Quantcast
Channel: kim-jongin « WordPress.com Tag Feed
Viewing all 621 articles
Browse latest View live

REMOVE - Helloimsj

$
0
0

image

REMOVE

Kim Jongin & Park Yujin

Salah  satu keputusan tersulit dalam cinta adalah ketika kamu harus memilih untuk bertahan atau melepaskan.

Yujin menghela napas panjang, melirik pada handphone miliknya yang terus berdering; panggilan dari Jongin dan dia mengabaikannya.

Sial! Kenapa dia harus semenyedihkan ini?

Dia baru saja menyeka air mata sialan yang sedaritadi terus mengalir membasahi pipinya ketika seseorang membuka pintu kamarnya dengan keras, menimbulkan  bunyi dentuman kuat yang membuatnya terperanjat kaget.

Yujin membeku ditempat dan matanya kembali memanas. Namun sebagai wanita, dia tidak akan kalah secepat ini.

“Yujin.”

Si Brengsek itu…

“Kita harus bicara.” Kata Jongin dengan napas memburu.

Dia terlihat sangat kacau dengan wajah lelah yang sialnya masih tidak mampu mengurangi kadar ketampanannya.

“Tidak ada lagi yang harus kita bicarakan, Jong.” Yujin menggigit bibir bawahnya kuat-kuat, berusaha untuk menahan tangis. Tidak perduli dengan kemungkinan bibirnya akan berdarah akibat ulahnya itu. “Pulanglah.” Tandasnya lalu segera menunduk, menyembunyikan wajah basahnya.

Jongin bersumpah dia tidak akan memaafkan dirinya sendiri untuk satu tetes air mata yang wanita itu keluarkan.

Dia segera melesat dan bersimpuh di kaki wanitanya, menggenggam tangan rapuh Yujin, mengecupnya disana sebelum beralih menatap wajah sedih di hadapannya. “Apa aku melakukan kesalahan?”  tangannya terangkat ke udara, mengusap air mata yang membuat hatinya semakin pedih. Merasa gagal sebagai seorang laki-laki.

Masih dengan air mata terkutuk yang terus mengalir, Yujin menggeleng lemah, “Kau tidak memiliki kesalahan apapun.”

Tapi Jongin tidak sebodoh itu, jelas dia tahu jika mereka dalam posisi tidak baik-baik saja.

Apa ini masih dengan masalah yang sama? Seulgi?

Ya  Tuhan!

Bukankah masalah ini sudah mereka selesaikan? Jongin sudah menjelaskan semuanya, tentang gosip murahan yang beredar di  kantor sama sekali tidak benar. Dia tidak memiliki hubungan apapun dengan sekretarisnya. Seulgi.

“Apa ini karena Seulgi?”

“Ini tidak ada hubungannya lagi dengan wanita itu.” Yujin menggigit pipi bagian dalamnya, mencoba menahan rasa sesak di dada. Wanita yang namanya baru saja Jongin sebut, walapun tidak memiliki hubungan apa-apa, tetap saja menyakitkan baginya.

Akhir-akhir ini dia terlalu sensitif jika membahas tentang wanita lain dan tentu saja kekasihnya.

“Jika bukan karena  dia, jika aku tidak memiliki kesalahan apapun, kenapa kau seperti ini?”

Tangis Yujin pecah tanpa suara. Dia melepaskan genggaman tangan mereka secara sepihak lalu meremas bagian kiri kemeja bermotif bunga yang dia kenakan. Sakit. Sakit sekali. Ini bahkan tidak sebanding dengan rumor yang beredar di kantor, tentang Jongin dan Seulgi.

Bohong besar jika dia mengatakan tidak ada apa-apa sementara keadaannya berbanding terbalik.

Tidak akan sesakit ini jika dia hanya mendengar. Tapi masalahnya dia melihatnya langsung, tepat di depan matanya sendiri. Bukan. Bukan dengan Seulgi tapi dengan wanita lain. Jongin dan wanita itu… mereka-

“Yujin,”

Please, Jongin. Kau tahu, ini terlalu menyakitkan untukku.”

“Jadi benar ini masih karena Seulgi?”

Kau bodoh Jongin! Bodoh!

Dia membuang napas kasar.  Menurutnya kali ini Yujin terlalu kekanak-kanakan. Kenapa wanita itu harus menyakiti dirinya sendiri dengan bergelut dengan masalah yang sudah mereka bicarakan? Apakah masih belum cukup penjelasan yang dia katakan? Harus berapa kali dia harus mengatakan jika antara dia dan Seulgi tidak memiliki hubungan apapun!

Oke, dia ingin marah. Rasanya ingin berteriak di depan Yujin tentang segala kebodohan yang wanita itu pikirkan. Tapi tidak dia lakukan. Dia tidak sebanci itu untuk berteriak di depan gadis rapuh yang jiwanya sedang sensitif.

Jongin kembali menggenggam tangan kekasihnya dengan tatapan kelembutan.

“Yujin,” Dia tidak mau menatap wajah itu. Pembohong. Laki-laki itu pembohong!

“Jangan perdulikan tentang apa yang orang-orang bicarakan. Semua itu tidak benar. Aku mencintaimu. Kau percaya kepadaku, kan?”

Tidak! Jangan percaya mulut manisnya itu, dia pembohong!

Yujin muak. Dia memejamkan mata kuat-kuat lantas mendorong tubuh tegap itu menjauh darinya.

“Yujin,”

“Pergi kau!”

“Yujin, aku mohon jangan seperti-”

“Pergi kau, brengsek!”

Yujin meraung sejadi-jadinya. Dia seperti kesetanan. Menolak semua perlakuan laki-laki itu yang berusaha untuk  memeluknya; menenangkan.

“Perg-mphhhhh..”

Jongin bingung. Dia kalut melihat bagaimana wanita itu meraung menyedihkan di depan matanya. Berpikir jika berciuman mampu membuat Yujin tenang ternyata kesalahan besar. Dia bahkan tidak perduli ketika dadanya di pukul kuat-kuat oleh si tangan rapuh. Itu tidak sakit. Yang sakit adalah melihat wanita yang di cinta harus menangis karenanya.

Jongin memekik. Bibirnya berdarah. Yujin yang melakukannya saat dia masih bertahan mencium wanita itu.

“Jangan pernah berani menciumku dengan bibir kotormu itu!”

Dia marah. Menatap nyalang wajah Jongin yang terlihat semakin kebingungan.

Dan Jongin sadar ini bukan lagi karena Seulgi.

Rasa bersalah kembali menggulung ke permukaan. Meskipun dia masih belum tahu kesalahan apa yang dia perbuat kali ini.

Dia ingin  meraih Yujin kembali namun gadis itu masih enggan untuk dia sentuh. Menarik diri setiap kali dia mencoba untuk mendekat. Seolah dia adalah makhluk paling menjijikkan.

“Kau,” Bibirnya bergetar. Potong-potongan adegan menjijikkan yang beberapa jam lalu dia saksikan berkelebat, sepergi menghina. “Dan Eun Bin,”

Jongin membeku. Seolah sadar.

Jangan Yujin. Aku mohon jangan mengata-

“Berciuman.”

Jongin lemas. Dia seperti dilempari baru besar sampai rasanya sesak.

“Y-yujin, ini tidak seperti yang kau pikirkan. Aku, aku hanya-”

“Menciumnya, begitu ‘kan?”

“Tidak, tidak, bukan begitu aku-”

“AKU MELIHATNYA BERENGSEK! KAU MENCIUMNYA!” Wanita itu runtuh, terduduk dengan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Hanya tangis pilu menyayat hati yang dia perdengarkan.

Dengan tubuh bergetar, Jongin menghampiri wanita rapuh itu, memeluknya serta mengecup puncak kepalanya berkali-kali. Yujin tidak melawan, tidak juga membalas pelukan laki-laki itu.

“Maaf… aku mohon maafkan aku…”

Jongin putus asa. Bahkan jika Yujin tidak memaafkannya, dia akan mencoba menerima tapi tidak dengan tangis wanitanya.

“Bagaimana bisa kau melakukan ini kepadaku?” Keluhnya berakhir diujung helaan. Setengah mati mengatur suara dan menahan tangis agar tidak terdengar menyedihkan.

“Maaf… Maaf…”

“Apa tidak ada kalimat lain yang bisa kau katakan selain kata maaf?” Dia tersenyum getir dibalik bahu tegap itu. “Kau terdengar seperti sedang mengakui jika kau memang menciumnya.”

“Yujin,”

Wanita itu menarik wajah basahnya. Dia mengusap kedua bahu laki-laki itu pelan.

“Aku lelah.”

Mata tajam itu bergerak gelisah. Rasa takut mulai merayap bagai racun dihatinya. Kalimat ‘Aku lelah’ yang baru saja wanita itu ucapkan bukan seperti kalimat lelah yang mengisyaratkan dia ingin istirahat atau semacamnya, tapi-

“Ini menyakitkan.” Kembali menangis sampai Jongin tak kuasa untuk tidak segera menarik wanita itu dalam pelukannya.

“Sayang, aku mohon.” Bahkan dia sendiri pun tidak tahan untuk tidak ikut menangis.

Jongin bersumpah dia sangat menyesal. Menyesal dengan bodohnya dia mau menemui Eun Bin, mantan kekasihnya. Dia berpikir untuk membalas dendam dengan wanita jahanam itu. Seperti yang Eun Bin lakukan kepadanya, dia juga akan mencampakkan wanita itu. Berpikir setelah menciumnya lalu meninggalkannya begitu saja seperti gadis murahan dapat membalas semua rasa sakitnya dulu.

Ya, dia berhasil.

Jongin berhasil menghapus rasa sakitnya. Tapi dia menimbulkan rasa sakit yang lain. Rasa sakit wanita yang sekarang benar-benar dia cinta.

Park Yujin.

Jongin tidak ingin mendengar kemungkinan Yujin akan meninggalkannya. Dia bahkan tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dia jalani nanti. Dia akan lebih sakit jauh dari rasa sakit yang Eun Bin tinggalkan.

Yujin menarik napas dalam. Dia melepaskan semua rengkuhan laki-laki itu pada dirinya. Menatap wajah yang tidak kalah menyedihkan seperti dirinya.

“Ayo, kita berakhir..” Katanya bergetar dengan air mata kembali mengalir, begitupun dengan Jongin.

Yujin ingat, seorang temannya pernah mengatakan, salah  satu keputusan tersulit dalam cinta adalah ketika kau harus memilih untuk bertahan atau melepaskan.

Tapi karena rasa sakit yang memuakkan ini, dia membuatnya menjadi mudah.

Karena dia sudah tidak mampu lagi bertahan, dia akan melepaskannya.

Melepaskan Jongin termasuk rasa cintanya yang mendalam kepada lelaki itu.

 

-fin-

Jangan tanyakan  kabar Kai-Jin Series. Aku belum bisa ngelanjutinnya. Dikarenakan semua berita tentang Jongin (kalian pasti tau la ya, soalnya pedih mau di ceritain juga) rasanya sulit sekali mau bikin ff fluff. Semua yang menyenangkan jadi tidak menyenangkan lagi.

Oke, aku tau aku kekanakan. Aku bahkan malu sendiri. Kemarin-kemarin dengan sesumbarnya aku ngomong bakalan dukung Jongin, gak bakalan baper kalo dia dekat cewek, malah ngedukung penuh kalo dia dating. Tapi setelah semuanya kejadian, aku gatau bakalan serapuh ini. Hufffff….

Ohya, tolong jangan benci Eun Bin karena ff ini atau bahkan karena dia sama Jongin… pokoknya jangan. Dia baik. Dan aku benci mau ngakuin kalo dia sangat cocok sama Jongin.


My Answer Is... You Chapter 11

$
0
0

maiy9

Author: lightmover0488
Cast : Luhan, Kim Kyura, Kim Jongin
Additional cast : BaekYeol
Genre : PG 15, School life, Comedy, friendship
Lenght: Chaptered
Disclaimer : copyright by lightmover0488

prev 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

===

+ My answer is You… Chapter 11 +

 

Enjoy^^

 

.

Kyura masih terdiam di dalam taxi yang tengah ia naiki bersama Luhan. Pikirannya kacau, tangannya pun masih terasa dingin sama seperti kaca jendela luar yang basah terkena sapuan hujan yang masih sedikit deras. Sementara Luhan sedang sibuk dengan mantelnya, dia sedikit menyesal pada pak sopir karena mungkin tempat duduknya akan basah terkena air hujan. Namun setelah matanya tidak sengaja melihat ke sampingnya, dia sadar bahwa Kyura juga kebasahan bahkan lebih parah darinya, “Ya, maafkan aku. Kau jadi basah begini..” Tangan Luhan dengan otomatis mengelap sisa – sia air di kedua pipi Kyura membuat gadis itu tersadar dari lamunannya.
“Oh, gwaenchana..”
Entah kenapa sentuhan tangan Luhan membuatnya gugup padahal jantungnya berdetak secara normal. Mungkin di matanya sekarang Luhan benar – benar seperti supermen yang baru saja menyelamatkan nyawanya.
Kyura pikir dia terlalu berlebihan menggambarkan sosok Luhan, tapi tidak dipungkiri Kyura sangatlah berterimakasih pada laki – laki itu.
“Ah jinjja.. kenapa anak sekarang tidak bisa menjaga mulutnya huh..” Luhan mulai mengoceh, dia tidak habis pikir dengan gadis – gadis yang mengidolakan Jongin sampai mempunyai mulut mengerikan seperti itu, “Aigo bahkan yang mereka sukai hanya Kim jongin. Apa hebatnya dia sebenarnya?!” Luhan berhasil melepaskan mantelnya lalu ia letakan sembarangan di bawah kakinya.
Gomawo..” Kyura berkata tulus tanpa menanggapi perkataan Luhan tentang Jongin, mendengar gadis – gadis tadi berkata seperti itu sungguh membuatnya ingin langsung pindah sekolah ke pedalaman saja. Dan Kyura tidak bisa membayangkan bagaimana jika 2 sekolah sekaligus mengetahui siapa gadis yang berada di dalam foto itu.
Luhan menghela nafas, “Aku pastikan mereka tidak akan tau identitasmu,” Katanya lalu bersedekap di dada.
“Bagaimana caranya?”
Hening beberapa detik.
Molla,”
Kyura langsung sedikit memonyongkan bibirnya, dia kira Luhan benar – benar mantap mengatakannya tadi.
“Lagipula aku akan terus seperti ini jika ada yang mengganggumu,” Ujar Luhan seraya menatap keluar jendela yang sudah memburam. Sementara Kyura sedang menelengkan kepalanya lantaran terhambat mencerna perkataan Luhan.
Saat hening beberapa saat membuat Luhan kemudian menolehkan kembali kepalanya pada Kyura yang ternyata masih menatapnya dengan wajah serius.
Wae?” Tanya Luhan mengerutkan dahinya
“Aku tidak mengerti–”
“Maksudku seperti ini–” Luhan mengekspresikan kata ‘seperti ini’ menggunakan kedua tangannya yang terayun di udara dengan sedikit membusungkan dadanya, “Kau tidak tau?”
Namun Kyura malahan menggeleng polos.
“Ah.. lupakan,” Luhan mendengus pelan, dia memaklumi keadaan pikiran Kyura yang mungkin sedang kacau karena kejadian tadi. Tapi yang jelas Dirinya akan selalu berada dekat dengan Kyura sampai gosip – gosip itu hilang dari sekolah, “Oh! Stop. Ajjusi tolong berhenti disini,” Luhan yang matanya tidak sengaja melihat sesuatu lantas berseru pada pak sopir yang kini menepikan mobilnya.
“Ya kau mau kemana?” Kyura buru – buru mengikuti Luhan dengan menjereng payungnya saat Luhan sudah mendahuluinya keluar mobil dengan sebelumnya membayar untuk biaya taxi nya.
“Ya.. aku pikir kau lebih baik mengidolakan idola yang sesungguhnya,” Kata Luhan yang sedikit menggeser payung Kyura agar dirinya tidak kehujanan karena dia malas memakai mantelnya lagi.
Kyura mendongak menatap ke depannya yang sangat ramai dengan orang – orang berlalu lalang bahkan ada yang hanya berdiri di sekitar mereka berdua menggunakan payung, “Kenapa kau mengajakku kemari?”
Luhan mengedikkan bahunya, “Aku pikir kau akan sedikit senang jika menontonnya,”
Music bank?”
Luhan mengangguk sembari melirik Kyura yang sedang mendongak menatapnya, “Kita bisa sambil mencari inspirasi untuk kolaborasi kita,”
“Ppftt..” Kyura ingin tertawa, “Sebenarnya siswa kelas 3 tidak diwajibkan ikut serta dalam pentas itu,”
“Tapi kita sudah sepakat melakukannya,”
“Baiklah baiklah,”
“Lagipula Ulang tahun nya tidak sampai semester depan,”
Araseo,” Kyura tersenyum kemudian berjalan menuju pintu gerbang KBS dengan Luhan yang bergegas mengikuti langkah Kyura. Semakin cengar – cengir ketika melihat Gadis itu akhirnya bisa tersenyum padanya.
“Siapa yang sedang comeback?” Tanya Kyura memberikan payungnya agar Luhan saja yang memegangnya karena tidak enak melihat pria itu berjalan sedikit membungkuk karena ada sedikit perbedaan tinggi badan.
Molla, Exo mungkin..”
“Wohoo assa, Aku pikir Kai mirip sekali dengan Jongin,”
Luhan langsung mencebik sebal, “Kai jauuuhhhhh lebih tampan dan mereka sangat tidak mirip!”
“Ya! Kenapa kau berseru padaku!”
“Karena kau terus saja membawa – bawa nama Jongin!”
Kyura berhenti mendadak, “Kau benar. Bagaimana caranya agar aku terbebas darinya? Jika aku pikir lagi, aku rasa aku tidak mau hidupku terusik di sekolah gara – gara Jongin. Otokkee??”

