99th Mission
Chapter 12 : The Patency
***
Numb.
Kepala Jongin berdenyut sakit. Ia mulai berpikir kalau dia sedang berhalusinasi.
Jongin mulai tidak percaya akan kesadarannya. Bukankah barusan Jongin pingsan? Apa gara-gara itu kedua matanya rabun mendadak dan dipertunjukkan hal-hal yang mustahil?
Tapi ini nyata, Jongin tahu itu meskipun ia berusaha mengelak.
Kedua mata lelaki itu menatap lurus ke tepat pada dua hazel Chaeri. Jongin sudah pasrah sejak tadi, ia hanya punya pemikiran untuk segera menyelesaikan misi ini bahkan jika harus mati. Tapi bahwa seorang Seo Chaeri mengarahkan lurus sebuah mulut pistol ke dada kirinya adalah hal yang terakhir yang ia harapkan.
Jongin tidak pernah mempertanyakan Chaeri. Ia selalu berkeyakinan gadis itu dipihaknya. Dan kenyataan yang tergelar di depannya cukup membuat Jongin tak berdaya.
Jongin tidak bergerak sedikitpun, kedua matanya layu, ia kehilangan segalanya. Ia tak punya apa-apa. Dan Jongin pun bahkan tidak bisa melawan.
Jongin tidak bisa bepikir. Gravitasinya tersedot ke arah sosok yang berdiri di ujung sana. Ia tidak mendengar tawa sengit Jinseok, teriakan kesetanannya soal kemenangan, ataupun segalanya. Waktu terhenti. Hanya ada Jongin yang pasrah dan kecewa dengan kedua mata tegas Chaeri.
“Chae.” Jongin berusaha bersuara. Ia tahu kalau gadis itu tak akan mendengarnya, mereka terlalu jauh, tapi toh itu sudah dilakukannya.
Lucu sekali. Jinseok benar-benar kejam, pikir Jongin. Dia menggunakan kelemahan semua manusia untuk membuat Jongin benar-benar berlutut dan kehilangan keberanian untuk bahkan meludah seperti beberapa detik lalu. Kelemahan yang tak bisa Jongin pungkiri : Cinta.
“Kau tunggu apa lagi, dokterku yang cantik? Kau sudah banyak meledakkan kepala manusia, sayangku. Apa yang kau tunggu? Bunuh opsir tidak berguna itu.”
Tangan Chaeri gemetaran.
Chaeri tidak punya pilihan, itulah yang Jongin simpulkan.
Gadis itu mencengkram pistolnya, kedua matanya terpejam. Dan dengan itu, lima buah moncong pistol yang lain terarah tepat ke kepala Chaeri.
Chaeri dipaksa membunuhnya. Dan Jongin tahu apa yang harus dia lakukan.
“Bunuh aku, Chae.” Katanya jelas, cukup untuk Chaeri mendengarnya, namun lembut dan penuh akan provokasi. “Tak apa. Bunuh aku. Aku matipun, sebuah organisasi tak akan mengalahkan negara ini. Kami akan tetap menang. Bunuh aku, Chae.”
“Kau sudah dengar kata pacarmu? Bunuh dia sekarang. Atau kau yang mati.”
Ada keraguan terlintas di kedua mata itu. Jongin tau pasti.
Napas Chaeri tidak beraturan. Keringat bercucuran membasahi sekujur tubuhnya. Pistolnya tidak stabil, tangan gadis itu tak bisa berhenti gemetar.
“Tunggu apa lagi?!”
Chaeri menggelengkan kepalanya.
Tok. Tok. Tok.
Bunyi benda padat yang menubruk lantai kemudian memantul, menimbulkan suara yang entah bagaimana terdengar keras di telinga Jongin.
Tidak. Jongin ingin menjerit. Peluru yang terjatuh dari pistolnya tanpa sempat diluncurkan.
Kedua mata Jongin melebar, “NO!”
Shot.
Jongin menahan napas.
