannya dari Daena dan Cheonsa tapi aku tidak bisa. Kau tidak bisa menyembunyikannya dariku,”
Luhan menarik Kyura agar duduk di sebuah bangku dekat dengan mereka berdiri namun mata Kyura menangkap bayangan lain dari sudut matanya. Gadis itu tentu saja langsung tercengang, dia tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Jongin sedang berdiri disana dengan mata kelamnya yang sedang menatap kearahnya dan Luhan. Hatinya tiba-tiba merasakan desir yang aneh hanya dengan memandang tatap mata itu. Agak menyakitkan, tapi jenis rasa sakit ini adalah sakit yang terasa menyenangkan(?) Ah, entahlah, bahkan Kyura sendiri tidak bisa menggambarkan apa yang sedang ia rasakan.
“Oh, jadi kau baru muncul setelah semuanya sudah terjadi pada Kyura?” Luhan berkata dengan masih menggenggam pergelangan tangan Kyura, tentu saja dia tidak menyangka tiba – tiba saja Jongin muncul di hadapannya dan Kyura jam segini.
“Luhan-ah..” Kyura berusaha melepaskan pegangan tangan Luhan saat Jongin mulai berjalan kearahnya, “Sudahlah, lagipula aku tidak apa – apa..”
“Ayo pulang,” Hanya itu yang keluar dari bibir Jongin saat laki – laki itu sudah berdiri di samping tubuh Kyura membuat Luhan segera tersenyum miring mengejek. Tentu saja dia tidak menerima perkataan Jongin barusan. Memangnya dia siapa sampai berkata seenaknya pada Kyura.
Jogiyo..” Luhan mendorong dada Jongin agar menjauh sementara Kyura sedang menunduk sambil menghela nafas lelah. Dia sedang menata perasaannya pada Jongin yang sekarang menjadi tidak menentu. Jujur saja tadi saat melihat wajah Jongin setelah beberapa hari tidak terlihat sungguh membuatnya sangat lega sekaligus senang. Namun saat teringat perkataan Luhan tadi, dia rasa memang Jongin lah orang yang pantas disalahkan dalam hal ini. Bukankah memang sejak beberapa hari ini Kyura sedang menjauh dari Jongin?
Ah, Kyura rasa dia sudah menajadi gadis yang munafik. Kenapa keadaan ini mengharuskannya untuk menjadi seorang yang sangat labil seperti ini?

“Kim Kyura!”

Tiba – tiba terdengar suara lain dari belakang punggung Jongin, dan Kyura rasa dia seperti bertemu dengan malaikat penolong. Kim Jongdae yang tak lain adalah kakaknya sendiri sedang keluar dari mobilnya, “Apa yang kau lakukan! Ini sudah melewati jam pulang sekolahmu,”
Kyura sontak merebut begitu saja jas beserta tasnya yang masih berada di genggaman Luhan lalu berlari melewati tubuh Jongin tanpa menatapnya. Walaupun merasa bersalah tapi Kyura benar – benar tidak tau apa yang sebaiknya dia lakukan. Hatinya benar – benar kacau sekarang.

 

+ My Answer Is… You 12 +

 

Jongdae yang sedari tadi hanya bergantian memperhatikan jalanan dan Kyura merasa sangat aneh. Kenapa? Karena Adiknya seperti sedang terkena gangguan jiwa. Selama ini bahkan jika sedang sakit parah pun Kyura akan mengoceh sampai telinga Jongdae rasanya hampir tuli. Tapi kenapa Kyura berlaku seperti ini? Membuatnya takut saja.
Jongdae lalu menilik Adiknya dari atas hingga bawah saat terjebak lampu merah. Jongdae rasa penampilan Kyura normal – normal saja, hanya wajahnya yang datar sedang menatap ke depan dengan pandangan kosong. Dan Jongdae menyimpulkan Adiknya sedang tidak baik – baik saja, “Ya!”
Tangan Jongdae meremas lengan Kiri Kyura membuat gadis itu sontak mengaduh kesakitan, “Aaaww Oppa! APA YANG KAU LAKUKAN ISHH!!”
Jongdae sontak bernafas lega karena ternyata adiknya memang masih dalam keadaan normal. Lihat saja seruan serta umpatan yang di layangkan pada Jongdae barusan.
“Kau kenapa?” Tanya Jongdae yang tangannya masih bertengger di lengan kiri Kyura
Oppa-Lepaskan-tanganmu!”
Jongdae langsung melepaskan tangannya kemudian hendak menarik lengan kemejanya namun Kyura malah menonyor jidat Jongdae secara bar – bar agar menjauh darinya.
“Awas saja kau jika sudah sampai rumah!” Jongdae berkata sebal karena lampu lalu lintas sudah berubah warna menjadi hijau.
+

 

“Ah andwae. Di rumah sudah ada Ibu dan Ayah. Dan pastinya mereka akan membelamu jika saja kau merengek dan aku tidak akan bisa masuk ke kamarmu,” Tak beberapa saat Jongdae tiba – tiba saja menepikan mobilnya saat perjalannyanya masih setengah jalan.
“Kau berkata apa!?”
“Terjadi sesuatu di sekolah kan?”
Ani,” Wajah Kyura berubah gusar dengan pandangan mata yang selalu menghindari tatapan mata Kakaknya
“Pasti terjadi sesuatu,” Jongdae menarik tangan kiri Kyura namun adiknya benar – benar gadis yang super ganas. Kini kedua kaki Kyura terangkat lalu menahan tubuh Jongdae agar tidak mendekat.
Aish! Kau benar – benar keras kepala!” Jongdae berhasil mencengkram kembali lengan Kiri kyura yang langsung membuat Gadis itu memekik kesakitan lalu memepetkan diri ke pintu mobil.
“Buka,” Perintah Jongdae masih memeganginya tanpa menekan lengan Kyura yang sekarang bermuka menderita, matanya pun sudah berkaca – kaca dan Jongdae sangat benar akan hal ini. Jika saja dia mengintrogasi Kyura di rumah, adiknya itu pasti akan mengadu pada Ibunya dan Jongdae tidak akan bisa memasuki kamar Kyura sampai besok pagi.
“Masalah apa yang kau lakukan di sekolah huh!?” Jongdae terkejut saat Kyura sudah menggelung lengan kemejanya dengan patuh seperti yang diperintahkan Jongdae. Disana terdapat luka lebam yang cukup besar dan benar – benar mengerikan menurut Jongdae.
Bukannya menjawab Kyura yang kini menekuk kedua lututnya di depan dada menatap Jongdae dengan pandangan yang kian memburam, “Aku takut,”
“Hah?” Jongdae pun seperti tersiram air es, setelah bertahun – tahun lamanya tidak melihat Adiknya menangis kini Jongdae melihat sosok lemah Kyura di hadapannya. Bahkan kini Gadis kecilnya yang sangat disayangi Jongdae terisak sangat keras sambil memeluk tubuh mungilnya.
“Kyura-ya..” Jongdae melepaskan seat beltnya lalu menarik Kyura ke dalam pelukannya karena sejak tadi ternyata Kyura tidak memasang sabuk pengamannya.
“Kalau tidak salah tadi ada Jongin dan Luhan, apakah ini ada hubungannya dengan mereka?”
Kyura menggelengkan kepalanya dengan masih sesegukkan. Dia tidak tau kenapa dia menjadi sangat sensitif padahal dia bukan tipe orang yang gampang tersentuh atau semacamnya. Entah apa yang membuatnya menangis seperti ini. Tapi yang jelas, dia sangat takut berangkat ke sekolah besok.
“Aku–hanya terjatuh tadi,”
“Ceritakan padaku,”
Jongdae sama sekali tidak percaya dengan perkataan Kyura.
Oppa, jangan bilang pada Ayah dan Ibu soal luka ini. Kita mampir saja ke apotik karena besok ada jadwal olahraga,” Kyura mengganti topik lalu semakin memendamkan kepalanya pada dada Jongdae sambil mengelusi lengannya. Tiba – tiba tergambar wajah Jongin yang berkata ‘Ayo pulang’ padanya tadi.
“Lalu apa yang dilakukan Jongin dan Luhan sekarang disana?” Tanya Jongdae namun Kyura masih sibuk memikirkan Jongin sampai tidak mendengar kata – kata Jongdae.
“Aku pikir ada sesuatu yang aneh diantara kalian. Kyura-ya, apakah ada yang mengganggumu di sekolah?” Jongdae bertanya setelah beberapa menit tidak ditanggapi oleh Kyura.

 

lalu Hening

 

“Ya bagaimana bisa ini terjadi padamu, bahkan kau bisa menyerangku kapanpun dengan kekuatan supermu. Kenapa kau tidak berani melawan orang – orang yang mengganggumu?” Jongdae menepuk – nepuk punggung Kyura karena mungkin saja adiknya sudah tertidur, “Aigo, Urusan anak ABG memang sangat rumit. Kau seharuanya menyelesaikannya dengan gagah berani, Adik kecil..”

 

+ My Answer Is… You 12 +

 

Kyura menuruni tangga rumahnya dengan sedikit terburu – buru karena dia bangun kesiangan tadi. Seragam sekolahnya sudah rapi menghiasi tubuhnya dengan jasnya yang ia sampirkan di pundak. Dan dia berani bertaruh anggota keluarganya yang lain sudah tidak berada di rumah ini. Kyura melihat meja makan yang tertutupi sesuatu, mungkin Ibu sudah menyiapkan sarapan untuknya. Tapi sebenarnya dia sangat malas untuk sarapan. Kejadian semalam membuat nafsu makannya sepertinya menurun drastis.
Tapi ketika membuka tutup sajinya, di samping sarapannya dan sebuah bungkusan kecil, Kyura melihat ada selembar Memo yang tersobek tidak beraturan disana. Pasti itu buah karya Kakaknya yang tidak pernah rapi dalam membuat apapun.
‘Oi, minum dulu obatmu. Walaupun semalam sudah aku oleskan salep tapi kau harus meminum obatnya. Dan jangan lupa sarapanmu,’

 

“Oh, Cheonsa-ya..” Sesaat setelah Kyura selesai membaca pesan dari Jongdae, Cheonsa meneleponnya, “Aku sudah mau berangkat,”
“…”
“Ah, Sehun sudah disana? Gwenchana, Aku bisa naik bus sendiri..”
“…”
Keurae, sampai bertemu di kelas,”

Pip

Kyura memasukkan ponselnya ke dalam tas lalu membuka bungkus obatnya dengan malas. Dia tidak ingin pergi ke sekolah sebenarnya. Tapi Kyura sadar bahwa dirinya sudah memasuki tahun terakhir sekolahnya dan nilai absensinya tidak boleh berkurang walaupun hanya 1% saja.
Dengan energi yang seperti terkuras begitu saja, Kyura berjalan menuju pintu depan. Alangkah baiknya jika Sehun tidak berangkat duluan tadi dan bisa menemaninya sampai ke kelas. Ya ampun, Kenapa semuanya menjadi menakutkan seperti ini? Padahal selama 16 jam dihabiskan Kyura di lingkungan sekolah.
Omo!”
Kyura memekik kaget setelah dirinya membuka pintu gerbang rumahnya. Siapa yang tidak jantungan jika melihat wajah seorang Kim Jongin terpapar di hadapannya dengan tatapan mata yang sangat tajam. Dengan reflek Kyura memundurkan tubuhnya ke belakang seraya memegangi dadanya, “Ah.. ya Tuhan. Kau mengagetkanku!”
Tangan kanan Jongin lalu mendorong bahu Kyura ke belakang lalu menutup gerbangnya.
“Apa yang kau lakukan? Aku sudah terlambat,” Protes Kyura pada jongin yang masih menatapnya dengan datar. Dan gadis itu baru sadar ada beberapa luka di wajahnya yang tampan, “Ya.. wajahmu..”
“Apakah lukamu sudah sembuh?” Tanya Jongin membuat Kyura bersiap memakai jas sekolahnya yang masih ia sampirkan di pundak.
Omo jongin-ah, apa yang kau maksud dengan lukaku.. Aku tidak terluka–” Kyura tertawa garing namun kemudian memundurkan tubuhnya lagi sampai kakinya menabrak pot bunga karena Jongin melangkah maju dengan sangat menyeramkan menurut Kyura.
“Ayo kita membolos hari ini,”
“Eh?”
Jongin menarik tangan Kyura lalu dibawanya ke depan pintu utama rumah Keluarga Kim yang cukup besar itu, “Ya, Apakah kau sudah gila?!” Kyura mengayunkan tangannya hingga terlepas lalu melengos pergi dari sebelah Jongin namun Laki – laki yang juga sudah memakai seragam rapi itu menahan langkah Kyura menggunakan kaki panjangnya.
“Ada yang ingin aku katakan,”
“Kau bisa mengatakannya sepulang sekolah,” Kyura menatap ke arah lain asalkan tidak bertemu tatap dengan mata Jongin, “Jongin-ah, aku harus sekolah!”
“Bukankah kau terluka?”
Kyura mendongak pelan seperti robot demi bisa menatap Jongin lalu berkata pelan, “Sudah sembuh. Semalam Jongdae Oppa sudah menyembuhkannya,” Kyura menggerakkan sedikit sekali lengan kirinya lalu tersenyum, “Lets go,”
Kemudian mengedikkan dagunya mengkode Jongin agar mau pergi dari sini tapi Laki – laki itu sungguh di luar perkiraan. Dia kini membalikkan tubuh Kyura dan langsung menggeledah tas berwarna putih gadis itu dengan sangat rusuh, “Kim Jongin–”
Kyura segera menganga saat Jongin memamerkan sebuah kartu seperti kartu kredit yang di ketahui Jongin sebagai kunci rumah Kyura. Dengan sekali gesek di sebelah kenop pintu, Tangan Jongin langsung menarik Kyura agar masuk kembali ke rumahnya sendiri. Dulu Jongin sempat bertanya pada Ibu Kyura tentang kunci itu saat mengantarkannya pulang.
“Kau tidak boleh menyembunyikan semuanya sendirian,” Jongin langsung saja memepet Kyura ke tembok terdekat, “Jika sakit bilang saja sakit dan jika ada yang menyakitimu bilang saja kau membutuhkan bantuan. Apa susahnya menceritakannya pada teman – temanmu!? Membuatku merasa bersalah saja!”
Kyura sontak menahan nafasnya, indra pendengarannya tiba – tiba saja menjadi begitu sangat tajam membuat suara Jongin benar – benar seperti menghujam sampai ke dalam hatinya. Dia hanya mampu terdiam dengan kedua tangannya yang terkulai di samping tubuhnya. Kepalanya masih mendongak menatap wajah Jongin yang datar – datar saja.
“Jo–jongin-ah..” Kyura mendorong dada Jongin lalu mengambil nafas pelan – pelan, “Aku.. tidak apa – apa–”
“Kau pikir aku tidak kuatir padamu!” Suara Jongin naik 1 oktaf lalu memepet Kyura lagi ke tembok
“Jika kau kuatir padaku lebih baik kau menjauhiku, Jongin-ah..” Kali ini Kyura benar mendorong Jongin sampai pintu, “Kau pasti paham semua gadis mengejarku adalah karenamu kan?” Kyura membuka pintu rumahnya lalu mendorong Jongin keluar kemudian menutupnya kembali.

“Ah jinjja, kenapa aku berkata seperti itu padanya?” Kyura menggumam setelah mengusir Jongin dari rumahnya, padahal dia sangat merindukan laki – laki itu, “Ya tuhan kenapa aku munafik sekali sekarang? Aigo bagaimana ini?” Kyura berjalan ke dalam sambil memegangi kepalanya, lebih baik dirinya beristirahat saja di rumah sehari ini saja.

 

Cklek

 

Kyura menoleh lagi ke belakang sebelum dia mencapai sofa ruang tengah. Dan dia sontak mendengus saat disana kepala Jongin menyembul dari balik pintu rumahnya.
“Kemarikan kuncinya,” Kyura berjalan lagi menuju pintu dengan menegadahkan telapak tangannya meminta kunci rumahnya, dia lupa jika Jongin masih memegang kunci rumahnya sedari tadi.
“Aku akan mengembalikannya setelah kita bicara,” Kata Jongin seraya mengangkat kuncinya tinggi – tinggi
“Jongin-ah, aku mohon jangan seperti ini–aaaww–” Kyura yang tadinya menggapai kuncinya menggunakan tangan Kanan langsung berseru heboh saat dirinya tidak sengaja mengangkat juga tangan kirinya.
“Ya! Kau kenapa!?” Jongin langsung memusatkan perhatiannya pada Kyura yang sedang menggulung kemejanya seraya berjalan menjauhi Jongin.
“Ah oppa! Aku pikir lenganku sudah sembuh total, kenapa masih sakit begini!?” Kyura menggerutu sendiri dengan masih sibuk melihat – lihat lukanya yang benar – benar masih membiru. Dia pikir Jongdae sudah memberikan salep semalam dan akan segera sembuh pagi ini.
“Kyura-ya,” Jongin benar – benar masih shock berat, dia pun berlarian ke dalam rumah lalu menjejeri Kyura yang sedang duduk di sofa, “Ya! Apa yang mereka lakukan padamu?!” Mata Jongin melebar sempurna saat luka Kyura terlihat sedikit oleh matanya, lalu ikut mengkeataskan lengan kemeja Kyura dengan hati – hati.
“Apakah aku harus mengoleskannya lagi?” Tanya Kyura pada dirinya sendiri tanpa memperdulikan Jongin
“Ya!” Jongin sebal karena diabaikan
WAEE!”
Jongin tidak menyangka tanggapan Kyura akan seperti ini, dia pun melepaskan tas gendongnya lalu ia letakkan di lantai saat Kyura kini sedang mencari sesuatu di sebuah lemari dekat sofa.
Di tempatnya, Jongin segera mengeluarkan ponselnya lalu memberikan Chanyeol pesan untuk menanyakan obat untuk menyembuhkan luka Kyura. Namun 3 menit kemudian Jongin sontak melemparkan ponselnya ke meja dengan keras saat Chanyeol membalasnya dengan hanya 4 kata, ‘Bel masuk sudah berbunyi’.
Kyura yang tidak sengaja melihat Jongin seperti itu langsung menelengkan kepalanya, “Kau kenapa?”
“Oh?” Jongin menoleh pada Kyura dengan kikuk karena tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu, “Bagaimana kalau kita ke rumah sakit saja?”
Heol,” Kyura rasa Jongin sangat berlebihan, “Kata Jongdae Oppa salep ini sangat mujarab,” Gadis itu kembali ke samping Jongin membawa salep yang sempat Jongdae katakan tadi pagi saat dirinya sedang mandi.
“Sini aku oleskan,” Jongin merebut salep yang hendak dibuka oleh Kyura
“Tidak usah, biar aku saja,” Kyura merebutnya kembali
Aish! Kemarikan! Biar aku saja!” Jongin berpindah posisi menjadi berlutut di samping kiri Kyura membuat gadis itu hanya bisa berekspresi bodoh karena sedang menenangkan jantungnya yang melompat – lompat. Kini Kyura bisa melihat wajah Jongin dengan sangat dekat. Wajah serius Jongin saat sedang mengoleskan salep ke lengannya benar – benar membuatnya sakit perut lagi. Lebih parahnya lagi, Jantungnya berdegup semakin menggila saat mata kurangajarnya sempat melihat bibir Jongin yang sedang meniupi pelan lukanya….
“Jongin!”
Kyura tiba – tiba berseru lalu bergeser sampai ujung sofa menjauh dari Jongin, Jika terus menerus seperti itu Kyura bisa benar – benar pingsan karena kekurangan oksigen, “Aku… Ya, sungguh aku bisa melakukannya sendiri,”
“Kau kenapa sebenarnya,” Jongin mendekati Kyura menggunakan lututnya, “Kau ingin sembuh atau tidak!?” Jongin lalu menarik kaki kiri Kyura agar mendekat lalu tangannya mencengkram pergelangan tangan Kyura agar gadis itu bisa diam untuk beberapa menit. Lagi – lagi Kyura seperti kesetrum karena tangan Jongin. Ya tuhan, bukankah mereka berdua sudah sering bersentuhan? Tapi kenapa Kyura masih tidak bisa mengendalikan dirinya agar tidak histeris! Memalukan sekali.
“Bagaimana ini?” Tanya Jongin setelah beberapa saat setelah dia selesai dengan pekerjaannya, kini Jongin duduk di lantai dengan tangan yang menyangga kepalanya sambil mendongak menatap Kyura yang masih terdiam membisu karena lagi – lagi Jongin menatapnya seperti itu.
“Bagaimana jika mereka terus saja mengganggumu seperti ini?”
Kyura masih terdiam. Apakah dia harus menjawab pertanyaan Jongin? Tapi dia tidak tau jawabannya.
“Aku tidak bisa melihatmu seperti ini,” Jongin menunduk entah menatap apa membuat Kyura bisa mengambil nafasnya banyak – banyak, “Harusnya aku tidak keluar dari agency itu dan harusnya malam itu aku tidak menemuimu,”
“Jo–jongin-ah..”
“Aku tidak memikirkan akibatnya pada waktu itu. Aku tidak bisa menahan diriku sendiri saat aku ingin melihatmu. Kakiku seperti berjalan sendiri untuk menemuimu, bahkan aku sungguh seperti orang gila karena kau selalu terlihat di sekelilingku,” Jongin menghela nafasnya kemudian mengusap – usap wajahnya menggunakan kedua telapak tangannya. Dia sungguh ingin terbebas dari semua orang yang mengganggu mereka berdua. Jongin tentu ingin menggandeng tangan Kyura dengan bebas kapanpun dia mau tanpa adanya orang – orang yang selalu mengganggunya terutama mengganggu Kyura yang selalu menjadi Korban dalam kehidupan Jongin.
“Aku tau aku harusnya fokus pada sekolahku. Tapi aku tidak bisa,” Jongin berpindah menjejeri Kyura yang disaat seperti ini dilanda kantuk yang luar biasa, mungkin karena efek obat yang di berikan Jongdae sudah mulai bereaksi.
“Aku menyukaimu,”
Mata Kyura berusaha menatap Jongin dengan benar lalu membatin bahwa dirinya lebih menyukai Jongin melebihi apapun. Tapi suaranya tidak mau keluar.
“Kyura-ya, Aku benar – benar menyukaimu!” Jongin mengguncang bahu Kyura sampai gadis itu terjungkal ke belakang karena sudah sangat mengantuk namun dengan reflek tangan panjang Jongin menggapai tengkuk Kyura lalu merengkuhnya ke dalam pelukannya.
“Ya, aku benar – benar mengantuk,” Kyura menggumam dengan memejamkan matanya, “Bangunkan aku 10 menit kemudian. Aku ingin berkata bahwa aku, juga mencintaimu..” Walaupun suara Kyura semakin memelan di akhir – akhir kalimatnya namun telinga Jongin benar – benar bisa mendengarnya dengan sangat jelas. Dia kemudian melepaskan pelukannya dengan tangannya yang masih menahan tengkuk Kyura agar kepalanya tidak terjatuh. Menatap wajah gadis itu seolah menginginkan Kyura mengulangi kata – katanya tadi.

 

+ My Answer Is… You 12 +

 

“YA! KEMARI KAU! Kenapa KAU berkata seenaknya dengan mulut besarmu itu! Memangnya kau tau apa tentang Kyura hah!” Suara Cheonsa menggelegar di sekitaran trotoar saat matanya melihat sosok Fiona berjalan melewatinya dengan menggandeng tangan Sehun di sebelahnya. Seperti gadis kesetanan, tangannya lantas menarik dengan kasar lengan Fiona sampai pertautan tangannya dengan Sehun terlepas begitu saja. Di belakang punggung Cheonsa, Daena, Chanyeol maupun Baekhyun yang memang berniat mengunjungi rumah Kyura saat jam pulang sekolah langsung tercengang dengan perlakuan tak terduga Cheonsa.
“Ada masalah apa, eonni?” Fiona berwajah polos seolah – olah tidak terjadi apa – apa membuat Cheonsa berdecih sebal
“Apa yang kau lakukan!” Bela Sehun tidak terima dengan teriakan Cheonsa pada kekasihnya
“JANGAN SOK POLOS! Kau juga ikut mengeroyok Kyura bukan! Kau pikir aku tidak tau!?” Cheonsa mencengkram kerah baju fiona membuat Daena langsung menarik lengan Cheonsa agar tidak berbuat yang tidak – tidak pada adik kelas. Namun sepertinya Tunangan Baekhyun itu benar – benar sudah tersulut emosi, Saat tau pagi ini Kyura tidak masuk sekolah, Cheonsa langsung mencari tau tentang kejadian – kejadian aneh yang terjadi di Yeonwoo karena sepertinya Nama Kim Kyura sudah sangat terkenal seharian ini.
Dengan menanyakannya pada Siswa – siswa yang bergabung menjadi Tim Khusus Keamanan Sekolah atau biasa di sebut ‘Yeonwoo security team’. Kata salah satu anggota keamanan yang Cheonsa kenal berada di kelas sebelah, Kim Kyura yang menjadi korban pengeroyokan itu kemarin malam.
“Teman sekelasmu memberitahuku bahwa Kau yang pertama mengatakan nama Kyura sebagai gadis yang ada di foto!”
“Tapi eonni, itu semua memang benar kan?! Kalian bilang berita jadian mereka tidak akan lama lagi,” Fiona berkata dengan tanpa mengubah ekspresinya dan Cheonsa maupun Daena seakan terjatuh dari tebing. Mereka berdua tidak sadar jika Fiona ada diantara mereka bertiga saat hendak ke Namsan. Dan mereka mengira, Fiona tidak akan menyebarkan berita ini pada siapapun.
AISH!” Cheonsa semakin mengeratkan cengkramannya pada kerah kemeja Fiona lalu mendorongnya begitu saja sampai gadis itu terjatuh ke trotoar membuat beberapa siswa yang melihat sempat berkasak – kusuk ramai di sekitar mereka. Sehun yang sedari tadi mencerna keadaan masih mematung tanpa melakukan sesuatu pada Fiona, sementara Baekhyun dan Chanyeol masih terlalu sibuk terkejut dengan tingkah laku Park Cheonsa tersebut.
“Harusnya kau lebih bisa menjaga mulutmu jika tidak mengetahui apapun,” Cheonsa berkata pada Adik kelasnya itu lalu menarik tangan Daena menjauhi Fiona dan Sehun.

 

+ My Answer Is… You 12 +

 

Sementara di sisi lain yang juga sama – sama ramai seperti sebuah sekolahan, Luhan berjalan memasuki sebuah IGD rumah sakit dengan masih memakai seragam Yeonwoo-nya. Sebenarnya dirinya akan pergi ke rumah Kyura karena hari ini gadis itu tidak masuk sekolah. Tapi Yebin tadi meneleponya karena Yubi dibawa ke rumah sakit. Tentu saja kedua gadis itu sangat penting bagi Luhan, namun entah kenapa dia langsung berlari kemari hanya karena Yubi? Gadis yang sedang ia lupakan.
“Apa yang terjadi?” Luhan bertanya pada Yebin yang langsung tertangkap indra penglihatannya lalu beralih pada Yubi yang sedang tertidur di ranjang ruang emergency.
“Kata dokter Yubi Eonni kelelahan, dia pingsan setelah pulang dari kampus tadi,” Jelas Yebin berdiri dari bangkunya
“Mana Ayah?”
“Ayah sedang di cina, mungkin malam ini baru sampai..”
Luhan kemudian duduk di samping tubuh Yubi, “Ah, jinjja kenapa kau sakit disaat yang tidak tepat,” Gumamnya pelan
“Apakah kau sedang ada urusan? Ma–maafkan aku, aku tadi panik dan langsung menghubungimu karena tidak ada siapa – siapa di rumah,”

 

“Ya,”
Yebin menggumam menanggapi.
“Apakah hari ini kau bertemu Jongin di sekolah?”
“Dia absen hari ini,”
Luhan sangat terkejut dengan pernyataan Yebin. Sebenarnya bukan ini jawaban yang ia inginkan. Tapi, bukankah Kyura juga tidak masuk hari ini? Ataukah Jongin tidak masuk karena wajahnya yang sedang babak belur seperti dirinya?
“Apakah… kau berteman baik dengan Kim Kyura?” Tanya Yebin tiba – tiba teringat tentang Luhan yang sempat bersama dengan Kyura saat di Lotte. Entah kenapa saat teringat kejadian tadi malam, dia sangat tidak ingin jika Jongin dekat – dekat dengan Kyura. Lagipula, dia benar – benar sangat malu dengan pernyataan sukannya pada Jongin semalam.
“Yeah, aku sekelas dengannya. Tentu saja aku harus berteman dekat dengannya walaupun aku menginginkan lebih dari sebuah pertemanan dekat,”
“Eh?” Yebin tidak paham dengan omongan Luhan apalagi laki – laki itu berkata sangat lirih di telinga Yebin.
Aish, kenapa kau bertanya seperti itu padaku! Kau pikir hubungan kita sedekat apa ish!” Luhan lalu berdiri berniat mengurusi administrasinya
“Maksudku, aku bisa menjauhkan Jongin dari Kyura–”
Luhan yang sudah menyibak tirainya berhenti melangkah kemudian membalik tubuhnya lagi, “Mwo?”
“Aku menyukai Jongin. Dan akan menjadikannya miliku,”

 

+ My Answer Is… You 12 +

 

Cheonsa dan Daena langsung berjalan gontai sesaat setelah Bus yang mereka tumpangi berhenti di halte dekat rumah Kyura. Baekhyun dan Chanyeol pun yang masih speechless sejak melihat kesangaran Cheonsa hanya mengikuti kedua gadis itu dalam diam. Yang ada di benak Baekhyun adalah, dia tidak menyangka calon tunangannya ini akan berubah mengerikan seperti tadi. Dia saja tidak berani melabrak seseorang di depan umum seperti yang Cheonsa lakukan. Namun begitu, Baekhyun justru semakin ingin mengetahui kepribadian Cheonsa lebih jauh.
“Ah, kenapa kalian berdua tidak membuka suara sejak tadi?” Tiba – tiba saja Cheonsa berbalik badan membuat kedua laki – laki itu terperanjat kaget dan langsung memundurkan kakinya 2 langkah.
“Oh.. ng…” Baekhyun tergagap
“Apakah Kalian dan Kyura sangat berteman baik?” Chanyeol bertanya saat dia tau otak Baekhyun belum bisa mencerna keadaan bahwa Cheonsa adalah gadis bar – bar.
“Tentu saja,” Kata Cheonsa mantap, “Sebenarnya aku sudah akan menjaga hubungan rahasia Kyura dan Jongin sampai kelulusan. Tapi sepertinya semua ini menjadi sangat sulit,” Lanjutnya dengan masih berjalan mundur agar bisa menghadap Chanyeol dan Baekhyun
“Aku kira semuanya akan mereda jika Jongin maupun Kyura tidak terlihat bersama – sama lagi,” Daena memberikan pendapatnya dengan pandangan matanya yang terfokus pada jalanan aspal yang ia lewati, “Lagipula Jongin maupun Kyura tidak pernah mengatakan bahwa mereka ada hubungan khusus bukan?”
“Tapi banyak yang mengetahui Kyura adalah Fans Jongin,” Sanggah Cheonsa kembali berjalan maju di samping Daena, “Kau tau, banyak juga yang bertanya – tanya kenapa Kyura tiba – tiba menutup Blog Jongin,”
“Ah, kau benar!” Suara helaan nafas putus asa pun lolos dari bibir Daena kemudian langsung menekan bell yang ada di sebelah pintu gerbang rumah Kyura.
“Ya, bahasan kita berat sekali. Aku tidak tau jika hubungan percintaan mereka berdua sangat rumit seperti ini..” Baekhyun membuka suaranya dengan nada frustasi, “Lalu nasib Kyura bagaimana sekarang?”
“Untuk sementara, Aku akan terus berada di sampingnya saat di sekolah,” Kata Cheonsa berjalan memasuki pintu gerbang yang terbuka otomatis.
“Bukankah selama ini kau sudah disampingnya?” Tanya Chanyeol
“Ya, memangnya aku ini bodyguardnya? Tentu saja ada kalanya aku meninggalkannya karena urusanku sendiri,”
“Dan selama ini Kyura memang menjalani kegiatan personalnya sendiri tanpaku maupun Cheonsa,” Daena menyambangi seraya menunggu pintu rumah Kyura dibuka.
Aigo.. sangat berbahaya sekali,” Baekhyun meringis membayangkan seorang gadis dibully puluhan gadis di sekolah seperti drama – drama yang pernah dilihatnya bersama Chanyeol.