 

+ My Answer Is… You +

Apa yang harus dilakukan siswa kelas 3 yang sudah melewati tengah semester? Pastilah hanya difokuskan untuk belajar dan belajar. Namun sudah sewajarnya sebagai remaja yang normal pula, pasti ada sesuatu yang sangat menyita banyak pikiran mereka selain belajar. Seperti Kim Jongin contohnya, awalnya memang dia sudah berniat akan belajar dengan giat untuk bisa memasuki universitas ternama di korea seperti yang diharapkan Ayah dan Ibunya, namun demikian kini niat itu hanyalah sebuah niat semata. Jongin tidak tau tepatnya kapan dia tersandung masalah seputar perasaannya pada Kyura dan sekarang malah rasanya sudah terlanjur jatuh pada gadis itu. Seberapa kerasnya dia memelototi buku pelajarannya, pikirannya seakan tidak mau mencerna apa yang sedang ia baca. Hasilnya, Di mata Jongin hanya ada siluet bayangan wajah Kyura yang selalu menghiasi seluruh buku – buku yang sedang ia pelajari. Sudah seratus kali Jongin bertanya pada dirinya sendiri dan jawabannya akan selalu sama bahwa dia memang sedang di mabuk cinta kepada seorang Kim Kyura.

 

Braakkk

 

“Jongin-ah!”
Jongin seperti ingin jatuh dari kursi meja belajarnya saat pintu kamarnya terbuka dengan sangat rusuh. Dan dia tidak ingin repot – repot menoleh pada orang itu karena sudah jelas Itu adalah Baekhyun dengan suaranya yang nyaring itu.
“Kau keluar dari agency? WAE!?” Baekhyun menyemprot Jongin saat itu juga, berjalan gontai menuju keberadaan Jongin yang memunggunginya di pojokan ruangan, “Kau tidak tau kalau beritanya sudah tersebar tadi!”
“Apakah Soojung terlihat sangat heboh?”
“SUPER!”
Masih dengan melihat punggung Jongin, Baekhyun kemudian mendengar suara dengusan laki – laki tan itu.
“Kenapa kau tidak bercerita tentang ini padaku?!”
“Baekhyun-ah, kenapa semuanya jadi seperti ini?” Jongin membalikkan badannya dan langsung menatap mata Baekhyun dengan ekspresi yang seolah – olah mempunyai seribu masalah di dalam hidupnya.
“Aku hanya tau kau.. selalu menyangkal permintaan ayahmu untuk keluar dari agency,”
Jongin terdiam, kini kepalanya tertunduk menatap sepatu Baekhyun. Dia tidak menyangka dirinya akan menjadi sangat labil seperti ini. Sementara Baekhyun sedang mencerna semua tingkah laku Jongin selama ini dan Dia rasa Jongin memang sudah agak gila semenjak menyukai Kim kyura.
“Jongin-ah–”

 

Braakkkk

 

“Ya! Kim–”
Baekhyun sontak menoleh ke belakang sementara Jongin mendongak menatap Chanyeol yang berdiri dengan terengah di ambang pintu, “Kapan kau keluar?” Tanya Chanyeol langsung sambil megap – megap
“Kemarin,” Jawab Jongin pelan
“Jadi kau.. keluar karena– kau..” Chanyeol berjalan semakin dekat dengan Jongin kemudian dia menghela nafas kasar sambil bersedekap di dada, “Jadi kau benar – benar keluar karena sudah tidak kuat dengan dorongan ayahmu atau karena Kim Kyura?”
Suara jentikan jari Baekhyun sudah menggambarkan bahwa dia sepadan dengan Pertanyaan Chanyeol. Kemudian keduanya memperhatikan Jongin seperti menginterogasinya.
“Kau mengharapkan aku menjawab salah satu atau dua – duanya?”
Baekhyun dan Chanyeol menaikkan alisnya bersamaan masih dengan menatap wajah Jongin yang sekarang berubah frustasi, “Sepertinya yang kedua juga ikut andil dalam hal itu, yeol..”
“Ah, aku sudah tau pasti kau akan melakukan hal ini..” Kata Baekhyun lalu berjongkok menatap Jongin, “Kau benar – benar melakukan semuanya demi Gadis itu..”
Jongin mengumpat pelan lalu menggelosorkan badannya ke lantai, “Ottokee.. aku bisa gila jika seperti ini. Aku rasa ini bukan dirikuu!” Kedua kakinya menendangi kaki Baekhyun.
“Ya ya ya..”
“Apakah kau juga seperti ini pada Cheonsa?” Tanya Jongin pada Baekhyun, Kini Park Chanyeol sudah duduk di lantai di sebelah Baekhyun sambil bermain dengan ponselnya.
“Apa maksudmu?”
“Kau menyukai Cheonsa bukan? Lalu apakah kau bertingkah aneh sepertiku juga?”
Chanyeol menolehkan kepalanya pada Baekhyun yang sekarang menggeleng, “Aku… belum terlalu jauh menyukai Cheonsa. Hanya… sekedar menyukainya saja,” Baekhyun mengangguk anggukkan kepalanya kemudian menekuk kedua lututnya, “Eeyy bukankah aku memang harus menyukainya karena dia tunanganku,”
“Lalu aku?” Jongin benar – benar memajang wajah sangat nge-blank, “Lalu aku bagaimana? Apakah jiwaku benar – benar sudah terganggu?”
Molla,” Chanyeol menyambangi dengan masih menatap layar ponselnya, “Aku belum pernah jatuh cinta,”
“Hahaha. Tentu saja kau jatuh cintanya kepadaku bukaaan?!” Baekhyun berusaha menaikkan suasana dengan suaranya yang melengking
“Ooohoho Uri Baekhyuniee~~” Chanyeol membalasnya dengan ber aegyo pada Baekhyun lalu mencubit kedua pipinya gemas membuat Jongin ingin muntah. Namun kemudian menyerang keduanya sambil tertawa bersama – sama. Bergelung di lantai seperti anak yang baru menginjak umur 5 tahun.
“Aaawww yak! Ya ya ya chakaman,” Chanyeol yang terjepit diantara tubuh Jongin dan Baekhyun di lantai teringat sesuatu, “Jongin-ah, Lalu apa tujuanmu keluar dari agency jika itu karena Kyura?” Mata Chanyeol sedikit melirik Jongin yang berada di atas punggungnya sementara Baekhyun berada di paling bawah sedang menghadap Chanyeol sambil menahan berat tubuh kedua temannya.
“Aku pikir, aku tidak mau lagi dikejar – kejar para gadis itu, yeol..” Ujar Jongin pelan lalu menyangga dagunya di pundak Chanyeol membuat Baekhyun semakin tidak bisa bernafas.

“Jadi kau berpikir jika keluar dari agency, kau tidak akan populer lagi? Dan bisa menjalani kehidupanmu yang normal?” Chanyeol seperti mengejek Jongin

“Yahh–Jonginhh.. Kau tidak–hh akan merubah apapun–hh, mmphh.. aku tidak bisa bernafas!” Baekhyun Berkata satu – satu sementara Jongin memikirkan semua omongan Kedua temannya. Benar juga dengan apa yang Chanyeol dan Baekhyun katakan. Pikirannya tiba – tiba seperti terbuka mendadak dan itu membuatnya tambah menyesal dengan apa yang ia lakukan. Bagaimana jika hal ini membuat semuanya menjadi semakin parah?

“Gadis – gadis itu tetap saja akan mengejarmu, Jongin-ah. Bahkan menurutku, mereka akan semakin gencar mencari tahu kenapa kau tiba – tiba keluar dari agency setelah fotomu dan Kyura tersebar,” Chanyeol berusaha mengangkat sedikit tubuhnya menggunakan kedua tangannya agar Baekhyun bisa bernafas di bawahnya

“Jadi sekarang bagaimana? Aku tidak mau jadi populer lagi, Yeol!” Jongin berkata sedih dengan menekan kalimatnya, “Dan aku sangat menyukai Kim Kyura..”
“Jalani saja dulu, dan jangan menjadi sok tampan di sekolah..” Nasehat Baekhyun sangat tidak berbobot di telinga Jongin.
“Apakah selama ini aku sok tampan hah?! Aku memang tampan dari lahir!” Jongin semakin memepet keduanya ke lantai dengan sekuat tenaganya sampai kedua tangan Chanyeol yang sedang menyangga lantai kembali runtuh
“Ya! Dasar hitam! Menyingkir kau dari atasku! Aaaaaaa!” Baekhyun berseru heboh, dia rasa badannya benar – benar akan remuk sebentar lagi, tangannya berusaha menjambak rambut Jongin.
“Aku ingin pindah ke Yeonwoo,”
“YAAKKK!” Baekhyun benar – benar memukul kepala Jongin
“Aku serius!”
“Lebih baik kau tidak usah Sekolah saja, Jongin–aaaaaakk! Aku.. akan mati, kalian berat sekali sungguh–”

 

+ My Answer Is.. You 11 +

 

“Kyura-ya.. aku tidak tau jika kau sangat akrab dengan Jongin,”

Kyura seperti ingin menjatuhkan ponselnya saat pesan dari Namjoo ter pop-out di layar ponsel yang sedang ia pegang. Tadinya dia berniat mengirimi Daena pesan agar menyusulnya ke perpustakaan tapi kenapa hal yang ia takutkan muncul begitu saja ketika dia sedang sendirian?
“Oh! Ya.. kau disini juga rupanya. Aku pikir kau di kantin makannya aku mengirimimu pesan..”
“Na–namjoo-ya..” Kyura berusaha tidak menjadi gugup, “Baru saja aku akan membalasnya,” Kyura nyengir pada Namjoo yang duduk di hadapannya dengan mendekap beberapa buku besar di depan dadanya.
“Sebenarnya saat aku bertemu Jongin di cafe itu aku tidak curiga sama sekali denganmu, Kyura-ya..” Kata Namjoo berbisik dengan memajukan kepalanya, “Tapi kemarin Foto seorang gadis memeluk Jongin yang tersebar di sosmed membuatku bertanya – tanya. Apakah itu kau? Apakah kau dan Jongin berada di cafe pada saat itu? Apakah kalian…”
“ANIEYOOO!” Suara Kyura meninggi saking paniknya membuat penjaga perpustakaan menunjuk wajah Kyura menggunakan penggaris besi membuat Namjoo buru – buru membungkuk minta maaf pada penjaga itu.
“Namjoo-ya.. ng… begini, hmm…” Kyura mulai gemetaran, seseorang selamatkan Kyira sekarang juga. Bagaimana bisa dia akan bisa menyangkalnya jika semua hal itu benar – benar dirinya?
Ya! Dirinya yang berada di foto itu dan Ya! Dirinya juga yang sedang berada di cafe bersama dengan Jongin. Lalu bagaimana ini? Bagaimana jika Namjoo menyebarkannya? Apakah Kyura bernegosiasi saja dengan Namjoo? Tapi apa yang akan dijamin Kyura untuk gadis itu?
“Kyura-ya.. apakah ini ada hubungannya dengan penutupan blog jongin?”
“Tidak..” Kyura menggeleng keras, “Itu.. karena.. hmm, ah! Itu karena Jongin ingin melaporkanku ke polisi,”
“Hah?”
Kyura mengangguk hebat, “Ayahnya marah besar mengetahui dirinya ternyata masih menari di sekolah,”
“Heh??”
Sekujur tubuh Kyura memanas, harusnya dia tidak membeberkan masalah ini ke Namjoo tapi mulutnya seakan dirasuki sesuatu karena nyatanya dirinya sudah dalam posisi terpepet.
“Jadi Jongin keluar dari agency juga karena ayahnya?”
Kyura tertegun, kenapa Namjoo tau kalau Jongin keluar dari Agency nya?
“Kau tidak tau? Beritanya sudah tersebar semalam, bahwa Jongin dinyatakan keluar dari agency,”
Jantung Kyura berpacu cepat, bukankah selain karena larangan ayahnya untuk menari, jongin keluar dari agency karena Dirinya juga? Kata – kata Jongin terus saja berputar – putar di otaknya saat berkata ‘Aku akan berhenti menjadi anak populer’ ‘Aku akan keluar dari agency besok,’ ‘Ayo kita backstreet saja,’
Ah, Kyura bisa gila jika terus – menerus mendengar suara Jongin di otaknya seperti kaset rusak.
“Ah.. jadi semua ini karena Ayahnya..” Namjoo menyimpulkannya sendiri saat Kyura hanya menatap dirinya dengan pandangan kosong, “Tapi kenapa kalian sampai berpelukan pada waktu itu?”

Jeder

“Eh?”
Kyura pikir Namjoo sudah selesai dengan perkataannya, ternyata dirinya memang sudah berakhir hari ini.
“Itu kau dan dia kan?”
Entah kenapa Kyura menggelengkan kepalanya dengan wajah memelas.
“Bukan kau?”
“Bu–bukan,”
“Lalu yang di cafe?”
“Oh.. itu karena.. um.. dia hanya memastikan jika blog nya sudah aku tutup,”
“Ah.. jadi begitu,” Namjoo percaya begitu saja, “Mungkin Jongin memang sedang menjalin hubungan dengan seorang gadis Yeonwoo, tapi siapa?”
“Ak–aku tidak tau,”
Namjoo menghela nafas pelan, “Ah, jinjja. Kenapa seragam sekolah kita harus mirip begini. Jika gadis itu memakai jas nya mungkin akan langsung tau dia dari Soojung atau Yeonwoo,”
Bukannya ikut memajang wajah sedih seperti Namjoo, Kyura malah sedang bersorak di dalam hatinya.
“Ah molla. Aku akan fokus dengan sekolah saja kalau begitu,”
“KEURAEE! YA, bukankah kita sudah kelas 3!” Kyura berseru dengan berbisik menggebu pada Namjoo, saking leganya karena Namjoo percaya padanya Kyura sampai berdiri dari bangkunya dengan bertepuk tangan.

 

+ My Answer is… You 11 +

“Ah daebak, Jongin keluar dari agencynya!”
“Ah sungguh menyebalkan, kemarin dia memeluk seorang gadis sekarang dia keluar dari Agency?”
“Apa maksudnya ini?”
“Aku pikir ini semua karena gadis itu, Jongin keluar dari agency,”
“Kenapa bisa begitu?”
“Hm.. bisa saja bukan, Gadis itu ingin Jongin keluar dari agency agar mendapatkan perhatian lebih darinya?”
“Fiona, kenapa kau tidak berkomentar sejak tadi?”
Fiona, gadis berseragam Yeonwoo tingkat II yang sedang membaca novel menoleh pada teman – temannya yang sedari tadi menggosip, “Untuk apa aku berkomentar, toh aku sudah tau gadis itu..” Kata Gadis yang notabene adalah kekasih dari Oh SeHun itu. Sebagian siswa perempuan yang mendengar perkataan Fiona sontak mendekat ke tengah – tengah ruang kelas dimana bangku Fiona berada.
“Ya! Kau tau gadis itu huh?!”
“Katakan siapa dia!”
“Benarkan dia siswa Yeonwoo? Atau Soojung?!”
Yeonwoo, Kim Kyura..”
NUGU!!!?”