Seluruh senapan anak buah Kang Jinseok itu meluncurkan pelurunya mengenai tubuh Chaeri dari berbagai sisi dan gadis itu jatuh tidak berdaya, berlutut, kemudian terjengkang ke belakang. Napasnya terhenti, kedua matanya terbuka lebar, tetapi bibirnya tersenyum seolah-olah dia tidak menyesali apa yang barusan terjadi. Seolah-olah Chaeri tidak menyesal kehilangan nyawanya.
Kai berteriak kencang.
Seolah hari itu belum cukup buruk, ia harus melihat kematian gadis yang dicintainya dengan mata kepalanya sendiri. Untuk menyelamatkan dirinya.
***
Sejauh ini tidak ada hal yang berarti terjadi. SeHun nyaris besar kepala. Memimpin duaratus orang prajurit menuju markas terbesar musuhnya, SeHun sama sekali tidak terlihat takut. Ia menjadi seorang opsir gagah berani yang sedang menuju ke sebuah tempat asing yang menjadi sarang lawannya.
Ia berhasil sampai ke dalam gedung, dan menelusuri setiap tempat hingga mendengar suara peluru yang terhempas dari bagian atas gedung. SeHun segera membawa semua prajuritnya naik. Disanalah baru halangan muncul (yang kebetulan tidak main-main). SeHun setidaknya harus kehilangan setengah dari prajuritnya hingga akhirnya ia sampai di lantai atas.
Tempat di mana Kang Jinseok duduk di singgasananya, di mana tubuh Seo Chaeri terkapar di lantai, dan di mana Kim Jong In terlihat seolah sekarat secara fisik dan emosi.
SeHun menggertakkan giginya.
“Halo, opsir mudaku.” Kata lelaki berengsek itu. “Kau tak tahu betapa lama aku menunggu hari ini terjadi?”
“Sama juga denganku. Hari kematianmu?” tanya SeHun, alisnya terangkat. Ia membenarkan letak topi kepolisiannya kemudian berjalan mendekati rekannya yang disandera oleh musuh. Jinseok mengangkat jarinya, memberi isyarat pada anak buahnya untuk melepaskan Kim Jong In.
“Tidak. Tidak.” Katanya. “Itu masih sangat lama.” Kang Jinseok tersenyum ganjil. “Aku menunggu hari ini untuk memberimu hadiah, opsir mudaku.”
SeHun bertanya-tanya soal hadiah itu, tapi mukanya tidak berubah. Tetap dingin dan tenang.
“Kuharap kau suka kejutan,” kata lelaki itu, ia menepukkan kedua tangannya.
Tak lama, SeHun disuguhi pemandangan yang tak pernah ia bayangkan. Hal yang bahkan membuat seseorang seperti Oh SeHun terlihat seperti seseorang yang kejatuhan kuda terbang alias shock berat sekaligus nampak seperti orang bego.
Aerin Cho.
Gadis itu diseret keluar dengan paksa. Dia menangis tak keruan, sebuah mulut pistol terarah ke kepalanya.
Tapi di atas itu semua, hal yang paling tidak masuk akal adalah dua lelaki yang menarik keluar Ellin secara paksa. Zhang Yixing yang mengkhianatinya (persis seperti dugaan Ellin), dan—
.
.
.
.
…dan dari postur tubuhnya, wajahnya, caranya berdiri, SeHun yakin itu adalah,
Lu Han.
SeHun yang masih shock benar-benar tidak bisa mempercayai keyakinannya sendiri, tetapi di sisi lain, dia tahu kalau lelaki itu adalah Lu Han. Lelaki yang ia kagumi, ia jadikan teladan, ia jadikan panutan selama bertahun-tahun.
Lelaki yang detik itu menggenggam dua pistol dengan tenang, salah satunya ke arah Ellin, yang satunya ke arah SeHun. Ke arah SeHun.
Lu Han mengarahkan ujung pistolnya ke arah SeHun.
SeHun tidak tahu apa yang harus dirasakannya saat itu. Antara terkejut, bingung, tidak percaya, linglung, marah, kecewa, kalut, dan segalanya.