Cklek

“Jongdae Oppa! Apakah Kyura baik – baik saja? Dia tidak masuk hari ini. Dimana dia sekarang?” Cheonsa langsung menghujani Jongdae pertanyaan saat Kakak Kyura itu membuka pintunya.
“Dia tidur,”
Cheonsa dan Daena menerobos masuk begitu saja saat Jongdae masih berdiri memegangi Pintu rumahnya dengan menatap 2 pria asing yang belum pernah dilihatnya.
“Kalian teman sekelas Kyura?”
ChanBaek menggeleng polos.
“Ah, berarti kalian adalah temannya Jongin?”
“Heh?”
“Temanmu juga sedang tidur disini,”
“APAAA!?”

 

 

 

TO BE CONTINUED..

Sunshine [10/end]

$
0
0

Original Story by Lee-Jungjung

 

Covered by Nisanoona

 

Cast: Kim Jongin & Jung Soojung

Support Cast: Choi Minho, Choi Jinri, Kang Seulgi, Bae Sooji, Oh Sehun, etc

Chaptered| Romance, Angst | G

 

 

[10] My Sunshine

 

 

Menurutmu, definisi akhir yang bahagia itu seperti apa?

 

Ada yang berbeda dari Jongin hari ini. Setidaknya itu yang dirasakan Soojung. Sejak tadi, kekasih-nya Jung Soojung itu tampak termenung tanpa semangat. Wajahnya terlihat murung. Dan entah sudah berapa kali Soojung memergoki kekasihnya itu menghela napas berat.

Soojung sangat khawatir dengan sikap Jongin yang seperti itu. Oleh karena terlalu khawatir, gadis itu bahkan mengabaikan celotehan Jinri, Seulgi, dan Sooji mengenai keberhasilan mereka mengalahkan banyak pesaing pada ujian masuk ke perguruan tinggi. Fokus Soojung hanya pada Jongin yang tengah duduk di sofa yang berada tidak jauh dari lokasi ranjangnya. Duduk bersama Sehun dan juga Chanyeol yang merupakan teman terdekat kekasihnya itu kini.

“Ahh, Soojung. Kau tahu? Myungsoo akan melanjukan studinya di Oxford,” suara Sooji cukup membuat perhatian Soojung teralihkan. “Ckckck, bukankah dia keren sekali?” kata gadis manis berponi itu sambil berdecak kagum.

Soojung tersenyum mendengar penuturan Sooji. Entah mengapa Soojung menangkap nada aneh ketika Sooji bercerita soal Myungsoo. “Ahh, kau tahu banyak tentang Myungsoo, Sooji-ah. Kelihatannya kalian cukup dekat,” goda Soojung hingga mengakibatkan pipi sahabatnya itu bersemu kemerahan.

“Ahh, ti-tidak. Bu-bukan begitu,” Sooji berusaha mengelak. Selanjutnya hanya godaan yang terdengar untuk Sooji. Diam-diam Soojung kembali mengulas senyumnya. Dia sebenarnya sudah menyadari ketertarikan Sooji pada Myungsoo. Tetapi, gadis itu seolah menjaga jarak pada Myungsoo karena mengetahui ke mana sebelumnya hati pemuda itu berlabuh. Itulah yang membuat Soojung sedikit merasa bersalah kepada Sooji karena terlalu dekat dengan Myungsoo.

Dan karena kebetulan momennya tepat, Soojung akan berusaha keras sebagai cupid yang akan mempersatukan Kim Myungsoo dan Bae Sooji. Pemikiran yang jenius, bukan?

Setelah mengobrol cukup lama, teman-teman Soojung berpamitan pulang. Kini hanya ada Jongin yang tersisa. Menemani Soojung di tengah keheningan yang menguasai mereka.

Soojung mengamati Jongin lekat-lekat. Menilik ekspresi pemuda yang tengah menunduk itu. Berusaha menebak segala spekulasi yang membuat Jongin tampak murung. Logika Soojung berusaha menganalisisnya. Hari ini adalah pengumuman hasil ujian masuk ke perguruan tinggi. Soojung mengetahuinya berdasarkan cerita ketiga temannya. Dan setelah mengingat itu, Soojung merasakan sedikit kejanggalan.

Ahh, Jongin tidak menceritakan apapun soal hasil ujiannya? Dan dari sikapnya sekarang Soojung menebak jika Jongin memang gagal. “Ada masalah, Jong?” tanya Soojung sedikit berbasa-basi. Sengaja tidak menyebutkan perkiraannya demi menjaga perasaan pemuda berkulit tan itu.

Jongin mengigit bibir tebalnya. Ragu untuk mengatakan yang sesungguhnya pada Soojung. Jongin malu. Malu pada Soojung. Sungguh, jika bisa Jongin ingin sekali menghilang dari hadapan Soojung. Tetapi, tidak dia lakukan. Karena nyatanya Jongin sendirilah yang akan merindukan gadis itu.

“Jongin?”

“Aku gagal, Soojung.”

Bibir Soojung terkatup rapat. Sudah menduga jika Jongin gagal. Pantas pemuda itu tampak begitu murung, “Sudahlah, Jongin. Bukankah masih ada kesempatan? Jangan bersedih seperti itu, oke?”

“Tapi Soojung, dari tadi aku terus memikirkan perkataan Chanyeol. Katanya kegagalanku sudah membuktikan kalau aku tidak pantas jadi dokter,” kata Jongin pelan.

Soojung mengernyit. Baik, dia mungkin tahu jika Jongin gagal. Tapi sungguh, Soojung baru tahu jika pemuda itu gagal menjadi dokter. Itu artinya, Jongin mendaftarkan diri di jurusan kedokteran? “Kau memilih program studi pendidikan dokter?” tanya Soojung hati-hati.

Kepala Jongin semakin menunduk. Pemuda itu mengangguk pelan. Sebenarnya dia sengaja merahasiakan dari Soojug untuk memberi kejutan pada gadis itu ketika berhasil nanti. Tapi sayang, ternyata dia gagal. Seharusnya Jongin sudah mampu menduganya. Otaknya tidak cukup mampu bersaing dengan para orang jenius di luar sana.

“Kenapa Jongin? Setahuku itu bukan bidang kesukaanmu.”

Jongin menarik napasnya dalam-dalam. Dengan segenap keberanian yang dimiliki, pemuda itu mulai mengangkat kepalanya. Hingga kini mampu menatap manik indah milik sang kekasih. “Aku mau jadi dokter karena dirimu, Soojung-a.”

Rahang Soojung terkatup sempurna. Banyak hal yang mengganggu benaknya saat ini. Jadi, alasan Jongin memilih jurusan kedokteran karena dirinya?

“Kenapa?” tanya Soojung dengan suara nyaris tercekat. Pemikiran Jongin cenderung sederhana. Jadi, Soojung tentu dapat menduga mengapa sang kekasih memilih jalur yang bertolak belakang dengan kemampuannya. Soojung sudah mampu menebaknya dengan pasti. Hanya saja, dia butuh penegasan. Soojung ingin mendengar langsung dari Jongin.

“Karena hanya itu yang mampu kulakukan untuk menahan dirimu tetap di sisiku, Soojung. Aku hanya ingin tahu bagaimana cara merawatmu dengan baik. Itu saja. Tidak lebih. Aku hanya mau kau bertahan untukku lebih lama,” jawab Jongin. Dan benar-benar sesuai dengan dugaan Soojung.

“Tapi, Jongin. Itu akan menyiksamu. Kau tahu untuk tembus dalam ujian masuk jurusan itu butuh kerja keras. Bukan itu saja, jalan yang dilalui juga akan sangat sulit. Aku tidak mau kau memaksakan dirimu,” Soojung mencoba memberikan sedikit pengertian pada Jongin.

Jongin terdiam beberapa saat. Pemuda itu lantas meremas jemari Soojung begitu lembut. Tidak lupa senyum manis terukir di wajah tampannya. “Aku tahu. Aku sudah cukup kelelahan belajar untuk ujian masuk itu. Tapi, aku tidak peduli. Selama itu karena dirimu, aku akan melakukan apapun. Jadi, jangan mencoba untuk memubat diriku berubah pikiran, Jung Soojung,” ujar Jongin sambil memainkan hidung Soojung menggunakan hidungnya.

Kata-kata Jongin barusan benar-benar berhasil membuat Soojung terdiam. Soojung sama sekali tidak menyangka jika perasaan Jongin sedalam itu padanya. Bahkan pemuda berkulit tan itu tetap kukuh dengan keputusannya. Dan Soojung tidak pernah melihat Jongin seserius ini.

“Baiklah,” gumam Soojung sambil menghela napas perlahan. Gadis itu mengulas senyum tipis sembari menyusuri rahang tegas Jonging menggunakan jemari lentiknya. “Masih ada kesempatan lagi, Jongin. Aku yakin suatu saat Jongin-ku akan berhasil,” lanjutnya.

“Jadilah dokter seperti keinginanmu dan buat diriku bangga, Kim Jongin.”

Jongin tersenyum mendengar penuturan Soojung. Entah mengapa kata-kata itu menjadi energi yang baru baginya. Lihat bukan, yang Jongin butuhkan hanya Soojung. Dan Jongin sama sekali tidak ingin kehilangan kekasihnya itu.

O0O

Waktunya mungkin tidak akan lama lagi.

Sudah sekitar 30 menit yang lalu Minho menyampaikan perihal perkembangan kesehatan Soojung. Tetapi, kata-kata pemuda tanggung itu terus terngiang di benak Jongin. Kata-kata yang menyebutkan bahwa sebentar lagi waktu Soojung habis. Dia sebentar lagi akan menghilang dari hadapan Jongin.

Oh, Jongin harap itu tidak benar. Dia harap Minho hanya bercanda.

“Tinggal berapa lama lagi?” suara Tuan Jung mulai terdengar. Pria paruh baya itu kini tengah mendekap tubuh istrinya yang sedari tadi menangis tanpa henti. Meratapi nasib sang putri.

Minho mendesah pelan. Dia sangat tidak menyukai pertanyaan macam ini. Pertanyaan memberatkan yang sialnya harus segera dia jawab. “Saya tidak berani berspekulasi, paman,” jawab Minho dengan tenang. “Saya memberitahukan itu semua agar kalian bersiap untuk kemungkinan terburuk.”

“Apakah Soojung benar-benar tidak bisa sembuh?” Jongin bergumam pelan. Sontak pertanyaannya membuat Minho terhenyak.

“Apa tidak ada cara lain untuk membuatnya sembuh?!” Jongin mulai berteriak frustasi. “Kau dokternya, hyung. Seharusnya kau bisa mengobati Soojung. Harusnya kau….” Jongin membuang panangannya. Menutupi air mata yang hendak meninggalkan pelupuk matanya.

“Aku bukan Tuhan, Jongin,” Minho membalas semua protes Jongin. Pemuda itu lantas menatap Jongin lekat penuh keseriusan. “Jika kau mencintainya, maka buat dia bahagia di sisa waktunya, Jongin. Kurasa hanya itu yang mampu kau lakukan.”

Jongin masih terdiam di tempat. Memikirkan apa yang Minho katakan. Dia ingin sekali menyerah dan melakukan apa yang disarankan oelah dokter sang kekasih. Tapi, Jongin tidak bisa. Jongin tidak mau kehilangan Soojung.

.

.

.

.

Jongin kembali ke ruang rawat Soojung selepas dari ruangan Minho. Pemuda itu sengaja ingin bermalam. Sudah berjanji pada Soojung katanya. Meski demikian, alasan Jongin memutuskan untuk tinggal adalah karena perkataan Minho. Waktu Soojung tidak banyak. Itu artinya, Soojung dapat menghilang dari kehidupannya sewaktu-waktu. Dan Jongin tidak mau melewatkan waktu sedetikpun tanpa berada di sisi Soojung.

“Soojung-a.”

Jongin tergerak untuk menggenggam telapak tangan Soojung. Mengaitkan jemari keduanya dengan begitu erat. “Itu tidak benar, bukan? Kau pasti sembuh, iya kan?” Jongin berusaha mengajak bicara Soojung yang tengah terlelap dalam tidurnya.

“Jangan tinggalkan aku. Kumohon,” gumam Jongin seraya membenamkan kepalanya ke sisi ranjang Soojung. “Aku tidak bisa hidup tanpa dirimu. Jangan pergi dari hadapanku lagi. Berjanjilah padaku,” pinta pemuda itu sekali lagi tanpa menginginkan balasan apapun dari Soojung.

.

.

.

Tanpa Jongin sadari sebuah cairan bening meluncur dari salah satu sudut mata Soojung. mengalir perlahan hingga membasahi bantal yang berada di bawah kepalanya.

Aku juga tidak ingin meninggalkanmu, Jongin. Tidak ingin.

O0O

Soojung termenung menatap ke luar jendela. Sesekali gadis itu menggeliat pelan guna memperoleh posisi ternyamannya. Soojung akui dia sangat lelah terus berbaring seperti ini. Belum lagi soal peralatan medis yang terpasang di seluruh tubuhnya. Soojung merasa jenuh. Ingin sekali rasanya Soojung beranjak keluar. Memandangi langit biru. Menyegarkan pandangannya dengan tumbuhan-tumbuhan hijau. Serta merasakan hangatnya sinar mentari.

Soojung ingin sekali merasakan itu semua kembali. Setidaknya untuk sisa waktunya.

“Melamun?”

Soojung terkesiap saat sebuah suara memasuki gendering telinganya. Detik selanjutnya gadis itu hanya mampu merasakan sentuhan lembut di keningnya. Soojung memejamkan matanya. Menikmati seluruh penyaluran rasa sayang Jongin melalui kecupan di keningnya.

“Aku merindukanmu,” bisik Jongin tepat di sebelah telinga Soojung. Membuat rona kemerahan muncul menghiasi wajah cantik gadis itu. Soojung mungkin sering mendengarkan rayuan Jongin. Berulang kali tanpa henti. Tapi, itu tidak membuat Soojung bosan. Bahkan semua kata rindu dan cinta yang Jongin bisikkan menjadi asupan energu bagi Soojung.

“Aku juga merindukanmu.”

Jongin tersenyum mendengar balasan dari sang kekasih. Perlahan pemuda berkulit tan itu duduk di kursi yang terletak di sebelah ranjang Soojung. Sedang jemarinya tetap tertaut erat dengan milik si gadis. Dengan penuh kasih sayang Jongin mengusap puncak kepala kekasihnya. Sesekali bahkan merapikan anak rambut yang menutupi paras ayu gadis itu. Jongin hanya tidak mau apapun menghalangi dirinya untuk menikmati wajah cantik Soojung. Pahatan sempurna yang selalu menjadi candu bagi seorang Kim Jongin.

Dalam proses pengamatannya, Jongin menemukan beberapa kejanggalan yang mulai terlihat. Soojung-nya tampak lebih kurus dari sebelumnya. Belum lagi soal lingkarang hitam di sekitar matanya. Dan yang paling penting, entah mengapa hari ini Jongin merasakan kalau suhu tubuh Soojung lebih dingin. Apa karena jendela yang tidak si tutup sehingga angin masuk dan membuat tubuh si gadis kedinginan?

“Jongin?”

“Hum?” Jongin membuyarkan lamunannya. Kini sudah menatap Soojung begitu lembut dan teduh.

“Aku bosan.”

Kening Jongin mengernyit. “Kau kesepian? Perlu aku suruh teman-temanmu main ke sini?”

Soojung menggeleng pelan. Bukan itu, bukan itu yang dia mau. “Aku ingin keluar. Aku rindu dengan rumah. Aku rindu dengan bunga matahariku.”

Jongin mencium ketidakberesan atas perkataan Soojung. Dan yakin sekali untuk kali ini Jongin tidak akan sanggup untuk memenuhinya.

“Aku mohon, Jongin. Mintakan izin pada Minho oppa, ya? Katakan kalau aku ingin pulang,” kata Soojung memohon dengan sangat.

Jongin mendesah sebentar. Pemuda itu meremas telapak tangan Soojung dengan lembut. Dia sepertinya harus berupaya ekstra keras untuk membuat Soojung mengurungkan niatnya. “Tidak bisa, Soojung. akhir-akhir ini kesehatanmu menurun. Aku tidak mau terjadi hal yang tidak diinginkan. Aku tidak mau ….”

“Tidak akan terjadi apa-apa,” sela Soojung segera. “Kau akan menemaniku, Jongin. Jadi, aku pastikan kalau aku tidak akan kenapa-kenapa.”

“Tapi, Soojung….”

.

.

.

“Jalan-jalan sebentar di luar tidak ada salahnya.”

Jongin seketika menoleh. Di ambang pintu sudah ada Minho yang menatap sepasang kekasih itu dengan senyuman di wajahnya. “Kau bisa membawa Soojung berjalan-jalan, Jongin. Aku yakin dia pasti merasa bosan terus terkurung di sini.”

Jongin menatap Minho dalam. Ada yang aneh dengan izin yang diberikan Minho. Biasanya, dokter muda itu yang akan menentang keras jika pasien kesayangannya itu keluar dari rumah sakit. Dan ini, kenapa malah diijinkan?

Minho menangkap raut khawatir di wajah Jongin. Dokter muda itu pun mendekat dan menepuk bahu Jongin pelan. Seolah mengisyaratkan bahwa semua akan baik-baik saja. “Pergilah, Jongin. Kurasa kalian butuh waktu berdua,” kata pemuda itu lagi.

Jongin menatap lurus ke arah Minho. Entah kenapa firasat buruk menghantuinya setiap menangkap tatapan tenang Minho. Tatapan tenang yang tidak terbaca. Jongin menghela napas sebentar sebelum beralih menatap Soojung. Gadis itu kini tengah memandanginya penuh harap. Jika begini, Jongin tentu saja tidak akan mampu menolak permintaan Soojung.

“Baiklah,” Jongin memutuskan. Membuat senyum manis terukir di wajah cantik kekasihnya. “Tapi ingat, hanya sebentar lalu aku akan mengantarmu kembali ke sini.”

Soojung mengangguk pelan. Ekor mata gadis itu perlahan mengarah pada Minho. Pemuda itu tampak menganggukkan kepalanya. Soojung hanya mampu membalas dengan senyum lebarnya. Dia benar-benar berterimakasih pada Minho untuk kali ini.

Yah, atau mungkin untuk selamanya (?)

O0O

“Ingat kencan pertama kita, Jong-ah?”

Jongin tersenyum mendengar pertanyaan Soojung. Memorinya melayang pada awal kencan pertama mereka yang terbilang tidak normal. Dan jika diingat lagi saat itu hati Jongin belum sepenuhnya tertambat pada sang gadis.

“Itu kencan pertama sekaligus pengalaman pertama membolosku,” oceh Soojung riang. Tangannya yang digandeng Jongin terus digerakkan ke depan belakang selaras dengan langkah kaki mereka.

“Itu pengalaman yang memalukan,” kata Jongin sembari mempererat genggaman tangannya. “Masa kencan pertama bolos?”

Soojung meringis kecil. Membuat Jongin tidak tahan lagi untuk mengusap puncak kepala sang gadis dengan gemas. “Mau nostalgia lagi, princess?”

Soojung mengernyit tidak mengerti. Membuat Jongin mengulum bibir untuk menahan senyumannya. “Ayo kita mengulangi kencan kita yang kurang sempurna. Jalan-jalan, nonton film, makan, ke mana pun yang kau mau,” ajak Jongin sekali lagi.

Senyum Soojung merekah setelah mendengar ajakan Jongin. Gadis itu segera mengangguk dengan semangat, “Tentu. Ayo kita buat kenangan yang menyenangkan, Jongin.” Soojung menarik tangan Jongin segera.

Tetapi, bertolak belakang dengan kecerian Soojung, Jongin malah merasa semakin takut. Entah mengapa, Soojung tadi berkata seolah tidak akan lagi bersama dengan dirinya. Ah, semoga itu tidak terjadi. Karena Jongin benar-benar tidak sanggup kehilangan Soojung-nya.

Itu tidak akan terjadi, bukan?

O0O

Soojung dan Jongin, keduanya melakukan apa yang biasa pasangan normal lakukan saat berkencan. Nonton berdua, berjalan-jalan sambil bergandengan tangan, moncoba berbagai jajanan di pinggir jalan. Apapun akan dilakukan oleh keduanya asal bersama-sama.

“Jadi, mau ke mana lagi sekarang?” tanya Jongin ketika mereka tengah menikamati suasana Sungai Han di sore hari. Soojung masih menatap ke depan dengan kening mengerut. Tampak sedang memikirkan pilihan terbaik untuk menghabiskan waktu berdua saja.

“Bagaimana kalau ke rumahku?” tawar Soojung. Jongin menaikkan sebelah alisnya. Mempertimbangkan tawaran Soojung.

“Aku rindu dengan masakan eomma. Boleh, ya Jongin?”

Jongin menghela napas sebentar. Cukup lama pemuda itu terdiam sebelum mengangguk. Menurut Jongin tidak ada salahnya juga berkunjung ke kediaman gadis itu untuk menutup acara kencan mereka. Toh, bukan hanya dirinya yang ingin menghabiskan waktu berdua dengan Soojung. Kedua orangtuanya pun juga.

Cup.

Jongin memegangi pipinya yang baru saja dikecup cepat oleh Soojung. Malu-malu kekasihnya itu bergerak mundur. Perlahan menjauh guna menghindari introgasi Jongin tentang apa yang barusan dia lakukan.

“Itu ucapan terima kasihku, karena mengijinkanku pulang ke rumah,” kata gadis itu sembari mengigit bibir. Dengan ragu gadis itu mengangkat tangan ke atas. Menyatukan di puncak kepala hingga lengannya membentuk lambang hati.

“Kim Jongin, saranghae,” ujar Soojung cepat lantas segera berbalik dan pergi mendahului Jongin.

Jongin mengerjap pelan. Sebelah tangannya masih memegangi pipi bekan dicium Soojung. Perlahan kedua sudut bibirnya terangkat. Menciptakan senyuman manis yang mampu meningkatkan kadar ketampanannya.

“Yak, Jung Soojung. Apa itu tadi?” seru Jongin sembari berlari mengejar Soojung.

Ahh, Soojung-nya Jongin manis sekali, bukan? Jongin benar-benar tidak mau kehilangan dirinya.

O0O

Sungguh, sebenarnya Jongin sudah mengenal tuan dan juga nyonya Jung. Setidaknya sejak Jongin mengetahui kalau Soojung sakit. Ketiganya bahkan sering mengobrol akrab ketika di rumah sakit. Tetapi, lain tempat lain juga suasana yang dibentuk. Suasana makan malam kali ini tampak hening dan sedikit canggung.

Rasanya seperti perkenalan pertama dengan calon mertua.

“Jadi, Minho yang mengijinkanmu untuk pergi hari ini, Soojung?” suara tegas tuan Jung menggema. Membuat Jongin kesulitan menelan makanan yang sudah berada di rongga mulutnya.

“Iya, appa. Bahkan dia yang menyuruh Jongin mengajakku berjalan-jalan,” jawab Soojung sekenanya.

“Benarkah?”

Jongin menelan apa yang ada di rongga mulutnya bulat-bulat. Tanpa pencernaan mekanis yang melibatkan enzim ptyalin. Langsung saja ditelan hingga memaksa dirinya untuk segera meneguk air putih hingga habis separuh gelas.

“Apa kau tidak merasa lelah, Soojung?” tanya nyonya Jung khawatir. Soojung dengan segera menggeleng. Senyum manis terukir menghiasi paras ayu gadis itu.

“Setelah makan malam, kau harus kembali ke rumah sakit,” putus tuan Jung segera. Mendengar hal itu sontak membuat Soojung mengatupkan bibirnya rapat. Senyumnya memudar dan berganti raut tidak menyenangkan yang ditujukan pada sang ayah. “Kau bisa mengantarkannya kembali, kan Jongin?”

Jongin mengangguk kaku, “Tentu, pa….”

“Tidak mau.”

Jongin seketika menatap Soojung sembari membulatkan kedua bola matanya. Bibir pemuda berkulit tan itu bergerak seolah mengisyaratkan agar Soojung diam saja dan tidak membantah. Tetapi, Soojung tidak peduli. Dengan berani gadis itu menatap sang ayah. “Aku sudah lama tidak tidur di rumah. Untuk hari ini saja, appa. Kumohon ijinkan aku menginap di sini, yah?”

Tuan Jung meletakkan sumpitnya. Kedua mata elangnya menatap tajam sang putri. Sedang nyonya Jung menatap kedua orang yang amat dicintainya itu dengan was-was. O-oh, semoga tidak terjadi perdebatan sekarang ini.

Appa, kumohon,” pinta Soojung sekali lagi sambil mengosok-gosokkan telapak tangan di depan wajahnya. Tuan Jung mendesah pelan saat melihat tingkah sang putri. Dia selalu saja kalah dengan permintaan aneh-aneh-nya Jung Soojung. Dulu keinginan gadis itu bersekolah di sekolah umum. Sekarang, tidak ingin kembali ke rumah sakit.

“Baiklah,” tuan Jung akhirnya memberi izin. “Tapi, besok pagi-pagi kau harus kembali mengerti?”

Soojung mengangguk senang sambil memposisikan telapak tangan di atas pelipisnya. “Siap, kapten,” ujar gadis itu riang.

“Ah, iya appa. Bolehkah aku meminta satu hal lagi?”

Tuan Jung mengernyit sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Asal putrinya senang apapun akan dia lakukan.

“Ijinkan Jongin menginap di sini, yah appa?”

“Uhhhuuk.”

Jongin dan tuan Jung tersedak bersamaan. Keduanya saling tatap setelah mendengar permintaan Soojung yang terdengar tidak wajar. Dan dalam perang tatapan itu, Jongin yang kalah. Oh, semoga saja dia masih dapat bernapas setelah keluar dari rumah ini esok pagi. Semoga.

.

.

.

.

Soojung tersenyum senang memperhatikan Jongin yang tengah memejamkan matanya. Kini mereka berdua berada di ranjang yang sama. Berbaring saling berhadapan. Ada gelayar aneh saat berada dalam situasi yang seperti ini. Soojung merasa ada gejolak dalam dirinya. Darahnya berdesir lembut hingga menciptakan detak jantung dengan ritme tidak teratur. Ahh, apakah ini rasanya ketika berbagi ranjang yang sama dengan yang berlawanan jenis?

“Kau tidak tidur?”

Soojung terhenyak. Kedua mata Jongin tampak berkedip-kedip sebelum terbuka seluruhnya. Sebelah sudut bibirnya terangkat ke atas. Menampilkan seringaian yang entah mengapa membuat Soojung semakin jatuh terpesona pada sosok Kim Jongin. “Kau sedang berpikiran mesum, yah?”

Pipi Soojung terasa panas saat mendengar suara Jongin yang tengah menggodanya. Gadis itu merengut kesal. Dipukulnya lengan Jongin keras-keras hingga pemuda itu meringis kesakitan. “Ka-kau yang mesum. Aku tidak.”

Jongin terkekeh ringan saat mendengar bantahan dari Soojung. Pemuda itu lantas menarik tubuh ramping Soojung. Mendekapnya erat sembari mengusap lembut surai sang kekasih. “Tidurlah, sudah malam. Nanti kau sakit lagi,” perintah Jongin dengan penuh kelembutan.

Soojung tersenyum dalam dekapan Jongin. Gadis itu balas mendekap tubuh Jongin. Membenamkan kepalanya ke dada bidang lelaki itu. Menghirup aroma Jongin yang telah menjadi candu baginya.

“Malam ini aku akan tidur nyenyak sekali,” gumam Soojung. Tak kuasa Jongin kembali tersenyum. Pemuda itu mengeratkan dekapannya guna menghangatkan tubuh Soojung.

Jongin merasa dirinya utuh saat ini. Ada Soojung dalam dekapannya. Dan jangan harap Jongin mau melepaskannya.