 

 

To Be Continued …

Jangan protes dulu karena ga ada JONGRA momen jebal hahaahha. ini sebenernya ketiknya ngebut, jadinya begini dulu ya. semoga lanjutannya bisa cepet. ini aja aku bersyukur bgt bisa garap MAIY nya di antara jadwal kerja rodi(?) aku.makannya maklumin kalo chap ini kurang memuaskan^^

Terimakasih yang sudah mau mengikuti My answer is you dan maapin typos.

160204 Kai- Choco Bank (Prees Conference)

$
0
0

tumblr_o214fwLVxX1r8jnudo1_500

Eunbin mengatakan bahwa dalam drama itu menceritakan tentang bisnis dan ada sedikit bumbu cinta.
Eunbin berkata saat pertama kali ia mendengar bahwa Kai akan menjadi lawan mainnya. ia mengingat bahwa tarian Kai sangat bagus dan dia benar-benar bekarisma tapi saat pertama kali bertemu langsung dengan Kai, ia benar-benar sangat pemalau, dan dia selalu menutupi wajahnya.
engtrans by sooseriously
Via. FB EXO Indonesia – Lyo

Q : Anda menggunakan banyak jas untuk drama ini
Jongin : “Uh.. normal…jas!! eh aku menggunakan banyak jas untuk acara penghargaan dan itu bagus. dan aku berencana menggunakan jas untuk kedepannya.”
Cr. zzimgtong Via. FB EXO Indonesia – Lyo

CaXPwbpVAAILDJK

Kai berkata saat melakukan syuting ia menggunakan hotspacks karena udara benar-benar dingin tapi dia melihat aktor lain menggunakan handswarmer. Keesokan harinya ia juga menggunakan handswarmer.
cr. jong0104
Engtrans by dancerkai94
Via. FB EXO Indonesia – Lyo

Jongin berkata bahwa dia sangat stress dan kurang tidur untuk drama itu. dia juga mengatakan kalau Eunbin (Pemain wanita) benar-benar membantunya menjadi nyaman berada disekelilingnya. Jongin juga berkata bahwa dia benar-benar nyaman selama pembuatan drama itu, ia juga berterimakasih kepada staff dan aktor yang sudah membuat suasana menjadi menyenangkan.
engtrans by sooseriously
Via. FB EXO Indonesia – Lyo

CaB6QbOVIAA43-w

abang keliatannya bahagia banget, bang? apalah ade ini..

Jongin : “Tantangan untuk berakting pertama kalinya itu tidak mudah”
cr.twomyJ
Via. FB EXO Indonesia – Lyo

Q : Adakah adegan mesra yang kau lakukan dalam webdrama ini?
Kai : Jika kalian lihat, Kim EunHaeng adalah seorang lelaki yang ketus, dingin, tidak ramah dan memiliki selera tinggi, sehingga tidak ada. Kalaupun ada, mungkin hanya satu.
via. auryn

Kai mengatakan tidak ada adegan romantis di Choco Bank dan Park Eun Bin mengatakan hanya ada adegan ShimKung – Jantung berdebar.
Cr. mydeeryou Via. FB EXO Indonesia – Lyo

CaXZnHeUMAA2N4V

maksud abang inikah? emang 1 bang, tapi dampaknya sangaaaaat dahsyat T.T

Q : Mana lebih sulit, akting atau kegiatan EXO?
Kai : Keduanya Sulit dan gugup tapi karena aku tidak pernah melakukan akting sebelumnya, akting sedikit lebih sulit tapi aku pikir ini penting untuk bersenang-senang apapun yang aku lakukan. Jadi aku bersenang senang dikeduanya akting dan menari.
via. EXO – K | EXO- M Indonesia

CaB6RbgVIAAtUDH

semangat abang.. ^^ walaupun hati ade sakit T.T

kiss scene Kai yang menjadi trending topic dunia di twitter O.o

CaWx7drWcAAG3sa

Cr gambar by twitter.

-LeeHyuRa

Hồi Thanh - Chương 18

$
0
0
Ngô Thế Huân không hề nói dối. Kim Chung Nhân sau khi truyền dịch xong trở về khách sạn thì ngủ như

[1] - Another Star

$
0
0

req-zulfa-another-star1

Ini adalah kisah kecil tentang mimpi, tentang musik, tentang persahabatan, tentang keluarga, tentang kehilangan, dan tentang menemukan. Tentang Krystal, Jongin, Kyungsoo, Suzy, dan Sohyun yang berbagi kisah tentang mimpi mereka yang tertunda.

ANOTHER STAR

by zulfhania || Main cast(s): Krystal Jung [F(x)], Kim Jongin [EXO], Do Kyungsoo [EXO], Bae Suzy [Miss-A], Kim Sohyun [Actress] || Support cast(s): Byun Baekhyun [EXO], Bae Irene [Red Velvet], Kim Taeyeon [SNSD], Jessica Jung [Ex-SNSD], Kim Taehyung [BTS], Kim Myungsoo [Infinite], and others || Genre: School-life, Friendship, Family, Romance, Musical || Rating: PG-15 || Length: Multichapter

Poster by Laykim @ Indo Fanfiction Arts

A/N: Fanfic ini terinspirasi dari Drama Korea Dream High dan Monstar. Ini adalah fanfic lama yang ditulis ulang dengan beberapa perubahan. Semoga tulisan ini bermanfaat dan kalian bisa mendengarkan musik yang bermain di dalamnya :)

∴ Krystal, Jessica, dan Victory Academy ∴

“Kedengarannya aneh. Bukan seperti itu nadanya. Coba kau ulangi sekali lagi.”

Krystal mengerutkan kening. Tangannya memegang ponsel yang ditempelkan ke telinga, dan tangan yang lain mengetuk-ngetuk meja belajarnya sesuai dengan irama yang ia dengarkan dari seberang ponsel. Saat ini ia sedang mendengarkan Irene, sahabat sekaligus partner duetnya, latihan bermain biola untuk penampilan mereka beberapa hari mendatang. Ia menghembuskan napas panjang saat didengarnya lagi-lagi Irene salah not.

“Irene, bukan seperti itu. Itu terlalu tinggi.”

Terdengar helaan napas panjang dari seberang ponsel. “Sepertinya kita perlu bertemu untuk latihan lagi. Agaknya susah sekali kalau kita latihan via ponsel, Krys.”

Krystal mengangguk, menyetujui usulan Irene. Sadar kalau Irene tidak bisa melihat anggukannya, ia segera menyahut. “Baiklah. Bagaimana kalau besok?”

Krystal menutup ponselnya dan menghela napas. Irene menyetujui usulannya untuk latihan musik esok hari di sekolah. Ia tahu kalau saat ini masih hari libur pertengahan semester. Namun sebagai murid dari Victory Academy, ia memiliki hak untuk memakai ruang musik meskipun sedang hari libur. Itulah untungnya bersekolah di sekolah musik seperti Victory Academy.

Bagi Krystal, Victory Academy merupakan satu-satunya sekolah yang dapat membantu impiannya tercapai. Jarang sekali Krystal menemukan sekolah yang dapat meluluskan muridnya sebagai seorang musisi. Dan Krystal menemukan keunikan tersebut pada Victory Academy. Sekolah tersebut memiliki fasilitas dan pelayanan yang amat baik untuk muridnya dalam bermain musik. Guru-guru disana pun begitu baik dan sangat memperhatikan perkembangan murid-muridnya. Bahkan sesekali mereka akan mengirim muridnya untuk mengikuti berbagai kompetisi musik yang pastinya akan membuat muridnya menjadi semakin terlatih. Seseorang di masa lalunya pernah berkata, untuk menjadi orang yang sukses dalam suatu bidang maka diperlukan jam terbang yang tinggi. Dan Victory Academy menerapkan sistem tersebut. Maka dari itu, dalam setiap kompetisi musik tidak sulit untuk menemukan murid Victory Academy sebagai peserta. Karena sekolah tersebut selalu mengirimkan muridnya setiap kali kompetisi musik berlangsung. Seperti itulah yang saat ini dialami Krystal. Bersama dengan Irene, ia dipilih untuk mengikuti kompetisi musik tahunan antarsekolah.

Ini bukan pertama kalinya Krystal mengikuti kompetisi musik. Sebelumnya Krystal pernah mengikuti berbagai kompetisi musik lainnya. Dari yang tampil secara grup maupun solowis. Maka dari itu Krystal sudah tidak begitu merasakan gugup yang teramat sangat seperti saat pertama kalinya ia mengikuti kompetisi. Ia justru mengkhawatirkan Irene karena kompetisi musik tahunan antarsekolah nanti adalah kompetisi perdana untuk Irene.

Krystal duduk di balik keyboard di sudut ruang kamarnya. Tangannya mengambil posisi di atas tuts-tuts hitam-putih, sementara matanya mengarah pada not-not balok di depannya. Baru saja ia menekan salah satu tuts hitam-putih tersebut, terdengar suara dobrakan pintu dari luar kamar diiringi suara pekikan Jessica-ibunya- yang terdengar terkejut.

“Mister Soo!”

Krystal menahan napas begitu mendengar suara pekikan Jessica. Gerakan tangannya terhenti dan mendadak pandangannya kosong. Pria brengsek itu datang lagi ke rumahnya.

“BAYAR HUTANG SUAMIMU SEKARANG!”

Krystal mengenali suara bentakan itu. Itu suara Mister Soo. Seorang rentenir kaya raya yang terbilang sukses dengan usaha ilegalnya di kawasan Seoul. Mantan majikan ayahnya yang kini berubah menjadi seorang yang menyeramkan bagi Krystal. Karena ayahnya pergi meninggalkan Mister Soo dengan membawa segudang hutang.

“Kami belum punya uang, Mister Soo. Tolong beri kami kesempatan!” Krystal mendengar suara Jessica memohon.

“Ah! Alasan! Anakmu saja bisa kau masukkan ke Victory Academy yang mahal itu, masa hutang suamimu selama bertahun-tahun tidak bisa kau bayar?!”

“Krystal butuh sekolah, Mister.”

Krystal tertegun begitu mendengar suara Jessica yang bergetar. Ia menggigit bibir dan menatap kertas berisi balok-balok not dengan mata berkaca-kaca. Ibu, jangan menangis.

Victory Academy bukan satu-satunya sekolah di dunia ini! Kalau kau memiliki hutang, pikirkan dulu hutangmu sebelum kau memasukkan anakmu ke sekolah yang mahal itu!”

“Kau pikir aku tega membiarkan anakku hidup tanpa memiliki mimpi? Mimpi Krystal ada disana, Mister. Ada di sekolah itu. Hanya di Victory Academy!”

Krystal membekap mulutnya menahan tangis. Ibu…

“Persetan dengan semua itu! Cepat bayar hutang suamimu sekarang juga!”

“Kau benar-benar manusia tak berperasaan!”

“APA?! BERANINYA KAU?!”

PLAK! Terdengar suara tamparan yang disusul oleh suara rintihan Jessica.

“Ibu!” Refleks Krystal berlari mendekati pintu kamarnya. Ia tak bisa membayangkan Jessica ditampar oleh tangan kasar pria itu. Ia hendak meraih gagang pintu, tetapi rasa takut membelenggu dadanya. Ia ingin menemani Jessica di luar sana, tetapi ia benar-benar tak bisa keluar saat ini. Ia terlalu takut.

Tubuh Krystal meluruh ke lantai seiring dengan airmatanya yang semakin deras mengalir. Tangannya menggenggam erat kalung peace yang terlingkar di leher jenjangnya. Ia menyandarkan wajahnya pada pintu kamar sambil terisak pelan. Sementara suara-suara ribut di luar kamar semakin terdengar jelas.

“Mister Soo, tolong hentikan! Jangan sakiti Ibu…” bisiknya lirih.

* * *

“Sepertinya kau akan pergi keluar.”

Krystal menoleh sekilas dan melihat Jessica baru saja keluar kamar dengan wajah bantal. Merasa canggung, ia mengambil botol selai dan mengoleskan isinya ke atas roti di tangannya. Sementara Jessica berjalan menuju dapur untuk membasuh wajah.

“Ke sekolah. Latihan bareng Irene. Sebentar lagi hari kompetisi,” jawab Krystal tanpa menatap Jessica.

Jessica mengambil posisi duduk di depannya. “Tadi malam Mister Soo kesini,” katanya.

Krystal mengangkat kepala, menatap Jessica yang kini tertunduk lesu. Ia tertegun begitu menyadari pipi kiri Jessica yang tampak memerah. Pasti itu bekas tamparan Mister Soo tadi malam.

Krystal kembali mengalihkan pandangannya, berusaha untuk tidak peduli.

“Apa katanya?” tanya Krystal dengan suara yang dibuat sedatar mungkin.

“Satu bulan. Semua harus terbayar dalam waktu satu bulan.”

“Satu bulan bukan waktu yang lama untuk mengumpulkan uang sebanyak itu, Bu!” kata Krystal. Suaranya meninggi. Kesabarannya sudah habis untuk tidak meledakkan amarahnya pada Mister Soo di depan Jessica.

Jessica mendesah dan menatap Krystal dengan tatapan bersalah. “Maka dari itu Ibu meminta bantuanmu, Krystal.”

“Bantuan?”

“Bagaimana kalau kau pindah sekolah?”

Bolamata Krystal membulat terkejut. “Pindah sekolah?!”

“Ibu akan mencari jalan lain untuk membayar hutang ayahmu. Sementara itu, kau pindahlah ke sekolah biasa yang lebih murah.”

Mata Krystal berkaca-kaca. Ia sudah kehilangan nafsu makannya pagi ini. “Bahkan aku belum sampai setahun bersekolah disana, Bu!”

“Ibu tahu, Krystal. Sungguh, Ibu tahu. Tetapi untuk saat ini, hanya jalan itulah yang dapat membantu kita. Mari kita bekerjasama, Krystal.”

Krystal membuang muka. Ia berdiri dari duduknya. “Aku harus latihan musik. Irene sudah menungguku,” ucapnya kemudian berlalu keluar rumah. Sekaligus menjawab untuk ketidaksetujuannya atas usulan Jessica.

* * *

Irene memperhatikan Krystal yang duduk termangu di balik grand piano di sudut ruangan. Sudah limabelas menit berlalu dan perempuan itu masih saja tidak bergerak dari tempatnya. Tatapannya kosong menatap tuts-tuts piano di depannya dan sesekali menghela napas berat. Sepertinya ada hal berat yang sedang dipikirkannya saat ini. Tanpa bertanya pun, Irene sudah tahu masalah apa yang sedang menimpa sahabatnya itu.

“Bukankah kita bertemu untuk latihan musik?” tanya Irene membuka keheningan. Berusaha untuk mengalihkan lamunan Krystal dari masalah keluarganya.

Krystal mengangkat kepala, balas menatap Irene yang duduk tak jauh darinya. “Maaf, Irene.”

Irene berdiri dari duduknya dan berjalan mendekati Krystal. Ia menyerahkan selembar kertas pada Krystal dan menunjuk balok not pada barisan keempat.

“Kita mulai dari bagian ini. Jangan lengah, Krystal.”

Krystal mengangguk. Ia menghela napas panjang sebelum memposisikan tangannya di atas tuts-tuts piano. Sementara Irene memposisikan biolanya di antara bahu dan pipinya. Perempuan itu memberikan kode pada Krystal untuk memulai permainannya.

Tangan Krystal menari di atas tuts piano. Bergerak dengan begitu lincah hingga menghasilkan alunan piano yang begitu indah. Tak lama kemudian, Irene masuk pada bagiannya dan mulai menggesekkan biolanya. Alunan piano kini bercampur satu dengan alunan biola memenuhi ruangan.

Dua jam berikutnya, Krystal dan Irene berjalan beriringan menelusuri sepanjang koridor sekolah. Mereka baru saja menyelesaikan latihan musik dan hendak kembali ke rumahnya masing-masing.

“Besok lusa adalah harinya, Krystal. Mari kita sama-sama menampilkan yang terbaik,” kata Irene. Tangannya mengayun-ayunkan tas biola yang dipegangnya.