SeHun tidak bisa bergerak, napasnya tersenggal satu persatu, ia bahkan tidak repot menutupi keterkejutannya. Ini semua terlalu banyak baginya untuk diterima.
“Lama tidak bertemu, SeHun-ah.” Ucap lelaki itu, tenang dan santai. Seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Dan suaranya pun sama persis. SeHun tidak bisa mengelak. Ia ingat sekali wajah Lu Han dan ia cukup tahu kalau lelaki yang di hadapannya ini benar-benar Lu Han.
Bahkan Jongin yang tadinya nyaris terlihat mati kini mengangkat wajahnya, kedua matanya membulat lebar.
“Dan kau juga, JongIn-ah, kalian tumbuh dengan baik.” Kata lelaki itu.
Jinseok tertawa keras sekali, seolah mengumandangkan kemenangan kejinya ke seluruh dunia. SeHun betul-betul linglung, terlalu kehilangan fokus di kepalanya untuk bergerak sedikitpun. SeHun seolah-olah hilang. Dia seolah-olah tidak ada di sana.
“Jadi Oh SeHun, kurasa kau yang akan mati hari ini.” Kata lelaki berengsek itu. “Letakkan pistol manismu, atau Lu Han-mu akan membunuh bonekaku yang kau curi.”
SeHun tidak bergerak sedikitpun.
“Ayolah. Aku tidak bisa menunggu selamanya.” Kata Jinseok.
SeHun tetap terbeku.
Kemudian Lu Han berjalan mendekati SeHun, ujung pistol tetap terarah ke kepala Ellin dan SeHun. Hingga ia merangkul SeHun, mulut pistol yang digenggamnya tepat mencium sisi kiri kepala SeHun, sekali tembak, SeHun sudah mati. Dan bahkan SeHun tidak bisa melakukan apapun. Ia masih terlalu terkejut.
Namun bukannya menembak, Lu Han berbisik, “Sadarlah. Kau jauh menang jumlah. Aku janji akan jelaskan semua padamu. Bahkan aku rela membusuk di penjara.” Suaranya lembut, terdengar khawatir, dan tulus.
SeHun ingin tidak mempercayainya. Ia baru saja menerima pengkhianatan terburuk seumur hidupnya.
Tapi SeHun harus bergerak. Lelaki itu mendapatkan kesadarannya kembali ketika Lu Han dan Yixing mengamankan Ellin. Dia membawa pasukannya bergerak cepat, benar saja, Kang Jinseok betul-betul kalah jumlah dan mereka berhasil ditumpas dalam waktu yang cukup singkat (SeHun terkejut akan fakta itu).
“Penghianat!” jerit Jinseok.
Lu Han tersenyum. Seolah-olah dia mengatakan, kau tahu dari dulu aku pengkhianat. Dan Kau menawariku bertarung di sisimu.
Jinseok yang melihat keadaan anak buahnya yang kalah, mulai menembak ke segala arah tanpa aturan, menjerit-jerit, mulutnya bersumpah serapah. Pistolnya tak terkendali, peluru meluncur ke arah teman dan lawan. Lelaki itu tak lagi peduli. Ia seolah-olah gila.
Melihat itu, SeHun bertindak cepat dan menembak Jinseok ke dada kirinya. Kang Jinseok terlempar ke tanah, sempat menembakkan satu peluru ke arah SeHun sebelum jatuh tak berdaya. Kaki SeHun yang malanglah yang menjadi korban.
“Fuck it.”
SeHun benci harus menang dalam keadaan berlutut.
***
Banyak sekali hal yang harus diurus SeHun.
Ketika salah satu petugas tim medis berusaha menolong SeHun yang terluka, ia mengusir mereka semua. Meminta salah satu orang untuk membawa Kai terlebih dahulu (yang sebetulnya sudah dilakukan), atau mengamankan orang lain.
Kemudian SeHun menyaksikan anak buahnya yang tidak terluka bertindak cepat dengan memborgol para musuh yang masih hidup, termasuk dua orang yang dipercayainya, Zhang Yixing dan Lu Han.