O0O

Soojung tersenyum memandangi sekumpulan bunga matahari yang ditanam di taman belakang rumahnya. Gadis itu mengusap-ngusap lengannya saat angin menerpa tubuhnya. Sesekali memejamkan mata untuk menikmati sinar mentari di pagi hari. Oh, Soojung sangat merindukannya. Sudah lama sekali dia tidak menikmati hal yang seperti ini.

Grep.

Soojung merasakan ada lengan kekar yang melingkari bahunya. Puncak kepalanya juga sedikit terasa berat. Mungkin karena ada seseorang yang menempatkan dagunya di sana.

“Pagi.”

Soojung tersenyum saat mendengar suara berat itu. Suara yang favorit Soojung. Suara sang kekasih –Kim Jongin. “Pagi.”

Jongin mengecup singkat puncak kepala Soojung. Setelahnya, pemuda itu menempatkan diri duduk di sebelah Soojung. Jongin menarik bahu Soojung hingga kini gadis itu bersandar pada bahunya. “Kenapa tidak membangunkanku, hum?” tanya Jongin dengan nada seolah kesal.

Soojung hanya terkekeh menanggapi kekesalan Jongin. Gadis itu hanya memainkan jemari Jongin sambil tetap memandangi bunga matahari yang ada di hadapannya. Keduanya terdiam cukup lama. Menikmati hangatnya sinar mentari pagi yang mampu mengubah pro vitamin D menjadi vitamin D dalam tubuh. Menikmati semilir angin yang menyapu lembut surai kelam keduanya. Sungguh, bagian yang paling mereka sukai adalah saat seperti ini. Saat kebersamaan mereka.

“Jongin?”

“Hum?”

“Kau tahu, aku suka sekali bunga matahari,” kata Soojung tanpa menghapus senyumannya. Gadis itu lantas meraih pinggang Jongin dan semakin mengikis jarak di antara mereka.

“Aku sangat menyukai bunga matahari, karena mereka mirip sekali denganku,” tutur gadis itu membuat kening Jongin mengerut sempurna.

“Kenapa?” tanya Jongin penasaran.

Soojung mengangkat kepalanya. Kini kedua manik kecokelatannya sudah tertaut sempurna dengan milik Jongin. “Karena seperti bunga matahari yang hanya mampu memandang matahari, aku pun sama. Hanya mampu memandang Jongin seorang, bukan yang lain.”

Bibir Jongin terkatup rapat. Kata-kata lembut Soojung barusan membuat dadanya terasa sesak. Ada sesuatu yang bertahan di kerongkongannya. Tidak mau keluar hingga Jongin kesulitan untuk bersuara.

“Dan satu lagi,” kata Soojung dengan senyum yang selalu mampu menawan hati Jongin. “Seperti bunga matahari yang hanya mampu hidup karena sinar matahari. Aku pun juga begitu. Kau adalah alasanku untuk bertahan sampai sekarang, Jongin.”

Jongin melihat kabut pada kedua lensa Soojung. Jemarinya lantas terulur untuk menyentuh pipi Soojung. Pemuda itu mengusap sebelah pipi Soojung menggunakan ibu jarinya. Seolah menghantarkan ketenangan pada sang gadis.

“Kau adalah sinar matahariku, Jongin. You’re my sunshine,” gumam gadis itu samil menggenggam tangan Jongin yang berada di pipinya.

“Aku sangat mencintaimu, Jongin,” gumam gadis itu lagi. “Aku benar-benar tidak mampu jika harus meninggalkan…. Hmmmp….”

Jongin segera membungkam bibir Soojung dengan bibirnya. Mengulum bibir atas dan bibir bawah gadis itu bergantian. Menyalurkan segenap rasa yang Jongin miliki. Menunjukkan seberapa besar rasa sayang dan cinta Jongin pada diri Soojung. Jongin juga ingin menunjukkan bahwa bukan hanya Soojung yang takut kehilangan dirinya. Tapi, dia juga takut kehilangan Soojung.

“Jangan berkata itu lagi,” kata Jongin dengan napas terengah-engah. Kening keduanya masih menempel. Jongin masih mampu merasakan terpaan napas hangat Soojung di sekitar wajahnya. “Jangan berkata seperti itu lagi. Karena kita tidak akan pernah berpisah. Kau sudah berjanji padaku.”

Soojung tersenyum mendengar penuturan Jongin. Iya, dia memang sudah berjanji demikian pada Jongin. Mereka tidak akan berpisah. Lagi. Karena perasaan keduanya sudah menjadi satu. Cinta mereka sama. Sama besarnya dan sama dalamnya.

“Jongin?”

“Ya?”

“Menurutmu, definisi akhir yang bahagia itu seperti apa?”

Kening Jongin mengerut. Akhir yang bahagia? “Selalu bersama selamanya, tentu saja,” jawab Jongin tanpa ragu.

Soojung tersenyum kembali. Mengangguk perlahan sebelum berkata, “Yah, tentu saja. Selalu bersama salah satu akhir yang bahagia.” Soojung menarik napasanya sebelum melanjutkan perkataannya. “Tapi, ada definisiku mengenai akhir yang bahagia sekarang ini sedikit bergeser.”

Jongin menatap Soojung tidak mengerti. “Memang seperti apa?”

“Definisi akhir yang bahagia itu…,” Soojung mendekatkan wajahnya pada wajah Jongin. Hati-hati bibirnya menempel pada bibir Jongin. Bibir tipi situ tampak bergerak lembut di bibir tebal Jongin. Setelah cukup lama memangut bibir sang kekasih, Soojung kembali bersuara. Mengatakan sesuatu yang mungkin akan terus Jongin ingat.

“Selama kita memiliki perasaan yang sama itu cukup. Selama kita mempunyai kenangan indah bersama itu cukup. Bukankah tidak ada kehidupan yang abadi, Jongin. Jika tidak ada penyakit ini pun suatu saat kita akan berpisah. Tapi, yakinlah ada kehidupan abadi yang mempertemukan kita kembali. Ketika kita bisa melaluinya dengan tetap saling meyakini cinta satu sama lain. Kurasa itu tetap akhir yang bahagia, bukan begitu?”

O0O

Jongin menyandarkan punggungnya pada dinding. Kepalanya menunduk. Dia hanya menatap keramik lantai rumah sakit dengan pandangan kosong. Dirinya masih panic, cemas, dan gusar. Terus saja pemuda itu menyalahkan diri sendiri dalam hati.

Seharusnya dia tadi bisa melihat bahwa Soojung sedang tidak dalam kondisi baik-baik saja. Seharusnya tadi Jongin mengamati Soojung lebih lekat hingga mampu menangkap raut pucat sang kekasih. Ahh, tapi Jongin tidak melakukannya. Dia hanya terfokus pada perkataan Soojung. pada pertanyaan-pertanyaan gadis itu. Dan begitu menyadari ketidakberesan Soojung, gadis itu seketika saja kolaps di depan matanya. Kolaps setelah mengucapkan sesuatu mengenai akhir yang bahagia. Kolaps setelah menciumnya.

“Jongin.”

Itu suara tuan Jung. Pria paruh baya itu menepuk pundak Jongin pelan. “Ini bukan salahmu, yang terjadi pada Soojung nantinya adalah takdir. Lebih baik kita mendukungnya lewat doa,” kata tuan Jung dengan bijaksana.

Jongin mengigit bibirnya. Matanya terasa panas. Dan pelupuk matanya tersa berat. Tuan Jung seakan mengerti apa yang dirasakan Jongin segera mendekap tubuh kekasih putrinya itu. Menepuk punggung Jongin hingga pemuda itu mengeluarkan isakan kecil dalam dekapan tuan Jung.

“Saya mencintainya. Saya tidak mampu kehilangan dirinya paman,” ujar Jongin dengan suara paraunya. Tuan Jung mengangguk mengerti. Dia tahu perasaan Jongin. Karena dia juga memiliki ketakutan yang sama.

.

.

.

Cklek.

Tubuh semua orang yang ada di sana terkesiap. Terutama setelah Minho keluar dari ruangan itu. Dokter muda itu menghela napas perlahan sebelum menatap semua orang yang ada di sana satu per satu. “Silahkan jika ingin menemui Soojung,” Minho mempersilahkkan.

“Gunakan waktu ini secara bijaksana. Karena sungguh kondisi Soojung amat kritis, dan saya tidak bisa banyak membantu,” tambah Minho lagi.

Tubuh Jongin menegang. Tidak? Ini bukan waktunya, kan?

.

.

.

.

.

.

.

Jongin memasuki ruang ICU dengan ragu. Ini sudah giliran terakhir. Sebelum ini orang tua Soojung, teman-teman, dan keraat gadis itu sudah bergantian menjenguk sang gadis. Dan sekarang adalah giliran Jongin.

Pertama kali memasuki ruangan ini, Jongin di sambut dengan suara alat mengukur detak jantung. Entah apa namanya, Jongin bahkan tidak tahu. Hawa dingin sedikit menyelimuti diri Jongin ketika melangkah masuk ke dalam ruangan bernuansa hijau-putih itu. Di sana ada sebuah ranjang. Dengan seseorang terbaring lemah di atasnya.

Itu Soojung. Soojung-nya Kim Jongin.

Jongin melangkah mendekat. Ketika tiba di sisi ranjang Soojung, pemuda itu segera meraih jemarinya. Mengecupnya perlahan sebelum menggenggamnya begitu erat. Rasanya baru 3 jam yang lalu keduanya masih mampu berbagi kasih. Dan sekarang Soojung sudah tidak memiliki daya lagi.

“Soojung, kau berjanji untuk tidak meninggalkanku, bukan?” Jongin mulai bersuara. berbicara seolah Soojung mampu mendengarnya. “Kau harus menepatinya. Kau tidak boleh pergi.”

Jongin menarik napasnya. Entah mengapa meski meminta Soojung tetap tinggal di sisinya, ada perasaan yang memerintah dirinya untuk tidak bersikap egois. Sekarang, Soojung pasti sedang merasakan sakit. Dia sudah melalui ini sepanjang hidupnya. Soojung pasti merasa tersiksa. Dan Jongin tidak mau Soojung tersiksa lebih lama lagi.

Tapi, itu berarti Jongin harus merelakan Soojung untuk pergi. Tapi, apa dirinya sanggup?

“Jo-Jongin….”

Jongin terkesiap. Kelopak matanya mengerjap perlahan. Ternyata benar itu suara Soojung.

“Jo-Jongin….”

“Tunggu sebentar, Soojung. Aku akan panggilkan Minho hyung.”

Soojung segera menarik lengan Jongin. Menggeleng pelan, “Tidak perlu, Jongin. Kau di sini saja. Temani aku,” kata gadis itu lemah.

Jongin terdiam sebentar. Tidak selang berapa lama, pemuda itu mengangguk. “Apa kau merasa sakit?”

Soojung menggeleng pelan. “Tidak. Aku hanya merasa lelah,” ujar gadis itu sembari tersenyum lembut. “Maaf sudah membuatmu khawatir, Jongin.”

“Tidak apa-apa. Sudah. Jangan banyak bicara,” kata Jongin sambil mengusap puncak kepala Soojung penuh sayang.

“Jongin?” gumam Soojung memanggil nama Jongin. “Aku mengantuk. Boleh aku tidur?”

Jongin mengigit bibirnya. Matanya kembali merasakan panas. “Tidurlah. Kau harus istirahat. Kau lelah, bukan Soojung?”

Soojung mengangguk. Dengan gerakan kaku, gadis itu menarik telapak tangan Jongin. Menempatkannya di sebelah wajah. Menggenggamnya erat.

“Aku mencintaimu, Jongin,” ujar gadis itu sembari memejamkan matanya perlahan.

Jongin merasa pandangannya mulai berkabut. Pelupuk matanya semakin berat. Dan suaranya nyaris tertahan di kerongkongan.

“Aku juga mencintaimu, Soojung-a.”

Nit…. Nit…. Nit…. Tuuuuuuuuuuuuuut….

Pegangan tangan Soojung mengendur sejalan dengan bunyi nyaring yang memenuhi seluruh ruangan.

Jongin hanya mampu mematung di tempat saat semua orang sibuk dengan Soojung-nya.

Kini Jongin harus menunggu dalam jangka waktu yang sangat lama untuk bertemu dengan Soojung kembali. Karena Soojung harus tertidur untuk waktu yang sangat lama.

O0O

10 years later

“Doktel Kim!”

Seorang anak kecil menghampiri sosok berjas putih yang berdiri tidak jauh dari tempatnya berada. Sosok itu tersenyum menyambut sang malaikat kecil yang kini sudah memeluk kaki jenjangnya.

“Doktel tolong, appa memaksaku minum obat pahit itu.”

Sang dokter tertawa mendengar aduan salah seorang pasiennya. Seorang bocah lelaki tampan dengan pipi tembam kemerah-merahan. “Tapi, kalau Hunseol tidak mau minum obat maka tidak akan sembuh. Mau nanti dokter suntik, hum?”

Bocal lelaku bernama Hunseol itu menggeleng cepat. Bagi dirinya jarum suntik lebih mengerikan daripada obat. Lebih baik minum obat yang terasa pahit daripada kena suntik dan merasakan linunya selama berhari-hari.

“Yak, Oh Hunseol!”

Seorang pria muda berkulit putih tampak berlarian kea rah Hunseol. Wajahnya terlihat cemas. “Kau ini, kenapa lari. Appa bisa dimarahi eomma  jika kau kabur begitu,” omel sang ayah pada bocah lelaki yang tengah bersembunyi di balik tubuh sang dokter.

“Yak, Oh Sehun jangan memarahi pasienku.”

Sehun mendengus mendengar perkataan sang dokter. “Tapi, dia putraku, Kim Jongin. Jadi, aku berhak memarahinya.”

Jongin mendesah pelan. Entah mengapa Sehun yang terkenal kalem dan tenang bisa tidak sabaran menghadapi putranya sendiri. “Bujuk dia pelan-pelan Oh Sehun. Kalau kau membujuknya dengan benar, pasti Hunseol akan menurutimu. Iya kan, Hunseol?”

Hunseol hanya mengangguk. Sehun menatap sang putra lekat-lekat. Mendesah pelan sebelum meraih sang putra dalam gendongannya. “Maafkan appa, Hunseol. Pekerjaan appa cukup mengganggu akhir-akhir ini. Jjadi, tidak sabaran padamu. Sekarang minum obat, yah?”

Hunseol mengangguk patuh. Bocah kecil itu lantas melingkarkan lengannya ke leher sang ayah. “Hunseol juga minta maaf. Hunseol sayang, appa.”

Sehun dan Jongin terkekeh bersamaan. Bocah lelaki berusia 3 tahun itu memang selalu bertingkah menggemaskan. “Terima kasih sudah membujuknya, Jong.” Jongin hanya mengangguk mendengar ucapan Sehun. “Segeralah menyusul, kau sudah cocok jadi appa!” seru Sehun sebelum membawa Hunseol pergi kembali ke kamar rawatnya.

Jongin mendesah pelan. Anak yah?

Jongin sudah berulang kali mencoba berkenalan dengan para gadis lajang di luar sana. Kenalan Sehun dan Chanyeol. Kenalan kedua orang tuanya. Bahkan sesekali pemuda berkulit tan itu mengikuti kencan buta. Tapi, selalu gagal.

Bayangan masa lalu selalu mengikutinya. Tidak mau lepas. Bahkan hingga sekarang.

Jongin mendesah pelan. Beralih memandangi ke luar jendela. Di luar sana ada taman kecil yang ditanami berbagai macam bunga. Salah satunya bunga matahari. Bunga favorit Jongin.

Jongin apa kau bahagia?

Jongin menutup matanya perlahan.

Jongin? Kau bahagia?

Jongin tersenyum. Suara itu masih dapat di dengarnya.

“Tentu, Soojung. Aku bahagia.”

Benarkah?

“Tentu. Selama aku masih mengenangmu. Aku akan selalu bahagia.”

Tapi, kau terlihat kesepian.

Jongin hanya tersenyum dan tidak membalas bisikan itu.

Kau harus melanjutkan hidupmu, Jongin. Berbahagialah.

Jongin membuka matanya perlahan. Helaan napas panjang keluar dari mulutnya. “Aku pasti akan melanjutkan hidupku, Soojung. Tapi, tidak sekarang. Ijinkan aku mengenangmu lebih lama. Ijinkan aku untuk menempatkan dirimu di hatiku lebih lama, my sunshine.”

.

.

.

.

.

.

END

 

Huuuftt.. satu tanggunganku beres.. hihihi… Baiklah…. Mengenai definisi akhir yang bahagia…. Ada pergeseran makna mengenai akhir bahagia menurut versiku dalam cerita. Selama keduanya sudah saling memiliki itu cukup. Tidak ada cinta yang lain. Itu akhir yang bahagia. Mengapa demikian? Soojung dia bisa menjalani kehidupan normalnya. Mencintai dan dicintai oleh Jongin hingga akhir menutup mata. Jongin, memang kesepian. Tetapi, kini hidupnya penuh makna. Pada akhir kisah dia sudah mewujudkan mimpi terbesarnya meski Soojung tidak lagi berada di sisinya. Karena bagi Jongin Soojung ada di dalam hatinya.

Intinya semua orang pasti memang menginginkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Tetapi, harus diingat. Kita tidak bisa memaksakan kebahagian di dunia yang fana ini. Kita hanya bisa berupaya. Selebihnya, terserah yang kuasa. Yang penting sudah berupaya. Masih ada alam lain. Lebih abadi dan menanti kita.

Setelah ada pertemuan, pasti ada perpisahan.

Jadi, setelah pertemuan dalam kisah ini sudah waktunya berpisah dengan Sunshine. Terima kasih atas supportnya selama ini. Maaf jika kisah ini di luar ekspektasi pembaca. ^^

 

Salam sayang: Lee-jungjung

Big thanks to Nisanoona ^^ : terima kasih sudah sangat mendukung cerita ini sejak awal. Sampai menawarkan cover dan beneran dibikinin. Terima kasih sekali Nisa…


TELL ME WHAT IS LOVE

$
0
0
Kumpulan Drabble Mari lihat bagaimana pendapat mereka tentang apa itu cinta. . Manusia hanya bisa be

#Prolog Love and Madness

$
0
0

Title : Love and Madness
Author : batomvermello
Cast : EXO’s Kai as Kim Jongin, OC as Nam Jihye
Other Casts: WINNER’s Taehyun as Nam Taehyun
Genre : Psychology, Drama, Marriage Life, Romance
Rating : PG 17

‘That’s why love is madness. It’s too easy to lose your mind when you lose your heart.’
***


Prolog

Sanghae Medical Center merupakan salah satu rumah sakit berkelas internasional yang berasal dari Korea Selatan. Berpusat di Seoul dan memiliki cabang di seluruh penjuru dunia dan terkenal dengan pelayanan serta pengobatannya yang tidak pernah mengecewakan. Ruangan paling biasa di rumah sakit ini sudah dilengkapi dengan living room, personal computer, large bed, sofa set, television set, tea table, chair dan hal lain yang membuat pasien merasa seperti berada di hotel bintang 5. Pada awalnya, Sanghae Medical Center merupakan rumah sakit khusus tulang belakang dan jantung, namun seiring dengan perkembangan global, Sanghae Medical Center sudah bergerak diseluruh bidang kesehatan, termasuk kejiwaan.

Sanghae Mental Asylum juga memiliki nilai yang sama bagusnya dengan cabang Sanghae Medical Center yang lain dengan pelayanan dan fasilitas yang tidak kalah memuaskan. Bahkan Sanghae Mental Hospital mendapatkan penghargaan sebagai rumah sakit jiwa dengan pelayanan paling ramah dari Menteri Kesehatan. Namun, terdapat desas desus buruk tentang rumah sakit ini, seperti halnya banyak penjahat politik yang pura pura gila dan memilih dirawat di Sanghae Mental Asylum. Jelas saja karena rumah sakit jiwa seperti hotel bintang 5 ini jauh lebih baik daripada penjara.

Sayangnya, Sanghae Mental Asylum tidak pernah sebagus dan seluarbiasa itu dimata seorang gadis bernama Nam Jihye. Dia baru saja diberikan suntikan penenang karena untuk yang ke 78 kalinya mencoba kabur dari sana. Menurut Jihye, Sanghae Mental Asylum tidak jauh beda dengan neraka paling dalam. Penuh kekangan, orang orang licik dan menjijikan serta penyiksaan tidak manusiawi yang dilakukan kepadanya karena dia tidak pernah merasa gila.

Sampai suatu ketika Psikiater baru datang ke dalam kamarnya, Jihye bisa membaca nama pada Nametag hitam di jas putih bersih pria itu, Kim Jongin, nama yang tidak terlalu asing pada ingatannya yang mulai rusak akibat berbagai obat bahaya yang telah bercampur dengan sel sel ditubuhnya. Dan melihat Kim Jongin berada dihadapannya sebagai Dokter Kejiwaan di rumah sakit itu, Jihye merasa hal yang lebih buruk akan terjadi padanya sebentar lagi. Pria ini bisa saja balas dendam disaat hidupnya berada pada titik paling menyedihkan.

***
INTRODUCE:

Nam Jihye
Gadis itu percaya bahwa dia tidak gila meskipun sudah mendekam di Sanghae Mental Asylum selama hampir satu tahun. Berkali kali mencoba kabur dan mencari kebebasannya yang dicuri, namun selalu gagal dan mendapatkan akibat yang bisa membuatnya menjadi gila sungguhan. Dia dianggap gila semenjak adik lelakinya meninggal dunia karena kecelakaan mobil, waktu itu dia yang menyetir sehingga rasa bersalah membuat jiwanya terganggu. Pada saat yang tidak berjauhan, ayahnya terjerat kasus korupsi dan harus mendekam di penjara, membuat jiwa Nam Jihye menjadi semakin tidak stabil.
Dulunya, Jihye merupakan gadis cerdas, selalu masuk top student dengan prestasi paling hebat semenjak sekolah dasar dan lulus dengan predikat cumlaude di SNU. Wajahnya juga cantik sekali, kulitnya putih bersih dan memiliki badan bak seorang model. Kaya raya, tentu saja dia selalu memiliki apapun yang gadis seusianya inginkan. Keluarganya juga tipikal harmonis dan bahagia. Paling penting, dia hampir bisa dikatakan tidak butuh bantuan orang lain. Namun semua berubah semenjak kejadian itu, dimana dunianya jungkir balik untuk pertama kali.

Kim Jongin
Mendapati gelar Dokter dan Psychiatrist dari Harvard Medica School. Dia merupakan dokter muda berbakat yang pernah bekerja di McLean Hospital selama beberapa tahun, kinerjanya tidak diragukan dan sempat mendapatkan penghargaan sebagai Psikiater muda terbaik di McLean Hospital karena mampu menanangkan pasien sakit jiwanya tanpa harus menggunakan hal ekstrim.
Dia memiliki senyuman yang begitu manis dan merupakan pria ramah dengan kepribadian hangat. Sayangnya, itu hanya berlaku bagi orang orang yang menguntungkan.
Oh Sehun
Nam Taehyun
Jung Hyorin
Nam Jonghyun
Park Eunhee

//jongin13.rssing.com/chan-55262109/article231-live.html

$
0
0

img1454311245726

Chunniest Present

^

Don`t Cry My Lover

(Chapter 2)

^

Main Cast :

Kim Myungsoo (INFINITE) – Park Jiyeon (T-ARA) – Park Shinhye

^

Support Cast :

Na moonhee as Park Moonhee (Aktris)

Park Junghwa (EXID)

Park Yoochun (JYJ)

Kim Taehee as Park Taehee

Kim Jaejoong

Park Gyuri as Kim Gyuri

^

Genre: Familly, drama, romance, School life | Length: Chapther

^

Previous :

TeaserChapter 1

^

Mianhae jika readersdeul sudah menunggu ff ini terlalu lama. Semoga suka

Happy reading ^-^

^

DON’T BE A SILENT READERS!!!!!

^

^

Seperti biasanya Myungsoo dan Jiyeon tengah menikmati makan siang mereka di atap. Senyuman tersungging di wajah cantik Jiyeon tatkala melihat betapa lahapnya lelaki dihadapannya memakan bekal yang dibuatnya.

“Besok, apa kau ada acara?” Tanya Myungsoo memulai pembicaraan.

Jiyeon berpikir mengingat apa yang akan dilakukannya besok di hari libur. Sesaat kemudian gadis itu menggeleng membuat Myungsoo menyunggingkan senyum senang.

“Besok aku akan menjemputmu jam 10 pagi. Jangan terlambat bangun kalau tidak aku akan menggendongmu keluar.”

“Memang kita akan ke mana besok?”

“Rahasia. Besok kau akan mengetahuinya. Ingat kau harus sudah siap jam 10 pagi. Mengerti?”

Jiyeon mendengus kesal mendengar perintah Myungsoo. “Dasar tukang perintah.”

“Ada satu lagi yang ingin kutanyakan.”

Manik mata Jiyeon menatap lelaki itu penuh tanda Tanya. “Apa? Katakan saja.”

“Kau lebih suka lilin atau kembang api?”

Kedua alis Jiyeon bertaut mendengar pertanyaan Myungsoo yang aneh. “Untuk apa kau menanyakan itu?”

“Sudah jawab saja. Kau lebih suka yang mana?”

“Aku lebih suka kembang api. Karena api lebih indah daripada lilin. Sebenarnya ada apa dengan pertanyaan aneh itu?”

“Besok kau akan mengetahuinya.” Myungsoo kembali melanjutkan acara makannya.

“Aiishhh… Sok misterius.”

Tanpa Jiyeon sadari, Myungsoo tengah merencanakan sesuatu yang akan di lakukannya besok.

 

*   *   *   *

 

Sepulang sekolah Myungsoo berjalan santai dengan tas ransel tersampir di salah satu bahunya. Bibirnya tak henti-henti mengumbar senyuman mengingat apa yang hendak di lakukannya besok.

“Apa kau gila senyum-senyum sendiri?” Tanya Jongin membuyarkan lamunan Myungsoo.

“Aku memang sedang gila.”

“Apa karena gadis yang kau bicarakan kemarin?” Penasaran Jongin.

“Rahasia.”

Langkah kedua lelaki itu terhenti saat Shinhye menghadang langkahnya. Myungsoo menatap gadis itu dengan tatapan bingung, sedangkan Jongin tersenyum senang melihat gadis cantik yang pernah menolak cintanya.

Annyeong Myungsoo-ssi, apa kau masih ingat denganku?” Sapa Shinhye dengan nada ceria.

Myungsoo mengamati wajah Shinhye dan merasa belum pernah bertemu dengan gadis itu kecuali dia selalu mendapati gadis itu mengamatinya terus.

“Memang kita pernah bertemu? Aku tidak ingat.”

Shinhye sedikit kecewa karena Myungsoo tak mengingatnya. “Kau pernah menolongku saat aku hampir terjatuh beberapa hari yang lalu.”

Tatapan Myungsoo beralih ke arah kruk yang berada di lengan gadis itu. Dia langsung teringat memang dirinya pernah menolong gadis itu.

“Ohh… kau gadis yang ceroboh itu? Ada urusan apa menemuiku?” Tanya Myungsoo.

“Aku ingin mengucapkan terimakasih. Besok bisakah kita bertemu? Aku ingin mentraktirmu makan siang.” Shinhye tampak gugup karena ini pertama kalinya dirinya mengajak seorang lelaki untuk pergi bersamanya.

“Sayang sekali aku ada acara. Lagipula kau tak perlu melakukan itu. Jika kau sudah selesai aku harus pergi.”

Myungsoo berjalan meninggalkan Shinhye yang menghela nafas kecewa mendengar penolakan lelaki itu. Sebelum Shinhye juga beranjak pergi, dia melihat Jongin senyum-senyum padanya membuat gadis itu merasa jijik melihatnya.

“Bagaimana jika aku yang menggantikan Myungsoo?” Tawar Jongin dengan sangat senang hati.

“Sayang sekali aku tidak tertarik Jongin-ssi.”

“Kau sudah dua kali menolakku Shinhye-ssi, tidak bisakah kau memberiku kesempatan?”

“Kalau begitu aku kembali menolakmu untuk ketiga kalinya.” Shinhye berbalik pergi meninggalkan Jongin dengan wajah sedihnya.

 

*   *   *   *

 

Keesokan harinya Jiyeon seperti orang gila saja bingung memilih baju apa yang akan dipakainya. Semua isi lemari sudah dikeluarkannya tapi entah mengapa gadis itu merasa tidak cocok memakai semua baju itu.

“Aiiissshhh….Ada apa sih denganku? Kenapa aku jadi terlihat seperti yeoja yang di ajak kencan kekasihnya?”

Jiyeon semakin panik saat melihat jam sudah menunjukkan 9.30 dan setengah jam lagi Myungsoo akan menjemputnya.

OMO!!! Otteokke? Apa yang harus aku kenakan?” Panik Jiyeon mengamatai semua pakaian yang tersebar di seluruh kamarnya.

“Astaga, apa terjadi gempa bumi di sini?” Heran Moonhee melihat kekacauan di kamar Jiyeon.

“Apa yang terjadi sayang? Mengapa kau terlihat panik begitu?” Moonhee menghampiri cucunya.

“Seseorang mengajakku pergi halmeoni, tapi aku bingung mau mengenakan pakaian apa.”

“Apa dia namja yang kau sukai itu?”

Dengan tersipu malu gadis itu menganggukan kepalanya. Moonhee mengamati semua baju yang sudah Jiyeon keluarkan. Kakinya melangkah dan mengambil celana jeans hitam, kemeja putih dan sweater abu-abu lalu menyerahkannya pada Jiyeon.

“Kenakanlah ini. Kau akan terlihat cantik.”

Jiyeon menatap ragu pakaian yang ada di tangan neneknya lalu memandang Moonhee dengan ekspresi yang sama.

“Apa halmeoni yakin? Tapi pakaian ini terlalu biasa.”

“Jika dia memang benar memiliki perasaan yang sama denganmu, dia akan menyukai dirimu apa adanya. Jadi tidak usah takut untuk tampil layaknya dirimu sendiri.”

Jiyeon terdiam membenarkan ucapan sang nenek. Dia lalu tersenyum dan mengambil pakaian itu dari tangan neneknya.

Gomawo halmeoni.”