Krystal mengangguk. “Tentu saja.”

“Sepertinya Genie High School juga berpartisipasi dalam kompetisi ini. Mereka akan menjadi saingan terberat kita.”

“Eiyy, jangan menurunkan senjata dulu sebelum berperang. Victory Academy itu tidak memiliki saingan. Dalam hal musik, Genie High School tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan sekolah kita.”

“Kau benar,” sahut Irene. “Ini pertama kalinya untukku, Krystal. Aku benar-benar merasa gugup.”

Krystal menghentikan langkahnya. Ia meraih tangan Irene hingga langkah perempuan itu juga terhenti. Krystal menggenggam tangan Irene dan menatap manik perempuan itu dengan begitu dalam. Tetapi entah kenapa Irene malah melihat kesedihan di mata Krystal.

“Kau pasti bisa, Irene. Kau tidak tampil sendirian. Ada aku yang akan menemanimu,” kata Krystal sambil tersenyum. “Semangat!”

Irene balas tersenyum. Ia balas menggenggam tangan Krystal. “Terimakasih, Krystal. Aku merasa lebih baik sekarang.”

Keduanya kembali berjalan keluar gedung.

“Kau tidak ada masalah dengan ibumu lagi, kan?” tanya Irene begitu teringat dengan kemurungan Krystal saat latihan tadi.

Krystal terdiam beberapa saat sebelum menjawab, “Tidak.”

“Kau baik-baik saja, kan?” tanya Irene hati-hati.

Krystal mengangguk. Namun mendadak ucapan Jessica pagi tadi kembali terngiang di telinganya.

“Irene.”

Irene menoleh dan melihat Krystal sedang menatap ke arahnya dengan mata berkaca-kaca. Kemudian ia mendengar Krystal berkata dengan suara bergetar.

“Sepertinya besok lusa akan menjadi kompetisi terakhir yang kuikuti untuk sekolah ini.”

* * *

Di dalam sebuah gedung teater, Krystal duduk di balik grand piano hitam di atas panggung yang kini menjadi sorotan. Tak jauh darinya, Irene berdiri sambil memegang biola yang diletakkan di antara bahu dan pipinya dengan perasaan gugup. Hampir seluruh mata pengunjung acara tengah mengarah pada mereka dengan tatapan harap-harap cemas. Krystal menoleh tersenyum menenangkan teman-temannya yang duduk di barisan bangku penonton. Ia membenarkan posisi kalung peace yang melingkar di leher jenjangnya sebelum memfokuskan diri pada piano di depannya. Beberapa saat kemudian, lampu di atas panggung meredup.

Lampu panggung kembali menyala. Menyoroti Krystal yang kini memainkan jari-jemarinya dengan lihai di atas tuts-tuts piano. Ia memainkan opening yang begitu sempurna tepat saat lampu panggung menyorotinya. Menciptakan sebuah alunan melodi piano yang memenuhi gedung teater.

Tak lama kemudian, suara gesekan biola bergabung dengan alunan piano yang dimainkan Krystal seiring dengan menyalanya lampu panggung kedua yang menyoroti Irene. Menciptakan sebah kombinasi yang indah antara suara piano dan biola.

Mereka memainkan lagu Passing By. Dengan penuh perasaan dan penghayatan, Krystal menarikan jari-jemarinya kesana kemari dengan begitu lincahnya di atas tuts-tuts piano. Irene pun demikian. Ia menggesekkan biolanya dengan amat lincah. Mimik dan gestur tubuh mereka menyesuaikan perasaan yang dibawanya, menciptakan alunan instrumen musik yang terdengar menyentuh perasaan. Lihat saja, bahkan beberapa pengunjung acara mulai memejamkan mata, seakan-akan mereka merasakan emosi yang dimainkan Krystal dan Irene dalam alunan melodi tersebut. Mereka seperti mendengar permainan seorang Yiruma, komposer sekaligus pianis ternama yang menciptakan lagu itu, yang bercampur satu dengan kedua perempuan itu. Good performance and good looking.

Pada bagian klimaks instrumen, Krystal memejamkan mata. Tangannya masih menari di atas tuts-tuts piano, tetapi segaris airmata mengalir dari pelupuk matanya yang kemudian disusul dengan airmata lainnya. Ia menangis tanpa suara, entah karena apa. Mungkin karena ini akan menjadi penampilannya yang terakhir atas nama Victory Academy.

(Dengarkanlah musik yang bermain; Passing By by Yiruma)

* * *

Suara riuh tepuk tangan membahana di dalam gedung teater. Di atas panggung, Krystal menatap medali emas yang kini melingkar di lehernya bersama kalung peace-nya dengan mata berkaca-kaca. Di sebelahnya, Irene juga menatap medali emas di lehernya dengan perasaan tidak menyangka. Lagipula siapa yang akan menyangka apabila ia akan mendapatkan juara pertama pada kompetisi perdananya.

Victory Academy memang selalu menjadi yang terbaik. Selamat untuk kalian berdua,” ucap seorang perempuan yang berdiri di sebelah kanan Irene dan Krystal. Perempuan itu mendapatkan medali perunggu sebagai juara ketiga atas penampilannya.

Empire High School juga sudah memberikan penampilan yang terbaik,” kata Irene. Wajah dan matanya tampak memerah karena airmata harunya tidak henti-hentinya mengalir.

Sementara Irene mengobrol dengan perempuan itu, Krystal masih menatap medali emasnya dengan mata berkaca-kaca. Ia menggigit bibir bawahnya sambil berusaha menahan tangis. Bisa jadi juga ini akan menjadi medali emas terakhir yang diperolehnya atas nama Victory Academy.

Sebenarnya Krystal masih belum memutuskan akan mengikuti permintaan Jessica atau tidak. Namun melihat keadaan keluarganya yang memang tidak memungkinkan untuk mempertahankannya tetap berada di Victory Academy, sepertinya Krystal benar-benar harus mempersiapkan diri untuk pergi dari sekolah impiannya itu.

Krystal menyeka airmatanya yang jatuh saat ia teringat Jessica. Sekilas ia menoleh pada Irene dan seorang laki-laki yang berdiri di sebelahnya. Berharap mereka tidak sempat melihatnya menangis. Beruntung bagi Krystal karena Irene masih berbicara dengan perempuan di sebelahnya, sementara laki-laki yang mendapatkan juara dua itu sedang memandang medali perak yang melingkar di lehernya. Krystal paling anti memperlihatkan airmatanya pada oranglain, termasuk pada ibunya sendiri.

“Berikan tepuk tangan yang meriah sekali lagi untuk ketiga pemenang kompetisi musik tahunan antarsekolah kali ini dari Victory Academy, Genie High School, dan Empire High School,” tutup si pembawa acara.

* * *

Sebuah medali emas atas kemenangan kompetisi musik tahunan antarsekolah diletakkan di dalam lemari kaca oleh Krystal. Berjejeran dengan beberapa piala dan medali lainnya yang juga merupakan prestasi atas kemenangan berbagai kompetisi musik lain yang pernah diikutinya. Krystal menatap medali yang diletakkannya dengan senyum getir di bibirnya cukup lama.

Setelah itu ia menutup kembali lemari kacanya dan menguncinya. Ia berjalan menghampiri Irene yang sudah menunggunya di bingkai pintu kelas award. Kelas award adalah tempat dimana murid-murid Victory Academy menyimpan penghargaan-penghargaan atas kemenangannya dalam kompetisi musik. Setiap murid memiliki lemari kacanya masing-masing dan memiliki keberhakan untuk menyimpan prestasinya disana. Irene juga baru saja menyimpan medali emasnya di lemari kaca miliknya.

“Kau benar-benar akan meninggalkan mereka disana? Apakah sebaiknya tidak kau bawa saja?” tanya Irene setelah Krystal tiba di sebelahnya. Matanya mengarah pada lemari kaca milik Krystal yang berisi medali dan piala yang tak terhitung banyaknya sebelum mengekor langkah Krystal keluar gedung.

“Dibawa kemana?” Krystal balas bertanya sambil tersenyum miris.

Irene mengangkat bahu. “Rumahmu, mungkin.”

Krystal menggeleng. “Kurasa sebaiknya disimpan di sekolah ini saja. Walaupun aku sudah tidak bersekolah disini, aku ingin piala dan medali milikku menjadi jejak kalau aku pernah bersekolah dan mengukir banyak prestasi musik di sekolah ini.”

Irene menghentikan langkah dan menatap Krystal dengan marah. “Kau masih bersekolah disini, Krystal.”

“Memang. Tapi awal semester genap nanti aku akan pergi dari sini.”

“Kau membuatku khawatir, Krys.” Irene menatap Krystal dengan prihatin. Krystal menunjukkan senyum terbaiknya pertanda bahwa semuanya akan baik-baik saja, namun yang terlihat di mata Irene hanyalah senyum kegetiran.

“Bukankah aku sudah bilang kalau kemarin adalah kompetisi terakhir yang akan kuikuti di sekolah ini? Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena aku sudah memutuskan dan mempersiapkan diri dari awal untuk kepindahan ini.”

Nyatanya, Krystal sama sekali belum memutuskan. Ia masih bimbang dengan kepindahannya itu. Ia hanya mempersiapkan diri kalau memang ia tidak memiliki pilihan lain selain meninggalkan Victory Academy.

“Bukan itu yang kukhawatirkan,” kata Irene. “Aku khawatir dengan sekolah barumu.”

Krystal terdiam.

“Bukankah kau pernah bilang kalau kau membenci Genie High School? Kau bilang sekolah itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan sekolah kita? Tetapi kenapa kau malah pindah kesana?”

Krystal tidak menjawab.

Mendadak Irene teringat dengan status ibunya Krystal yang merupakan guru di Genie High School. “Ibumu yang meminta?” tanyanya kemudian.

Krystal tersenyum. Miris. “Hidup ini memang kejam untukku, Irene.”

Lagi-lagi Irene menatap Krystal dengan prihatin.

“Jangan menatapku dengan tatapan seperti itu,” kata Krystal.

Irene menghela napas. “Maaf kalau aku bertanya seperti ini padamu. Memangnya kau tidak marah pada ibumu? Impianmu kan ada disini, Krys. Hanya Victory Academy yang dapat membuatmu menjadi seorang pianis. Ibumu juga tahu hal ini.”

Krystal menengadahkan wajahnya saat dirasanya matanya mulai memanas. Ia tidak boleh menangis hari ini. Ia tidak ingin melalui hari-hari terakhir di sekolahnya dengan tangisan.

“Tentu saja aku marah pada ibuku. Victory Academy memang jauh lebih baik daripada Genie High School. Tapi apa lagi yang bisa kulakukan saat takdir memaksaku untuk pindah kesana? Memangnya aku bisa melawan takdir-Nya?”

Krystal tersenyum pada Irene. Tetapi entah kenapa, untuk yang kesekian kalinya, Irene hanya melihat kegetiran dalam senyum itu.

“Kau pernah bilang padaku kalau kau membenci ibumu, maka dari itu kau selalu merendahkan Genie High School. Tetapi saat ini aku justru malah melihat kalau kau sebenarnya sangat menyayangi ibumu, Krystal.”

Krystal kembali terdiam.

* * *

Suasana makan malam terasa canggung untuk sepasang ibu dan anak. Hanya terdengar suara dentingan suara sendok yang beradu dengan piring. Krystal menghabiskan makanannya dengan cepat tanpa bersuara. Di depannya, Jessica juga melakukan hal yang sama. Walaupun berkali-kali saling melirik diam-diam dan tak sengaja bertemu pandang, mereka sama sekali tidak memulai pembicaraan. Membiarkan keheningan dan kecanggungan terjadi di antara mereka.

Krystal menyuap sendok terakhirnya. Ia membersihkan peralatan makannya di dapur sebelum kembali ke kamar. Beberapa saat setelah menutup pintu kamar, terdengar suara ketukan.

“Krystal? Apakah kau mendengar suara Ibu?”

Langkah Krystal terhenti. Alih-alih membukakan pintu untuk Jessica, ia malah menyandarkan wajahnya di pintu kamar. Menempelkan daun telinganya pada pintu kayu tersebut. Aku mendengarmu, Bu…

“Ibu tahu kalau ini berat sekali untukmu. Meninggalkan Victory Academy pada saat-saat seperti ini memang bukanlah hal yang mudah, apalagi kau berharap banyak sekali pada sekolah itu. Tidak ada lagi sekolah musik seperti Victory Academy yang dapat membantu mencapai impianmu sebagai pianis. Tapi, ibumu yang jahat ini telah menghancurkan impianmu, bukan?”

Krystal menggigit bibir. Mengerti ke arah mana Jessica akan berbicara.

“Maafkan Ibu, Krystal.” Suara Jessica terdengar bergetar.

Jangan menangis, Bu…

“Maafkan Ibu yang telah menyerah atas mimpimu, Krystal. Maafkan Ibu yang tidak bisa lagi membayar biaya sekolahmu disana. Ini memang sulit untukmu, tapi ini juga sulit untuk Ibu. Jadi Ibu harap kau mengerti, Krystal.”

Krystal membekap mulutnya, berusaha menahan tangis. Tangannya yang lain meraih gagang pintu kamar, tetapi ia tak kunjung membukanya. Ia benar-benar tidak bisa membukanya. Tidak untuk saat ini. Ia malah menggenggam kalung peace yang terlingkar di leher jenjangnya dan menangis tanpa suara.

Tanpa Krystal ketahui, di balik pintu kamarnya, Jessica melakukan hal yang sama dengannya. Menangis tanpa suara sambil menyandarkan wajahnya pada daun pintu.

Pertengahan semester, pada malam yang begitu dingin, di bawah atap yang sama, terpisahkan oleh pintu kayu, sepasang ibu dan anak menangis dalam diam. Rasa bersalah, takut, dan putus asa bercampur menjadi satu di antara keduanya. Seolah-olah hanya dengan airmatalah yang dapat meleburkan seluruh rasa itu.

Ketika Tuhan memberikan cobaan kepada kita, cobalah untuk menghadapinya tanpa keluhan. Karena Tuhan memiliki ribuan alasan yang tak kita ketahui.-Another Star-

– tbc –

Dear readers,
Halooo~ apakah kalian membaca fanfic ini sampai selesai? Kalau iya, tolong dong berikan feedback-nya. Intro kemarin ternyata lumayan banget viewers-nya, tapi aku sedih gak ada yang komen, padahal aku butuh banget feedback dari para readers. Jadi aku tau apakah kalian tertarik apa engga dengan fanfic buatanku ini. Fanfic-ku ini memang jauh dari kata sempurna, tapi aku ingin mempersembahkan fanfic ini dengan lima tokoh utama; Krystal, Jongin, Kyungsoo, Suzy, Sohyun (mungkin tokohnya kurang menarik untuk kalian) dengan sukacita. Aku terima kritik dan saran kok, maka dari itu aku butuh feedback dari kalian. Feedback dari kalian merupakan vitamin buat aku melanjutkan fanfic ini. Kalau memang kalian masih mau baca, aku akan semakin semangat untuk melanjutkannya. Jadi, tolong yaa… Hargailah author yang sudah menulis :)

Regards,

Zulfa Azkia (zulfhania)

Sunshine [9]

$
0
0

Original Story by Lee-Jungjung

 

Covered by Nisanoona

 

Cast: Kim Jongin & Jung Soojung

Support Cast: Oh Sehun, Park Chanyeol, & Choi Minho

Chaptered| Romance, Angst | G

 

[9] Don’t Go

.

.

.

.

 

“Dokter?!?”

Jongin mengangguk tanpa ragu. Tak urung jawaban penuh kepercayaandiri itu diragukan oleh kedua rekannya. Chanyeol dan Sehun mengerjap beberapa kali sebelum memandang satu sama lain. Sekedar memastikan kalau pendengaran mereka tidak bermasalah.

Jongin sendiri memaklumi keterkejutan kedua temannya itu. Bisa dibilang keputusan Jongin yang satu ini sama beresikonya dengan keputusan untuk bunuh diri. Bagaimana tidak? sudah diketahui sejak dulu bahwa Jongin bukanlah siswa jenius. Sehun bahkan nyaris putus asa saat menjadi tutor Jongin untuk menempuh ujian kelulusan. Dan sekarang pemuda itu berniat menantang diri dengan memasuki jurusan yang jelas membutuhkan kemampuan otak di atas rata-rata? Yang benar saja.