Kemudian sebuah ingatan menghantam kepalanya.
Cho. Ae. Rin.
Kedua mata SeHun memandang segala arah. Dan ketika ia tidak menemukan Aerin, ia menendang siapapun itu yang sedang berusaha membebat kaki SeHun, barangkali seorang petugas medis yang memberikan pertolongan pertama sebelum SeHun kehilangan terlalu banyak darah. Ia berusaha mati-matian berdiri dan menolak semua bantuan. Dengan jalan pincang, lelaki itu menjerit-jerit ke segala arah dan bertanya dimana Ellin.
“Katakan padaku dimana dia! Dimana Cho Aerin! Dimana gadis itu sekarang?!”
SeHun muak harus berusaha tenang.
“Dia sudah dibawa ke Rumah Sakit. Trauma berat. Butuh sedikit rehabilitasi.” Jawab seseorang. SeHun kemudian memejamkan kedua matanya, menghempaskan napas lega untuk pertama kalinya di hari yang buruk itu, lalu kakinya yang kesakitan layu seketika. Ia ambruk di tempat.
Ia tak lagi melawan, dan membiarkan paramedis melakukan apapun terhadap kakinya. Ia hanya terdiam, entah melamunkan apa. Tapi semua orang tahu SeHun tidak baik-baik saja.
Mereka kembali ke markas.
Dalam perjalanan ke markas lewat lautnya, SeHun sadar dia tidak bisa seperti ini. Dia satu-satunya anggota pimpinan dari Tim yang masih cukup bisa disebut ‘baik-baik saja’ untuk menyelesaikan semuanya.
Pertama, ia harus menerima telepon dari Departemen Kepolisian Nasional, kemudian Rumah Sakit darurat untuk memastikan semua orang baik-baik saja, kemudian mengatur anak buahnya yang tersisa, dan melakukan segala hal pasca misi yang lain.
Rasanya kepala SeHun mau meledak.
Tapi dia adalah Oh SeHun. Ia harus melakukannya.
***
“Jadi, selanjutnya apa?” Kai bertanya. SeHun menghela napas berat, kedua mata lelaki itu tertuju pada rombongan orang-orang yang bergantian untuk menaruh setangkai bunga di atas gundukan tanah yang menimbun kawan-kawannya, sorot matanya kosong.
SeHun melirik Jongin, ia tahu kalau lelaki itu juga sama depresinya dengan SeHun. Bahkan jauh lebih buruk.
Kesampingkan urusan cinta, ia baru saja kehilangan dua teman terbaiknya dan dua pertiga pasukan tim nya, dikhianati dua orang dokter yang dipercayainya, kemudian disuguhi sebuah fakta yang mencenangkan soal sahabatnya yang telah lama hilang. Itu membuat SeHun yang biasa tenang dan dingin harus mengalami mental breakdown parah.
SeHun bahkan tidak bisa menangis. Sejak misi ini selesai, SeHun tidak pernah meneteskan airmatanya sedikitpun. Ia lelah secara fisik dan psikologis, dan menangis hanya akan menambah parah semua itu.
Rasanya baru kemarin si tiang Chanyeol kembali bersama Jongin dari investigasi lokasi dengan senyum lebar konyolnya yang membuat SeHun heran kenapa bibir itu masih belum sobek juga. Dan rasanya baru kemarin ia diteriaki gila-gilaan oleh Byun Baekhyun. Dan baru kemarin ia mengunjungi ‘makam’ Lu Han dan bernostagia sembari mengenang betapa ‘mulia’ hyungnya itu.
Hati SeHun mencelus. Ia tidak tahu kalau ia bahkan akan kehilangan hal-hal kecil semacam itu.
Ia bahkan nyaris tidak punya rencana. Ia membayar sangat mahal hanya untuk menancapkan peluru di dada Kang Jinseok. Ia nyaris kehilangan segalanya, dan yang paling parah, tujuan hidupnya. Ia tiba-tiba tidak suka menjadi polisi. Ia ingin berhenti, menikah, membuka toko roti kecil dan bahagia sampai tua.