Sementara Jiyeon mengganti pakaiannya dan mempercantik diri, Moonhee melipat pakaian-pakaian Jiyeon yang berantakan. Mendengar senandung-senandung dari dalam kamar mandi membuat Moonhee tersenyum senang. Dia senang akhirnya Jiyeon menemukan kebahagiaannya sendiri.

Tepat saat Moonhee selesai merapikan baju Jiyeon dan memasukkannya ke dalam lemari, terdengar bel rumah berbunyi sangat nyaring. Pintu kamar mandi terbuka dan kepala Jiyeon keluar dari balik pintu itu.

Halmeoni bisakah kau membuka pintunya dulu? Sebentar lagi aku akan selesai.” Pinta Jiyeon.

“Tentu saja sayang.”

Moonhee keluar dari kamar Jiyeon dan berjalan menghampiri pintu dan membukanya. Seorang lelaki mengenakan celana jeans hitam dengan kaos putih yang dibalut jaket kulit hitam tersenyum canggung pada Moonhee.

A-annyeong hasseyo, saya Kim Myungsoo teman Jiyeon, apakah Jiyeon ada?” Tanya Myungsoo dengan bahasa yang sopan.

“Ada, sebentar lagi dia kan turun, masuklah.”

Moonhee mempersilahkan Myungsoo masuk ke dalam rumah yang tidak terlalu besar itu. Mereka duduk di ruang tamu sederhana dengan sofa biru muda bercorak salju-salju. Myungsoo mengamati seluruh ruang tamu itu. Banyak sekali foto-foto Jiyeon bersama neneknya. Namun yang membuat Myungsoo bingung, tak ada satu pun foto Jiyeon bersama kedua orangtuanya.

Selagi Myungsoo mengamati ruang tamu, Moonhee memperhatikan lelaki itu dengan tatapan penilaiannya. Rambut yang dicat blonde membuat lelaki itu terlihat nakal namun senyuman dan ucapan sopan lelaki itu menyikirkan kata ‘nakal’ darinya. Dan juga nama ‘Kim Myungsoo’ terdengar sangat bagus.

Terdengar derap langkah kaki mendekat. Perhatian keduanya teralihkan menuju ujung lorong itu. Seketika tubuh Myungsoo mematung dan dia tak sadar membuka mulutnya saat melihat Jiyeon. Ini pertama kalinya Myungsoo melihat Jiyeon mengenakan pakaian lain selain seragam sekolah yang membosankan. Jiyeon terlihat begitu manis di mata Myungsoo membuat lelaki itu tak mampu memandang ke arah lain.

“Apa aku terlihat aneh? Mengapa kau memandangku seperti itu?” Tanya Jiyeon menatap penampilannya sendiri.

Myungsoo segera menggelengkan kepalanya. “Aniyo. Kau terlihat… terlihat berbeda. Bisakah kita pergi sekarang?” Entah mengapa sulit sekali mengatakan kata ‘cantik’ terutama ada sang nenek di dekatnya.

“Tentu saja. Halmeoni, kami pergi dulu ne?” Pamit Jiyeon.

“Hati-hati dijalan.” Moonhee melambaikan tangan penuh semangat.

Saat berada diluar Jiyeon terkejut dengan benda besar terparkir di depan rumahnya. Sebuah motor sport hitam biru terlihat gagah berdiri diatas tanah.

“Nih pakailah.” Myungsoo menyerahkan sebuah helm hitam kepada Jiyeon.

“Kkk..kita akan naik ini?” Jiyeon menunjuk motor itu dengan tatapan ngeri.

Waeyo? Kau takut?” Tantang Myungsoo mengenakan helmnya sendiri dan menaikki motornya itu.

Ani. Untuk apa aku takut naik motor seperti itu.” Jiyeon memakai helm yang diberikan lelaki itu lalu dengan perlahan dia naik dibelakang Myungsoo tanpa menyentuhnya.

“Pegangan.” Perintah Myungsoo.

Jiyeon melihat ke sekililingku untuk mencari sesuatu yang bisa dijadikan pegangan tapi percuma saja karena dia tidak menemukan benda yang diinginkannya.

“Aku harus pegangan di mana?” Tanya Jiyeon polos karena memang gadis itu belum pernah sekalipun naik motor balap seperti ini.

Tiba-tiba kedua tangan Jiyeon ditarik kedepan dan dilingkarkannya diperut lelaki itu membuat dadanya menempel erat di punggung Myungsoo. Jelas saja Jiyeon langsung memukul helm Myungsoo keras.

“Apa kau berusaha mencari kesempatan dalam kesempitan HUH?” Teriak Jiyeon menjauhkan tubuhnya dari Myungsoo.

“Terserah kau jika tidak mau tubuhmu terbawa angin.”

Setelah menghidupkan mesin motor itu, Myungsoo segera melajukan motornya dengan kecepatan yang menurut Jiyeon terlalu tinggi. Karena takut Jiyeon menutup kedua matanya dan memegang erat ujung jaket Myungsoo.

OMO!! lelaki ini benar-benar ingin membunuhku. Oh Tuhan lindungilah aku dari percobaan pembunuhan ini, aku mohon Tuhan. Doa Jiyeon dalam hati.

 

*   *   *   *

 

Shinhye memandang jendela rumah dengan tatapan yang bosan. Tak ada hal menyenangkan yang bisa dilakukannya di hari libur. Shinhye ingat saat Jiyeon masih tinggal dirumah ini, biasanya dia dan adiknya akan bermain video game atau monopoli. Namun sekarang tidak ada yang menemaninya bermain atau pun sekedar berjalan-jalan.

Pintu kamar terbuka mengalihkan tatapan gadis itu. Dia melihat sang ibu tengah berbicara dengan seseorang di ujung telpon seraya berjalan menuju dapur. Shinhye meraih kruknya dan mengikuti ibunya. Dengan sabar gadis itu menunggu sang ibu menyelesaikan pembicaraan bisnis di telponnya.

Akhirnya setelah sepuluh menit menunggu Taehee meletakkan ponselnya di meja lalu meneguk segelas air yang dituangnya tadi.

Eomma.” Panggil Shinhye.

Taehee menoleh dan tersenyum lembut pada putrinya.

“Ada apa sayang? Apa kau butuh sesuatu?”

Eomma bolehkah aku pergi ke rumah halmeoni? Aku bosan di rumah.”

Seketika senyuman Taehee lenyap mendengar permintaan Shinhye.

“Tidak. Kau pasti sudah tahu eomma tidak akan mengijinkanmu ke sana bukan? Jika kau ingin pergi ke tempat yang eomma akan mengantarmu tapi jika kau ingin ke sana, eomma tidak akan mengijinkanmu.”

Wajah Shinhye berubah sedih mendengar penolakan dari ibunya. “Tapi eomma, aku merindukan halmeoni juga …”

Eomma tetap tidak akan mengijinkanmu. Eomma harus kembali bekerja. Jika kau ingin pergi selain ke sana katakan pada eomma, eomma akan mengantarmu.”

Taehee meninggalkan Shinhye yang menghela nafas berat. Gadis itu berjalan menuju kamarnya dan mengunci diri dalam ruang privasinya itu. Dari luar kamar terdengar isakan kecil yang berasal dari Shinhye. Gadis itu begitu sedih tak bisa bertemu nenek dan juga adiknya.

 

*   *   *   *

 

“Kita sudah sampai turunlah.” Samar-samar Jiyeon mendengar ucapan Myungsoo. Namun karena masih ketakutan Jiyeon belum kunjung membuka matanya.

Lama tak memberi respon pada ucapannya, Myungsoo melepaskan tangan Jiyeon yang memeluk perutnya erat.

“YAA!!!kau membuat perutku sakit. Cepat lepaskan!”

Jiyeon segera turun dari motornya namun ketakutannya yang berlebihan membuat tubuh gadis itu limbung. Dengan sigap Myungsoo memegangi tangannya dan menahan tubuhnya.

“Kau tidak apa-apa?” Tanya Myungsoo melihat wajah pucat Jiyeon.

“YA!! Apa kau ingin membuatku mati muda HUH? Tidak bisakah kau mengendarainya dengan pelan?” Jiyeon menepis tangan Myungsoo lalu berjalan meninggalkannya.

Namun belum berselang lama Myungsoo berhasil menyusulnya.

Mianhae. Jika sedang mengendarai motor membuatku lupa semuanya. Jangan cemberut seperti itu kau ingin membuatku malu dilihat orang sedang berjalan dengan bebek buruk rupa?” Ejek Myungsoo melihat Jiyeon memanyunkan bibirnya kesal.

“Siapa yang kau bilang bebek buruk rupa huh? Kau lebih parah lagi rambut landak pirang.” Balas Jiyeon

Jiyeon tertawa melihat Myungsoo panik merapikan rambutnya yang agak berantakan karena mengenakan helm tadi. Sepertinya bagi lelaki itu penampilan adalah nomor satu.

“Berhentilah menertawakanku. Ayo kita masuk.” Tawa Jiyeon terhenti saat Myungsoo menarik tangannya masuk ke dalam sebuah taman hiburan.

Merasakan genggaman tangan Myungsoo yang hangat membuat jantung Jiyeon berdegup tak beraturan. Ada perasaan senang membuncah di hati Jiyeon bisa merasakan bergandengan tangan saat berkencan. Mungkin bagi Myungsoo ini bukanlah kencan hanya hiburan biasa tapi bagi Jiyeon ini merupakan kencan pertamanya dengan lelaki yang disukainya itu.

Detik berikutnya kedua orang itu terlihat asyik menaiki seluruh wahana yang ada di taman hiburan itu. Tak jarang mereka menjerit saat mencoba wahana yang menantang adrenalin dan tak jarang juga mereka tertawa bersama saat merasakan keasyikan bermain.

Karena hari itu adalah akhir pekan maka tidak heran banyak sekali orang yang mengunjungi taman hiburan itu. Namun ketika menaiki beberapa wahana Jiyeon merasa sedih karena mengingatkannya saat dulu dirinya bermain bersama sang kakak di sana.

Tak terasa waktu berlalu dengan cepat hingga langit berubah menjadi gelap. Dan wahana terakhir yang belum mereka naikki adalah bianglala. Terlihat dari antriannya bagaikan kereta tampaknya wahana ini adalah wahana paling diminati oleh pengunjung.

“Kau yakin kita akan naik ini?” Tanya Jiyeon sedang mengantri.

“Tentu saja. Memang kenapa? Apa kau tidak menyukainya?”

Ani hanya saja aku heran kau ingin naik wahana ini, kulihat sepertinya kau lebih menyukai wahana yang menantang.” Sejak tadi Myungsoo memang lebih banyak mengajak Jiyeon menaikki wahana yang menantang adrenalin daripada wahana biasa.

“Bukankah wahana ini juga menantang adrenalin karena ketinggiannya?”

Jiyeon merasa ada yang aneh dengan lelaki yang berdiri di sampingnya, sepertinya Myungsoo sedang merencanakan sesuatu.

Akhirnya setelah setengah jam berlalu antrian terus berjalan dan sekarang giliran Myungsoo dan Jiyeon yang akan naik. Setelah Myungsoo dan Jiyeon masuk, wahana itu bergerak membuat tempat mereka semakin lama semakin menjauhi tanah. Eunseung tampak terpesona dengan pemandangan indah penuh dengan kelap-kelip lampu yang dilihatnya dari atas bianglala. Namun berbeda dengan Myungsoo, dia justru lebih suka melihat gadis yang duduk di hadapannya.

Tepat saat mereka berada tepat di titik atas, wahana itu terhenti. Lalu satu persatu kembang api menghiasi langit malam. Jiyeon semakin takjub dengan pemandangan yang begitu cantik itu.

Fireworks

“Apa kau ingat kau lebih memilih kembang api daripada lilin?”

Mendengar pertanyaan Myungsoo Jiyeon langsung menoleh dan menatapnya tak percaya.

“Apa kau yang merencanakan kembang api itu?”

Myungsoo menganggukkan kepalanya. Myungsoo mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Jiyeon. Tatapannya tak lepas dari gadis itu membuat jantung Jiyeon semakin memompa dengan keras.

“Maukah kau menjadi milikku Jiyeon-ah?”

Hati Jiyeon membeku dan seakan darah dalam otaknya berhenti mengalir mendengar pertanyaan yang selalu dinantikannya. Ingin sekali Jiyeon mencubit lengannya untuk memastikan apakah dia sedang bermimpi atau tidak tapi di sisi lain dia tidak ingin Myungsoo melepaskan genggamannya.

Tanpa Jiyeon sadari, Myungsoo juga merasa gugup dengan pengakuannya. Dia takut jika Jiyeon menolaknya. Untuk seorang Kim Myungsoo yang selalu memiliki apapun yang diinginkannya akan merasa sulit mendengar penolakan Jiyeon.

“Jiyeon-ah, apa kau mendengarku?” Tanya Myungsoo kembali karena tak kunjung mendengar jawaban dari Jiyeon.

“Bisakah kau mengulangnya?” Pinta Jiyeon.

Myungsoo menghela nafasnya berat. Myungsoo sudah sangat gugup mengucapkannya dan dia harus mengulangnya lagi.

“Apakah kau mau menjadi milikku Park Jiyeon?” Ulang Myungsoo dengan suara yang lebih rendah.

“Maksudmu menjadi kekasihmu?”

Myungsoo menganggukan kepalanya. Kali ini giliran Jiyeon yang menganggukan kepalanya.

“Aku mau.”

Tampak secercah kebahagian muncul di mata Myungsoo saat mendengar jawaban Jiyeon. Dengan perlahan Myungsoo mendekatkan wajahnya pada Jiyeon. Seakan mengerti apa yang hendak lelaki itu lakukan Jiyeon menutup mata menanti tindakan Myungsoo.

Cklekkk….

Sepertinya Dewi Fortuna sedang tidak berpihak pada sepasang kekasih baru itu karena mereka harus menunda kegiatannya.

“Waktu kalian sudah habis.” Ucap petugas bianglala yang membuka pintu.

Myungsoo menghela nafas kecewa lalu menarik tangan Jiyeon keluar dari bianglala. Mereka berjalan dengan bergandengan tangan. Jiyeon menatap tangannya yang tenggelam dalam tangan Myungsoo yang lebih besar. Kedua pipinya bersemu merah menyadari dirinya baru saja menjadi kekasih lelaki itu.

KRRIIUUKKKK…..

Jiyeon melihat ke arah Myungsoo karena dirinya merasa itu bukanlah suara dari perutnya.

“Apa kau lapar?” Tanya Jiyeon yang hanya dibalas cengiran dari Myungsoo.

“Aaiissshhh… Kau merusak suasana romantis saja. Ayo kita mencari tempat duduk aku membawakanmu bekal tadi.” Sekarang giliran Jiyeon menarik kekasihnya untuk mencari tempat duduk di salah satu taman hiburan itu.

Beberapa saat kemudian mereka sudah duduk di kursi. Setelah duduk Jiyeon mengeluarkan dua bekal yang dibuatnya tadi pagi dari dalam tas. Dia menyerahkan satu bekal untuk Myungsoo dan membuka bekalnya sendiri.

“Mari kita makan. Selamat makan.” Ucap mereka bersamaan sebelum melahap bekal itu.

 

*   *   *   *

 

Motor sport itu berhenti tepat di depan rumah Jiyeon. Gadis itu turun dari atas motor dan melepaskan helm yang dikenakannya. Tak ada lagi ketakutan di ekspresi wajah gadis itu karena tadi Myungsoo berusaha menahan diri untuk tidak mengebut. Setelah menyerahkan helm pada Myungsoo, gadis itu pergi saja meninggalkan lelaki tanpa mengucapkan sepatah katapun.

“YA!! Apa eommamu tidak mengajarkanmu untuk berpamitan huh?” Kesal Myungsoo.

Jiyeon menghentikan langkahnya dan mematung di tempat. Myungsoo turun dari motornya dan menghampiri gadis itu. Tangannya menarik bahu gadis itu untuk menghadap ke arahnya. Berbeda dengan wajah ceria yang Myungsoo lihat tadi, kali ini Jiyeon terlihat bersedih.

“Apa ada yang salah dengan ucapanku? Kenapa kau terlihat sedih?” Tanya Myungsoo mengkhawtirkannya.

Aniyo. Gomawo sudah mengantarkanku. Selamat malam Myungsoo-ssi.” Jiyeon melepaskan tangan Myungsoo dan sedikit berlari menuju rumahnya.

Myungsoo merasa ada sesuatu yang disembunyikan Jiyeon. Dia ingat saat berada di dalam ruamhnya taka da satupun foto kedua orangtuanya.

Apa karena aku menyebut eomma sehingga membuatnya sedih? Ada sesuatu yang disembunyikannya dan aku harus tahu itu. Pikir Myungsoo.

 

*   *   *   *

 

Myungsoo memarkirkan motor sportnya sebelum akhirnya memasuki rumah besarnya. Seragam sekolahnya tampak sedikit kotor karena baru saja bermain basket. Tidak seperti kemarin, kali ini kekasih – Jiyeon – menontonnya meskipun harus mengancam akan menyeretnya dari kelas.

“Anda di cari nyonya besar tuan muda.” Ucap seorang pelayan saat Myungsoo memasuki rumah mewah itu.

“Kapan eomma pulang dari Afrika?” Myungsoo menyerahkan jaket dan tasnya pada pelayan itu.

“Tadi sore tuan muda.” Ucap pelayan itu mengikuti Yunho.

“Lalu dimana eomma sekarang?”

“Nyonya menunggu anda di kamarnya tuan muda.” Jawab pelayan itu.

Gomawo Lee ahjushi.” Dengan senang Myungsoo berlari menuju kamar ibunya.

Tookkk…Tookkk…..

“Masuk.” Ucap seseorang dari dalam kamar.

Eomma bogoshippo.” Teriak Myungsoo memasuki kamar dan langsung memeluknya.

Aroma bunga anggrek yang selalu menjadi aroma khas Gyuri langsung menyerang hidung Myungsoo.

OMO!!! Myungsoo-ya kau seperti anak kecil saja.” Gyuri membalas pelukan putranya.

“Kenapa eomma lama sekali perginya?” Tanya Myungsoo melepaskan pelukkannya.

Mianhae eomma harus tinggal lebih lama di sana karena ada seorang yeoja dengan kandungannya yang lemah sehingga eomma harus memantaunya sampai yeoja itu melahirkan.”

Gyuri adalah seorang dokter. Meskipun dia memiliki salah satu rumah sakit besar di Seoul tapi wanita yang sudah menginjak kepala 3 itu selalu berpergian menuju pedalaman-pedalaman untuk memberikan pengobatan gratis bagi penduduk yang membutuhkan.

PLETAAKKK….

“Aaahh… Sakit eomma. Kenapa eomma memukulku?” Gerutu Myungsoo memegangi kepalanya yang kena jitakan ibunya.

Eomma diberi tahu appamu jika kau menghajar pelajar lain sampai koma.” Myungsoo mulai bersikap waspada jika sudah mendengar nada suara ibunya yang serius itu.

Tuuukkk…..Tuuukkk…Tuukkk….

Dengan buku yang dipegangnya Gyuri memukul kepala putranya sedangkan Myungsoo melindungi kepalanya yang berharga dengan kedua tangan.

“Berani-beraninya kau melakukan itu Kim Myungsoo. Aiishh… eomma tak pernah mendidikmu untuk melakukan hal itu. Eomma selalu mengajarkanmu untuk menolong sesama bukan malah menghajarnya. Jadi siapa yang menyuruhmu menjadi anak nakal huh? Dasar anak nakal.” Marah Gyuri.

“Ampun eomma aku bisa menjelaskan semuanya tapi berhentilah memukulku.” Mohon Myungsoo

Gyuri menghentikan pukulannya lalu dilingkarkan kedua tangannya di depan dadanya menunggu penjelasan putranya

“Jadi apa yang ingin kau jelaskan anak sok jagoan?” Tatapan tajam Gyuri tertuju pada Myungsoo yang duduk di tepi ranjang.

“Ini bukan sepenuhnya salahku eomma. Aku hanya membela temanku yang dihina olehnya.” Jelas Myungsoo namun sepertinya sang ibu belum puas mendengarnya.

“Temanmu siapa?” Tanya Gyuri kembali.

“Tentu saja Jongin siapa lagi. Eomma kan tahu aku tidak mempunyai teman selain namja playboy itu.”

“Bukannya kau tidak mempunyai teman hanya saja kau tidak mau mempunyai teman.” Gyuri menghampiri Myungsoo dan duduk di sampingnya.

“Mereka mendekatiku hanya karena aku anak appa eomma. Mereka hanya mencoba memanfaatkan aku. Berbeda dengan Jongin dia berteman denganku tidak memandang aku anak siapa.”

Gyuri menempelkan dahinya ke dahi Myungsoo.

“Tidak semua orang seperti itu Myungsoo-ya. Paling tidak jangan terlalu tertutup terhadap orang lain. Memang apa yang diucapkan pelajar yang kau hajar itu?”

Myungsoo melepaskan kontak dahi itu dan memandang ke depan mengingat kejadian sebulan yang lalu.

 

~~~Flashback~~~

“Jongin-ah bagaimana kalau kita ikut balapan malam ini?” Ajak Myungsoo saat sedang berada di sebuah caffe.

“Aaiisshh… Shirreo aku yakin hasilnya sama saja kau yang menang.” Tolak Jongin yang masih asyik dengan ponselnya.

“Tapi aku bosan malam ini jika bukan kau siapa yang bisa kuajak balapan?”

“YA!!! Kau yang bernama Kim Jongin?” Teriak seorang lelaki yang tiba-tiba datang menghampiri meja mereka bersama ketiga temannya.

Melihat dari seragam yang dipakainya mereka berasal dari sekolah yang memiliki level lebih rendah dari IF High school, sekolah Myungsoo dan Jongin.

“Aku Kim Jongin. Ada urusan apa denganku?” Jongin menoleh sekilas kea rah mereka.

Tiba-tiba lelaki yang memiliki postur lebih besar dari Jongin menarik kerah seragam Jongin seakan hendak memukulnya. Namun melihat reaksi Jongin yang santai membuat Myungsoo mengurungkan niatnya untuk ikut campur.

“Berani-beraninya kau merebut kekasihku HUH?” Teriak lelaki itu tepat di wajah Jongin.

“Siapa kekasihmu? Banyak sekali yeoja yang dekat denganku jadi aku tidak tahu yang mana kekasihmu.” Jongin tampak tak perduli dengan permasalahan yang dihadapinya itu.

“Hyuna. Kim Hyuna dia adalah kekasihku.”

“Oh Hyunchan. Kurasa dia sendiri yang mengatakan padaku jika dia tidak memiliki kekasih jadi tidak ada halangan untukku mendekatinya kan?” Jelas Jongin membuat lelaki itu geram.

“BRENGSEK KAU!!!!!” Tangan kanan lelaki itu melayang hendak memukul Jongin namun Myungsoo segera menghentikannya dengan tangan kirinya dan menggunakan tangan kanannya untuk meninju wajah lelaki itu.

Lelaki itu tersungkur kebelakang terkena pukulan keras Myungsoo. Darah segar mengalir dari ujung bibirnya. Dengan kasar lelaki itu menghapusnya dan bangkit berdiri dibantu ketiga temannya.

“Sepertinya kau sangat beruntung untuk ukuran namja sepertimu bukan begitu Jongin-ssi?” Ucap lelaki itu membuat Myungsoo bingung.

Myungsoo berbalik untuk melihat wajah Jongin yang sedikit pucat. Sepertinya dia tahu apa yang di maksud lelaki itu.

“Apa maksudmu? Aku tak mengerti.” Jongin berusaha tenang.

“Tak perlu bepura-pura bodoh. Bukankah mengherankan anak haram sepertimu  tidak dikeluarkan dari IF high school yang merupakan sekolah dengan level tertinggi di Seoul? Apa yang akan terjadi jika aku menyebarkan berita ini di sekolahmu Jongin-ssi?” Lelaki itu tersenyum penuh kemenangan melihat wajah Jongin yang semakin pucat.

Myungsoo menatap wajah sahabatnya. Tatapan Jongin tampak kosong dan jelas sekali wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut mendengar ucapan lelaki itu.

“Apa maksudmu?” Tanya Myungsoo pada lelaki itu.

MWO? Apa kau tidak tahu jika temanmu itu adalah anak haram? Benar-benar mengejutkan bukan teman yang selama ini kau anggap baik ternyata adalah anak haram dari So Jisub, salah satu pengusaha yang sedang naik daun.”

Myungsoo menatap Jongin tak percaya. Dia melihat sahabatnya itu terduduk di lantai dengan wajah yang masih menunduk menatap lantai caffe itu.

“Jongin-ah apakah benar yang dikatakannya?” Tanya Myungsoo padanya.

Meskipun tidak terlihat jelas namun sekilas Myungsoo melihat Jongin mengangguk pelan menjawab pertanyaannya.

“Kita lihat saja apa yang akan dilakukan kepala sekolah jika mendengar berita ini tersebar di media massa. Sang kepala sekolah pasti tidak ingin nama sekolahnya tercoreng dengan adanya anak haram ini.” Lelaki itu berbalik meninggalkan tempat ini.

Kedua tangan Myungsoo mengepal kesal mendengar ucapan lelaki itu. Tanpa mempedulikan keadaan sekitar Myungsoo segera berlari menghadangnya dan meninju wajah lelaki itu sampai terjatuh. Myungsoo menduduki tubuhnya dan memberikan tinju-tinju keras tepat di wajah lelaki itu.

Entah setan apa yang merasuki Myungsoo sampai menghajar lelaki itu habis-habisan bahkan ketiga temannya tidak berani menghentikannya. Myungsoo tidak akan membiarkan lelaki itu mencelakai teman satu-satunya. Setelah puas menghajar lelaki yang sudah tak berdaya itu Myungsoo berdiri dari atas tubuhnya.

“Tak akan kubiarkan kau menyakiti temanku INGAT ITU!!!” Ancam Myungsoo sebelum meninggalkannya tak sadarkan diri.

~~~Flashback END~~~

 

“Tapi kau tak perlu sampai membuat namja itu koma Myungsoo-ya. Apa kau tidak tahu bagaimana appamu sampai kebingungan mengurusi perbuatanmu itu? Untung saja orangtua namja itu mau bekerjasama untuk menutupi masalah ini dari publik.” Ucap Gyuri.

Mianhae eomma. Hanya saja aku tidak tega melihat Jongin dalam masalah.” Sesal Myungsoo

“Baiklah kali ini eomma bisa terima alasanmu menolong Jongin, tapi lain kali jika kau menghajar orang lain lagi eomma tidak akan memaafkanmu. Eomma akan menghukummu dengan mengirimmu ke daerah pedalaman dan belajar hidup dari rakyat di sana. Mengerti?” Ancam Gyuri membuat Myungsoo tak berani melawannya. Ibunya bisa menjadi wanita mengerikan jika sedang marah.

“Mengerti eomma.” Ucap Myungsoo lemah lemah.

“Lalu apakah saat ini kau sudah mempunyai kekasih?” Ucapan Gyuri sukses membuat Myungsoo melotot kaget.

Apa eomma sudah tahu hubunganku dengan Jiyeon? Tapi eomma tidak mungkin secepat itu mengetahuinya bahkan kami baru satu hari jadian mana mungkin eomma bisa mengetahuinya secepat ini. Panik Myungsoo.

“Menurut eomma?” Tanya Myungsoo kembali tanpa menjawab pertanyaan ibunya.

“Menurut eomma kau belum mempunyai kekasih. Maka dari itu eomma ingin memperkenalkanmu dengan anak teman eomma. Bagaimana?” Jelas Gyuri penuh semangat.

MWO? Eomma ingin menjodohkanku? SHIRREEOO!!!” Tolak Myungsoo keras.

“Aigo anak ini, eomma tidak menjodohkanmu eomma hanya ingin memperkenalkanmu padanya jika kau tidak menyukainya juga tidak apa-apa. Eomma tidak mau tahu pokoknya besok kau pulang sekolah tidak boleh pergi kemana-mana karena eomma sudah mengundang mereka untuk makan malam besok. Mengerti?”

Jika melihat sang ibu jadi tahu darimana Myungsoo mewarisi sifat tidak mau menerima kata tidak.

“Tapi eomma…” Rengek Myungsoo.

“Tidak ada tapi-tapian. Dan ingat kau tidak bisa kabur ke manapun karena eomma sendiri yang akan menemukanmu dan menyeretmu pulang jadi jangan coba-coba kabur ne?” Ancam Gyuri membuat Myungsoo merinding mendengarnya.

 

*   *   *   *

 

“YA!! Kau lama sekali? Aku sudah menunggumu dari tadi.” Keluh Myungsoo pada Jiyeon yang baru datang ke atap.

“Aiisshh…Kau ini selalu saja tidak sabar. Ya Tuhan mimpi apa aku semalam memiliki kekasih menyebalkan seperti ini.” Jiyeon menengadahkan kepalanya dan melipat tangannya seperti sedang berdoa.

“YA!!Seharusnya kau bersyukur ada juga namja tampan yang memintamu menjadi kekasihnya.”

Jiyeon menggelengkan kepalanya mendengar penyakit narsis Myungsoo kambuh kembali.

“Yang ada seharusnya kau yang bersyukur ada yeoja yang menerima namja narsis dan pemaksa sepertimu sebagai kekasihnya.” Dengan kesal Jiyeon meninggalkan Myungsoo untuk duduk ditempat biasanya.

Tanpa mempedulikan Myungsoo yang ikut duduk di sampingnya, Jiyeon mengeluarkan sebuah bekal lalu dibukanya.

“Mana bekalku?” Tanya Myungsoo heran melihat Jiyeon memakan sendiri bekal itu.

“Tidak ada bekal untukmu. Kau menyebalkan.” Jiyeon membuang muka.

“Kalau begitu ini untukku.” Myungsoo merebut bekal yang dibawa Jiyeon.

“YA!!! Itu bekalku, kembalikan.” Jiyeon berusaha merebut bekal itu dari tangan Myungsoo.

Namun sayang karena tangan Myungsoo yang lebih panjang membuat Jiyeon tidak mampu menggapainya. Padahal dia sudah mencondongkan tubuhnya namun tetap saja tak dapat di raihnya.

“Kau cantik sekali.” Ucapan meluncur begitu saja dari mulut Myungsoo saat melihat wajah Jiyeon dari dekat.