“Jong, kau sadar apa yang kau lakukan?”

Jongin mengangguk guna menjawab pertanyaan Chanyeol. Menimbulkan desahan panjang Chanyeol untuk menanggapi anggukan Jongin. Pemuda bertelinga lebar dan bertubuh jangkung itu hanya mampu menggelengkan kepalanya pelan. Tak habis pikir dengan keinginan Jongin untuk menjadi dokter. “Kau tidak takut salah suntik nanti, huh?” sindir pemuda itu. “Sebaiknya, kau nilai dulu kemampuanmu sebelum memilih jurusan.”

Jongin memelototkan matanya ke arah Chanyeol. Dia sama sekali tidak butuh diceramahi. Yang Jongin butuhkan adalah dukungan dan bantuan, dari Sehun tentunya. “Aku tidak minta pendapatmu, Yeol. Aku mau minta bantuan pada Sehun sekali lagi.”

Sehun mendesah pasrah. Dia sudah mempunyai firasat buruk begitu mendapat panggilan dari Jongin pagi tadi. Pemuda itu hanya mengatakan bahwa ingin membicarakan soal masa depan. Cukup ambigu, tapi konyolnya Sehun mau saja diajak bertemu dengan Jongin.

“Untuk ujian kelulusan aku sanggup, Jong. Kalau ujian masuk universitas jangan harap,” tolak Sehun sehalus mungkin. Sebisa mungkin pemuda itu tidak menyakiti Jongin. “Aku saja belum tentu lolos.”

Jongin mengatupkan kedua telapak tangannya di depan wajah. Memasang wajah memelas terbaik yang dimilikinya. “Kumohon, Sehun. Aku tidak mungkin berhasil tanpa bantuanmu,” pintanya penuh harap.

Sehun kembali mendesah. Sekali lagi dia merasa tidak tega pada Jongin. Biar bagaimanapun Jongin adalah teman pertama yang dimiliki Sehun. Sebelumnya pemuda berkulit putih itu tak pernah berteman dengan siapapun. Alasannya? Karena mereka mendekati Sehun dengan tujuan tertentu. Mengingat Sehun itu pintar, tentu dapat diduga keuntungan yang ingin mereka peroleh. Berbeda dengan Jongin yang terjebak pertemanan dengannya karena pemindahan posisi duduk sepihak yang dilakukan Soojung semasa di tingkat kedua.

“Beri aku satu alasan logis kenapa aku harus membantumu.”

Jongin menurunkan kedua tangannya. Rautnya kini berubah suram. Terlihat rona kesedihan pada parasnya. “Ini karena Soojung.”

Sehun dan Chanyeol sama-sama menahan napas saat nama Soojung disebut. Mereka jadi mengingat hari dimana Jongin tampak frustasi untuk pertama kalinya. Mereka menemukan Jongin duduk di depan ruang rawat Soojung dalam kondisi kacau. Bahkan lebih mengenaskan ketimbang saat putus hubungan dengan Soojung. Dan mereka rasanya nyaris tidak percaya ketika mengetahui jika Soojung tengah berbaring tak berdaya akibat penyakit kelainan jantungnya.

“Yang kutahu saat ini, tujuan hidupku hanya Soojung. Aku hanya ingin dia terus berada di sisiku. Satu-satunya cara untuk menjaga Soojung adalah dengan menjadi dokter. Dengan demikian aku akan mengetahui kondisinya, terutama perkembangan kesehatannya,” terang Jongin menyampaikan alasannya.

“Dan lagi, aku hanya ingin Soojung lebih lama berada di sisiku.”

Jongin menarik napasnya dalam-dalam. Mengisi ruang alveolusnya yang terasa kosong. Membicarakan Soojung membuatnya kembali merasa sesak. Terutama saat mengingat di mana gadis itu berada saat ini. Ada ketakutan yang besar saat Jongin meninggalkan Soojung di salah satu ruang di rumah sakit. Takut jika saat dia pergi, gadis itu akan menghilang. Ketakutan yang tak mendasar, tapi cukup membuat Jongin resah sepanjang hari.

“Jadi, kumohon Sehun. Tolonglah aku untuk yang terakhir kali.”

O0O

“Kelihatannya kau serius untuk mengambil program studi Pendidikan Dokter?”

Jongin yang tengah menunggui Soojung sembari mempelajari soal-soal yang diberikan Sehun menoleh segera. Pemuda itu mendapati dokter kekasihnya –Choi Minho di ambang pintu. Mengulas senyum ramah sebelum memasuki kamar rawat Soojung.

“Kata Jinri, kemampuanmu di bawah rata-rata. Yakin mau mengambil program studi itu?”

Jongin menghela napas panjangnya. Pemuda itu lantas menutup buku kumpulan soalnya dan menatap Minho tidak terima, “Yah, yang dikatakan Jinri benar. Tapi, aku adalah orang yang keras kepala. Aku yakin mampu melaluinya dengan baik.”

Minho tersenyum mendengar penuturan Jongin. Ada tingkat kepercayaandiri yang tinggi. Kepercayaandiri yang jarang dimiliki oleh banyak orang. Bukan hanya tingkat kepercayaandiri yang tinggi, keinginan dan motif Jongin pun kuat. Minho yakin sekali jika motif pemuda berkulit tan itu mendaftarkan diri menjadi salah satu mahasiswa fakultas kedokteran adalah demi Soojung. Tak ayal apa yang dilakukan Jongin mengingatkan dirinya yang dulu.

Sebelum Minho menjadi seorang dokter, pemuda itu mengenal Soojung sebagai pasien ayahnya sekaligus teman dari adiknya. Lambat laun karena sering bertemu, Minho pun menaruh hati pada gadis itu. Mengingat Soojung merupakan gadis yang hangat dan begitu ramah. Membuat Minho tentu mudah jatuh ke dalam pesonanya. Karena itulah Minho mati-matian berjuang untuk mengikuti jejak sang ayah sebagai dokter. Untuk dapat memeriksa langsung keadaan sang pujaan hati.

Dan melihat Jongin yang sekarang seperti merefleksi dirinya di masa lampau. Masa di mana Minho tergila-gila dengan seorang Jung Soojung. Masa di mana dia belum menemukan Park Jiyeon yang kini sudah menggantikan posisi Soojung di hatinya. Rasa simpati Minho perlahan menyeruak. Karena itulah dia mencoba untuk membantu Jongin kali ini. Karena menurut Minho itu adalah hal terbaik yang mampu dilakukannya untuk seorang Jung Soojung.

“Ini,” Minho menyodorkan satu bendel kertas yang berisi soal-soal. Sama seperti yang diberikan Sehun kepadanya. Hanya mungkin isi soalnya berbeda.

“Aku sudah mencari dari berbagai sumber dan merangkum soal seperti apa yang berpeluang muncul. Dan percayalah, biasanya intuisiku tepat.”

Jongin mengerjap beberapa kali sebelum mengecek isi bendelan tersebut. Jongin berdecak kagum saat mendapatkan solusi atau jawaban dari semua soal yang ada. Dan kelihatannya Minho membuat penyelesaiannya sendiri. Sepertinya keberuntungan berpihak pada Jongin kali ini. Minho adalah seorang dokter, tentu semua soal yang dirangkumnya berpeluang besar untuk keluar. “Terima kasih, aku pasti mempelajarinya.”

“Sama-sama,” balas Minho dengan tulus. “Ingat jangan mengecewakanku dan juga Soojung.”

Jongin mengangguk dengan penuh semangat. Seulas senyum tersungging di wajah cerahnya. Perlahan dirinya mengaitkan jemarinya dengan jemari Soojung. Meremasnya lembut seolah takut menyakiti gadis itu. “Soojung, aku pasti akan membuatmu bangga. Aku janji.”

O0O

Hari demi hari Jongin lalui dengan belajar keras demi memperoleh kursi di Fakultas Kedokteran. Jongin berjuang mati-matian belajar dari pagi hingga larut malam. Semua dia lakukan demi Soojung. Yah, demi gadis itu.

Tetapi, seberapa pun keras Jongin belajar, pemuda itu tak lantas melupakan Soojung. Prioritas pemuda berkulit tan itu tetaplah sang mantan kekasih yang terus berada di hatinya. Maka dari itu, Jongin sama sekali tidak pernah absen untuk sekedar menunggui Soojung di rumah sakit sepanjang hari. Dia bahkan rela belajar dengan kondisi seadanya di ruang rawat gadis itu. Bagi Jongin, berada di dekat Soojung merupakan penyemangat baginya. Hanya melihat wajah gadis itu saja sudah memberikan energi bagi Jongin.

Dan setelah sekian lama berjuang, kini waktunya bagi Jongin untuk menunjukkan hasil kerja kerasnya. Bersama ratusan calon mahasiswa baru, Jongin harus berjuang guna memperoleh kursi di universitas, lebih tepatnya di Fakultas Kedokteran, program studi Pendidikan Dokter. Yah, tidak mudah memang. Karena Jongin merasa energinya terforsir hanya untuk mengikuti ujian masuk universitas. Tapi, sekali lagi ini demi Soojung. Walau Jongin harus mengerjakan soal sambil jungkir balik sekalipun pasti akan dilakoninya.

“Jadi, bisa mengerjakan?” tanya Sehun selepas mereka keluar dari ruang ujian. Meski tidak berada dalam satu ruangan, tetapi mereka keluar ruangan dalam waktu yang bersamaan.

“Yah, begitulah,” jawab Jongin pelan. Pemuda itu seolah kehilangan banyak daya akibat mengerjakan seratus soal dalam dua jam penuh. Uhh, semoga saja Jongin berhasil dalam percobaan pertama. Karena dia benar-benar sudah alergi dengan ujian semacam ini.

“Kelihatannya jawabanmu tidak meyakinkan,” ujar Chanyeol mencemooh. Dan hanya ditanggapi malas oleh Jongin.

“Sudahlah, aku malas berdebat denganmu, Park Chanyeol. Aku pergi dulu, ya. Mau menemui Soojung,” pamit Jongin segera.

Benar, hal yang dibutuhkan Jongin sekarang ini bukanlah simpati yang diberikan orang-orang kepadanya selepas menyelesaikan ujian masuk universitas. Bagi Jongin, keberadaan Soojung yang dirinya butuhkan. Eksistensi gadis itu memiliki pengaruh cukup besar bagi dirinya. Setidaknya dengan melihat paras ayu milik si gadis membuat energi Jongin ter-supply maksimal. Membuatnya sedikit melupakan beban akibat ujian masuk universitas yang menguras seluruh kemampuan otaknya.

“Ujiannya sulit sekali,” ujar Jongin ketika sudah tiba di rumah sakit. Kini pemuda itu tengah melakukan ritual pengisian dayanya. Dengan memandangi Soojung dan menggenggam erat telapak tangan mungil milik gadis itu.

“Bagaimana jika aku tidak berhasil, Soojung. Aku takut sekali,” gumam Jongin sambil membenamkan kepalanya di sisi tubuh Soojung. Pemuda itu menarik-hembuskan napasnya teratur sambil memejamkan mata.

“Aku benar-benar takut, Soojung,” ujarnya lagi. “Tidak bisakah kau bangun dan menyemangatiku? Aku merindukan suaramu. Aku merindukan senyumanmu. Aku merindukanmu, Soojung-a.”

Jongin mendesah pelan. Dirinya seperti orang gila. Berbicara sendiri tanpa ada respon dari Soojung. Dan entah kenapa kini harapannya untuk melihat senyum Soojung perlahan terkikis. Sedikit demi sedikit Jongin menyadari bahwa egonya untuk terus bersama Soojung tidak akan berarti apa-apa. Karena bagaimana akhir kehidupannya nanti hanya Sang Pencipta yang mengaturnya. Yang bisa dia lakukan hanyalah berdoa dan berusaha. Selebihnya, Jongin pasrah.

Yang penting Soojung bahagia. Itu cukup bagi Jongin. Asal, Soojung-nya tidak tersiksa lebih lama lagi dari penyakit yang membelenggunya sejak lama sekali.

.

.

.

.

Jongin terkesiap. Pemuda itu menegakkan tubuhnya saat merasakan pergerakan di sela jemarinya. Kedua netranya mengarah pada jemari Soojung yang saling terkait dengan miliknya. Jongin mengamatinya lebih intens. Dengan debaran jantung yang teramat keras, Jongin menunggu. Siapa tahu memang benar apa yang dirasakannya barusan. Bahwa jemari Soojung bergerak.

Dan benar saja. Selang beberapa detik, jemari Soojung bergerak kembali. Perlahan jari telunjuk dan tengahnya bergerak. Meski pelan tapi berlangsung kontinu diikuti dengan jemari lainnya. Ragu-ragu Jongin menatap wajah Soojung. Berharap bahwa gerakan tadi bukan hanya respon melainkan juga karena Soojung memang sudah siap untuk bangun.

Ketika kelopak mata Soojung mulai bergerak, barulah Jongin benar-benar yakin. Bahwa gadis itu akan segera terbangun dari mimpi panjangnya.

O0O

Perasaan Soojung lebih baik saat ini meskipun tubuhnya terasa lemas dan tidak berenergi. Apa mau dikata, dirinya tertidur cukup lama. Soojung mengingat jelas semuanya. Hari di mana dadanya kembali merasakan nyeri dan sesak dalam satu waktu. Dan selanjutnya, semua pandangannya berangsur meredup, berubah gelap. Hanya itu yang mampu Soojung ingat sebelum membuka mata hari ini.

“Syukurlah kau sudah bangun, sayang.”

Soojung tersenyum mendengar penuturan dari sang ibu. Soojung memejamkan kedua matanya sesaat ketika sang ibu membelai kepalanya. Sesekali wanita yang telah melahirkannya itu membenarkan letak anak rambut milik Soojung seraya memandangi wajah gadis itu lekat-lekat. Bukan tanpa sebab ibu Soojung melakukannya. Ini semua karena ketakutan akan kehilangan putrinya. Untuk itulah ibu Soojung menikmati setiap inci wajah putrinya. Berusaha mematri wajah sang putri dalam otaknya agar mampu terus mengingat wajahnya dengan jelas.

Yeobbo,” suara ayah Soojung menginterupsi istrinya. Pria paruh baya itu menepuk lembut pundak istrinya sebelum berbisik pelan. “Kurasa ada giliran lain yang menunggu untuk dapat bertemu langsung dengan Soojung. Ayo, kita beri waktu kepadanya dulu.”

Ibu Soojung mengangguk pelan. Wanita itu tersenyum sekilas pada Soojung sebelum meninggalkan ruang rawat putrinya. Soojung menghela napas sebentar mengamati kepergian kedua orang tuanya. Rasanya begitu aneh. Entahlah, Soojung hanya merasa tidak ingin menjauh dari keduanya.

Soojung masih bergelut dengan pikirannya hingga tidak menyadari bahwa ada sosok lain yang menggantikan keberadaan orang tuanya. Cukup lama Soojung tidak menyadarinya, hingga pendengarannya menangkap suara dehaman yang mengalun berat.

Soojung mengerjapkan kedua kelopak matanya beberapa kali. Dipandanginya sosok yang tengah tersenyum ke arahnya itu lekat-lekat. Soojung mengira itu hanya mimpi. Seperti saat pertama kali membuka mata, Soojung merasakan kehadiran sosok tersebut meski pandangannya masih buram. Soojung mengira kalau itu hanya sekedar imajinasinya saja karena terlalu merindukan sosok pemuda yang mendiami hatinya lama sekali.

Tapi ternyata salah. Karena sosok di hadapannya itu nyata. Bukan sekedar ilusi belaka.

“Jongin?” Soojung memberanikan diri menyebut nama pemuda yang masih bertahan manis di hatinya. “Itu, benar-benar dirimu?” Soojung bertanya dengan suara yang lebih pelan. Masih meragukan penglihatannya.

“Ya, Soojung,” jawab Jongin dengan netra yang lurus menatapnya. “Merindukanku?”

Soojung meneguk salivanya bulat-bulat. Ya, ingin sekali Soojung menjawab seperti itu. Soojung sangat merindukan Jongin, tentu saja. Bahkan dalam tidur panjangnya hanya bayangan Jongin yang berputar mengelilinya. Hanya kenangan dengan pemuda itu yang menemaninya tertidur selama ini.