Bicara soal itu, rencananya terdengar perfect sekaligus blur, sama sekali tidak tertata dan tidak ambisius, bukan gaya SeHun. Lupakan soal gaya SeHun, ia hanya akan menjadi SeHun yang baru yang tidak dikenal, bukan polisi yang selalu terancam nyawa.
Sekarang, yang jelas, ia masih belum memutuskan pilihan clichè yang masih menantinya. Gila saja. Ia masih butuh penjernihan pikiran, mereka bilang, jangan biarkan rasa sedihmu mengambil keputusan. Dan kondisi SeHun terlalu melankolis untuk itu.
Jadi, selanjutnya apa?
Entahlah, aku juga tidak tahu.
“Aku mau pensiun saja.” Kata SeHun.
“Aku mau mati saja.” Balas Jongin.
SeHun speechless.
“Kalau begitu biarkan aku yang membunuhmu.” Katanya sarkas. Jongin meliriknya tanpa berkata apapun.
“Aku baru saja mendapat sejuta hal yang memukulku dan rasanya aku juga mau mati. Tapi apa yang akan kulakukan kau juga ikut-ikutan membuat acara bunuh diri. Itu tidak lucu. Kalau kau mati, aku bersumpah akan menghabisi seluruh keluargamu dan keluargaku, lalu bunuh diri,”
“Keluargamu dan keluargaku?”
“Biar tidak ada yang balas dendam, karena sudah kuhabisi mereka semua.”
Kalau saja ia tidak dalam kondisi seperti ini, Jongin yakin ia akan tertawa terbahak-bahak.
“Jangan mati.” Kata SeHun pelan, seperti bisikan angin. Lelaki itu mengambil satu langkah menjauh dari Jongin dengan bantuan kruknya, “Aku membutuhkanmu.” Katanya sebelum pergi dengan langkah pincangnya meninggalkan tempat itu. Kedua mata Jongin mencermati setiap pergerakannya hingga lelaki itu hilang dari pandangan.
***
Gadis itu terus berbolak-balik di koridor markas. Seolah-olah menunggu seseorang. Dan Kris rasa —kalau tidak salah hitung, dia sudah melakukannya selama setengah jam penuh.
Rasanya Kris mengenal gadis itu. Barangkali belum pernah bertemu. Tapi Kris yakin dengan segala diskripsi yang kelihatannya memang cocok, Kris tahu siapa itu. Tubuh jenjangnya, wajahnya yang mirip dengan gambar seseorang yang sering dilihatnya.
Gadis itu mirip Lu Han, meski seumur-umur Kris hanya pernah melihat Lu Han lewat beberapa foto dan dokumen-dokumen di markas.
Dan Kris cukup yakin kalau dia adalah Alexa Lu.
“Alexa Lu.”
“Siapa kau? Darimana kau tahu nama—” Alex menggelengkan kepalanya tiga kali, “Dengar, itu tidak penting dan aku harus bertemu dengan—”
“—Oh SeHun?” potong Kris, dia menghela napas sembari tersenyum pahit, “Namaku Kris Wu, aku dari divisi penyuplai senjata di sini. Karena nyaris semua orang di sini depresi berat, aku satu-satunya yang masih dalam keadaan baik untuk berdiskusi. Aku adalah orang baru, meskipun agak mengejutkan juga bagiku, tapi setidaknya aku masih cukup baik-baik saja. Apa yang ingin kau katakan pada SeHun?”
“Banyak hal. Kau kenal namaku, dan mungkin kau pernah mendengar soal aku. Aku kekasih SeHun, dan aku adalah adik dari Lu Han jadi tunjukkan padaku di mana mereka sekarang!” kata gadis itu dengan gelisah dan tidak sabar. Wajahnya kacau, rambutnya berantakan, dan bajunya acak-acakan.
Kris menghela napas.
***
SeHun menghela napas.