Jiyeon yang mendengarnya segera menjauh dari Myungsoo untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah. Ini adalah pertama kalinya Jiyeon dipuji seorang lelaki. Biasanya semua lelaki akan memberikan pujian lebih pada kakaknya bukan padanya.

“Kenapa wajahmu cepat sekali memerah? Apa kau belum pernah dipuji seorang namja?” Goda Myungsoo.

Mwo? Aniyo siapa bilang aku belum pernah dipuji seorang namja?” Jiyeon tidak terima dengan ucapan kekasihnya.

“Benarkah? Paling-paling namja itu adalah appamu.” Myungsoo tertawa mendengar ucapannya sendiri.

Namun tawanya tak berlangsung lama karena melihat wajah Jiyeon yang murung. Tidak ada ekspresi marah ataupun malu yang ditunjukkan Jiyeon seperti tadi. Matanya yang mulai berair menunjukkan kesedihan yang teramat dalam. Myungsoo berpikir jika itu ada hubungannya dengan kegiatan menangis Jiyeon saat mereka bertemu.

“YAA!!! kenapa murung seperti itu? Apa aku mengatakan hal yang salah?” Myungsoo tak dapat melihat reaksi Jiyeon karena gadis itu menundukkan wajahnya melihat tangannya yang berada di atas pangkuan.

“Dia bahkan tak ingin melihatku.” Ucap Jiyeon lirih.

Nde?” Myungsoo tidak mendengar jelas ucapan Eunseung.

Ani. Aiisshhh….sudahlah aku bawa bekal satu lagi. Cepat habiskan makananmu sebentar lagi masuk.” Perintah Jiyeon mengalihkan pembicaraan.

Myungsoo merasa ada sesuatu yang disembunyikan Jiyeon, sesuatu yang membebani hatinya. Di hati Myungsoo muncul perasaan ingin melindungi kekasihnya dan tidak akan membiarkan gadisnya menanggung kesedihannya sendiri.

 

*   *   *   *

 

Saat ini Myungsoo tengah duduk dipinggir tempat tidur mengenakan kemeja biru langit dengan lengan yang digulung hingga sikunya serta cerata hitam yang menyelimuti kakinya. Jika bukan karena ancaman dari ibunya, Myungsoo pasti sudah menghilang dari rumah ini. Entah kenapa wajah sedih Jiyeon tadi tiba-tiba berkelebat di pikirannya. Dan mata yang sedang menahan air mata itu menunjukkan ada kerapuhan di dalam dirinya.

“Tidak bisakah kau membaginya denganku?” Gumam Myungsoo menghela nafas.

“Tuan muda…Tuan muda.” Seseorang menyentuh bahu Myungsoo membuat lelaki itu tersadar dari lamunannya

Waeyo Lee ahjushi?”

“Tuan dan Nyonya besar sudah menunggu anda di bawah.”

Dengan malas Myungsoo berjalan keluar kamar. Saat dia menuruni tangga dengan ukiran-ukiran yang indah, lelaki itu melihat tamu undangan belum datang. Myungsoo melihat jam besar yang berada di ruangan itu. Sepertinya memang belum waktunya tamu undangan itu datang karena jam menunjukkan kurang sepuluh menit dari waktu janjian.

“Kau sudah rapi rupanya. Duduklah.” Ucap Jaejoong yang duduk di salah satu ujung meja.

Myungsoo mengambil tempat duduk di hadapan Gyuri yang sedang tersenyum manis padanya.

“Anak eomma memang tampan ne appa?” Ucap Gyuri bangga.

Ne. Siapa dulu appanya. Myungsoo-ya jangan membuat kekacauan ne? Dan bersikaplah manis atau appa akan mencabut atm dan mengambil motormu. Arraseo?”

Bahu Myungsoo melemas mendengar ancaman Jaejoong. Dengan terpaksa dia mengangguk menyetujui peraturan ayahnya.

“Anak pintar.” Puji Jaejoong layaknya Myungsoo masih berumur 5 tahun.

“Permisi tuan keluarga Park sudah datang.” Ucap paman Lee beridiri di samping Jaejoong.

“Baiklah saatnya kita menyambut mereka.” Jaejoong tampak semangat mendengar kedatangan keluarga Park.

Park? Bukankah nama Jiyeon juga memiliki marga yang sama, Park Jiyeon. Apakah keluarga yang datang ini adalah keluarganya? Jika benar berarti gadis yang akan dijodohkan eomma denganku adalah Jiyeon. Perasaan senang menghinggapi hati Myungsoo dengan pemikirannya itu.

“Kau tampaknya juga senang mendengar keluarga Park datang. Apa kau sudah mengenal mereka?” Tanya Gyuri yang melihat Myungsoo tersenyum senang.

Nde? Aniyo eomma aku bahkan tidak tahu siapa keluarga Park.” Sangkal Myungsoo.

Tak lama kemudian seorang lelaki yang seumuran dengan Jaejoong memasuki ruang makan keluarga Kim bersama seorang wanita yang tampaknya adalah istrinya. Bahu Myungsoo kembali melemah melihat seorang gadis mengekor kedua orangtuanya. Seorang gadis mengenakan dress hitam selutut dengan sebuah kruk berada di tangan kanannya. Myungsoo mengamati wajah gadis yang tidak asing untuknya itu. Dia pernah bertemu dengan gadis itu namun Myungsoo lupa di mana mereka bertemu.