“Berhenti di situ, Jongin,” perintah Soojung begitu Jongin melangkah mendekatinya. Tak ayal Jongin menuruti perintah sang gadis. Pemuda itu diam di tempatnya sambil menahan diri untuk tidak merengkuh tubuh Soojung ke dalam dekapannya.

Jongin ingin melakukannya. Tapi, dia harus menunggu Soojung untuk siap. Karena tentu saja keberadaan Jongin di sini cukup membingungkan bagi Soojung. Ingat bukan, bahwa sebelumnya Soojung tidak memberitahu Jongin mengenai penyakitnya.

“Seharusnya kau tidak berada di sini, Jongin,” ujar Soojung pelan. Jemarinya bergerak memilin ujung selimut. Sekedar memudarkan rasa gugup yang menderanya.

“Kenapa begitu?” tanya Jongin. Pandangannya lurus ke depan menangkap sosok Soojung melalui obsidiannya. “Karena aku tidak tahu apa-apa soal penyakitmu?”

Soojung kembali menelan salivanya bulat-bulat. Ada nada kecewa dalam suara Jongin, Soojung menyadari itu. Bukan hanya pada suaranya, padangan Jongin pun begitu. Menyiratkan kekecewaan yang mendalam akibat kebohongan yang diperbuat oleh Soojung.

“Maaf.”

“Maaf?” Jongin tertawa tanpa suara. Menertawakan dirinya sendiri barangkali. “Kau meminta maaf setelah melakukan ini padaku, Soojung?”

Soojung memalingkan wajahnya. Memilih diam dan menunggu apa yang ingin coba Jongin sampaikan. Mungkin ini saatnya bagi Jongin untuk mengeluarkan segenap perasaan kecewa maupun kesal yang membuncah pada dirinya.

“Kau benar-benar berhasil menghancurkanku, Soojung,” gumam Jongin begitu dingin dan serius. “Kau berhasil membuatku menjadi kekasih paling buruk sepanjang masa. Kekasih macam apa yang tidak tahu mengenai kekasihnya sendiri?” suara Jongin mulai meninggi. Dadanya naik-turun guna mengatur jumlah molekul udara yang keluar masuk ke dalam paru-parunya.

“Dan setelah itu kau mencampakkanku, membuatku membencimu. Dan sekarang apa? Membuatku menyesal karena telah membencimu, begitu?”

Soojung memejamkan matanya. Secara perlahan setetes cairan bening meluncur dari pelupuk matanya. “Maaf,” gumam gadis itu pelan.

“Gadis jahat.”

“Maaf.”

“….”

Jongin menghembuskan napasnya perlahan. Pemuda itu tengah mengatur emosinya yang saat ini terbilang tidak stabil. Jongin diam, begitupun Soojung. Hingga menciptakan suasana sunyi dengan atmosfer yang sungguh tidak terasa nyaman.

“Kau tahu jika aku gadis jahat, bukan?” Soojung tersenyum tipis saat mengucapkannya. “Jadi, seharusnya kau bisa dengan mudah melupakanku.”

Jongin kembali menatap Soojung lekat-lekat. Wajah itu, senyum itu. Sangat Jongin rindukan. “Bagaimana aku bisa melupakanmu?” Jongin mengungkapkan apa yang hatinya suarakan.

Secara perlahan pemuda berkulit tan itu melangkah. Menghapus jarak antara dirinya dan juga Soojung. Tatapan pemuda itu tak setajam tadi. Soojung mampu merasakannya. Tatapan Jongin berangsur melembut. Sama seperti saat menatap Soojung dulu. Teduh dan penuh cinta. Sungguh, Soojung amat merindukan tatapan Jongin yang selalu mampu membiusnya.

“Jongin?”

“Aku merindukanmu.”

Napas Soojung tercekat saat mendengar suara Jongin yang begitu lemah. Tampak ada nada keputusasaan dalam suara pemuda itu.

“Aku begitu merindukanmu. Sampai aku harus selalu menemuimu setiap hari.”

Soojung nyaris menahan napasnya. Terutama saat Jongin mulai duduk dan perlahan menyentuh telapak tangannya. Mencium punggung tangan Soojung dengan segenap perasaan yang dimilikinya.

“Aku juga sangat takut, kau tahu?” pemuda itu kini beralih membelai pipi Soojung dengan tangannya yang masih bebas. “Aku begitu takut kehilangan dirimu, hingga setiap detik selalu di sini. Menungguimu. Menjagamu. Takut kau menghilang dari hadapanku.”

“Aku tidak mau kehilangan dirimu lagi, Soojung. Tidak untuk hari ini dan selamanya. Aku tidak akan melepasmu lagi meski dirimu yang meminta.”

‘Tapi, Jong….”

Ucapan Soojung terhenti. Sejalan dengan Jongin yang menempelkan bibirnya. Membungkam mulut Soojung hingga tidak mampu lagi berucap. Jongin memejamkan matanya. Menekan bibir Soojung secara perlahan. Menarik tengkuk Soojung agar tautan bibir keduanya lebih lekat. Mencurahkan segala perasaan terpendamnya selama ini.

Kerinduan. Cinta. Seluruhnya.

Soojung terpaku di tempat. Menikmati stimulus yang terasa seperti sengatan listrik di ujung syaraf bibirnya. Ketika stimulus itu mencapai otak, Soojung baru menyadarinya. Dia sangat merindukan bibir pemuda ini. Soojung merindukan senyumannya. Soojung merindukan suaranya. Soojung merindukan Jongin. Sangat rindu.

Tes.

Soojung terkesiap saat sesuatu yang basah menimpa pipinya. Jemarinya maju untuk membelai pipi Jongin. Dan secara perlahan jemarinya menjauhkan Jongin dari dirinya. Memutuskan tautan bibir keduanya, meski Soojung akui dirinya masih belum rela melepasnya.

Soojung mengamati wajah Jongin lekat-lekat. Kedua kelopak mata pemuda berkulit tan itu masih tertutup. Hidungnya kembang-kempis, mengatur napas dan juga emosi. Bibir tebalnya digigit entah untuk menahan apa. Kemudian Soojung menangkap setitik cairan di ujung mata pemuda itu. Berniat jatuh mengalir membasahi pipinya.

“Maafkan aku sudah membuatmu begini, Jongin,” ucap Soojung seraya menghapus air mata yang hendak jatuh dari pelupuk mata Jongin.

“Maafkan aku, aku terlalu takut melihatmu bersedih saat kehilangan diriku.”

Jongin membuka matanya. Menatap lurus ke arah Soojung yang tengah tersenyum kepadanya. Senyum Soojung masih sama, begitu cantik. Sayang, tidak ada kebahagiaan di sana. Hanya sebatas pengaburan atas kesedihan yang dirasakannya.

“Seharusnya sejak awal aku memang tidak menjeratmu dalam kedupanku, Jongin. Maafkan a….”

Bibir Soojung kembali bungkam. Kali ini bukan karena bibir Jongin. Melainkan karena jari telunjuk Jongin yang ditempelkan pada bibirnya. Jongin mengulas senyumnya saat Soojung mengerjapkan kedua matanya. Seakan terkejut dengan perlakuan yang Jongin berikan padanya.

“Jangan meminta maaf lagi,” ujar Jongin. Jemarinya kini berpindah menelusuri wajah Soojung. dari dahi, hidung, bibir, dagu. Mengabsen semuanya seakan Jongin telah lama tidak menikmati paras rupawan milik gadis-nya.

“Aku malah sangat berterimakasih karena kau mau hadir ke dalam hidupku, Soojung. Terima kasih sudah membuat hidupku berwarna. Terima kasih telah memberiku cinta yang begitu besar dan dalam. Terima kasih.”

Soojung mengigit bibirnya. Menahan diri untuk tidak terisak meski pelupuk matanya sudah terasa berat semenjak tadi.

“Jongin….”

“Jangan katakan apapun lagi,” sela Jongin segera. “Yang perlu kau lakukan hanya bersamaku. Di sisiku. Jangan tinggalkan aku. Hanya itu yang kuinginkan darimu Soojung,” lanjut Jongin sambil kembali memangut bibir Soojung.

Soojung memejamkan matanya. Menikmati setiap sentuhan bibir Jongin pada bibirnya. Ikut merasakan apa yang pemuda itu rasakan. Setiap lumatan Jongin begitu berarti baginya. Setiap gerakan bibir pemuda itu merupakan ekspresi perasaannya yang begitu dalam. Sama seperti Jongin. Soojung juga tidak mau kehilangan semua ini.

Soojung tidak mau kehilangan Jongin dan semua yang ada pada diri pemuda itu. Tetapi, apa bisa?

Jongin melepaskan tautan bibir mereka dengan napas terengah. Kembali mengulas senyum yang menjadi favorit bagi diri Soojung. “Aku mencintaimu,” bisik Jongin lembut.

Soojung mengerjap perlahan sebelum Jongin kembali mengikis jarak di antara mereka. kembali memangut bibir Soojung dan menyalurkan segenap perasaan yang dimilikinya.

Nado, saranghae, Jonginnie,” gumam Soojung di sela-sela kegiatan mereka.

Soojung mungkin tidak tahu masih dapatkah dirinya berada di sisi Jongin atau tidak. Yang dia tahu hanya yang dia inginkan. Dan itu hanya satu. Berada di sisi Jongin di sisa waktunya yang tidak banyak.

Semoga takdir memberinya waktu yang lebih panjang lagi. Semoga.

.

.

.

.

Kkkeuut

 

 

Sudah berakhir? Atau belum?

 

 

Maafkan keterlambatan Sunshine. Ada beberapa hal yang membuat diriku lama update ini. Karena ragu mungkin. Entahlah. Yang jelas, ini belum berakhir. Chapter depan adalah penutup. Jadi, silahkan tunggu dengan sabar dan kulanjutkan secepat yang diriku bisa. Terima kasih atas supportnya. Jangan lupa reviewnya.

 

Dan kalau ini gak nge-feel maafkan aku. ^^

[7/7] My Sunshine

[99th Mission] Ch 11 : Glorious Soon

$
0
0

99th mission

99th Mission

Chapter 11 : Glorious Soon.

This chapter contained adults talks. (M-rated) (for Ellin’s past)

***

Ruangan itu terkunci rapat. Ada beberapa kursi yang mengitari meja utama. SeHun duduk berhadapan dengan Jongin, disebelahnya ada Jongdae, Minseok, Chanyeol dan yang lainnya, sedangkan Byun Baekhyun tidak bisa diam, berputar-putar dan mondar-mandir di dalam ruangan itu seperti setrika, melihatnya saja bikin kepala SeHun pusing.

“Mereka memiliki titik kelemahan. Berada di bagian utara dari gedung, ada sebuah terowongan yang kelihatannya sama sekali tidak dijaga, menurutku, terowongan itu lepas dari pengetahuan mereka.” Chanyeol berkata, ia menggeser slide persentasinya dan projektornya menampilkan peta wilayah pulau pribadi milik mafia itu.

“Jika kita membuat basecamp di dekat sana secara diam-diam dan menyerang lewat sana, kurasa itu bisa.” Usul Minseok.

Jongin mengiyakan ia menunjuk-nunjuk satu titik pada proyeksi cahaya yang jatuh di layar, “Ada ladang ganja di sebelah sini, kita bisa mendirikan base camp di sana. Menurutku titik itu cukup lemah.”

Baekhyun memainkan jarinya sembari tetap mondar-mandir, seolah-olah dengan itu dia bisa mendapatkan ide yang brilian. Sebelum akhirnya dia menjentikkan jarinya dengan ekspresi bersemangat, “Ya, kurasa seperti yang kau katakan, Kai. Aku rasa kita bisa memanfaatkan celah itu. Tapi tidak seluruh dari kita pergi kesana. Aku ingin mengirimmu terlebih dahulu, Kai, dengan Chanyeol. Aku akan memberi kalian duapuluh lima orang pasukan untuk mendirikan base camp. Aku akan datang membawa limapuluh pasukan lagi empat hari kemudian, keesokan harinya kita lakukan penyerangan. Jongdae dan Minseok, kalian memimpin pengepungan gedung dari jarak dekat, kuberi kalian seratus pasukan untuk mengalihkan perhatian. Kami akan masuk melalui terowongan itu.”

“Lalu aku?” Sehun bertanya.

“Kau datang juga di hari penyerangan. Kuberi kau duapuluh pasukan. Masuk setelah mereka porak poranda. Kau temukan Kang Jinseok pada saat itu, dan kuasamu adalah mengeksekusinya.”

Semua orang setuju, kelihatannya cukup suka ide itu.

***

Mendirikan basecamp dadakan di tengah-tengah ladang ganja bukanlah suatu hal yang sering dilakukan Jongin. Bahkan barangkali itu pengalaman pertamanya.

Ia sudah berhasil membuat semua pasukan bekerja dengan cepat serta dengan mudah mendobrak pintu masuk ke dalam saluran atau goa terserah yang mereka temukan beberapa hari lalu. Ia cukup ingat betapa dekat nasibnya dengan kematian. Sejak setuju masuk akademi, ia tahu ia bakal sering hidup dalam kondisi seperti itu, mempertanyakan nasib baik kalau-kalau besok mereka masih bernapas atau tidak dan ya, apalah.

Tidak ada hal buruk yang terjadi selama ini, semua hal ada tepat di kakinya, dalam pengawasannya.

“Jadi, Jongin, semuanya baik-baik saja?” Baekhyun, si lelaki pendek itu mulai bicara dengannya, suaranya seperti kantung plastik yang dirobek gara-gara mereka bicara via HT.

“Ya, segera datang dan bawa penyerang-penyerangmu, Byun. Aku benci berada di tempat penuh ganja.”

Jongin menghela napas.

***

“Aku percaya Zhang Yixing.”

Ellin menggeleng. SeHun mengerutkan dahinya, ia yakin sepenuhnya kalau ia bisa mempercayai Zhang Yixing untuk menjaga Ellin. Yixing adalah dokter terbaik dan oke, bisa dibilang, teman SeHun sejak lama sekali. Ia tahu jika ada dokter yang harus dipercayainya, Yixing lah orang itu.

“Tuan SeHun, apa kau percaya semua rekanmu?” Ellin tiba-tiba bertanya, matanya menerawang ke langit-langit, menimbulkan kerutan yang lebih besar di dahi SeHun.

“Kau mencurigainya?”

Ellin mengangguk. “Aku baru bertemu dengannya. Tapi…”

“Tapi?”

Ellin menghela napas berat. “Ada sesuatu tentangnya. Hal yang aneh di matanya.” Ellin menjeda. “Inilah waktunya. Selama ini sudah kukumpulkan semua keberanianku, Tuan SeHun. Aku selama ini tidak tahu apa-apa, aku terjebak pada sebuah dunia di suatu waktu. Pikiranku terhenti. Aku dulu hanya mainan, Tuan SeHun.” wajah Ellin sangat ketakutan. Ia seolah-olah sedang menyakiti dirinya sendiri. SeHun ingin memeluknya, mengatakan pada Ellin untuk tidak usah mengatakan apapun. Tapi dia tahu dia harus mendengarkan. Sesuatu dalam dirinya memberitahunya untuk mendengarkan.

“Aku rasa akan tiba pada suatu waktu ketika aku harus memberitahumu segalanya, tentang siapa sebenarnya aku.”

SeHun hanya memandangnya, hatinya sudah remuk melihat kondisi Ellin sekarang, gadis itu bahkan terlihat akan hancur dengan sekali sentuh. Namun Sehun tetap diam, sembari menunggu gadis yang terlihat tertekan itu melanjutkan bicaranya.

“Banyak hal, terlalu banyak hal yang membuatku takut. Aku tahu kau akan jijik padaku setelah ini Tuan SeHun. Tapi ini perlu. Aku tidak punya ingatan apapun sebelum Bos menemukanku. Ingatanku dimulai dari hari dimana dia membawaku ke sebuah kamar, membantingku, dan kau tahu apa yang dilakukan seorang bos besar sepertinya pada gadis sepertiku. Dia menganggapku cantik, aku ini boneka barbie yang jadi mainannya.”

“Dia melakukan hal itu dia rasa dia butuh aku. Aku cuma bisa pasrah. Aku selalu dirundung ketakutan. Dia tidak pernah mengizinkanku mengenakan selembar kainpun untuk menutupi tubuhku. Karena dia bilang, aku cantik dengan menjadi seperti itu.”