Setelah dibukanya pintu besi itu, ia melihat sosok yang didambakannya begitu lama. Duduk tak berdaya di balik selembar kaca tebal di sisi lain ruangan. Tangannya terikat, pakaiannya bewarna abu-abu kehijauan membosankan.
Lelaki itu menghela napas. Jujur, ia masih belum sanggup menelan kenyataan ini mentah-mentah. Ia merasa baru saja dibakar hidup-hidup.
Dan akhirnya ia duduk di sana. Terdiam. Seperti lelaki yang lain. Kedua matanya memindai lelaki yang duduk di sana, tidak ada yang banyak berubah. Bahkan pandang matanya pun masih sama, masih hangat dan masih penuh akan kasih sayang. SeHun ingin meludah. Setelah semua yang terjadi?
“Kakimu baik-baik saja?” tanya Lu Han.
SeHun tidak menjawab.
“Aku tahu hari ini akan datang, SeHun-ah.” Kata lelaki itu, dia tertawa kecil.
Tubuh SeHun menegang. Terlalu banyak. Terlalu banyak hal yang dia ingin tanyakan pada lelaki ini. Terlalu banyak yang ia ingin katakan.
“Kenapa…” dan hanya itulah yang sanggup keluar dari bibirnya.
Lu Han tersenyum.
“SeHun-ah,” panggilnya lembut. SeHun mengangkat wajahnya, kedua pasang mata mereka bertemu. “Kau tidak berubah banyak.” Komentarnya.
“Kau barangkali terkejut, adikku. Tapi inilah yang kau lihat. Aku datang ke Jinseok dengan mauku sendiri. Bukan paksaan dari siapapun. It’s my free will.” Ucapnya tenang. “Aku juga tahu konsekuensinya. Dan aku akan menjalaninya. Kenapa? Hm. Bagaimana aku menjelaskannya, ya.”
“Kau hidup, akupun hidup. Hanya saja jalan kita berbeda. Ada banyak hal yang bisa kuambil, SeHun-ah, memandang kehidupan dari dua sisi. Si penjahat, si pahlawan, dan si tidak memihak siapapun, dan si penghianat. Di sini kita bisa menemukan keadilan, SeHun-ah.”
“Yah, biarpun ada harga yang harus kubayar mahal, aku bahkan harus berhadapan dengan pistol adikku. Ya Tuhan.” Lu Han tertawa. “Kau pasti marah padaku, tapi percayalah padaku kalau aku tahu apa yang aku lakukan, adikku. Aku tahu pasti apa yang telah kuperbuat, jangan khawatir.”
“Aku tidak mengerti,” dengus SeHun. Ia menggelengkan kepalanya berkali-kali. “Kau sinting.”
“Barangkali, SeHun-ah.” Lu Han menjawab, tanpa repot-repot mengelak. Ia memandang SeHun dengan tatapan hangatnya. Kali ini SeHun ingin muntah, lelaki itu bersikap seolah-olah dia tidak tahu dia akan menghabiskan seumur hidupnya di dalam penjara.
“Tapi kau teladanku, Hyung. Kau yang membuatku sampai di sini. Kau 80%, tidak, maksudku 100% motivasiku. Sekarang aku tak punya alasan apapun untuk menjadi polisi.” Suara SeHun menghilang di akhir kalimatnya, dan opsir muda itu menangis (setelah berhasil cukup lama menahannya). Dia mengusap air matanya secepatnya.
Satu-satunya alasanku bertahan adalah orang yang mengecewakanku paling berat.
“Andai aku bisa memelukmu, SeHun-ah.” Katanya pelan. Jemarinya menari kecil pada permukaan kaca yang membatasi mereka, “Jangan berhenti jadi opsir yang percaya diri, adikku. Karena itulah dirimu. Tapi jika ingin berhenti, berhentilah. Jangan jadi orang lain. Pilihlah jalan sesuka hatimu. Jagalah teman-temanmu, lindungi mereka yang kau cintai. Karena hidupmu adalah pilihanmu, bukan milik orang lain.”