bh9jt7ncmaapm96

 

~~~TBC~~~

Giman readersdeul. maaf kalau alurnya terlalu cepat dan masih ada typonya. yang memaafkan author kasih hadish nih….

tumblr_m0hjwfTcJ51r3sh3no1_500

[Fanfict] It's Okay, Kim Jongin [Jongin-Seulgi Story]

$
0
0

It's Okay, Kim Jongin

It’s Okay, Kim Jongin

[Jongin-Seulgi Story]

Cast :

EXO’s Kai [Kim Jongin]

Red Velvet’s Seulgi [Kang Seulgi]

Author : LeeHyuRa

Genre : Idol Life, Friendship, Little bit Romance

Length : Ficlet [1.1K Words]

Rating : PG-13

Disclaimer : This story is mine. Absolutely mine.

Happy Reading ^^

© 2016 LeeHyuRa presents..

 “Aku tak suka melihatnya bersedih seperti ini..”

 

“Jonginie?” seruku tak percaya saat kedua kaki ini berhasil memasuki sebuah ruangan yang biasa ku gunakan untuk melatih kemampuan dance-ku. Bagaimana aku tak terkejut, saat ini dengan kedua mataku sendiri, aku menangkap sesosok pria yang tengah terduduk menyendiri dipojok ruangan, lengkap dengan keringat yang membanjiri tubuh kekarnya.

Masih ditempat yang sama, aku pun mencoba untuk menyerukan nama yang sama, berharap seruan ku kali ini dijawab oleh sang sosok. “Kau Jongin-kan?” Nihil. Sosok itu masih terdiam seribu bahasa. Apa sosok yang aku lihat kini adalah sesosok hantu yang tengah menyerupai sahabatku, Jongin? Astaga.. bicara apa aku ini.

Dengan langkah yang pelan dan penuh rasa ragu (atau lebih tepatnya rasa takut), aku pun mulai mendekati sosok yang menyerupai Jongin itu.

“Jong” Panggilku saat aku berhasil berada kurang lebih 1 meter disampingnya.

“Kau berisik Seulgi-ya. Tentu ini aku, kau pikir aku ini siapa? Hantu?” balas sosok itu tiba-tiba, yang berhasil membuat aku terkejut beberapa saat.

Setelah mendengar jawabannya itu, aku pun akhirnya yakin jika sosok ini adalah manusia – aniyo. Sosok ini memanglah sahabatku, Kim Jongin.

Setelah mendapat jawabannya itu, aku pun langsung mendudukan tubuhku ini tepat disampingnya “Apa yang kau lakukan disini Jong? Dan kapan kau kembali ke Korea?”

Hening. Kurang lebih sekitar 30 detik, pertanyaanku ini diabaikan olehnya. Dan lihatlah, sosok disampingku ini malah asik memutar botol air minum – layaknya seorang anak kecil yang tengah kehilangan arah jalan pulang. Menyebalkan. Sebelum aku mengutarakan kekesalanku berikutnya, namja berkulit tan ini pun akhirnya membuka mulut sexy-nya  “Aku hanya ingin menyendiri. 1 Jam yang lalu aku sampai”

“mwo? Kau gilaaaa, 1 jam yang lalu? Mengapa kau tak istirahat Jong? Lalu keringat ini? jangan bilang kau langsung berlatih sesaat kau sampai?” semprotku tak percaya. Bagaimana aku tak menyemprot sosok yang aku anggap sahabat terbaikku ini. Satu jam yang lalu ia baru sampai di tanah Korea, setelah perjalanan panjang yang kira-kira mengahabiskan waktu 14 Jam dan sekarang, bukannya pergi beristirahat – ia malah menyiksa tubuhnya seperti ini. Kau memang gila Jongin.

“Kau memang selalu bisa membaca apa yang ada dipikiranku, Seul” Balas Jongin dengan senyum yang entah mengapa, aku merasa bahwa senyum itu adalah senyum yang sedikit dipaksakan. Sebenarnya ada apa dengannya?

Dengan mengabaikan senyum manis milik Jongin, yang biasanya membuatku tersipu tanpa alasan. Aku pun lebih memilih untuk mengintrogasi namja gila disampingku ini. “Kau gila, apa kau ada masalah Jong?”

“Jong? Kalau kau ada masalah, kau bisa menceritakannya padaku atau pada Sehun. Jangan menyiksa tubuhmu seperti ini”

“Apa kau telah melihat web drama yang aku mainkan?” Tanya Jongin yang kini mulai menatap lurus tepat di kedua mataku. Tatapan itu, mengapa aku merasa taapan itu adalah sebuah tatapan putus asa. Seorang Kim Jongin putus asa? Tidak mungkin.

“Tentu, mengap-“ Belum sempat aku menyempurnakan jawabanku, dengan seenak jidatnya Jongin  memotong ucapanku dan kembali menatap kearahku dengan tatapan penuh harap.

“Bagaimana menurutmu?”

“Jong, sebenarnya apa yang terjadi?” tanyaku mulai khawatir – sungguh, aku tak pernah melihat tatapan Jongin yang bisa dikatakan tertekan seperti ini.

“Tidak baguskah? Sudah kuduga. Berarti komentar di Internet itu benar, aktingku memang memalukan”
“Jong.. maksudmu?”

“Aku telah mengecewakan banyak orang Seul. Sepertinya aku memang tak cocok didunia akting. Tidakkah kau pikir aku terlalu memaksakan diri? Menyedihkan.” Sesal Jongin. ia pun mulai melepaskan tatapannya padaku, dan lebih memilih memandang lantai yang dingin ini.

Aku tak bisa seperti ini. Tanpa ragu, aku pun mulai meraih tangan Jongin yang sebelumnya asik memutar botol air mineral dan membawa sosoknya untuk melihat ke arahku. Dapat ku lihat, Jongin sedikit terkejut dengan tindakanku ini, tapi mau bagaimana lagi.. aku tak bisa melihatnya tertekan seperti ini. Dengan lembut, aku pun mencoba untuk menenangkannya.

“Jong, lihatlah aku.. Untuk apa kau mendengar komentar pedas diluar sana. Bukankah ini adalah akting perdanamu, jadi wajar bukan jika kau masih terlihat sedikit kaku. Kita ini hanya perlu belajar, jika kau dianggap gagal sekarang – kau bisa belajarlagi dan lagi, hingga kau bisa menunjukkan pada semua orang yang merendahkanmu, bahwa kau itu bisa dan telah berkembang menjadi lebih baik. Apa kau pikir, dulu kau bisa langsung menari dengan baik hanya dalam satu kali mencoba? Tidak Jong, kita semua membutuhkan waktu dan latihan terus menerus, sehingga kita bisa seperti ini. Ayolah Jong.. mana Kim Jongin yang selama ini aku kenal? Kim Jongin yang selalu bersemangat dan positive thinking? Kau bukan Kim Jongin sahabatku, jika kau lemah dan cengeng seperti ini”

Diam. Setelah mendengar semua kata-kataku, Jongin hanya bisa terdiam dan mata sayunya dengan intens menatap kedua mataku tanpa ampun. Dengan lembut, aku pun membalas tatapan sayunya itu dengan sebuah senyuman.

Tak lama, sosok sahabatku ini mulai membuka suaranya “Yaaa!! Siapa bilang aku cengeng! Dasar beruang gendut!” dengan seenak jidatnya, Jongin menghempaskan pegangan tanganku di tangannya dan mengataiku ‘beruang gendut’? benar-benar sahabat yang tak tahu berterimakasih!

“Tapi, kau benar, Seul. Aku tak harus menyerah dan bersedih karena komentar itu. Aku akan tunjukan pada mereka, jika kemampuan akting-ku akan berkembang dan terus berkembang, hingga aku bisa mengalahkan Kyungsoo” sambung Jongin dengan penuh semangat yang berapi-api. Aku pun hanya bisa tersenyum geli mendengar ucapan gilanya itu.

“Mengalahkan Kyungsoo oppa? Jangan bodoh Jong! Tentu itu tidak mungkin. Kau dan Kyungsoo oppa itu terlalu jauh untuk dibandingkan. Sadarlah Jong!” Balas ku tak mau kalah, seraya tanganku mulai menepuk-nepuk pundaknya ringan – mencoba menyadarkannya dari pikiran yang konyol.

“Sialan. Bukannya mendukungku, tapi kau malah menjatuhkanku. Sebenarnya kau itu sahabatku atau musuhku, hah?” Tanya Jongin kesal.

“Aku hanya mencoba berpikir realistis, Jong”

“Kau menyebalkan” Setelah mengucapkan kata itu, Jongin pun mulai bangkit dari duduknya dan melangkah menuju pintu keluar.

Aku pun hanya bisa memandang sosok tan itu kesal, “YAAA!! Bukannya mengucapkan terimakasih karena telah mencoba menenangkanmu, tapi kau malah.. Aihh.. handuk ini, YAAA Kim Jongin! Kemari kau!” jerit ku kesal, saat dengan seenaknya Jongin melemparkan handuk bekas pakai-nya tepat dimukaku.

Dapat ku lihat kini Jongin terkikik geli melihat tingkahku yang kesal karena handuk bekas pakainya. “Kau terlalu berisik beruang gendut – tapi, terimakasih untuk nasihatmu sebelumnya. Ohya, itu adalah hadiah untukmu – selamat ulang tahun Kang Seulgi” Dengan santainya Jongin mulai meninggalkan ruangan latihan  dan tentunya aku –dengan sejuta pemikiran yang tak masuk akal.

“Mwo? Hadiah?” Sadarku, saat mataku menyadari bahwa di tempat yang sebelumnya Jongin duduki, kini telah teronggok sebuah kotak kecil berpita orange – lengkap dengan sebuah tulisan ‘TO MY SEULGI – Happy Birthday’ – entah mengapa, saat membaca tulisan itu, jantungku tanpa sadar mulai berdetak tidak karuan. Perasaan apa ini? Tanpa sadar, sebuah senyuman pun terulas di bibirku saat tanganku ini mulai meraih hadiah itu.

Gerak tanganku yang berniat untuk membuka kotak itu, sejenak berhenti saat merasakan ponsel-ku bergetar – tanda terdapat pesan masuk.

From : Jonginie

“Semoga kau menyukainya, Seulgi-ya. dan Terimakasih untuk Hari ini. Kau memang (bukanlah) sahabatku”

Senyumku pun semakin memekar, setelah aku membaca isi pesannya. Aku memang bukanlah sahabatmu, Jong. Karena aku berharap, kita memiliki hubungan yang lebih, lebih dari sebuah kata sahabat.. tapi, bisakah?

 To : Jonginie

“Terimakasih untuk hadiahnya. Kau memang bukanlah sahabatku, Jongin”

 

TBC or END

 

“Aku berharap sih TBC – Soalnya, entah sejak kapan aku mulai nge-ship Jongin dan Seulgi ini. dan untuk komentar pedas yang bilang akting Jongin jelek – pleaseee. Aku akui kok, aktingnya Jong rada kaku gitu – tapi, mengertilah ini kan akting pertama Jong sebagai main-cast. Jadi, hati-hatilah saat kalian berbicara! Apa kalian pikir, kalian bisa akting lebih bagus dari Jongin, huh? Menyebalkan”

Give Me Your Love (Chapter 27)

$
0
0

Chapter 27 : Truth

 

Original Story by Lee-jungjung |

Cast : Jung Soojung, Kim Jongin, Oh Sehun |

Support Cast : Xi Luhan, Park Chanyeol, Byun Baekhyun etc |

Length : Chaptered | Genre : Romance, Hurt, Angst | Rating: G

.

.

.

.

 

 

Jongin menatap Sehun dengan tajam. Kedua maniknya menatap milik Sehun lekat. Mencoba mencari makna akan perkataan pemuda itu barusan. Mencari pembenaran atas apa yang diinginkan oleh seorang Oh Sehun. Jongin tidak salah dengar, bukan? Apa Sehun baru saja meminta Soojung darinya?

“Apa maksudmu dengan mengembalikan, Soojung?” cibir Jongin sarkastik. “Kurasa tidak ada yang harus kukembalikan. Karena sebelumnya Soojung adalah seorang gadis yang bebas. Dia tidak memiliki keterikatan apapun denganmu,” lanjut Jongin lagi.

Dia benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Sehun. Memangnya siapa Sehun hingga bisa menyuruh Jongin melepaskan Soojung? Apalagi pemuda itu meminta Soojung-nya. Asal Sehun tahu saja, Jongin tidak akan pernah melepaskan Soojung. Kepada siapapun, termasuk Sehun sekalipun.

Sehun sendiri menatap Jongin tajam. Tangannya mengepal di dalam saku celana. Gigi gerahamnya saling berbenturan di dalam sana. Seolah menyalurkan emosi Sehun yang nyaris berada di ambang batas. Ingin sekali rasanya Sehun mengatakan semuanya pada Jongin. Sehun ingin mengatakan kalau Soojung itu tunangannya. Dan Sehun sangat amat mencintai Soojung. Sehun ingin memberitahu Jongin bahwa sejak awal Soojung adalah miliknya. Selamanya. Jadi, saat ini dia hanya meminta haknya kembali. Sudah cukup bagi Jongin untuk bersama Soojung. Dan sekarang waktu yang tepat untuk Soojung kembali pada Sehun.

“Dia awalnya menyukaiku, Kim Jongin,” akhirnya Sehun malah mengatakan hal itu, bukan soal pertunangan. “Dia pengagum rahasiaku, kalau kau ingat. Dan sekarang aku meminta dia kembali,” lanjut Sehun.

Jongin terkekeh kecil mendengar perkataan Sehun. Enak sekali Sehun kini meminta Soojung kembali? Bukankah dulu pemuda itu bahkan menyerahkan Soojung begitu saja kepada Jongin? “Kau pikir aku akan melepaskan Soojung semudah itu?” tanya Jongin dengan sinis. “Kau sudah membuangnya, Oh Sehun. Dan aku tidak akan pernah menyerahkan Soojung pada orang yang tidak tahu bagaimana cara menghargai perasaan orang lain seperti dirimu,” dengan tegas Jongin mengatakannya pada Sehun.

Sehun menggertakkan giginya menahan emosi. Rahangnya mengeras. Dan dia menatap Jongin dengan begitu tajam. “Lalu, apa bedanya dengan dirimu, Kim Jongin?” Sehun berusaha membalikkan situasi. Dia harus bisa balas menyudutkan Jongin.

“Kau mendekati gadis itu dengan tujuan yang tidak baik. Apa bedanya? Kau bahkan lebih buruk.”

Jongin mengepalkan telapak tangan di kedua sisi badannya. Sehun menyeringai ketika melihat ekspresi Jongin. Kelihatannya perkataan Sehun tadi tepat sasaran. “Jangan samakan aku dengan dirimu, Oh Sehun,” tukas Jongin dingin.

Sehun semakin menarik sudut bibirnya ke atas. Pemuda itu berjalan mendekati Jongin dan memandanginya remeh. “Jadi, kau merasa tidak sama dengan diriku, begitu?” tanyanya sambil memiringkan kepala.

“Apa perlu kuingatkan lagi soal taruhan kita, Kim Jongin?”

Jongin semakin mengepalkan telapak tangannya erat. Dia berjanji, jika Sehun berbicara lebih jauh, maka tinju akan melayang ke wajah pemuda albino itu.

“Apa perlu kuingatkan lagi soal taruhan kita mengenai kau yang mengambil hati Jung Soojung?”

“Diam, Oh Sehun!”

Mendengar peringatan dari Jongin malah membuat seringaian Sehun semakin lebar. Menyenangkan sekali bisa membuat musuh emosi seperti ini. “Kenapa? Takut diingatkan kalau kau sudah menghargai kekasihmu itu dengan mobil milikku?”

“Oh Sehun!”

.

.

.

“Jadi, aku seharga mobil, yah?”

.

.

.

Jongin dan Sehun menoleh bersamaan. Tubuh kedua pemuda itu membeku saat melihat sosok yang sejak tadi mungkin mendengarkan percakapan mereka. Jongin menelan ludahnya susah payah. Tidak, ini benar-benar di luar kehendaknya. Jongin tidak pernah menginginkan ketahuan dengan cara seperti ini oleh sosok yang berada di hadapannya. Begiupun Sehun, ini juga bukan yang dia inginkan. Maunya Sehun, Jongin menyerahkan Soojung secara sukarela. Bukan seperti ini. Sungguh, dia juga tidak ingin memiliki citra yang buruk di mata gadis pujaannya.

“Jadi, seberapa mahal mobil itu hingga mampu menghargai diriku, Kim Jongin?”

Sekali lagi, Jongin hanya mampu menelan kepahitan. Suara itu, yang menjadi favoritnya. Suara terindah yang biasanya mengalun merdu hingga mampu menggetarkan hatinya. Kini suara itu terasa dingin. Dan sungguh, Jongin bahkan mampu merasakan perasaan terluka dalam suara itu.

“So-Soojung….”

“Berhenti di sana!”

Jongin yang hendak menghampiri Soojung terpaksa menahan diri. Hatinya terasa nyeri saat Soojung menolaknya. Dan ada perasaan sesak yang begitu mengganggu ketika melihat lensa kecokelatan gadis itu tampak berkaca-kaca. Padahal, Jongin sudah berjanji untuk tidak melihat pemandangan saat lensa favoritnya itu mulai mengabur karena terlapisi oleh air mata. Dan sekarang, dia sendiri yang malah mengingkarinya. Jongin sudah menyakiti hati Soojung. Bahkan sejak pertama dia mendekati gadis itu.

“Kim Jongin, apa semua itu benar?” tanya Soojung dengan suara yang nyaris tercekat.

“Soojung, dengarkan aku dulu,” pinta Jongin dengan sangat. Pemuda itu sudah menghiraukan peringatan Soojung tadi. Kini Jongin sudah berdiri di hadapan Soojung dan berniat meraih tangan gadis itu untuk digenggam olehnya.

“Jawab saja, Jongin!” dengan kasar Soojung menepis tangan Jongin. Gadis itu sudah menatap Jongin penuh tuntutan.

“Yah,” jawab Jongin akhirnya. Dia sudah tidak peduli lagi Soojung mau semarah apa kepada dirinya. “Aku memang mendekatimu karena taruhan itu.”

Soojung menatap perih ke arah Jongin. Jadi, selama ini Jongin tidak tulus untuk mendekatinya bahkan berteman dengannya? Ahh, Soojung jadi meragukan perasaan Jongin yang sebenarnya jika begini. Bisa saja Jongin juga hanya berpura-pura jatuh hati kepadanya, bukan? Tetapi, yang paling Soojung sayangkan adalah kenyataan bahwa Sehun terlibat dalam taruhan konyol ini. Apakah Sehun sebegitu membenci Soojung hingga meminta Jongin memikat hatinya?

“Oh, bagus sekali, Kim Jongin,” Soojung bersuara. “Kurasa kau benar-benar memenangkan taruhanmu. Aku benar-benar jatuh hati padamu sekarang ini. Selamat, yah,” ungkap Soojung dengan ekspresi yang sulit diartikan. Mungkin gadis itu terlalu merasa pedih dan sakit hati hingga tidak tahu harus berekspresi seperti apa lagi.

Jongin menggeleng segera, “Jangan berkata begitu Soojung!” Sekali lagi dia mencoba meraih jemari Soojung. Syukurlah, kali ini gadis itu tidak menepis genggaman Jongin kembali. “Asal kau tahu, semula aku memang mendekatimu karena teruhan itu. Tapi, lambat laun semakin aku mengenalmu, kau semakin menarik perhatianku. Hingga tanpa sadar aku melupakan taruhan itu dan jatuh hati kepadamu. Aku benar-benar mencintaimu, Soojung.”

Soojung terdiam. Mencerna semua penjelasan Jongin baik-baik. Maniknya menatap lekat milik sang kekasih. Soojung ingin mempercayai semua yang Jongin katakan. Sungguh. Tapi, setelah apa yang didengarnya kepercayaan Soojung sedikit memudar. Dia bukanlah gadis bodoh yang akan terjebak dua kali ke dalam lubang yang sama. Bisa saja kan kalau Jongin juga memanipulasi soal perasaannya. Lihat, bahkan seorang Oh Sehun yang luar biasa tenang mampu menghalalkan segala cara untuk membuat Soojung melepaskannya.

Intinya, Soojung tidak bisa mempercayai siapapun sekarang ini. Perasaan Jongin maupun Sehun. Semua perasaan itu semu bagi Soojung.

“Terima kasih atas penjelasannya, Kim Jongin. Aku benar-benar tersanjung,” ucap Soojung dingin. Gadis itu sudah menghempaskan genggaman Jongin. Kedua netranya kini menatap Jongin tajam. Tatapan mata yang sama saat Jongin pertama kali mengenal gadis itu. Dingin tanpa cahaya.

“Tapi, maaf. Aku sudah tidak tertarik terlibat dalam permainanmu. Silahkan kau cari gadis lain yang lebih mampu mengimbangi permainanmu itu,” kata Soojung sebelum beranjak pergi.

Jongin tertegun melihat punggung Soojung yang semakin menjauh darinya. Ingin sekali Jongin berlari mengerjar sang pujaan hati. Tetapi, kakinya terasa sulit untuk digerakkan. Jongin hanya terlalu takut. Takut akan melukai hati Soojung lebih dalam lagi.

Di sisi lain Sehun menatap nanar kepergian Soojung. Sungguh, ini bukan yang Sehun inginkan. Dan sekarang dia kembali menyesali perbuatannya. Perbuatan yang menyebabkan Soojung semakin membenci dirinya.

O0O

“Perasaanku sedikit tidak enak.”

Luhan baru saja keluar dari kamarnya selepas membaca buku saat mendengar celetukan Kyungsoo. Sedikit penasaran pemuda bermata rusa itu memutuskan untuk mendekat, bergabung dengan beberapa rekannya. “Memangnya kenapa, Kyung-ah?” tanya Luhan menaikkan sebelah alisnya.

Kyungsoo hanya mendesah pelan sebelum menggeleng. Hingga mau tak mau Luhan menatap satu per satu orang yang berada di sana. Ada Junmyeon, Baekhyun, dan juga Kris. “Tadi, aku melihat Jongin dan Sehun sedang berbicara serius di pantai belakang villa. Dan Soojung menyusul Jongin ke sana saat aku memberitahukan perihal itu kepadanya,” Kris mencoba menerangkan secara ringkas apa yang baru saja terjadi.

Luhan melebarkan kedua bola matanya. Jongin dan Sehun? Berbicara serius? Oh tidak, jika kedua pemuda itu membicarakan sesuatu yang serius berarti ada dua kemungkinan. Soal taruhan di antara mereka atau soal hubungan Sehun-Soojung. Mungkin, jika soal pertunangan tidak akan berdampak banyak. Karena Luhan yakin jika Jongin pasti tetap akan mempertahan Soojung. Tetapi, jika soal taruhan?

Luhan tidak dapat membayangkan Soojung akan semarah apa jika mengetahui alasan awal mengapa Jongin mendekati dirinya.

Tanpa pikir panjang, Luhan beranjak dari tempatnya saat ini. Dia harus secepatnya menghampiri mereka. Luhan harus sesegera mungkin mencegah segala kekacauan yang mungkin terjadi. Tetapi, belum jauh melangkah, Luha sudah menangkap sosok Soojung yang mendekat dengan terburu-buru.

“Soo-Soojung?”

Deg.

Luhan merasakan sesuatu memenuhi rongga dadanya saat melihat air mata membasahi kedua pipi Soojung. Hatinya terasa perih, sungguh. Ini adalah hal yang paling Luhan benci, yaitu melihat Soojung menangis.

“Lu-Luhan!”

Beberapa rekan Luhan cukup terkejut dengan adegan yang baru saja mereka saksikan. Jung Soojung, nerd yang mereka kenal sebagai kekasih Kim Jongin tiba-tiba saja menubruk dan mendekap tubuh Luhan erat. Setahu mereka Luhan dan Soojung tidak sedekat itu untuk berpelukan. Atau ada yang memang mereka lewatkan?

“Ada apa, princess?” tanya Luhan setengah berbisik. Tangannya sudah mengusap kepala Soojung penuh kelembutan, sekedar untuk membuat gadis itu lebih tenang.

“Aku mau pulang,” hanya itu jawaban Soojung. Selebihnya, gadis itu memilih terisak sambil membenamkan wajah di dada Luhan.

“Di mana Jongin? Biar dia yang ….”

“Jangan Jongin!” sela Soojung segera. Telapak tangannya tampak meremas T-shirt yang dikenakan Luhan. “Aku mau pulang denganmu sekarang, Lu. Kumohon.”

Luhan mendesah pelan. Dia punya firasat buruk mengenai kondisi Soojung saat ini. Dan dugaan Luhan sepertinya tepat. Terlebih ketika menangkap sosok Jongin dan Sehun yang baru saja hadir. Keduanya tampak menatap Soojung dengan sendu.

“Baiklah,” Luhan memilih memenuhi permintaan Soojung. “Ayo, kuantar pulang.” Menurut Luhan ini pilihan terbaik. Meski nantinya Luhan harus rela diintrogasi oleh rekan-rekannya bahkan Jongin mengenai Soojung. Luhan tidak peduli. Soojung bahkan lebih penting dari semua hal yang ada.

O0O

“Sudah sampai.”

Soojung masih betah mengunci mulutnya. Tidak bersuara dan hanya memandangi yang ada di luar jendela mobil. Pandangannya terasa kosong hingga Luhan tidak yakin bahwa jiwa gadis itu berada di tempat. Mungkin saja jiwa Soojung melayang-layang entah ke mana.

“Soojung?”

Soojung mengerjap pelan saat Luhan menyentuh bahunya pelan. Gadis itu mengangkat kedua sudut bibirnya ke atas. Berusaha mengulas senyum meski mungkin berlawanan dengan kondisi hatinya yang masih terasa perih. “Ah, maaf. Aku melamun, Luhan.”

Luhan balas tersenyum lembut. Telapak tangannya menyentuh puncak kepala Soojung dan mengusapnya penuh rasa sayang. “Tidak apa-apa. Aku mengerti.”

Senyum Soojung melebar. Yah, benar. Memang hanya Luhan yang mengerti dirinya. Hanya pemuda itu yang tahu apa yang Soojung rasakan. Oh, Soojung benar-benar bersyukur masih memiliki Luhan untuk tetap berada di sisinya.

Luhan teman yang baik, asal tahu saja. Dia tidak seperti sang tunangan Oh Sehun yang selalu bersikap dingin kepada Soojung. Luhan itu hangat. Soojung selalu merasa nyaman ketika bersama pemuda yang satu ini. Dan yang paling penting, Luhan bukanlah Jongin. Luhan dekat dengannya bukan untuk mengambil keuntungan seperti Jongin. Luhan tulus. Yah, mungkin karena Luhan merasa senasib dengan Soojung.

“Terima kasih. Aku masuk dulu.”

“Tunggu, Soojung.”

Soojung menghentikan pergerakannya. Keningnya mengerut hingga membuat alisnya tertaut dalam satu titik. Soojung menangkap raut ragu dari sosok Luhan. Dan gadis itu menduga kalau Luhan berniat menanyakan soal penyebab dirinya minta diantar pulang.

“Kau…. Tadi kenapa? Ada masalah dengan Jongin?” tanya Luhan hati-hati. Batin pemuda itu terus berharap. Semoga saja dugaannya salah. Semoga Soojung bersikap begini bukan karena mengetahui taruhan Jongin-Sehun. Karena biar bagaimanapun Luhan terlibat secara tidak langsung.

Soojung terlihat menundukkan kepalanya. Hatinya kembali terasa teriris setidaknya tadi luka di hati Soojung sedikit tereduksi. Tapi, kini kembali menganga. “Jongin….” Soojung menarik napas sebelum melanjutkan kalimatnya, “… dia menjadikan diriku barang taruhan.”

Luhan menelan ludahnya susah payah. Binggo. Dugaan Luhan tepat sekali. Semua penjelasan Soojung tentu dapat mengungkapkan semuanya. Mengapa gadis itu menangis? Mengapa Jongin dan Sehun terlihat kacau tadi? Semua sudah terjawab. Karena kebenaran telah terkuak.

“Aku bodoh, kan Luhan?” Soojung terkekeh tanpa suara. “Aku mau-maunya terjebak dalam permainan Kim Jongin. Seharusnya aku tahu kalau seoarang Kim Jongin tidak mungkin serius dengan satu perempuan. Apalagi perempuan dengan dandanan seperti diriku.”

Luhan menghela napasnya perlahan. Sekedar menghilangkan sesak di dada karena ikut merasakan perih yang dirasakan oleh Soojung. Pemuda itu lantas meraih telapak tangan Soojung. Menggenggamnya dengan lembut, namun erat.

“Soojung, Jongin tidak seperti itu,” Luhan mulai menjelaskan yang sebenarnya pada Soojung. Biar bagaimanapun Soojung harus tahu apa yang Jongin rasakan. Meski mungkin akan merugikan Luhan sendiri. Ayolah, mana ada lelaki yang membela lelaki lain di hadapan gadis yang disukainya? Jika bukan karena Luhan terlalu sayang dan terlalu mementingkan kebahagian Soojung, dia juga tidak akan melakukannya.

“Jongin memang bukan lelaki yang bisa serius dengan satu hubungan. Tapi, sejak bersama dirimu, dia berubah. Aku berani menjamin jika tidak ada mantan kekasih Jongin yang diperlakukan sama seperti dirimu, Soojung.”

Soojung mengerjap pelan. Secara perlahan pula dia mulai mencerna penjelasan Luhan. Yah, mungkin saja yang dikatakan Luhan benar. Dia kan teman baik Jongin.

“Dan mungkin memang awalnya Jongin mendekatimu karena taruhan itu. Tapi, dia benar-benar melupakannya saat semakin dekat denganmu. Bahkan aku sudah memastikannya sendiri. Jongin bilang dia serius padamu. Dia bilang kalau tidak sanggup kehilangan dirimu,” lanjut Luhan.

Ada perasaan hangat menelusup ke dalam sanubari Soojung. Benarkah demikian? Benarkah Jongin serius padanya? Bisakah Soojung mempercayainya?

Tapi, ada yang terlewat. Soojung melewatkan sesuatu yang paling penting dalam penjelasan Luhan.

“Apa yang dimaksud dengan ‘memastikan’, Luhan?” tanya Soojung memicing.

Luhan menelan ludahnya susah payah. Pemuda itu lantas segera membuang muka. Memutus tautan maniknya dengan milik Soojung. Justru reaksi Luhan yang demikian membuat Soojung semakin merasa curiga.

“Luhan, jangan bilang kalau kau mengetahui taruhan ini sejak awal?”

Tubuh Luhan semakin tegang. Rahang pemuda itu mengeras. Kedua matanya memejam. Ahh, Luhan tidak sanggup berbohong pada Soojung. Tetapi, jika Luhan jujur maka dia akan ikut dibenci oleh Soojung.

“Luhan?”

Luhan menarik napasnya dalam-dalam. Tidak ada pilihan lain selain jujur. Dengan setengah hati, akhirnya pemuda itu mengangguk. Membenarkan dugaan Soojung.

“Kau…,” suara Soojung serasa tertahan di tenggorokan. Rasanya pita suara Soojung enggan bergetar. Terlalu menyakitkan ketika mengetahui orang yang paling kita percayai mengkhianati kita. Seperti yang Luhan lakukan pada Soojung, setidaknya gadis itu berpikir demikian.

“Kau benar-benar tega, Luhan!” desis Soojung dengan suara nyaris tercekat.

“Kau sudah tahu sejak awal. Tetapi, kau sama sekali tidak memberitahuku? Teman macam apa dirimu ini?!” seru Soojung dengan amarah memuncak.

Soojung menarik-embuskan napasnya tidak teratur. Hidung gadis itu kembang-kempis. Matanya memerah kembali. Berkaca-kaca kembali. “Terima kasih, Luhan. Dari semua orang, kau yang paling menghancurkanku. Selamat!”

Soojung bergegas keluar dari mobil Luhan. Gadis itu lalu melangkah cepat. Dia ingin segera memasuki kediamannya, tiba di kamar dan tidur. Soojung benar-benar butuh waktu untuk memejamkan mata dan melupakan semua kejadian yang tidak menyenangkan hari ini.

“Soojung, tunggu!”

Luhan meraih lengan Soojung hingga berhasil menghentikan langkah gadis itu. Soojung memandangi Luhan tajam. Ada sorot ketidaksukaan saat Luhan mengganggunya lagi. Sudah cukup bagi Soojung. Dia sudah lelah mendengarkan kebohongan yang terungkap hari ini. Soojung tidak mau mendengar apapun lagi.

“Lepaskan, Xi Luhan!”

Luhan menggeleng, “Tidak. Dengarkan aku dulu, Soojung!”

“Tidak ada yang perlu kudengar lagi,” tukas Soojung. “Tidakkan kau puas melihatku hancur begini, huh?” seru Soojung sambil terus berusaha melepaskan cengkeraman Luhan.

“Tidak, kau harus mendengarku.”

“Tidak mau!”

Dengan seluruh sisa energi yang dimilikinya Soojung berhasil terlepas dari Luhan. Sedikit terengah-engah, Soojung kembali bersuara, “Sebenarnya apa maumu, Luhan? Kenapa kau tega melakukan ini kepadaku?!”

“Soojung!”

“Aku membencimu.”

.

.

.

.

“Aku mencintaimu!”

.

.

.

.

Baru genap 2 langkah berjalan, Soojung berhenti. Kedua kelopak matanya mengerjap pelan. Dan pendengarannya ditajamkan. Soojung tidak salah dengar, bukan?

“Aku mencintaimu, Jung Soojung. Sangat mencintaimu.”

Luhan membuang napasnya dengan gusar. Setelah sekian lama, akhirnya kata cinta itu terucap. Sayang, harus diungkapkan dalam situasi seperti ini. Miris, bukan?

“Karena itulah aku membiarkan Sehun dan Jongin menggunakan dirimu sebagai taruhan. Saat itu aku berpikir, kalau ini adalah jalan sehingga dirimu bisa melepaskan Sehun dan mulai melihatku. Aku berniat akan merengkuh dirimu ketika dibuang Jongin nanti. Aku ingin menjadi pahlawan bagi dirimu. Hingga nantinya hatimu menjadi milikku,” Luhan menjelaskannya dalam satu tarikan napas.

“Tetapi, ketika melihat kebahagianmu bersama Jongin dan memastikan kalau Jongin serius kepadamu, aku memutuskan untuk menyerah. Asal kau bahagia, itu cukup bagiku,” Luhan tersenyum miris di akhir kalimatnya.

Pemuda itu lantas memandang Soojung yang berdiri membelakanginya. Tubuh gadis itu masih diam di tempat. Tidak bergeming dan tidak berniat berbalik untuk melihat Luhan. Ahh, Luhan berharap Soojung tidak benar-benar membenci dirinya. Yang Luhan miliki adalah Soojung. Luhan tidak mampu membayangkan ketika Soojung membencinya dan paergi dari kehidupannya.

Soojung sendiri masih cukup tercengang dengan pernyataan cinta Luhan. Kenapa Soojung tidak menyadarinya? Bukankah Luhan begitu dekat dengan dirinya? Dia terlalu fokus pada Sehun dulu. Dan kini Soojung lebih memilih Jongin daripada Luhan.

Mungkin daripada dirinya, Luhan lebih sering merasakan sakit.

Tetapi, bukan berarti Soojung mampu memafkan Luhan begitu saja. Soojung tidak bisa. Sekali kepercayaannya hilang. Maka hilang selamanya.

Oleh karena itu, Soojung memutuskan kembali melangkah. Meninggalkan Luhan sendiri. Menelan seluruh kepahitan untuk kesekian kali.