“Semuanya berubah setelah kau menemukanku, Tuan SeHun. Kau benar-benar menjadi cahaya bagi kehidupanku. Kau adalah lelaki terbaik yang pernah kutemui. Aku sangat membutuhkanmu, Tuan SeHun.”

SeHun melihat kehangatan itu ada di mata Ellin. Itu membuatnya kacau dalam sepersekian detik.

“Dan kau tahu kenapa aku sangat takut pada dokter Seo Chaeri?”

“Karena dia bagian dari mereka. Dia menyiksaku. Dia yang bertanggung jawab memberiku makan tapi yang dia lakukan adalah makan tepat di depanku. Tanpa memberiku apapun. Kadang dia akan memberiku sedikit, sangat sedikit. Dia kadang menyiramku dengan air es ketika aku kedinginan dan….” Ellin menangis. SeHun sudah hampir kehilangan kendali akan dirinya.

“Maafkan aku baru mengatakannya sekarang. Ini butuh waktu bagiku, dan….”

SeHun tidak mampu mendengar lebih banyak lagi.

SeHun menghentikan pembicaraan gadis itu dan mencium bibirnya, SeHun kemudian melepaskan ciumannya dan menaruh dahinya pada milik gadis itu. “Cukup, jangan katakan apapun lagi.” Bisik SeHun, “Kau sudah melewati terlalu banyak hal. Terimakasih.”

Gadis itu mengangguk patuh.

Dan SeHun tahu dia harus menghubungi Baekhyun. Sekarang juga.

Namun sial, Baekhyun tidak pernah menjawab panggilannya. Pun Jongin. Pun Chanyeol.

SeHun punya firasat buruk soal itu.

***

Baekhyun paling benci prajurit yang tidak setia, penghianat, mata-mata, dan sebagainya.

Dan kini Baekhyun sadar kalau dia sudah dikhianati.

Setelah melihat banyak pasukannya tergelempar, beberapa sekarat, beberapa mati, dan lengan jongin yang terkena tembakan. Ia tahu pasti ada yang tidak beres. Setahunya rencana kali ini harusnya berjalan dengan mulus, kecuali jika seseorang telah memberitahu pihak musuh kelemahan mereka. Karena setelah berhasil masuk ke dalam lorong gila yang ditemukan Jongin, awalnya dia cukup percaya diri mereka akan baik-baik saja karena tempat itu memang terlihat tidak pernah digunakan selama ratusan tahun. Namun setelah setengah jam berjalan, hal-hal yang tidak diharapkan mulai muncul.

Musuh telah awas, mereka telah menanti Baekhyun dengan jumlah pasukan lima kali lipat, satu lawan lima ketika pistol yang dipegang bukanlah hal yang mudah. Pihak lawan tidak meremehkan mereka, tapi itu berarti mereka terlalu kuat.

Baekhyun ingin bunuh diri ketika melihat Jongin tertembak, tetapi anak itu masih hidup dan Baekhyun tidak boleh mati karena nyawanya adalah nyawa banyak orang. Dia adalah otak di sini, dia harus hidup bagaimanapun caranya.

Mendedikasikan hidup bagi bangsa? HAH! PERSETAN! Apakah itu yang Baekhyun mau? Setahu Baekhyun, ia tidak sepatriotisme itu, ia cuma berhasil sampai sekarang karena otak cerdasnya, dan ia butuh uang, disamping itu, rekan-rekan kerjanya, anak buahnya, mereka semua berubah menjadi berarti bagi Baekhyun. Itu sebabnya ia tidak ingin mereka gagal. Ia tidak mau kehilangan teman. Persetan dengan negara, ia juga benci Lu Han telah pergi karena musuh yang mereka hadapi. Dan satu hal yang Baekhyun tau, dia harus selamat.

Betis Baekhyun tertembak, dia bersumpah ia tidak merasakan rasa sakitnya lagi. Dan pelurunya melesat ke segala arah, jika beruntung, benda itu akan melukai musuh.

Baekhyun berusaha tenang, ia berusaha melupakan jeritan-jeritan yang terjadi disekitarnya. Ia mengambil pistol salah satu prajurit yang jatuh dan melarikan diri. Ia harus hidup. Ia adalah otak mereka. Ia harus hidup, bukan untuk dirinya sendiri, tapi kawan-kawannya membutuhkannya. Ia cukup lega ketika Jongin dan Chanyeol mengikutinya, berlari kesetanan sembari menghindar sebisanya. Sulit dilakukan ketika kaki Baekhyun rasanya mau putus.

Ia tahu ia harus melewati banyak hal, ketika ia sampai di mana terowongan itu membawanya ke dalam lantai paling bawah markas besar mafia, Baekhyun harus melihat kejadian yang membuatnya kehilangan separuh nyawanya sendiri. Chanyeol yang berlari tanpa memperhatikan, menginjak sebuah ranjau dan hancur bersamanya, lelaki itu putus kaki dan tangannya.

Baekhyun menjerit.

Ia berusaha menahan diri untuk tetap di tempat dan berpikir jernih, ia harus menarik lengan Jongin yang tidak tertembak untuk mencegahnya berlari menuju rekan mereka yang sudah tergeletak. Kepalanya menggeleng-geleng, “Jongin, kau harus hidup. Kita masih dibutuhkan.” Lirih Baekhyun.

Jongin terlihat putus asa. Pun tak jauh beda dengan Baekhyun sendiri. Ia sama putus asanya.

“Kita terluka. Kehilangan semua prajurit kita. Chanyeol … dia ….”

“Kita masih punya SeHun, oke? Dia dalam perjalanan ke sini, aku akan memperingatinya untuk membawa lebih banyak pasukan. Dan yang kita harus lakukan adalah duduk, berpikir jernih dan membangun rencana baru, oke?” Baekhyun berusaha menenangkan Jongin. Dan barangkali dirinya sendiri.

***

Berhasil memperingati SeHun yang berotak dingin, Baekhyun terkapar kehilangan tenaga. Juga darah. Badannya rasanya remuk semua. Kiranya tak jauh beda dengan Jongin yang terlihat pucat pasi.

SeHun tidak panik, Bahkan ketika Baekhyun memberitahunya soal Chanyeol. Bukan berarti lelaki itu tak punya hati. Baekhyun tahu SeHun selalu seperti ini selama misi. Ia akan merenungi segala kehilangannya setelah misi usai, tapi Baekhyun tau benar SeHun, lelaki itu tidak akan kacau dan panik dalam misi.

Karena SeHun lah harapan terakhirnya.

Setelah Baekhyun sadar betul kalau dirinya melakukan penyelamatan diri yang nyaris tidak berguna. Dirinya sama sekali tidak lagi bisa menjadi otak setelah mengalami kehilangan, dan kesadaran yang diambil sedikit demi sedikit karena luka tembak di betisnya.

Dan itulah saat dimana beberapa para mafia berengsek itu mencapai mereka, dengan senyuman miring sembari mengarahkan moncong pistolnya pada Baekhyun yang sudah tak berdaya.

Shot.

Pistol ditembak. Dan Baekhyun indera Baekhyun tak lagi menangkap apapun kecuali cahaya putih yang perlahan menghilang bersamaan dengan jeritan Jongin yang putus asa.

***

SeHun berusaha tidak menangis seperti anak kecil ketika mendengar Chanyeol telah gugur. Dirinya sudah berusaha mendinginkan kepalanya untuk tidak berteriak-teriak ketika kesulitan untuk menghungi Byun Baekhyun dengan segala cara hanya untuk kemudian mendapat panggilan balik ketika dirinya harus mendengar kabar yang sama sekali dia tidak inginkan.

Ia bersumpah ia akan mencekik Seo Chaeri yang telah menipu mereka semua.

Tapi kali itu, ia berhasil dengan kepala dingin untuk meminta bantuan prajurit dari tempat lain dan berhasil mengumpulkan total dua ratus pasukan bersamanya untuk mengawal. Pasukan itu dengan segera menyusul kapal yang telah ditumpangi SeHun.

SeHun berusaha menenangkan pikirannya dari segala hal.

Ia akan menang.

***

Jongin terbangun ketika dia merasa sedang diseret ke suatu tempat.

Dan ia mulai mendapatkan seluruh kesadarannya, kemudian ia mengumpulkan segala hal yang bisa dia dapat. Sebuah tempat tak beratap, lantai yang hanya berupa semen, ketinggian. Dan ia akhirnya menyimpulkan bahwa ia sedang berada di lantai teratas bangunan besar markas mafia sialan itu.

Dan ketika tubuh tidak berdayanya dihempaskan ke tanah, yang pertama kali menyambutnya adalah wajah sombong Kang Jinseok.

Jongin meludah ketika mendengar Kang Jinseok tertawa kesetanan, seolah sudah memenangkan segalanya. Tapi Jongin tahu SeHun lebih cerdas dari lelaki gila itu. Mereka akan selamat. Itu. Pasti.

“Kau masih berani meludah?”

“Tidak boleh?”

Kang Jinseok tertawa sekali lagi, Jongin membiarkannya, bertanya-tanya kapankan lelaki itu akhirnya sadar kalau SeHun sebentar lagi akan menancapkan peluru ke kepalanya.

Sampai Jongin menyadari ada seseorang yang berdiri di belakang Jinseok.

Seo Chaeri.

Gadis itu memakai pakaian serba hitam, rambut panjangnya di ikat ke belakang, kedua matanya tegas, dan tangannya memegang pistol dengan tenang.

Jongin shock di tempat. Kang Jinseok tersenyum sebelah.

***

Sorry for taking so long (as always)

I’ll end this story as soon as possible. I hope i have the time. Because being a highschool girl makes my life busier.

[2] - Another Star

$
0
0

req-zulfa-another-star1

Ini adalah kisah kecil tentang mimpi, tentang musik, tentang persahabatan, tentang keluarga, tentang kehilangan, dan tentang menemukan. Tentang Krystal, Jongin, Kyungsoo, Suzy, dan Sohyun yang berbagi kisah tentang mimpi mereka yang tertunda.

ANOTHER STAR

by zulfhania || Main cast(s): Krystal Jung [F(x)], Kim Jongin [EXO], Do Kyungsoo [EXO], Bae Suzy [Miss-A], Kim Sohyun [Actress] || Support cast(s): Byun Baekhyun [EXO], Bae Irene [Red Velvet], Kim Taeyeon [SNSD], Jessica Jung [Ex-SNSD], Kim Taehyung [BTS], Kim Myungsoo [Infinite], and others || Genre: School-life, Friendship, Family, Romance, Musical || Rating: PG-15 || Length: Multichapter

Poster by Laykim @ Indo Fanfiction Arts

A/N: Fanfic ini terinspirasi dari Drama Korea Dream High dan Monstar. Ini adalah fanfic lama yang ditulis ulang dengan beberapa perubahan. Semoga tulisan ini bermanfaat dan kalian bisa mendengarkan musik yang bermain di dalamnya :)

Previous: [Intro] | [1]

∴ Genie High School, Kelas 1-3, dan Empat Murid Bermasalah ∴

“Cepat keluarkan buku tugas sejarah kalian!”

Sepertinya tidak ada yang mendengar suara bentakan seorang perempuan berponi yang kini berdiri di muka kelas. Oh, entahlah. Sepertinya kelas tersebut pun tidak bisa dikatakan kelas, melihat bagaimana ricuhnya para murid kelas satu yang berada di dalam. Seperti pasar. Suara orang-orang berbicara, berteriak, dan tertawa bercampur menjadi satu suara. Berisik.

Suzy—perempuan berponi yang berdiri di muka kelas memperhatikan teman-teman sekelasnya dengan tatapan kesal. Ia meniup poninya dengan hembusan yang keras, mempersiapkan diri untuk mengeluarkan seluruh tenaganya, lalu memukul-mukul tangannya pada permukaan meja guru di muka kelas. Demi mendapatkan sedikit perhatian dari teman-teman sekelasnya.

“Teman-teman, keluarkan buku tugas sejarah kalian!” teriaknya lagi. Kali ini dengan suara yang lebih keras. Tetapi teman-teman sekelasnya masih tidak mempedulikan teriakannya.

Ia baru saja ingin berteriak kembali ketika seorang laki-laki berkulit tan masuk ke dalam kelas dan berteriak sambil menunjukkan wajah menyenangkannya. Membuat seisi kelas mendadak terdiam.

“Selamat pagi, kelas 1-3! Hari pengumpulan tugas sejarah sudah tiba!” Laki-laki itu berjalan mendekati Suzy, melambaikan tangan sekilas pada perempuan itu, lalu berdiri di balik meja guru setelah mendorong bahu perempuan itu untuk memberi sedikit ruang untuknya dan mengedarkan pandangannya pada teman-teman sekelasnya. “Saatnya mengumpulkan buku tugas kalian ke depan. Se-ka-rang!” katanya dengan intonasi titik. Sekilas ia melemparkan cengiran pada Suzy. Yang kemudian hanya dibalas dengan dengusan oleh perempuan itu.

Sebagian teman-teman sekelasnya mengeluh panjang. Tetapi mereka menuruti juga perintah laki-laki itu dan mengumpulkan buku tugas mereka ke meja guru di muka kelas.

“Lagi-lagi kau melakukannya, Kim Jongin,” kata Suzy pada laki-laki berkulit tan itu sambil menghitung jumlah buku tugas yang sudah dikumpulkan seluruh teman sekelasnya.

“Aku hanya menjalankan tugasku sebagai wakil ketua kelas untuk membantu ketua kelas,” kata Jongin tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang putih pada Suzy. “Bukankah seharusnya kau berterimakasih padaku?”

Suzy mendengus. “You wish!”

“Terimakasih kembali,” balas Jongin.

Jongin memperhatikan Suzy yang masih menghitung jumlah buku tugas sejarah teman-temannya di atas meja dengan mimik tanpa ekspresi. Sebenarnya perempuan itu cantik, kalau saja ia tersenyum. Sayangnya, perempuan itu jarang sekali tersenyum dan lebih sering menampilkan mimik tanpa ekspresi yang justru malah membuat teman-teman sekelasnya tidak menyukai perempuan itu dan jarang mendengarkan perintahnya.

“Lain kali tersenyumlah dan katakanlah secara baik-baik saat kau meminta mereka untuk mengumpulkan tugas. Hal itu akan lebih membantumu, Suzy,” kata Jongin kemudian.

Lagi-lagi Suzy mendengus. “Tidak usah memberiku nasihat.”

Jongin mengangkat bahu. “Anggap saja itu bukan nasihat.”

Suzy tidak menyahut. Karena air mukanya seketika berubah setelah selesai menghitung jumlah buku tugas teman-temannya. Ia mengangkat kepala dan kembali mengedarkan pandangannya pada teman-teman sekelasnya.

“Ada yang belum mengumpulkan buku tugas?” tanyanya.

Jongin juga mengedarkan pandangannya pada teman-teman sekelasnya, namun satu pun dari mereka tidak ada yang mengangkat tangan. Ia kembali menoleh pada Suzy yang kini menghitung ulang jumlah bukunya.

“Ada yang kurang?” tanyanya pada Suzy.

“Kurang dua buku,” jawab Suzy sambil menghitung ulang buku di atas meja guru dengan wajah panik. Panik adalah kebiasaan yang Suzy lakukan apabila ia merasa pekerjaannya kurang sempurna. “Aduh, bagaimana kalau Guru Jung datang? Bisa mati aku.”

“Memangnya ada apa dengan Guru Jung?”

“Kalau sampai Guru Jung datang ke kelas kita untuk mengajar pelajaran kesenian, aku tidak bisa mengumpulkan buku tugas sejarah ini pada Guru Shin. Guru Shin memintaku untuk mengumpulkannya sebelum pelajaran pertama dimulai.”

“Oh, jadi pelajaran pertama adalah kesenian,” gumam Jongin. Ia memang seringkali lupa dengan jadwal pelajarannya sendiri.

“Iya. Dan dua orang belum mengumpulkan buku tugas sejarah yang seharusnya dikumpulkan sebelum pelajaran kesenian dimulai,” kata Suzy. Namun kemudian ia tertegun begitu menyadari sesuatu.

Suzy menoleh pada Jongin yang juga tampak tertegun. Agaknya mereka menyadari siapa dua orang yang belum mengumpulkan buku tugas sastra.

“Kyungsoo dan Sohyun!” ucap mereka berdua serempak.