“Tuan Oh, waktumu habis.” Seorang opsir berperut buncit yang kelihatannya hampir pensiun mengingatkan.
SeHun hanya termenung, ketika Lu Han tersenyum sekali lagi. “Ngomong-omong soal memilih, kau adalah orang yang bijak, SeHun-ah. Kau akan mengambil jalan yang paling tepat.” Kata lelaki itu, mengedipkan sebelah matanya kemudian beranjak terlebih dahulu dari kursi. Meninggalkan Oh SeHun yang masih belum pulih dari semua kelinglungannya.
Fuck you, Lu Han. What an explanation. You’re only making things complicated with your damn riddles.
***
“SeHun,” seseorang memanggil namanya begitu ia masuk ke dalam markas. SeHun melirik ke samping, menemukan Alexa Lu duduk di atas kursi tamu markas. Lelaki itu menghempaskan napas, membawa kaki pincangnya untuk duduk di sebelah Mei.
“Mei,” sapa SeHun balik, dengan nama asli Alex.
“Kakimu terluka.” kata Alex.
“Yeah. Setidaknya aku hidup.”
Alex tidak mengatakan apapun, tapi pandang matanya mengisyaratkan dia sangat lega melihat Oh SeHun hari itu. Baik-baik saja. Dan Alex tahu hal-hal seperti kaki tertembak bukanlah masalah buruk bagi SeHun. Dan dia tahu ada hal lain yang harus dia khawatirkan.
“Lu Han?” tanya gadis itu, suaranya hilang, nyaris seperti bisikan.
SeHun menggelengkan kepalanya.
“Aku tahu kakakku sinting.” Kata Alex ia menghempaskan napasnya. “Tapi aku tidak tahu dia sesinting ini.” Ucapnya lagi. “Dia punya sudut pandang yang sangat luas. Dia banyak bercerita padaku banyak hal dulu. Banyak bicara yang sama sekali tidak aku mengerti. Dia bukan nasionalis. Dia juga bukan anarkis atau pemberontak. Dia hanya hidup bersandar pada dirinya sendiri. Hidup dengan logikanya yang rumit. Persis seperti ayahku.” Mei tertawa.
“Ayah bisa dibilang sama sintingnya. Suka sekali bercerita teori-teori yang tak kupahami. Dan sudut pandangnya itulah yang membuatnya bercerai dengan ibuku.”
“Dia tidak seperti itu waktu dia muda, Alex.”
Alexa menggeleng. “Dia selalu seperti itu, SeHun. Dia hanya menahan dirinya untuk tidak mengatakan apapun. Karena dia ada di kepolisian. Dia tahu dia harus menjaga sikapnya.”
SeHun memijat pelipisnya. Sakit kepala.
“Bagaimanapun,” kata Alex pelan. “Aku tidak menyesal dia masih hidup. Aku selalu berharap dia hidup. Meskipun aku harus menerima kenyataan kalau dia akan dipenjara seumur hidup dan, bahwa dia sesinting ayah.”
“Kau ingin menemuinya? Mungkin besok kau bisa. Aku baru saja dari sana, dan dia hanya bisa dikunjungi sekali sehari.”
“Tidak sekarang. Aku akan gila jika bertemu dengannya. Untuk saat ini, kunjungi dia untukku, SeHun.”
Alex berbisik ke telinganya, “Dan terimakasih sudah baik-baik saja.” Alex mencium pipi SeHun. Lelaki itu memejamkan matanya. Tanpa berkata apapun.
***
Here we go! The (finally revealed) patency, Lit’ bit twist for you, wkwkwk. So he’s alive. Lu Han is alive all this time. It’s makes sense, isn’t it? Everyone thinks he’s died but he’s alive. Lol.
And for Jongin, forgive me, i made your life seems so extremely hard T-T (don’t kill meh)
And Ellin? Oh, let’s meet her in the next chapter, I’m not promising, but let me try my best to update this as soon as possible. (because we never know what tomorrow bring us to. Justwhatamitalkingabout-_-)