O0O

Soojung tidak berangkat ke sekolah.

Jongin menghela napas untuk kesekian kalinya. Hidup Jongin terasa suram sejak Soojung mengetahui semua kebenaran yang dirinya simpan rapat-rapat. Dan sejak kejadian di villa akhir pekan lalu, Jongin tidak bertemu sosok sang kekasih. Entah masih pantaskah Jongin menyebut Soojung demikian atau tidak. Tetapi, tetap saja bagi Jongin Soojung adalah miliknya. Kekasihnya.

Mengenai ketidakberangkatan Soojung, benar-benar membuat Jongin cemas. Gadis itu tidak menitipkan surat atau apapun. Gadis itu hanya menghilang begitu saja. Tidak terlacak. Dan Jongin tidak memiliki informasi apapun mengenai Soojung.

Ahh, Jongin baru sadar kalau kekasihnya itu terkesan misterius.

Jika begini, akan semakin sulit menemui Soojung. Satu-satunya orang yang bisa diandalkan tentu saja Luhan. Pemuda bermata rusa itu yang mengantar Soojung pulang tempo lalu. Sayang, Luhan bungkam. Dia tidak mau memberitahu mengenai keberadaan Soojung. Bahkan mengenai rumah saja Jongin tidak mengetahuinya.

Sungguh, Jongin merasa bodoh. Bagaimana bisa dia tidak tahu mengenai kekasihnya sendiri?

Dan sekarang sudah tiga hari berlalu. Harapan Jongin untuk bertemu Soojung semakin tipis. Bagaimana jika Soojung tidak pernah kembali?

“Hei, Jong. Kau baik-baik saja?” tanya Baekhyun sambil meraih bahu Jongin. Merangkulnya dengan akrab. “Ayolah, Jong. Masih banyak gadis cantik yang mengantri untuk jadi kekasihmu. Jadi, jangan terus memikirkan gadis nerd itu.”

“Byun Baek jika ingin selamat hingga pulang sekolah nanti, sebaiknya kau tutup mulutmu itu.”

Baekhyun mendengus sebal. Pemuda itu lantas beralih ke arah Chanyeol. “Chan, kau tidak membelaku?”

Chanyeol menaikkan sebelah alisnya, terkesan bersimpati. Tetapi, perkataan Chanyeol selanjutnya benar-benar membuat Baekhyun semakin kesal. “Salahmu sendiri cari gara-gara dengan singa tidur.”

“Uhh, kau temanku, bukan sih?” Baekhyun mendengus kesal. Pemuda berwajah manis itu lantas memilih untuk mengedarkan pandangannya. Lebih baik cari kesenangan lain. Menggoda gadis misalnya. Mungkin Baekhyun tidak sepopuler Jongin. Tetapi, pemuda itu cukup digandrungi banyak gadis.

“Ahh, dia cantik sekali.”

Baekhyun mendengar desas-desus di sekitarnya. Kening pemuda itu mengernyit. Siapa juga yang dimaksud orang-orang yang berlalu-lalang di sekitarnya ini.

“Ahh, sayang dia gandengannya Oh Sehun. Jika tidak pasti akan kudekati.”

Baekhyun menyunggingkan senyumnya. Pembicaraan orang-orang ini sungguh menarik. Oh Sehun –salah seorang rekannya telah menjadi bahan gossip terpanas hari ini. Dan Baekhyun menduga ada kaitannya dengan seorang gadis. Jadi, apakah sahabatnya itu memutuskan untuk memiliki kekasih? Tapi, dengan siapa? Tidak mungkin Jinri, karena gadis itu tidak bersekolah di sini.

“Hei!” Baekhyun bersorak senang menghampiri Jongin dan Chanyeol yang kebetulan tengah mengambil beberapa perlengkapan di dalam loker mereka. “Kudengar Sehun memiliki pacar.”

Chanyeol segera beralih menatap Baekhyun. Entah kenapa frasa pacar Sehun menjadi sesuatu yang amat sensitif untuk Chanyeol. Kata itu mengingatkan Chanyeol pada Jinri. Gadis manis yang entah mengapa selalu hadir dalam pikirannya. Untuk yang satu itu, Chanyeol merasa kurang waras. Untuk apa dia terus-menerus memikirkan Jinri?

“Sudahlah, Baek. Itu hanya gossip. Jangan langsung percaya,” kata Jongin memperingatkan. Bagi Jongin, soal kekasih Oh Sehun tidaklah penting. Yang penting bagi Jongin saat ini adalah memikirkan bagaimana cara bertemu Soojung kembali. Bukan malah mengurusi gadis yang dekat dengan Oh Sehun.

“Oh, itu dia!” seru Baekhyun antusias. “Dia cantik sekali. Benar-benar seperti bidadari.”

Tanpa sadar Jongin beralih menatap objek yang Baekhyun maksud. Seketika itu juga tatapan Jongin terkunci. Objek yang Baekhyun maksud sangatlah Jongin kenal. Objek itu adalah sosok yang selama ini Jongin nantikan kehadirannya. Sosok yang akhir-akhir ini membuat Jongin kesulitan untuk tidur di setiap malam. Sosok yang Jongin amat rindukan.

.

.

.

“Soojung?”

.

.

.

Baekhyun mengernyit saat mendengar gumaman Jongin. Aneh sekali. Jelas Jongin aneh. Mungkin karena teman Baekhyun itu terlalu merindukan sang kekasih (Jung Soojung) hingga berhalusinasi dengan membayangkan jika gadis yang tengah digandeng mesra oleh Sehun itu adalah Jung Soojung. Padahal dilihat dari segi manapun jelas berbeda.

Soojung gadis kuno dengan dandanan yang luar biasa membosankan. Kepang dua, seragam kedodoran, kacamata tebal. Berbeda dengan gadis dalam gandengan Sehun. Gadis ini begitu cantik dengan lensa kecokelatan yang memikat. Kulit putih bersih. Surai kelam yang sedikit bergelombang. Hidung mancung. Serta bibir merah muda yang terlihat begitu ranum.

Jung Soojung dan gadis ini bagaikan bumi dan langit.

“Sehun!”

Baekhyun berinisiatif memanggil Sehun. Biar bagaimanapun dia ingin mengenal siapa gadis cantik yang Sehun bawa. Baekhyun tidak mengenalnya tentu saja. Mungkin siswa baru.

“Oh, hai. Pagi,” sapa Sehun ramah. Sungguh berbeda drngan kondisinya dua-tiga hari ini. Pemuda albino ini tampak tidak memiliki daya untuk hidup. Seperti Jongin. Tapi, kini Sehun sudah mampu tersenyum. Bahkan wajahnya berbinar cerah.

“Oh, siapa gadis ini? Pacar, huh?”

Jongin yang ada di sebelah Baekhyun terkesiap. Was-was Jongin menantikan jawaban Sehun. Entah mengapa Jongin merasakan firasat buruk menghampiri dirinya.

Sehun melepaskan tautan tangannya dengan sang gadis. Gadis cantik dengan sorot mata yang tajam dan dingin. Ahh, Baekhyun baru menyadarinya.

Sehun tersenyum sembari meraih bahu sang gadis. Kali ini tidak seperti sebelumnya. Sehun akan memperkenalkan gadis yang sangat berarti baginya ini dengan bangga.

“Dia tunanganku. Jung Soojung.”

.

.

.

.

TBC

 


Uhhh… update yang lama untuk chapter ini. Semoga tidak kecewa… ^^ Terima kasih atas perhatiannya.. ^^ See you next chapter…

WEDDING DRESS—Chapter 2

$
0
0

wedding dress

“Pernikahan ini menjadi trending topic no #1 Seoul selama seminggu penuh. Tapi kami tidak mengetahuinya, kau, aku, tidak tahu kenapa pernikahan ini ‘harus’ ada.”

.

.

.

Kaihwa♪2015

Main Cast :

  1. Kim Jong In [EXO]
  2. Michelle Lee [OC]

Other Cast :

  1. Park Chanyeol [EXO]
  2. Kim Mingyu [17]
  3. Lee Hong Ki [FT. Island]
  4. Son Naeun [Apink]

Genre : Angst, Fluff, Marriage Life, Romance

Length : Chaptered

Rating : PG13

PREVIOUS :

Cast Intro | 1ST

Review previous….

“Ini mungkin terlihat sedikit menggelikan, ini masih terlalu pagi dan aku membuat hal yang begitu menjijikkan tapi silahkan duduk.” Jong In menyuruhnya duduk di kursi. Michelle melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 10 pagi. Masih terlalu tapi dia jadi suka.

 

“Karena aku tahu akan membosankan disini seharian jadi aku membagi plan-plan untuk seharian ini. Kita akan makan dulu baru jalan-jalan dan berakhir makan malam disini lagi. Jadi…. kita mulai dari mana kita mengobrol?”

 

Michelle tahu dia terpesona tapi ini terlalu cepat dan… apa ini akan menjadi nyata?

 

Bagaimana perasaannya pada Kim Mingyu??

 

 

-Chapter 2-

“Kita mulai dari awal saja,

“Kim Jong In, usiaku 25 tahun—terlalu tua ya?” Jong In mengenalkan diri sambil menjulurkan tangan—meminta Michelle untuk menjabat tangannya. Mereka berdua tertawa, wanita itu membalas jabatan tangannya kemudian berucap, “Michelle Lee, 19 tahun.”

Mata pria itu nampak terkejut karena perbedaan usia mereka yang termasuk jauh. Tak berselang lama, Jong In tertawa kecil menanggapi wajahnya sendiri yang kelewat bodoh saat terkejut, tawa hilang dia melihat kearah sekitar mereka, ada sedikit mengganjal karena beberapa waiters sepertinya mulai mengenali dirinya.

Mereka sama-sama menunduk karena malu, tidak ada yang membuka suara bahkan setelah dentingan piringnya menyampiri—saat salah satu waiters menaruh pesanan Jong In di atas meja. Dua porsi pancake blueberry dengan dua mango smoothie yang siap memenuhi nafsu makan keduanya. Jong In tanpa ragu mempersilahkan Michelle untuk menyantap sarapannya berdua.

Hingga menit-menit berlalu, keduanya sama-sama diam karena bingung ingin mengajukan pertanyaan macam apa, mereka dua sama-sama tidak mengenal satu sama lain dengan baik, lagipula jurusan serta universitasnya saja tidak tahu, bagaimana Jong In bisa memulai hal ini?

“Jong In-ssi..

“Michelle-ah..

Cukup membuat keduanya tertawa karena memanggil satu sama lain disaat bersamaan. Perbedaannya cukup signifikan, Jong In mencoba membuatnya untuk bersikap tidak formal terhadap satu sama lain. Michelle menggigit jari kemudian mencoba memanggil lagi.

“Kau duluan saja.” Dia cukup mengalah karena ini begitu membuat lidahnya bergetar karena malu. Jong In menggeleng dengan seutas senyum tipis. “Kau saja yang duluan.”

“Kau yakin?”

“Kenapa kau menerima kencan buta yang konyol ini? Kau tahu sendiri, kita tidak mengenal sama sekali, kita hanya baru bertemu setengah jam lalu dan harus melakukan ini? Lagipula tadi aku baru saja mau kabur tapi malah bertemu denganmu didepan rumah. Huft.” Dia menghela nafas, membuat Jong In jadi kembali berpikir, kenapa dia mau menerima hal sejenis ini?

Michelle tersenyum kecut seraya menambahkan, “Kau adalah seorang dokter yang terkenal dan jenius—omong-omong aku baru ingat tadi ini—dan begitu baik, masih banyak wanita yang lebih baik untuk kau kencani, seharusnya kau tidak bertemu denganku.” Dia menoleh dengan senyum pahit. Ada sedikit rasa sesak yang menjalar entah dari mana saat dia mengucapkan kata-kata itu, otaknya tidak memerintah untuk mengucapkan hal sejenis itu tapi terus keluar tanpa diperintah. Merasa jika dia telah berkata terlalu banyak, Michelle bangkit kemudian membungkuk.

“Maafkan aku, Jong In-ssi, aku minta maaf sebanyak-banyaknya.. Dan…Terima kasih untuk waktu setengah jamnya yang menyenangkan, aku akan mengembalikan pakaian ini besok, sekali lagi terima kasih..” Michelle terus membungkuk-bungkuk seraya mengambil paper bag coklat yang berisi jaket untuk mendaki tadi, Sambil perlahan menghilang dari balik pintu cafe.

Menyisakan Jong In yang terdiam karena merasa sedikit sakit hati, dia sudah meluangkan satu hari berharganya untuk memenuhi permintaan konyol ibu tapi wanita itu sudah seenaknya datang dan pergi. Menyisakan Jong In yang rasanya ingin menendang meja itu hingga memecahkan barang pecah belah sialan ini.

Jika bukan karena wanita itu, dia tidak perlu cuti dari kegiatannya dirumah sakit dan membuang secara percuma waktu berharganya.

“Sialan.”

 

*

*

*

 

MICHELLE

 

Aku melangkah pelan seraya turun dari bus yang menujukkan tujuan Seoul-Tongyeong, setelah memasukkan kembali card kedalam tas kecil, aku melangkahkan kaki disepanjang trotoar dijalanan Tongyeong. Menghirup udara Tongyeong yang sedikit lebih segar daripada Seoul dengan riang. Setelah jalan kearah rute yang kuingat, tampak sebuah rumah berdesain khas Korea yang sedikit menyisakan bercak-bercak hitam bekas sebuah tragedi.

Aku membuka pintu pagar dengan kunci duplikat yang ibu berikan padaku, menarik semak belukar yang menghalangi jalanku seraya menepuk pelan pintu hingga terbuka. Rumah ini masih tampak seperti 2 tahun lalu, memang tak terkunci karena sudah mengalami kebakaran saat kami sekeluarga pindah dari sini.

Cukup menyedihkan memang, tapi hingga tak menyisakan satu kenangan apapun untukku yang notebene-nya berada dirumah sendiri kala itu—kata  ibuku. Aku satu-satunya korban disana, aku harus kehilangan ingatanku karena mengalami sesuatu yang tidak ku ketahui saat itu. Aku memasuki satu kamar diujung kanan, yang berbatasan dengan kearah pantai, kata ibu ini dulu kamarku, menyusuri kamar yang terlihat berabu itu dengan air mata yang menggenang di pelupuk. Seperti ada yang menyuruhku, tapi seharusnya aku ingat… karena menurut kepolisian pusat kebakarannya adalah kamarku.

Aku bingung.

Kenapa aku belum bisa mengingatnya???

Selama dua tahun ini aku mencoba mengingat semuanya, tapi sia-sia saja. Untuk mengingat ibu, kakak serta Mingyu dimasa sebelum kecelakaan saja tidak. Tubuhku mematung melihat sebuah foto yang sepertinya terkena dampak kebakaran 2 tahun lalu, buktinya sebagian sudah terbakar, menunjukkan sebuah foto seorang siswi SMA dengan seorang pria—namun hanya tersisa rambut pria itu saja karena mungkin gambar wajahnya terbakar waktu itu.

Aku membalikkan foto itu karena penasaran, ahh aku menemukan sebuah kalimat disana.

“Aku mencintaimu sayang. Dari yang tersayang, Lee Minhwa—“ aku mengejanya pelan setelah beberapa saat dikejutkan dengan suara tikus dari atap rumah.

Nama Lee Minhwa terdengar familiar, tapi siapa??

*

 

*

 

*

 

AUTHOR

 

CKLEK

Semua penghuni rumah langsung menoleh pada pintu depan saat tiba-tiba seseorang baru saja masuk. Nyonya Kim langsung memicing melihat Jong In yang langsung merebahkan diri disofa dengan peluh yang membanjiri tubuhnya yang tegap. Nyonya Kim mengambil segelas air minum dengan snack biskuit coklat—yang tadinya untuk cucu tersayangnya—untuk Jong In yang terlihat kelelahan.

Nyonya Kim mendekat sambil menadahkan tangan diwajah Jong In—seperti meminta kemeja Jong In—setelah menaruh biskuit dan air putih di meja didepan Jong In. Pria itu mengerti dan menyerahkan kemejanya sambil mengunyah kasar biskuit coklatnya, tubuhnya topless hingga menyisakan jeans yang ia kenakan.

Nyonya Kim hanya bisa menggeleng setelah menemukan kemeja Jong In yang bau asam. “Kim Jong In ini musim dingin, kenapa bajumu jadi sebasah ini? Kau bukan tinggal di Afrika Selatan nak.” Jong In berpikir kemudian sejurus kemudian berucap.

“Tadi Michelle pulang lebih cepat bu, katanya ada urusan penting jadi aku sempat ke rumah sakit sebentar.” Sebentar jidatmu Jong In! Kau bahkan berada di rumah sakit dari jam 11 siang dan harus 2 kali memimpin operasi besar di Unit Gawat Darurat tadi.

“Michelle pulang jam berapa? Kau mengantarnya kan?”

Ekhem—jam 4 sore bu, aku mengantarnya tentu saja!” Mengantarnya, pantatmu Jong! Menghiraukannya pergi saja tidak. Dasar Jong In si muka dua! Dia menjawab sambil melirik-lirik nakal kearah jam dinding. Pukul 10 malam. Dia bernafas lega saat mengetahui ibunya fine-fine saja.

“Jong, kenapa kau pulang kesini? Biasanya selalu ke apartemen bahkan hingga lupa pada ibumu berminggu-minggu.”

“Aku hanya rindu rumah bu.”

“O ya, bagaimana kencanmu hari ini? Berjalan baik?”

“Eumm… cukup baik.” Dia mengangguk,

“Terus menurutmu… Michelle itu orangnya bagaimana??”

Ayo berpikir Kim Jong In!

“D-di-dia.. manis, baik dan sopan bu.. hemmm.. iya itu!”

SPRINKLE HAPPINESS IN KIM’S MOM EYES!

CRING!

CRING!

“Itu saja bu?” Nyonya Kim mengangguk ria kemudian menarik Jong In dan mendorong-dorong tubuhnya menuju lantai atas. “Mandi sana! setelah itu makan, ibu akan menghangatkan makannya. “

 

*

 

*

 

*

Suasana malam itu terlihat begitu gelap gulita, bagaimanapun rumah itu sudah tidak ditinggali selama 2 tahunan dalam keadaan sudah terbakar pula. Angin bertiup sekali lagi, beriringan dengan ponsel Michelle yang bergetar dari dalam kantong coat-coklat milik lelaki itu yang tanpa sengaja terbawa dengannya. Michelle langsung terbangun dan mengusap mata-nya berulang kali karena merasa disini terlalu gelap, dia terkejut setelah mengetahui jika hari sudah malam dan dia sudah ketiduran dari tadi.

Michelle perlahan menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan dari ibunya. “Yeoboseyo,” Suara Michelle terdengar sangat letih dan serak khas bangun tidur, dia bangkit sambil terkejut sendiri dengan coat coklat yang melekat ditubuhnya, kemudian dia berjalan pelan sambil meraba dinding karena disini terlalu gelap dan tidak ada satu akses penerangan.

Yeoboseyo, Michelle-a, kemana kau sampai semalam ini nak? Kenapa belum juga pulang?” Disana ia mendengar gurat kekhawatiran dari ibunya, Michelle mengulas senyum kecil sambil kembali berucap.

“Aku ke rumah kita dulu, bu.” Ujarnya pelan sampai berhasil menuruni tangga dengan cepat, disana ibunya memekik karena terkejut—alih-alih membuatnya sempat menjauhkan ponsel dari telinganya beberapa saat.

Ibu Lee kembali dengan nada kekhawatirannya, “Kenapa kau kesana malam-malam begini nak? Tapi… bukannya tadi kau berkencan dengan Jong In? Kenapa kau bisa ada disana??” Michelle mendengus. Kenapa sih ibu mengingatkannya dengan lelaki semacam dia lagi? Michelle membenci mengingatnya lagi, tadi itu benar-benar sucks!

“Tadi aku pulang lebih cepat bu, jadi sempat kesini untuk melihat-lihat saja.” Akunya dengan kesal, terdengar helaan nafas disana.

“Jangan pergi kemana-mana karena Hong Ki akan menjemputmu, sayang. Tunggulah sebentar.”

“Iya bu,”

CKLEK

Michelle perlahan menutup pintu pagar dengan pelan, berjongkok sambil memainkan ponselnya dengan ragu. Matanya tertuju saat main-main melihat kontak line-nya. Kim Mingyu. Michelle membukanya perlahan sambil melihat home-nya, disana terlihat foto pria itu dengan Naeun—kekasihnya. Michelle mendesis pelan sambil menahan air mata yang hampir jatuh.

‘Hari ini, aku dan Naeun mendaki bersama. Rasanya menyenangkan :D’

“Jadi tanpa aku kalian begitu bahagia? Ahh, iya, Michelle Lee memang tak pantas untuk bahagia.” Perlahan Michelle menaruh ponsel di coat kemudian berdiri dan menendang batu-batu kerikil. Dia mengusap perlahan airmatanya yang turun perlahan membanjiri pipinya.

Butuh waktu 3 jam untuk menunggu Hong Ki—kakaknya—untuk sampai menjemputnya. Begitu suara mobil yang halus membangunkan Michelle yang meringkuk sambil menelenggelamkan kepalanya diantara kedua kaki saat berjongkok, Disana terlihat Hong Ki yang datang dan membukakan pintu disamping kemudi.

Michelle berpura-pura mendengus kesal kemudian memasuki mobil, hingga membuat Hong Ki menggedikkan bahu acuh tak acuh. Selama beberapa menit suasana terlihat tenang hingg Michelle hampir mati kebosanan dan menyalakan musik. Hong Ki langsung menoleh ke arah Michelle saat menemukan gadis itu menutup matanya sambil mendengarkan alunan lagu.

Dia tersenyum kecil dengan mata yang tertuju kedepan kaca kemudi, “Kenapa hingga malam begini kau masih berada disana, Michelle-a?” Alih-alih ingin merasa tenang, Michelle terkejut saat pertanyaan itu masuk kependengarannya, dia langsung membuka matanya lagi sambil mengecilkan volume pemutar audio dan melihat kakaknya yang tersenyum.

Dia mendengus pelan, “Aku hanya ingin melihat-lihat saja,” jawabnya seketus mungkin, bagaimanapun dia sedikit kesal kepada Hong Ki. Biasanya waktu perjalanan Seoul-Tongyeong bisa satu hingga 1 setengah jam tapi anak itu bisa-bisanya datang dalam waktu tiga jam setelah ibu memintanya untuk menjemput adiknya itu.

Hong Ki tertawa kecil mendengar jika Michelle masih merajuk karena keterlambatannya.

“Tapi kenapa hingga malam juga ha? Kau tidak berpikir jika oppa dan ibumu begitu mengkhawatirkanmu?”

“Tapi-kan—“

“Tadi aku sempat menelfon Jong In, dia bilang jika kau pulang duluan tapi—Apa acara kencanmu buruk?”

Nafas Michelle tercekat, “A-apa maksudmu?” Hong Ki nampak meminggirkan mobilnya, kemudian melihat Michelle dengan tatapan sinis—terkesan dibuat-buat—karena dia merasa jika ada yang aneh pada adiknya ini.

“Apa acara kencanmu buruk?” Perjelasnya sekali lagi, Michelle menunduk kemudian menyunggingkan senyum paksa.

“Mana mungkin oppa, tadi kami menghabiskan waktu bersama dengan baik kok. Aku hanya pulang terlalu cepat karena ingin berjalan-jalan kesini.” Ujarnya pelan membuat Hong Ki tanpa diberitahu menaruh rasa curiga. Michelle tidak terlihat baik-baik saja, walau sebagai kakak angkat dia begitu tahu setelah mengenal selama 2 tahun in.

Kakak angkat? Michelle tak tahu, dari hati yang paling dalam Hong Ki ingin saja mengatakan yang sejujurnya. Dari hati terdalamnya.

…… to be continued OR END? …….

NOTE :

I’M SORRY FOR SLOW UPDATE BECAUSE I’M SO SAD about ‘EXO’LUXION INA’

Baper weeeeee…… mau nangis aja klo dah teringat konser tadi malam huhuhuhu…

okela ini aje bacotnya wkwkwk, happy reading..

 

 

 

Bittersweet

$
0
0
Author: Stuckinbeat Cast: Kim Jongin (EXO), OC Genre: romance, sad, drama Rating: PG-17 (contain har

Rendezvous {Remake My Fate [Chapter 1]} - by Sehun'Bee

$
0
0

Rendezvous

Sehun’Bee

.♥.

Oh Sehun – Khaza Hanna – Byun Nami

.♥.

Kai – Baekhyun – Hanbin

.♥.

Romance – Drama -Marriage Life – Hurt – Angst – Sad – Family – Friendship – Adult

.♥.

PG-17

Multi-Chaptered

.♥.

Credit >> poster and Header Title by : Apinslaster

Prev:

Summary

Alur hidup itu sederhana, namun terlalu banyak menyimpan rahasia. Cukup pahami mengapa harus ada sebuah pertemuan sebelum mati tanpa teman.

Link:

Meet You [NOW]

Sebelumnya maaf, baru nongol lagi…

Untuk membaca silahkan tekan link di atas. Aku udah kirim email ke SKF; minta izin untuk post link saja, sayangnya belum ada balasan sampai sekarang. Berhubung sudah waktunya untuk update, jadi aku gak bisa nunggu lebih lama lagi. Semoga Admin tercinta bisa maklum. Aku masih aktif di SKF, kok. Semoga gak ada yang memermasalahkan juga, lagipula, ini bukan reblog—yang sudah jelas dilarang. Post-an ini tetap sama dengan post-an yang lainnya.

Happy Reading…!!!!

Regards,

Sehun’Bee

Choco Bank – Kim Jongin Kisseu? I want it.

$
0
0

Choco Bank - Episode 06 [END].mkv_000757629

Jujur, baru hari ini 160228 aku selesai nonton dramanya Kim Jongin – Choco Bank. Sebelumnya aku baru nonton drama ini ampe episode 3 aja – dan hari ini aku pun telah merampungkan episode 4-6. Seriusan yaaaa, kalo boleh jujur.. aku kecewa sama ending ceritanya. kenapa? soalnya, aku kira mereka bakalan kisseu – tapi teryata kisseu nya di pause, dan itu yang bikin aku gemes liatnya :'( tapi, pas aku nonton ini drama, seriusan yaaaa Kim Jongin-nya keren banget!! mempesona dan menggoda iman. Rasanya karakter Jongin yang selalu aku baca via fanfiction – kini secara nyata terpampang jelas di kedua netra aku ^^ ohmygod, good job Jonginie..

Tapi jujur ya, pas aku nonton yang Jongin mutusin gak akan dateng ke cafe itu lagi, aku sedih banget coba :'( rasanya nyesek banget jadi Han Choco :'( tapi untunglah akhirnya mereka bersama dan senyumnya Jongin itu loh — ehemmm, dede gak sanggup mas liatnya :’) itu terlalu over banget <3 pokoknya selama nonton ini drama, aku ngerasa kasian banget sama jantung aku yang bener-bener harus bekerja ekstra – efek pesona Jongin yang bener-bener gak ketulungan itu :’)

ohya setelah aku nonton drama ini full, aku baru tau – kalo sebenernya Jongin sama Eunbin disini tuh udah saling tertarik dan suka bahkan cinta saat pertemuan pertama mereka – pas Jongin mencoba Coklat yang ditawarkan oleh Eunbin. Ohmygod, apakah ini maksudnya mereka jatuh cinta pada pandangan pertama?? gilaaaaa, sumpah romantis banget. Andai aja, didunia ini hal ini terjadi — pasti, pasti.. gak mungkin banget ada -.- masa dari pertama ketemu udah saling suka? it’s imposibble. bener bukan? Tapi sekali lagi senyum dan tatapan Jongin di drama ini bener-bener ohmygod// aku padamu Kim Jongin <3

ditunggu akting Kim Jongin untuk kedepannya ^^ kalo bisa ada mah ada kissing scene-nya hehehe <3 ohya, Sehun juga mau main film kan, ehemm.. aku tunggu loh bang Kissing scene mu hehehe- gak apa-apalah hati ini sakit juga, anggap aja tuh cewe aku – gampang kan? hehehe

Duo maknae Fighting <3 <3

LeeHyuRa

Can't Leave, Can't Breakup

$
0
0

image

Judul: Can’t Leave, Can’t Breakup
cast: Kim Jongin, Jung Soojung.
Genre: Romance, hurt
Length: Oneshot
Author: Kimagkhacy

Seorang yeoja yang tidak bisa mengatakan kata putus. Seorang Namja yang tidak bisa meninggalkannya.

Kami tidak saling mencintai lagi. Begitulah yang aku rasakan. Walau hidup bersama, walau melewati waktu yang sama, semua seakan tidak ada artinya. Waktu berputar dengan lambat di sekitar kami.

“Omma terus bertanya kapan kita akan menikah..”  aku membuka pembicaraan.

“Kita bahas nanti..” ujarnya datar, masih sibuk memeriksa berkas-berkasnya yang berserakan diatas meja makan.

“Tidak bisakah kau memeriksanya nanti??” Aku melirik kearah tumpukan kertas yang sedari tadi ia baca.
“Jika waktunya untuk makan maka seharusnya makan” lanjutku mengintrupsi apa yang ia lakukan.

“Aku tidak punya banyak waktu..” ia mengambil selembar roti tawar lalu memasukannya kedalam mulutnya kemudian membereskan semua berkas yang sedari tadi berserakan di meja itu.
“Aku akan pergi sekarang” ucapnya kemudian berlalu begitu saja dari hadapanku. Meninggalkan aku sendiri di dalam rumah ini.

Aku mengamati seluruh penjuru rumah ini. Setiap sudutnya terasa asing, tidak ada kenangan yang bisa aku ingat disini. Tidak ada hal berharga yang aku ingat. Semua yang aku rasakan hanyalah kebisuan..

Hati ini hampa, duduk disini sendirian rasanya sudah ribuan kali aku lakukan. Terkadang aku merasa bahwa aku terbelenggu. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku, aku hanya tahu bahwa hati ku kini tidak lagi sama.

Tujuh tahun sudah kami menjalin hubungan, berjuang bersama-sama, dari yang belum menjadi apa-apa hingga menjadi yang sekarang. Aku yang dulu hanya mahasiswa design kini telah menjadi seorang fashion designer yg cukup dikenal. dan Jongin yang dulu hanya karyawan biasa di sebuah perusahaan asing kini telah jadi direktur perencanaan yang super sibuk.

Dahulu saat awal tinggal bersamanya walau hanya di apartement kecil, aku merasakan begitu bahagia. Seluruh penjuru apertement itu menjadi saksi canda tawa kami berdua. Tapi itu rasanya telah lama berlalu, semakin umur bertambah, semakin lama kami bersama, semakin banyak yang kami lalui. Kami makin berubah pula.

Aku tahu kalau kami tidak lagi sama. Hati kami tidak lagi berdetak seirama. Kami tidak lagi merasakan getaran yang sama. Kini yang kami jalani hanya rutinitas.
Tapi tidak ada salah satu pun dari kami yang menyinggungnya. Tidak ada salah satu pun dari kami yang mencoba untuk mengatakan apa yang kami rasakan ini.

Malamnya..

Aku mendengar suara pintu rumah kami yang terbuka. Aku melihatnya.. wajah kusut yang selalu ia bawa kerumah. Baju lecek bau alkohol itu. Ia habis minum-minum lagi.

Kim Jongin.. demi pekerjaannya ia bahkan rela minum bergelas-gelas bir yang dituangkan bosnya padahal ia bukanlah orang yang kuat minum. Demi pekerjaannya ia rela tidak makan atau pun tidur.
Kim Jongin ku ini berubah menjadi orang lain dimataku.

“Minum lagi??” Tanya ku sambil masih sibuk menukar acara televisi dengan remote.

“Sedikit..” jawabnya.. kemudian ia berjalan kearah ku, duduk disampingku, disofa yang sedang aku duduki.

“Kau bau alkohol” aku masih acuh terhadapnya. Aku bahkan tidak berniat membuatkan sesuatu yang bisa meeringankan mabuknya.

“Aku tahu..”

“Kalau begitu, mandilah!” Aku tidak suka mencium baunya, aku benci saat dia pulang kerumah dalam keadaan mabuk dan bau alkohol.

Aku tidak mendengar jawaban apapun darinya, tiba-tiba saja aku merasakan sebuah kepala bersandar di bahu ku, aku mulai mengarahkan pandanganku kepadanya.

“Kau tidur??“ Aku rasa dia memang sudah tertidur, Seperti ini aku bisa melihat wajahnya secara dekat. mendengar hembusan nafasnya yang teratur. Dan mencium bau alkohol yang menyengat dari tubuhnya.

Aku meraih kepalanya, membaringkannya di sofa, aku mulai berjalan kedalam kamar kami mengambil sebuah bantal dan selimut. Meletakan bantal itu di kepalanya.

Aku benar-benar tidak suka baunya saat ini. Aku membuka kancing kemejanya satu persatu, menanggalkan pakaian itu dari badan kekarnya. Aku mengambil sebuah kain yang telah aku basahi dengan air hangat. Aku mulai melap seluruh tubuhnya. Menghilangkan bau alkohol itu dari dirinya, setelah selesai aku kembali memasangkan pakaiannya, pakaian yang bersih yang baru aku ambil dari ruang pakaian kami.

Aku mulai menyelimutinya dengan selimut yang aku ambil, aku tidak tega membiarkannya tidur disofa ini. Pasti tidak akan nyaman rasanya, sofa ini lebih pendek dari kakinya. Tapi mau bagaimana lagi aku tidak akan sanggup memapahnya sendiri masuk kedalam kamar kami yang ada di lantai atas.

Menatapnya seperti ini, membuatku bertanya-tanya ‘apa yang kau inginkan..?? sebenarnya hatimu bagaimana..??’
Aku ingin bertanya seperti itu padamu Kim Jongin,..
Jika.. hanya jika aku bertanya seperti itu apa yang akan kau katakan..??

_-_-_-_-_

Kim Jongin POV

Aku merasakan sinar matahari menyerbak menyilaukan mataku, aku terjaga dari tidur ku karena hal itu. Hari sudah pagi rupanya. Hal terakhir yang aku ingat adalah aku pulang dalam keadaan mabuk.

Kepalaku masih sedikit pusing tapi aku tidak merasakan badan ku lengket ataupun bau. Aku baru menyadari kalau baju yang aku pakai saat ini berbeda dengan yang kemarin. Ahh.. pasti Soojung yang telah menggantinya.

“Sudah bangun??” Aku menatap ke arah sumber suara itu.

“Hmmm..” jawabku hanya dengan bergumam kecil.

Setelah itu kami sama-sama terdiam. Kemudian aku melihat Soojung kembali melakukan kegiatannya yaitu membuat sarapan.

Aku hanya duduk disini menatap kearah gadis itu. Gadisku, Jung Soojung.. entah sejak kapan kami menjadi dingin seperti ini. Tidak pernah lagi ada canda tawa, kami hanya melakukan tegur sapa secukupnya. Bahkan terkadang kami merasa canggung satu sama lain.

Aku tinggal bersamanya. Aku tidur di kamar yang sama dengannya. Kami berbagi ranjang yang sama. Tapi mengapa aku rasa kami tidak lagi berbagi hati yang sama. Dia makin sulit untuk ku jangkau.

FLASHBACK

“kenapa baru pulang??” Tanyanya saat aku baru masuk kedalam rumah.

“Banyak pekerjaan yang harus aku urus..” jawabku singkat, aku begitu lelah sekarang. Aku merasa ada beban di pundak ku.

“Pekerjaan??” Tanyanya sinis. “Apakah di perusahaan itu hanya kau saja yang bekerja… kau tahu ini jam berapa??“ aku merasakan nada kesal dalam ucapanya.

“Arra.. aku lelah sekarang.. tidak usah membahas hal yang tidak penting..”

“Tidak penting..?? Kau bilang tidak penting??” Ini sudah kesekian kalinya kami beradu argumen seperti ini.

“Aku mohon jangan mulai.. apa kau tidak bisa lihat kalau aku begitu lelah..”

“Lelah..?? Apa kau benar-benar lelah..??”

“Neeeee….“ jawabku dengan kesal..

“Heehh.. aku tadi ke kantormu.. dan kau sudah tidak ada di kantor sejak sore tadi.. kau lelah karena bekerja?? Apakah kantormu pindah ke bar??“ dia marah.. aku bisa merasakan kemarahannya.

“Kami membicarakan pekerjaan disana..” aku berusaha untuk tidak tersulut emosi.

“Kauu… kau bahkan masih tetap berbohong..?? Kim Jongin.. aku kecewa padamu..” dia berlalu dari hadapanku.

Dia kecewa..??
Jung Soojung ku mengatakan kalau ia kecewa kepadaku.

FLASHBACK OFF

sejak saat itu aku selalu merasa bersalah. Suara tangisannya di kamar mandi. Tatapan curiga yang ia arahkan padaku. Berulang kali aku berfikir untuk berpisah.. Berulang kali aku berfikir untuk meninggalkannya, tapi aku tidak bisa.

Aku sibuk memikirkan perasaan bersalahku. Aku memenuhi dompetku dengan uang dan meluangkan waktu. Meskipun aku tidak menunjukkan cintaku, tapi aku tetap memikirkannya.

Ketika aku makan malam dan menonton film dengannya, aku harap dia merasa lebih baik, tapi ketika aku kembali berfikir aku sadar bahwa ini tak lagi sama. Kami telah berbeda.

Kim Jongin POV END

_-_-_-_-_-

Kami berada dalam mobil yang sama, ia menjemputku untuk makan siang, ia bilang ada yang ingin ia bicarakan, dan kami akan makan dirumah. Tapi kini didalam mobil kami hanya diam tanpa kata. Mobil yang dulu begitu ia inginkan ini, kini terasa tidak berarti. Setiap aku didalam mobil ini aku merasa asing.

Dahulu walaupun hanya dengan mobil 3000 dolar tapi kami bahagia.. pergi bersama dengan mobil itu tanpa peduli dengan dunia.. saling melingkarkan lengan, menyimpan kenangan dalam sebuah foto.. Mengerti satu sama lain dalam malam-malam yang panjang.. saat itu aku sungguh mencintainya..

Kini bahkan selera musik kami berbeda.. aku tidak suka lagu yang sedang ia putar, aku mematikannya dan ia menyalakanya kembali. Aku ingin menyerah terhadapnya tapi aku tidak mempunyai keberanian. Bagiku ia adalah hal tersulit untuk aku lepaskan. Untuk ku, ia adalah seseorang yang ingin aku temui lagi ketika kami terlahir kembali..

Rasa cinta yang aku inginkan itu tidak akan pernah terasa cukup..
Aku setuju dengan ungkapan ‘Kita tidak bisa menang melawan keserakahan..’

Tapi pada kenyataanya yang kami hadapi kini adalah waktu dan  Cinta ku telah berlalu…
Cinta dan kesedihan yang kurasakan adalah satu dan sama… Kesedihan telah mengambil cinta ku dan berlalu begitu saja..

Dirumah..

“Aku akan menemui orangtua mu besok” ujarnya sambil memotong steak yang akan ia makan.

Aku hanya menatapnya dan kemudian meletakan pisau dan garpu yang aku pegang.

“Aku akan memberitahu harinya pada mereka besok.”

“Memberitahu harinya..??” Aku tidak bahagia.. aku tidak suka terhadap pembicaraan ini.

“Hmmm.. 2 minggu lagi kita akan menikah.” sambil menyuapkan daging kedalam mulutnya.

“Menikah..?? Siapa yang akan menikah??” Tanyaku, ia hanya memandang diriku dengan bingung.
“Kita..?? Kau yang akan menikah sendirian.. Kim JongIn” ucapku dengan setenang mungkin.

“Apa maksudmu..??”

“Maksudku..?? Hehh.. kau masih tidak mengerti?? Apakah kau bertanya padaku sebelumnya aku mau atau tidak menikah denganmu?? Kau tidak bertanya sama sekali, Kim Jongin.. apakah kau fikir pernikahan itu hanya akan dijalani oleh dirimu sendiri?? Kau selalu memutuskan semuanya sendiri tanpa berdiskusi terlebih dahulu denganku.” Aku sudah sangat marah saat ini.

Aku berdiri, Kemudian mulai melangkah menjauh dari meja makan, sebuah tangan menarik ku dengan cepat dan mencengkramnya dengan kuat.

“Apa yang sebenarnya kau inginkan Soojung??” Tanyanya dengan amarah tertahan.

“Apakah kau sekarang bertanya apa yang aku inginkan??” Tanyaku memastikan.
“Kau.. yang aku inginkan adalah kau.. kau yang dulu Jongin-aa” ujarku akhirnya mengeluarkan isi hatiku.
“Apakah kau tidak sadar bagaimana keadaan kita?? Apakah kau tidak merasakan betapa dinginnya hubungan ini..?? Pernikahan?? Kau fikir aku bisa melakukannya?? Kau bahkan tidak memintaku untuk menikah denganmu.. kau hanya menetapkannya sendiri..”

“Kau bilang ommamu..”

“Omma?? Akkh.. aku mengatakan kalau omma bertanya kapan kita menikah.. itu omma ku Jongin-aa bukan aku..” ucapku masih penuh emosi.

“Soojung-aa..” ia memanggil namaku dengan lembut.. merubah cengkramannya di tanganku menjadi lebih lunak. Ia memegang kedua tanganku.
“Ayo kita bicarakan dengan baik-baik” ia menuntunku untuk duduk disofa. Kemudian dia duduk dihadapanku. Aku hanya diam menunggu ia berbicara terlebih dahulu.

“Aku melakukannya karena aku ingin menikah denganmu.. kau satu-satunya bagiku.. aku tidak berubah.. kaulah yang berubah.. matahari sangat panas tetapi hatimu membeku Soojung-aa..” ujarnya.
“Aku tidak tahu sejak kapan.. Tapi kau mulai terus-terusan melihat kesalahanku.. di matamu yang aku lakukan semuanya adalah kesalahan.. aku selalu bertanya-tanya sebenarnya salah siapa ini?? Tetapi aku tidak tahu jawabannya, yang aku tahu pasti hanyalah bahwa aku mencintaimu. Aku tahu hatimu berubah…” ia mengatakannya dengan bibir bergetar.
“Betapa senangnya jika cinta adalah sesuatu yang bisa didapatkan.. Betapa senangnya jika cinta adalah sesuatu yang bisa didapat dengan mencarinya.. aku ingin kau mencintaiku lagi tapi aku tidak tahu caranya Soojung-aa” aku tahu.. andai cinta adalah sesuatu yang bisa kita raih dengan mudah alangkah baiknya itu.

“Bagiku kaulah yang berubah Jongin-aa, dulu mimpiku menjadi masa depanmu.. kau menggenggam tanganku dengan erat.. walau tidur di ranjang yang kecil tapi kita bisa saling berpelukan… walaupun dengan mobil yang butut tapi kita selalu pergi bersama. Tanpa peduli dunia kita hanya menikmati kebersamaan kita. Kini semua yang tersisa dari kita hanyalah perasaan jenuh terhadap satu sama lain..” airmataku tak bisa terbendung lagi. Aku tak kuasa menahan semuanya.
“cinta kita telah berubah menjadi sangat membosankan.. rasanya aku ingin keluar dari labirin membingungkan ini. Kita berada pada waktu yang melelahkan ini terlalu lama..“

“Maafkan aku karena hanya bisa berkata ‘maaf’ bukannya ‘aku mencintaimu’ sebelumnya.. Tidak pernah..  tidak pernah sekalipun aku merasa jenuh terhadapmu.. ketika kau berubah menjadi dingin sering kali aku juga merasa marah.. hingga kini aku melihat kita berada dalam cinta yang kosong.. apakah tidak ada jalan untuk kembali??” Aku dapat melihat ketulusan dalam setiap perkataannya.. aku tahu ia juga tidak tahu apa yang harus ia lakukan.. aku dapat merasakan kesedihannya..
“Tanpamu aku tidak bisa hidup meski hanya sehari.. meskipun aku mati, aku tetap tidak bisa membiarkanmu pergi..” ucapnya lagi.

Aku masih terus menatapnya.. Jonginku menangis.. melihatnya menangis seperti ini bahkan rasanya lebih menyakitkan dari sebelumnya.. melihatnya seperti ini aku sadar bahwa aku masih mencintainya.. hatiku masih untuk Jongin..

Aku berdiri, kemudian menarik kepalanya.. membiarkan kepalanya menempel pada perutku. Ia memeluk pinggangku dengan erat.  Tanggisnya membuat hatiku pilu ia bahkan tidak berhenti tersedu-sedu.. aku mengusap-usap kepalanya.. membuatnya agar sedikit lebih tenang.

Aku mulai melepaskan tanganya dari pinggangku. Menggenggam tangannya dengan erat. Aku menurunkan badanku agar sejajar denganya.  Aku berdiri dengan bertumpu menggunakan kedua lututku. Aku menatap manik matanya lama.

“Aku juga tidak pernah bisa membayangkan hidup tanpamu.. bagiku kau bukan orang lain tapi kau adalah rumahku.. kemanapun aku pergi aku pasti akan kembali kerumah.. maafkan aku tidak menyadari lebih awal semua ini. Andai kita bicara lebih awal.  Andai kita bisa seperti ini lebih awal kita pasti tidak akan berakhir dengan sakit yang berlarut-larut… aku seharusnya sadar bahwa yang kita butuhkan hanyalah bicara dari hati kehati.. mengungkapkan apa yang mengganjal.. seharusnya kita lebih terbuka terhadap satu sama lain.. maaf kan aku Jongin-aa dan.. aku mencintaimu..”

Dia menatapku lama.. tepat dimanik mataku.. aku merasakannya getaran itu.. ternyata masih ada.  Jantungku berdetak dengan cepat karenanya.

“Aku juga mencintaimu Soojung-aa” ia menarik ku ke dalam pelukannya.

Ia melepaskan pelukan kami, aku merasakan hembusan nafas disekitar wajahku.. aku merasakan benda lembut itu menyentuh bibirku.. kapan terakhir kali aku menyentuh bibir itu?? Aku benar-benar merindukannya..

ia mulai melumat bibirku dengan lembut ngesap bibirku secara bergantian.. aku benar-bemar merindukan Jongin.. kami terus berciuman bahkan hingga kami sampai dikamar.. ia membaringkan ku di tempat tidur.. dan kemudian menciumku kembali.. ia mencium semua bagian dari tubuhku.. aku menyukai setiap sentuhannya di tubuhku.. aku tidak bisa hidup tanpanya..

_-_-_-_-_

Kami sedang menyusuri pantai.. kami melakukan kencan yang sudah lama tidak kami lakukan.. sepanjang kencan kami ia tidak pernah berhenti menggenggam tanganku. Ia tidak pernah melepaskannya bahkan sedetik pun.

“Kau akan terus menggenggamku seperti ini..?? Tanyaku padanya.

“Ne.. aku akan terus menggenggam tanganmu..”

“Itu mungkin akan sedikit terasa tidak nyaman” ucapku ragu.. “bagaimana caranya nanti kita makan??”

“Satu tanganku bebas.. aku bisa menyuapi mu..” ucapnya dengan penuh senyuman..
“Kau tahu apa yang ingin sekali aku lakukan padamu saat situasi kita kemarin tapi aku tidak berani..” tanyanya padaku..

“Anioo.. apa itu??”

“Menggenggam tangan kecil mu seperti ini.. berjalan menyusuri pantai bersama selama matahari terbenam seperti ini..” ia menghentikan langkahnya.. kini tangannya telah menggenggam kedua tanganku.
“Dan kini satu-satunya kata yang ingin aku katakan adalah Aku mencintaimu Jung Soojung.. menikahlah denganku!!”

Ia mengeluarkan sebuah kotak dari dalam sakunya. Ia membuka kotak itu aku melihat sebuah cincin yang sangat cantik berada disana. Ia mengeluarkan cincin itu dalam kotak itu, memasukan kotak itu kedalam sakunya lagi. Ia kembali menggenggam tanganku.

“Aku bukanlah orang yang sempurna.. dan kau tahu aku cukup egois.. mungkin saja nanti kedepannya kita akan mengalami masalah yang lebih serius dan lebih besar dari pada yang kemarin.. tapi walaupun begitu aku ingin melewatinya bersamamu.. jadi Jung Soojung menikahlah denganku!!”

Aku begitu terharu.. ia melamarku memintaku untuk menikah dengannya.. ini adalah moment tidak akan terlupakan oleh ku, di tepi pantai  disaksikan oleh matahari yang mulai tenggelam.. ia mengatakan ingin menikah denganku..

“Ne.. aku juga ingin melewati semuanya bersamamu.. untuk 70 tahun kedepan.. mari kita hidup bahagia bersama.. aku juga mencintaimu Kim Jongin”

Aku begitu bahagia sekarang.. entah sampai kapan kebahagian ini akan bertahan tapi yang pasti aku akan melewati semuanya bersama Jongin.. bahkan jika nanti kami merasa jenuh terhadap satu sama lain.. kami akan kembali mengingat hari ini sehingga kami sadar bahwa itu hanya efek dari berjalannya waktu tapi yang pasti hati kami akan tetap sama.. hati kami akan tetap saling mencintai..

The End

KIMAGKHACY

[SF] Better That We Break (CHAN x KAI)

$
0
0

Title: Better That We Break
Author: Nina*
Paring: Chanyeol x Jongin
Rating: PG
Author’s note: Sayonara – Mild

ถ้าใครเคยอ่านทวิตเราเราจะทวิตบ่อยๆ เนอะว่าเราไม่ถนัดฟิคดราม่า แบบว่าเขียนแล้วมันไม่ดราม่า อ่านแล้วมันไม่อิน มันไม่เจ็บปวดแบบที่เราชอบ เลยเลี่ยงๆ ที่จะเขียน แต่ช่วงนี้อยากลองเขียนดู ยังไงก็เป็นหนูทดลองให้เรากันไปก่อนนะคะช่วงนี้ เบื่อเมื่อไรก็คงกลับไปเขียนแนวเดิม (แนวไหน? 555)

 

ปล.ใครขี้เกียจเมนท์แต่มีอะไรติ-ชม เชิญได้ที่ #ซาโยนาระchankai นะจ๊ะ

 

*

 

ความสัมพันธ์ระหว่างของคนสองคน เริ่มต้นด้วยความห่วงใย เติบโตได้ด้วยความรัก

 

หลายคู่โชคดีที่มีทั้งสองสิ่งนี้ไปจนตราบเท่าที่ลมหายใจสุดท้ายยังเหลืออยู่

 

แต่บางครั้งที่ความรักมันก็ไม่เพียงพอ เพราะหลายครั้งที่ความสัมพันธ์ของเรามันเปราะบางเกินกว่าที่จะใช้เพียงแค่ความรักเป็นเกราะป้องกัน

 

และหลายครั้งที่เราทั้งสองฝ่ายต่างทำลายสิ่งที่เรียกความไว้ใจ ความผูกพัน และความเชื่อมั่นของกันและกันไปทีละน้อย ทั้งที่สิ่งต่างๆ เหล่านี้ที่ควรจะมีเพื่อช่วยดูแลความรักของเราเอาไว้อีกชั้นหนึ่ง

 

หรือเราก็อาจจะแค่เหนื่อยเกินกว่าจะประคองความรักของเราเอาไว้แล้ว

 

บางทีการปล่อยมือก็คงเจ็บปวดน้อยกว่าที่เป็นอยู่

 

*

 

ชานยอลถอนหายใจออกมาเป็นครั้งที่ร้อยเมื่อเห็นปฏิกริยามึนตึงของคนที่นั่งนิ่งอยู่บนโซฟา ไม่พูดไม่จามาเป็นชั่วโมง แม้ว่าจงอินจะไม่ใช่พวกถนัดใช้คำพูดอยู่แล้ว แต่ชานยอลรู้ดีว่านี่ไม่ใช่การนิ่งเงียบแบบปกติของจงอิน จงอินเป็นคนเงียบๆ แต่ไม่ใช่เงียบจนไม่พูดอะไรเลยแบบนี้ แบบที่ไม่มีแม้แต่คำทักทาย ไม่มีแม้แต่อาการสนใจว่ามีชานยอลร่วมห้องอยู่ด้วยอีกคน

 

ใช่ว่าชานยอลจะไม่รู้สาเหตุที่จงอินเป็นแบบนี้ แต่เขาก็เหนื่อยเกินกว่าจะอธิบายแล้ว ในเมื่อจงอินมีธงอยู่ในใจแล้วว่าเขาเป็นคนผิดและเขาก็แค่ไม่ยอมรับมันก็เท่านั้น

 

ถ้าเป็นเมื่อก่อน…ชานยอลก็คงจะทำทุกวิถีทางเพื่อให้จงอินหายโกรธ หรือแม้แต่ยอมขอโทษทั้งๆ ที่เขาก็ไม่ได้ทำอะไร เพียงแต่ว่าตอนนี้เขาเหนื่อยเกินกว่าที่จะทำอะไรแบบนั้นแล้ว

 

เหตุผลครั้งนี้ก็ไม่พ้นเรื่องที่ช่วงนี้เขางานเยอะมากจนต้องกลับบ้านดึกอยู่บ่อยครั้ง หรือบางทีก็ต้องค้างที่บริษัท ทำให้อีกฝ่ายระแวงว่าเขานอกใจไปมีคนอื่น ทั้งที่ชานยอลก็ยืนยันจนไม่รู้จะพูดยังไงแล้วเหมือนกันว่าเขาไม่เคยมีคนอื่นเลย ตลอดระยะเวลาสี่ปีที่เราคบกันมา ชานยอลมีเพียงแค่จงอินคนเดียว ไม่เคยวอกแวกไปหาเศษหาเลยที่ไหน เขามั่นใจกับความรักครั้งนี้มากว่ามันจะต้องไปรอด แต่ดูเหมือนว่าชานยอลจะคิดผิด

 

ไม่ใช่ว่าจงอินเป็นพวกขี้หึงไม่ฟังเหตุผลอะไร เพียงแต่ระยะหลังๆ แค่เรื่องเล็กน้อยอย่างชานยอลฟังเพลงเสียงดังเกินไปก็สามารถทำให้จงอินหงุดหงิดได้ ตอนแรกเขาก็ไม่ได้คิดอะไร มองว่าเป็นเรื่องขำๆ ยังเคยพูดเล่นกับเพื่อนด้วยซ้ำว่าฮอร์โมนแปรปรวนขนาดนี้ หรือว่าจะท้อง

 

แต่ชานยอลรู้ดีว่ามันไม่มีทางเกิดขึ้นได้ และเขาก็ไม่เข้าใจอยู่ดีว่ามันเกิดอะไรขึ้นระหว่างเรา

 

เมื่อก่อนเวลาที่เราทะเลาะกัน ชานยอลไม่ต้องพยายามใจเย็นก็พร้อมจะยอมฟังจงอินทุกอย่าง ก่อนจะรอให้จงอินเป็นฝ่ายสงบลงเอง แล้วค่อยหันหน้ามาคุยกัน แต่ตอนนี้…ทุกครั้งที่จงอินชวนทะเลาะ ชานยอลจะต้องพยายามนับหนึ่งถึงสิบในใจเพื่อไม่ให้พูดจารุนแรงกลับไป เพราะเขาไม่เคยชอบน้ำตาของจงอินเลย ไม่ว่ามันจะเกิดขึ้นจากอะไรก็ตาม

 

เขาเคยเอาเรื่องนี้ไปปรึกษากับเพื่อน หลายคนตั้งคำถามว่าจงอินมีคนอื่นหรือเปล่า ก็เลยหาเรื่องทะเลาะจะได้เลิกกัน? แต่ชานยอลก็ไม่รู้สึกว่าจงอินมีอะไรผิดปกติไปจากเดิม ไม่ติดโทรศัพท์ ไม่กลับบ้านช้า เพียงแต่จะหงุดหงิดง่ายถ้าชานยอลทำอะไรผิดพลาดไปเพียงแค่นิดหน่อย จะเรียกว่าขวางหูขวางตาก็คงไม่ผิด

 

ถ้าเป็นคนอื่น…ชานยอลก็คงคิดระแวงตามที่เพื่อนของเขาสันนิษฐานแล้ว แต่ไม่รู้สิ เพราะรักและไว้ใจมาก…ล่ะมั้ง?

 

ในทุกคืนที่ชานยอลมองใบหน้าของจงอินก่อนนอน ชานยอลก็ยังรู้สึกหลงรักดวงตาของจงอินที่ใช้มองกลับมาที่เขาในตอนที่เขาจูบราตรีสวัสดิ์ ยังคงหลงรักน้ำเสียงที่จงอินใช้เรียกชื่อของเขาอยู่ในทุกวัน ยังอยากจะกอดอีกคนเอาไว้ในทุกๆ วัน และทุกๆ คืนที่เราอยู่ด้วยกัน

 

เพียงแต่มันมีอะไรบางอย่างแปลกไป…

 

อะไรบางอย่างที่ชานยอลไม่รู้จริงๆ ว่ามันคืออะไร และเขาควรจะไปแก้มันที่ตรงไหน

 

“จงอิน”

 

ชานยอลตัดสินใจเรียกชื่อของคนที่นั่งกอดเข่ามองภาพในโทรทัศน์ออกมา เขาเกือบจะถอนหายใจออกมาแล้วตอนที่จงอินผินหน้ามามอง ดวงตาคู่นั้นยังคงมีแววแข็งกร้าว แต่ชานยอลเองก็ไม่คิดจะปิดบังความเหนื่อยล้าในแววตาว่าเขาไม่พร้อมจะสู้รบกับอารมณ์ที่ชานยอลไม่เข้าใจในตอนนี้ จงอินถึงได้มีท่าทีอ่อนลงบ้าง แม้จะแค่เล็กน้อยก็ตาม

 

ชายหนุ่มร่างสูงมองหน้าจงอินเป็นเชิงถามว่า เขาจะลงไปนั่งด้วยได้หรือเปล่า จงอินถึงได้ขยับตัวไปชิดกับพนักอีกฝั่งให้ชานยอลลงมานั่งด้วยกัน

 

ต่างฝ่ายต่างเงียบ

 

ชานยอลมีเรื่องมากมายที่อยากจะถาม แต่เขาไม่รู้จะเริ่มที่ตรงไหน และไม่รู้จะใช้คำพูดอย่างไรที่จะไม่กระทบกับความรู้สึกของอีกคนจนมันกลายเป็นการทะเลาะกันมากกว่าการคุยกันที่ชานยอลต้องการ และจงอินเองก็เอาแต่นั่งเงียบรอให้คนที่เป็นฝ่ายเรียกเขาพูดอะไรออกมาก่อน

 

“ถ้าพี่ไม่มีอะไร…”

 

“จงอินยังเชื่อใจพี่อยู่หรือเปล่า?”

 

คำถามตรงๆ ของชานยอลทำให้จงอินเผลอเม้มปาก ดวงตาทั้งสองหลุบลงต่ำไปที่ชายกางเกงของตัวเอง

 

ใช่ว่าจงอินจะไม่รู้ว่าชานยอลเป็นคนยังไง ชานยอลตามจีบเขาอยู่ราวครึ่งปีเขาถึงได้ยอมตกลงขยับความสัมพันธ์ และเราย้ายมาอยู่ด้วยกันเกือบสี่ปีแล้ว กว่าหนึ่งพันสี่ร้อยวันที่เราใช้ชีวิตร่วมกัน แทบจะไม่มีวันไหนที่ชานยอลทำให้จงอินรู้สึกไม่มั่นคงในความรู้สึก ถึงชานยอลจะเป็นพวกขี้เล่น ดูเข้ากับคนอื่นง่าย และใจดีกับทุกๆ คน แต่จงอินรู้ตัวดีว่าตัวเองน่ะพิเศษกว่าคนอื่นๆ และชานยอลไม่ใช่คนที่จะทำเรื่องแบบที่เรียกว่า นอกใจ

 

แต่จงอินก็ไม่เข้าใจตัวเองเหมือนกันว่าทำไมพักนี้จงอินถึงได้รู้สึกหวั่นไหวไปเสียทุกสิ่ง

 

ชานยอลยังคงเป็นชานยอลคนเดิมกับที่เขารู้จัก

 

คนที่เอาใจใส่กับทุกๆ ความรู้สึกของจงอิน คนที่คอยดูแลเรื่องเล็กๆ น้อยๆ ไม่ให้ขาดตกบกพร่อง คนที่ไม่เคยลืมวันสำคัญๆ ที่จงอินไม่เคยจะใส่ใจจำอย่างวันครบรอบ วันวาเลนไทน์ หรือวันเกิด คนที่ไม่มีพิรุธหรือทำอะไรผิดปกติจนทำให้จงอินระแวงเลยสักนิดว่าชานยอลจะมีคนอื่น

 

แต่ทำไมจงอินถึงรู้สึกว่าอะไรๆ มันไม่เหมือนเดิม

 

“ผมไม่รู้”

 

น้ำเสียงที่ใช้ตอบคำถามของจงอินทำให้ชานยอลอดไม่ได้ที่จะถอนหายใจออกมาไม่ได้ จงอินในตอนนี้ดูเปราะบางกว่าทุกๆ ครั้งที่เราทะเลาะกัน เพราะเพียงแค่ชานยอลถอนหายใจออกมา จงอินก็มีปฏิกิริยาตอบรับที่ไม่เหมือนเคย จงอินไม่ชอบพูด และตอนนี้ก็ยังคงไม่พูด แต่ทุกครั้งที่จงอินไม่พอใจ จงอินจะแสดงออกมาทางสีหน้าและแววตาอย่างไม่ปิดบังว่าตัวเองไม่พอใจ แต่ครั้งนี้จงอินกลับก้มหน้าลงต่ำกว่าเดิม และเผลอกำเนื้อกางเกงแน่นโดยไม่รู้ตัว

 

ถ้าเป็นเมื่อก่อนชานยอลก็คงจะพร้อมลืมทุกเหตุผลที่ทำให้จงอินเป็นแบบนี้ แต่ในตอนนี้ชานยอลเองก็…เหนื่อย

 

“จงอินยังอยากคบกับพี่อยู่หรือเปล่า?”

 

จงอินเงยหน้าขึ้นมองชานยอลทีด้วยความตกใจ ใบหน้าของคนถามเรียบเฉยราวกับว่าไม่ได้รู้สึกอะไรที่จะต้องถามคำถามนั้นออกมา จงอินเดาไม่ออกว่าชานยอลกำลังคิดอะไรอยู่ เพราะมีแต่ความว่างเปล่าอยู่บนใบหน้าและแววตาของชานยอล เป็นความว่างเปล่าที่จงอินไม่คุ้นเคย และจงอินเกลียดอะไรที่ตัวเองไม่รู้สึกคุ้ยเคย มันทำให้จงอินกลัว กลัวว่าที่ชานยอลไม่ได้แสดงอะไรออกมาทางสีหน้าจะเป็นเพราะว่า ชานยอลไม่ได้รู้สึกอะไรอีกแล้ว

 

“ผม…ไม่..ไม่รู้”

 

เสียงของจงอินฟังดูสับสนเหมือนกับสีหน้าของเจ้าตัว ดวงตากลมไม่รู้จะจับจ้องไปทางไหน ได้แต่ไหวระริกอยู่ในกระบอกตา

 

“จงอินว่าเรายังรักกันอยู่ไหม?”

 

คำถามที่ไม่คาดฝันมันทำให้จงอินรู้สึกเหมือนแข็งไปทั้งตัว จะบอกว่าตกใจก็คงได้ แต่มันก็ชวนให้คิดอยู่เหมือนกันว่าหรือนี่จะเป็นสาเหตุที่ทำให้อะไรๆ ตอนนี้มันดูบิดเบี้ยวไม่ลงตัวไปเสียทุกอย่าง

 

 

 

 

 

เรา…ไม่ได้รักกันแล้ว?

 

 

 

 

 

 

อย่างนั้นหรือ…

 

 

 

 

 

 

 

“ผม…………….ไม่รู้…ผมไม่รู้ ไม่รู้”

 

 

 

 

 

 

ไม่ได้รักกันแล้ว…

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“โอเค ไม่เป็นไร จงอิน…ใจเย็นๆ ไม่รู้ก็ไม่เป็นไร” ชานยอลดึงที่ตัวสั่นเทิ้มเข้ามาปลอบ เหมือนว่าจงอินจะไม่รู้ตัวสักนิดว่าตัวเองกำลังร้องไห้

 

“ผม…”

 

จงอินพยายามจะไม่พูด แต่เหมือนมีก้อนอะไรสักอย่างมาจุกอยู่ที่ลำคอ ทำให้เจ้าตัวได้แต่กลืนคำพูดกลับลงไป ก่อนที่สมองจะว่างเปล่า ไม่รู้ว่าจะพูดอะไร หรือคิดอะไรต่อ

 

ชานยอลลูบเส้นผมสีเข้มให้อีกฝ่ายค่อยๆ สงบลง…เขาไม่อยากจะพูดแบบนี้เลย แต่เขาก็ไม่อยากให้มันเป็นแบบนี้ต่อไปเรื่อยๆ หรือเลวร้ายลงไปมากกว่านี้

 

“เรา…ห่างกันสักพักดีไหม?”

 

ชานยอลรู้สึกได้ว่าจงอินตัวแข็งทันทีที่ได้ยินประโยคนั้นหลุดออกมาจากปากของเขา

 

จงอินรู้ดีว่า ‘ห่างกันสักพัก’ คืออะไร

 

มันคือการที่เราค่อยๆ ห่างกันจนหายไปจากวงโคจรของกันและกัน

 

มันคือการปล่อยให้ต่างฝ่ายต่างกลับไปมีชีวิตของตัวเองจนกว่าจะรู้สึกว่าเรายืนอยู่ได้โดยที่ไม่มีเขา

 

มันคือรูปแบบของการเลิกกันที่นุ่มนวลที่สุด และอ้างว้างที่สุด

 

“พี่อยากให้เรา…เราทั้งคู่ กลับไปคิดทบทวนดูว่าเรายัง…อยากจะเดินไปด้วยกันหรือเปล่า เพราะตอนนี้จงอินไม่รู้ พี่ก็ไม่รู้ เราไม่รู้ว่ามันเกิดอะไรขึ้นระหว่างเราทั้งคู่ แต่เรารู้ว่ามันมีอะไรบางอย่างไม่เหมือนเดิม พี่ไม่อยากพูดว่าเราเดินมาสุดทาง ความจริงเราอาจจะแค่เลี้ยวผิดที่ตรงไหนด้วยกันทั้งคู่ เรากำลังหากันไม่เจอว่าเรายืนอยู่ตรงไหน แล้วบังเอิญว่ามันเป็นทางตัน และเรากำลังตกใจว่ามันเกิดอะไรขึ้น บางทีถ้าเราใจเย็นลงกันกว่านี้ เราอาจจะหาทางเดินกลับไปตรงที่เราเลี้ยวผิดก็ได้”

 

“แล้วถ้าไม่ล่ะ” จงอินพึมพำ

 

ชานยอลยิ้ม เป็นยิ้มที่ชานยอลก็บอกไม่ถูกเหมือนกันว่าเขายิ้มทำไม หรือจริงๆ แล้วยิ้มด้วยความรู้สึกแบบไหนกันแน่ ชานยอลเพียงแต่กดริมฝีปากลงที่ข้างขมับของคนที่กอดเอวของเขาเอาไว้แน่นด้วยความรู้สึกที่หลากหลายไม่แพ้กัน

 

“เรา…ก็อาจจะต้องยอมรับมันล่ะมั้ง”

 

จงอินไม่อยากยอมรับ เขาอยากจะปฏิเสธ อยากจะคัดค้าน อยากจะโวยวาย แต่เขากลับพูดมันไม่ออก เขาไม่รู้จะพูดอะไร หรือหาคำพูดดีๆ มาอธิบายความรู้สึกของเขาตอนนี้

 

“แล้วเราจะห่างกันนานแค่ไหน” จงอินเอียงหน้าซบเข้ากับแผ่นอกของชานยอลที่สะท้อนขึ้นลงอย่างสงบ

 

“ไม่รู้สิ” ชานยอลถอนหายใจ “ก็จนกว่าเราคนใดคนหนึ่งจะหาคำตอบของเรื่องนี้ได้ล่ะมั้ง”

 

“ห่วยแตกมาก” จงอินงึมงำในลำคอ แต่ชานยอลก็ได้ยินนั่นล่ะ อดไม่ได้ที่จะยิ้มออกมา ชานยอลคลายกอดที่โอบจงอินเอาไว้ แล้วเปลี่ยนมาใช้มือทั้งสองข้างประคองใบหน้าของจงอินเอาไว้แทน ทั้งตาที่ฉ่ำวาวไปด้วยน้ำตา กับจมูกแดงๆ จากการร้องไห้ ไม่ใช่อะไรที่ชานยอลชอบเลยสักนิด โดยเฉพาะเวลาที่มันมาอยู่บนใบหน้าของจงอิน ชานยอลใช้ปลายนิ้วเกลี่ยคราบน้ำตาที่เหลืออยู่บนใบหน้าของจงอินออก ก่อนจะส่งยิ้มให้

 

“จงอินเข้าใจพี่ใช่ไหม ว่าทำไมพี่ถึงพูดแบบนี้” อีกฝ่ายเม้มปากคล้ายไม่ยอมรับ แต่ก็ยอมพยักหน้าแต่โดยดี

 

ก่อนนอนคืนนั้น พวกเขาตกลงกันเอาไว้ว่าจงอินจะกลับไปนอนที่บ้านของตัวเองทุกสุดสัปดาห์ โดยที่ชานยอลจะเป็นคนไปรับไปส่งทุกครั้ง และอาจจะเพิ่มจำนวนวันที่จงอินกลับอยู่ที่บ้านของตัวเองมากขึ้นเรื่อยๆ หากว่าเรากลับมาเป็นเหมือนเดิมไม่ได้ หรือมันอาจจะดีขึ้นถ้าเรามีช่องว่างระหว่างกันมากขึ้น พวกเขาอาจจะหาเจอในที่สุดว่าเป็นเพราะเราอยู่ด้วยกันมานานเกินไปจนไม่มีชีวิตของตัวเองก็เท่านั้น

 

แม้ว่าเราจะต่างรู้ดีอยู่แก่ใจก็ตามว่าเราจะไม่มีวันหาเหตุผลและหนทางจะที่กลับมาเป็นเหมือนเดิมได้อีกแล้วก็ตาม

 

.

.

.

ฉันว่าเราหยุดก่อนดีไหม

ก่อนจะสายไป ก่อนอะไรอะไรจะเปลี่ยนแปลง

หนึ่งคำพูดแรง ๆ

เลิกแสดงว่าเรายังคงรักกันเหมือนเดิม

*

 

FIN

Our Marriage is... [Prologue] by Raditri Park

$
0
0

cover-our-marriage-is...-prologue.jpg.jpeg

Our Marriage is… [Prologue]
“Morning News”
by Raditri Park

Cast(s) :
♡Park Nira [OC] ♡Kim Jongin [EXO]
♡Other support cast (find it in next chapter)
Genre :
AU, Romance, Married Life, Angst, Sadness, Family, Friendship, Adult
Length :
Chaptered
Rating :
PG-17
Desclaimer : Plot is pure of my mind
Note : I never forced you to leave a comment, but you better know how to appreciate a work
Personal blog :  https://raditripark12.wordpress.com/

Bukan karena alasan perusahaan, pertemanan atau ikatan perjanjian apapun. Apalagi karena alasan sebuah ‘kecelakaan’. Bukan.

PROLOGUE

 

OMi prolog NiraHari ini Nira pulang cepat dari biasanya. Harusnya ia menjalani delapan mata kuliah sekaligus dan mengharuskannya pulang paling lambat jam 7 malam. Namun perubahan jadwal kuliah memang selalu tak terduga.

Dan pagi ini dari rumah pukul 9 pagi namun kembali pulang belum sampai pukul 11 siang.

OMi prolog

Tanpa disadarinya sebuah kaki panjang menjulur menghalangi jalannya melewati ruang tengah. Gadis itu terpaksa menoleh sesaat setelah menghela napas enggan. Ia masih ingat betul saat pagi tadi bersiap-siap berangkat kuliah, pria itu dengan nyaman bergelung dalam selimut tanpa bergerak sedikitpun meski berulang kali ia memukuli kakinya.

Tidak salah ia masih bertemu pria itu pagi ini. Ia tahu hari ini tidak ada jadwal kuliah untuk pria bermata kecil itu.

“Kenapa?” Nira melipat tangan, menatap jengah pria yang tampak tidak merasa mengganggu dirinya itu. Ia mendekap setoples kacang sambil menonton tv flat di depannya dan sesekali memasukkan kacang itu ke mulut, seolah tidak ada dirinya yang berdiri disana. Hal itu makin membuat Nira dongkol tertahan. Ingin marah tapi rasanya tidak berguna.

Belum juga menurunkan satu kakinya, Park Nira berniat memilih untuk bergeser melanjutkan langkah dan segera masuk ke kamar. Menghindari munculnya pertengkaran kecil. Tapi sebelum itu terjadi, suara pria itu mencegatnya otomatis. “Kau harus bersiap-siap.”

Nira berkerut tipis. Kalimat kurang jelas itu memaksanya mengurungkan niat, memilih diam menunggu pria itu melanjutkan kalimat ambigunya. Tanpa menoleh, mata Jongin bergerak ke arahnya, menatap intens dengan raut yang rawan diartikan. Tatapan pria itu untuknya mampu sedikitnya menggoyahkan detak jantungnya selama 3 detik. Dan itu selalu ia rasakan ketika tatapan mata kecil pria itu seolah mengajaknya bicara tanpa kata dengan aura memaksa. Seperti saat ini.

“Nanti malam Ayah dan Ibuku akan makan malam disini.”

“Oh, mereka sudah pulang?”

“Begitulah.”

“Tunggu–APA?!! NA-NANTI MALAM?!!!”

Untuk kali ini mungkin bisa disamakan saat gadis itu mendengar hari ini jam kuliahnya tetap berlanjut sedangkan ia sudah berada di rumah dan harus menempuh perjalanan ke kampus lagi. Seperti itu mungkin. Atau saat ia mendapat nilai terendah di ujiannya padahal ia sudah belajar mati-matian.

Seketika gadis itu heboh dan tidak tenang, langsung menjatuhkan tubuhnya di sofa tepat di samping pria itu duduk dan bersiap menyerbunya dengan bermacam pertanyaan.

“Kapan orang tuamu menelepon? Siapa yang menelepon? Ayah atau Ibumu? Dalam acara apa mereka kemari? Katakan, Jongin… katakan kalau kau berbohong,” serbu Nira dengan tatapan menuntut.

“Barusan Ibuku menelepon. Mereka kemari hanya untuk makan malam. Apa kau ingin bilang orang tuaku tidak boleh kemari? Sedangkan aku tidak masalah jika Ibumu selalu kemari tiap pagi.”

“Bukan begitu maksudku,” lirih Nira pelan, mencoba menekan kesabaran. Ia hanya merasa kurang terbiasa bertemu dengan Ibu Jongin. Itu saja.

“Ibuku bilang ingin bicara denganmu. Dan katanya itu penting. Padahal kalau pagi ini kau belum pulang aku akan bilang untuk makan malam besok saja.”

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Ia tidak tahu alasan kenapa ia tadi memilih pulang daripada pergi berbelanja seperti biasa saat pulang cepat dari kuliah.

Dan sekarang untuk menghindarpun rasanya mustahil. Dengan alasan apa ia tidak ingin bertemu orang tua Jongin. Bisa-bisa ia dianggap tidak menyukai orang tua Jongin. Bukan, bukan seperti itu maksudnya.

“Lalu?”

“Bukankah sudah kubilang?! Kau hanya perlu bersiap-siap.”

Nira merasakan perbedaan pada Jongin. Pria itu masih tidak mau menghentikan kegiatan tidak bermutunya yang cukup menyebalkan. Biasanya Jongin akan turut heboh jika orang tua mereka berkunjung mendadak tanpa alasan jelas. Dan ini kali kedua orang tua Jongin berkunjung ke rumah mereka, sebelum yang pertama sehari setelah resepsi pernikahan. Karena saat itu mereka tidak berada satu kamar, jadi mereka sama-sama heboh saat tahu orang tua Jongin berkunjung. Nira akan pusing tujuh keliling jika harus mengingat hari-hari merepotkan itu.

Apa saat ini Jongin sedang menyembunyikan sesuatu dari Nira?

“Lalu kau?” tanya Nira serius. Tapi Jongin bungkam dan semakin menikmati  kegiatannya, membuat Nira menggertakkan gigi kesal seraya mengepalkan tangan gemas. “Jongin, aku bertanya serius!” Sambil tangannya merebut toples kacang dari dekapan Jongin.

“Aku?!” Jongin akhirnya menoleh dengan kalimat retoriknya. “Dengar, kita sudah satu kamar jadi tidak perlu mengawatirkan soal itu, foto pernikahan kita sudah terpajang jelas di ruang tamu, ruang tengah, ruang keluarga, tembok sepanjang tangga, kamar kita bahkan aku baru saja memasang di ruang makan foto saat kau berperilaku tidak tahu malu di sesi pemotretan pre-wedding kita. Apa aku juga perlu memasang di kamar mandi?”

“CK!” Nira mendecih, bersungut menahan kesal.

“Aku hanya perlu mandi, bersiap-siap lalu bertemu Ayah dan Ibuku. Kaupun juga begitu, jangan memakai kaos rumah,  kita akan makan malam dan kau akan bertemu dengan mertuamu, pakai dress yang kemarin kubelikan.”

“Tapi-“

“Kau mau bilang tidak suka warnanya? Tapi aku suka dan aku sudah memilihkannya untukmu, jadi tinggal pakai saja apa susahnya,” cerocos Jongin dengan nada memerintah hingga mulutnya membentuk pout unik, kebiasaan  saat ia sedang memerintah disertai nada rajukan.

Jika dipikir-pikir Nira mulai harus mengalah pada Jongin, gadis itu harus mengesampingkan kekeraskepalaan dan sifat kekanakkannya. Ia selalu dengan mudah melupakan bahwa statusnya sekarang sudah menikah. Mulai ada seseorang yang terkadang akan mengatur hidupnya.

Lagipula kali ini dia akan bertemu dengan Ibu Jongin. Sejak dua minggu yang lalu, ia tidak lagi bertemu dengan Ibu dan Ayah Jongin, mereka sibuk bertemu client di luar kota. Jadi, malam ini akan menjadi makan malam sekaligus pertemuan yang penting, selain kata Jongin Ibunya ingin berbicara dengannya tentunya.

“..baiklah,” desah Nira, akhirnya menuruti keinginan Jongin. Sebenarnya ia bukannya tidak suka pada warna dress pilihan Jongin  untuknya, tapi ia merasa kurang cocok dengan warna baby pink. Itu saja. Jadi, kali ini ia akan berusaha mengalah dari egonya untuk sementara.picsart_1448762463479.jpg

Dress yang Jongin pilihkan untuk Nira

tbc

 

 

Haiiiii~ *lambai anggun bareng Kai*
Raditri yg anti ff chapter sedang mencoba bikin ff chapter muohohhhoho. Kalo mengecewakan bilang aja, Raditri terima segala kritik saran apalagi support :D ini baru prolog sih, belom keungkap semua.

Buat peringatan aja… ff ini bakal ada yg diprotect–eitss! bukan soal siders tapi rating cerita yg memuat konten adult mencapai nc!

Sekian~ terima Kai alias Jongin <3

See you on chap 1 :*

OMi prolog

Viewing all 621 articles
Browse latest View live