* * *

Di sebelah utara perempatan lampu merah, di taman kanak-kanak yang tampak ramai sekali, seorang perempuan berkacamata dengan mengenakan seragam sekolah Genie High School duduk termenung di salah satu bangku. Suara anak-anak kecil yang berteriak, tertawa, berlari, dan menangis menjadi backsound untuk keterdiamannya. Ia sama sekali tidak terganggu dengan keberisikan itu karena saat ini tatapannya hanya tertuju pada ponsel di tangannya, berpikir apakah ia akan mengirim pesan pada orang itu atau tidak.

Beberapa saat kemudian, ia menemukan dirinya mengetik sebuah pesan untuk orang itu. Dibacanya sekali lagi sebelum ia mengirim pesan tersebut. Biarkanlah, mau dibalas atau tidak oleh orang itu, pokoknya ia telah mengabarkannya.

Sementara itu, tak jauh dari sana, Porsche Panamera S hitam melaju dengan kecepatan standar di jalanan ibukota. Seorang laki-laki berseragam sekolah Genie High School duduk di bangku tengah dengan earphone terpasang di kedua telinganya, melantunkan lagu yang tak ia ketahui judul dan penyanyinya. Tatapan matanya mengarah ke luar jendela mobil, memperhatikan jalanan. Guratan wajahnya tampak begitu kebas, pertanda ia tidak pernah tersenyum.

Di depannya, dua laki-laki bersetelan jas serta celana hitam yang tampaknya berusia di pertengahan kepala dua duduk di balik kemudi dan di balik dasbor. Laki-laki yang duduk di balik kemudi mobil hanya fokus mengemudi, sementara laki-laki yang duduk di balik dasbor fokus mengamati anak majikannya yang duduk di belakang lewat kaca spion depan. Guratan kedua wajah laki-laki itu juga tampak begitu kebas, pertanda mereka tidak pernah tersenyum.

Laki-laki berseragam sekolah itu merasakan ponselnya bergetar. Ia merogoh saku celananya dan menemukan sebuah pesan singkat yang baru saja masuk ke ponselnya.

Do Kyungsoo, kau dimana? Kau tidak akan datang ke kelas kesenian, kan? Aku di perempatan lampu merah dekat sekolah sekarang.

Laki-laki itu mendengus setelah membacanya. Berani sekali perempuan itu mengirim pesan padanya. Ia bermaksud untuk tidak menghiraukan pesan itu, maka dari itu ia memasukkannya kembali ke saku celana.

Lampu merah menyala. Mobil yang dinaiki Kyungsoo—laki-laki itu berhenti tepat di depan taman kanak-kanak yang dipenuhi anak-anak kecil. Kyungsoo memperhatikan anak-anak kecil yang sedang asyik bermain itu dengan tatapan iri. Tampaknya bahagia sekali menjadi anak-anak kecil itu. Bebas. Tidak terikat. Dapat bermain apapun yang mereka inginkan disana. Tidak seperti dirinya, yang hidup dengan penuh kekangan.

Mata Kyungsoo menyipit begitu melihat seorang perempuan berseragam sekolah yang sama dengannya duduk di salah satu bangku di depan taman kanak-kanak. Wajah perempuan itu memang tidak begitu terlihat karena terhalang oleh anak-anak rambutnya, ditambah lagi perempuan itu sedang menundukkan kepala. Tetapi Kyungsoo mengenali perempuan itu.

Lampu hijau menyala. Mobil kembali melaju. Kyungsoo masih memperhatikan perempuan itu sampai akhirnya perempuan itu tidak terlihat lagi olehnya. Setelah beberapa saat berpikir, ia kembali merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel. Membalas pesan yang beberapa menit lalu ia terima.

Kalau kau ingin membolos, jangan bersembunyi di taman. Kau akan memperburuk nama sekolah kita dengan seragam Genie High School yang kau pakai, Kim Sohyun.

Begitu pesan terkirim, Kyungsoo malah mengutuk dirinya sendiri karena telah membalas pesan itu. Ia baru saja hendak mematikan ponselnya agar perempuan itu tidak menghubunginya lagi, ketika sebuah pesan kembali masuk ke ponselnya. Kyungsoo tertegun. Cepat sekali membalasnya.

Tetapi kau tidak akan masuk kelas, kan?

Kyungsoo terdiam. Tidak tahu akan membalas apa.

“Sudah sampai, Tuan Muda,” ujar salah satu pria di depan setelah mobil berhenti di depan gerbang sekolah dengan ukiran Genie High School di atasnya.

Kyungsoo menyimpan ponselnya kembali ke saku celana tanpa membalas pesan dari Sohyun. Ia keluar dari mobil dan berjalan masuk ke sekolahnya. Ia baru saja berniat akan membolos dan pergi ke perpustakaan ketika ia mendengar suara di belakangnya.

“Do Kyungsoo, apakah kau akan membolos pelajaranku lagi pagi ini?”

Kyungsoo berbalik dan menemukan Jessica, guru kesenian di kelasnya, berdiri tak jauh di depannya sambil menatapnya dengan tatapan penuh selidik. Di sebelah guru wanita itu, seorang perempuan berambut panjang dengan mengenakan seragam sekolah yang berbeda dengannya menatapnya dengan tatapan tanpa ekspresi. Dan Kyungsoo tertegun melihatnya.

* * *

Sebuah bus kota sarat penumpang berhenti di halte, di depan sekolah. Beberapa murid berseragam sekolah Genie High School turun dari bus dan segera menghambur masuk ke sekolahnya. Krystal—satu-satunya murid yang berseragam berbeda dengan murid lainnya juga turun dari bus bersama Jessica. Ia mengekor langkah Jessica memasuki sekolah barunya, Genie High School.

Sebenarnya Krystal masih setengah hati untuk pindah ke sekolah tersebut. Bahkan ia belum membeli seragam sekolah tersebut dan masih mengenakan seragam Victory Academy. Ia tidak memintanya pada Jessica karena apabila ia meminta maka ibunya itu akan berpikir kalau ia sudah benar-benar siap untuk pindah sekolah. Maka dari itu ia tidak memintanya dan tetap mengenakan seragam Victory Academy meskipun statusnya kini berubah menjadi murid Genie High School. Ia tidak berbicara sepatah katapun pada Jessica sejak berangkat dari rumah dan tetap mendiamkan Jessica selama perjalanan menuju ke sekolah. Jessica pun tampaknya mengerti kalau anaknya tidak ingin berbicara padanya. Bahkan sepertinya ia tahu kalau Krystal masih setengah hati untuk pindah ke sekolah dimana tempat ia mengajar, maka dari itu ia membiarkan Krystal tetap mengenakan seragam Victory Academy. Biarkanlah untuk seharian ini putrinya mengenakan seragam sekolah lamanya.

Krystal melangkah melewati gerbang Genie High School dan menemukan halaman depan sekolah yang luas. Di sebelah kanan ada lapangan olahraga yang bisa dipakai untuk bermain futsal, basket, voli, tenis, dan bulutangkis sekaligus. Di sebelah kiri ada lapangan rumput yang luas yang bisa dipakai untuk bermain bola sepak, kasti, dan bahkan lapangan upacara. Jalan setapak yang lumayan lebar membentang dari gerbang sekolah sampai pintu masuk gedung sekolah di depan sana. Sebagai sekolah biasa (bukan sekolah musik seperti Victory Academy) yang kata Jessica harganya tidak terlalu mahal, sekolah ini tergolong sangat mewah. Tetapi bukan berarti Krystal langsung menyukai sekolah ini.

“Do Kyungsoo, apakah kau akan membolos pelajaranku lagi pagi ini?”

Krystal mendengar Jessica tiba-tiba saja berbicara. Krystal menoleh pada Jessica dan melihat ibunya itu berbicara pada seorang murid laki-laki yang berdiri membelakanginya tak jauh di depannya. Laki-laki itu berbalik, lalu tatapannya tak sengaja bertemu dengan Krystal.

Entah perasaan Krystal saja atau bukan, tetapi Krystal melihat laki-laki itu tampak terkejut begitu tatapannya bertemu dengannya. Mata bulat laki-laki itu semakin membulat selama beberapa detik menampilkan ekspresi tertegun saat melihatnya. Tetapi Krystal mengenyahkan pikiran itu dan menganggap kalau laki-laki itu terkejut karena ditegur oleh Jessica. Mungkin Jessica adalah guru di kelasnya.

Jessica melangkah mendekati Kyungsoo yang hanya diam saja.

“Pelajaran pertama sebentar lagi akan dimulai. Masuklah ke kelas sekarang,” perintah Jessica.

“Ya,” Kyungsoo menjawab singkat dengan dingin, lalu berbalik. Baiklah, mungkin hari ini ia memang tidak diperbolehkan untuk membolos pelajaran kesenian. Belum sempat ia melangkahkan kakinya, ia mendengar Jessica kembali memanggil namanya.

Kyungsoo kembali berbalik. Tetapi ia malah melihat Jessica berbalik menghampiri perempuan berambut panjang yang sempat teracuhkan tak jauh di belakang, menarik tangan perempuan itu yang tampak malas-malasan untuk mendekatinya, lalu melepaskannya kembali setelah berhenti di depan Kyungsoo.

“Perempuan ini adalah murid baru di kelasmu, pindahan dari Victory Academy. Pergilah ke kelas bersamanya. Ibu akan pergi ke kantor dulu untuk mengambil buku kehadiran,” kata Jessica pada Kyungsoo.

Krystal mendelik pada Jessica. “Bukankah seharusnya aku mengurus administrasi dulu?”

“Ibu sudah mengurusnya beberapa hari kemarin. Kau ditempatkan di kelas 1-3, kelas yang sama dengan Kyungsoo. Jadi pergilah bersamanya,” kata Jessica sebelum berlalu pergi menuju kantornya.

Krystal melihat laki-laki bernama Kyungsoo itu hanya diam, lebih tepatnya memandanginya dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan yang sulit didefinisikan. Oh, Krystal benci tatapan itu. Seperti tatapan mengintimidasi, tetapi lebih tajam daripada itu. Ah, entahlah. Krystal tak ingin memikirkannya.

Tetapi kalau dilihat-lihat, tampaknya laki-laki itu adalah laki-laki urakan. Dilihat dari bagaimana laki-laki itu tidak mengancingkan kemeja seragamnya dan membiarkan kaos hitam bergambar tengkorak dengan tulisan ‘Bad Boy’ di bawahnya mengintip ke luar kemeja. Sungguh penampilan yang berantakan. Wajahnya juga kebas, tidak menunjukkan ekspresi apapun, pertanda tidak ingin diganggu. Tatapannya menyeramkan dan dingin, seolah di keningnya tercetak dengan jelas tulisan ‘Kalau kau masih ingin hidup, jangan dekat-dekat denganku!’.

“Hey, tunggu!” Krystal lantas berlari mengejar Kyungsoo ketika laki-laki itu tiba-tiba saja melangkahkan kaki meninggalkannya. Setelah langkahnya sejajar dengan laki-laki itu, ia menoleh dan memberikan tatapan memicing. “Kenapa kau meninggalkanku?”

“Kau lama,” jawab Kyungsoo singkat. Suaranya terdengar dingin. Ia lalu menoleh pada Krystal yang hanya berjarak beberepa senti darinya dan memberikannya tatapan tidak suka. “Dan jangan berdiri dekat-dekat denganku. Menjauhlah satu meter.”

Krystal tak kuasa menahan rasa jengkel melihat sikap dingin dan tak acuh laki-laki itu padanya. Benar, kan, apa yang ia pikirkan tadi? Sudah tercetak jelas di keningnya kalau laki-laki itu tidak suka didekati oleh siapapun. Sambil menggerutu, Krystal menyingkir satu meter ke samping, memberikan jarak di antara mereka.

Tidak ada yang berbicara lagi setelah itu. Krystal dan Kyungsoo melangkah dalam diam. Perlu waktu lima menit untuk Krystal berjalan bersama laki-laki itu sampai akhirnya ia melihat plang kelas 1-3 di atas pintu tak jauh di depannya. Dan percayalah, ini adalah lima menit terlama sekaligus membosankan yang pernah ia lewati selama enambelas tahun hidup di dunia.

Baru saja Krystal sampai di depan kelas barunya, seorang perempuan dan seorang laki-laki keluar dari kelas tersebut dengan membawa setumpuk buku di tangan si laki-laki. Tatapan kedua orang itu kemudian berubah terkejut begitu menyadari kehadirannya dan juga Kyungsoo.

Ada beberapa detik keneningan yang terasa ganjil bagi Krystal yang terjadi di antara mereka berempat sebelum perempuan berponi itu mengeluarkan suaranya.

“Kyungsoo, kau belum mengumpulkan buku tugas sejarah. Keluarkan bukumu sekarang!” ucapnya dengan suara yang tidak terdengar ramah sama sekali.

“Biarkan aku duduk dulu,” kata Kyungsoo dingin, lalu hendak melangkah masuk ke dalam kelas. Namun langkahnya terhenti ketika laki-laki berkulit tan yang berdiri di sebelah perempuan berponi itu menghalangi langkah Kyungsoo.

Kyungsoo mengangkat kepala dan melihat laki-laki itu menatapnya dengan tatapan menusuk. “Kalau ketua kelas menyuruhmu melakukannya sekarang, lakukanlah sekarang, Do Kyungsoo!” ucap laki-laki itu dengan suara rendah yang terdengar tajam.

Kyungsoo balas menatap tatapan itu dengan tatapan tanpa ekspresi yang justru malah terlihat menyeramkan. Krystal melihat kedua laki-laki di depannya dengan ekspresi heran. Dilihat dari bagaimana kedua laki-laki itu saling menatap, tampaknya ada sesuatu yang tersembunyi yang terjadi di antara mereka. Seperti… saling membenci.

Setelah beberapa detik, Kyungsoo akhirnya menyerah. Ia menurunkan ransel dari punggungnya dan mengeluarkan sebuah buku, lalu memberikannya pada laki-laki itu dengan cara yang kasar; menghempaskan buku di tangannya ke dada laki-laki itu hingga laki-laki itu agak terdorong ke belakang, sementara buku itu malah terjatuh ke lantai. Krystal cukup terkejut dengan perlakuan Kyungsoo.

“Puas?” tanya Kyungsoo dingin, lalu beranjak masuk ke dalam. Sebelum benar-benar masuk ke dalam, ia mengedikkan pandangannya pada Krystal dengan mimik tanpa ekspresi. “Dia murid baru.”

Perempuan berponi itu mendengus setelah Kyungsoo masuk ke dalam. “Menyebalkan!” ia lalu membungkuk, mengambil buku milik Kyungsoo yang terjatuh, meletakkannya pada tumpukan buku paling atas yang dipegang oleh laki-laki berkulit tan di sebelahnya, lalu meminta laki-laki itu untuk menyerahkan tumpukan buku itu padanya. “Biar aku saja yang mengumpulkannya pada Guru Shin. Kau urusi murid baru ini.”

Krystal melihat perempuan berponi itu mengedikkan pandangan padanya. Merasa tak punya pilihan lain, laki-laki itu menyerahkan tumpukan buku pada perempuan berponi. Setelah itu, perempuan berponi meninggalkan Krystal bersama laki-laki berkulit tan itu. Krystal hanya memandangi punggung perempuan itu yang semakin menjauh dengan kening berkerut. Jutek sekali wajahnya…

“Jadi…” Krystal mendengar laki-laki berkulit tan itu bersuara, maka dari itu ia mengalihkan pandangan padanya. Dan ia cukup terkejut ketika melihat laki-laki itu menampilkan ekspresi yang ramah, tidak seperti sebelumnya saat berhadapan dengan Kyungsoo. “Kau adalah murid baru di kelasku?”

Krystal mengangguk pelan.

“Siapa namamu?” tanya laki-laki itu lagi.

“Krystal.”

“Krystal? Hm, nama yang bagus. Aku Jongin, wakil ketua kelas. Dia—perempuan yang baru saja pergi—adalah ketua kelasnya. Suzy namanya. Karena dia sedang mengumpulkan buku tugas, jadi aku yang akan mengenalkanmu pada teman-teman sekelas. Ayo, masuk!”

* * *

Suasana kelas benar-benar senyap ketika Krystal berdiri di muka kelas bersama Jongin untuk memperkenalkan diri. Krystal benar-benar merasa tak nyaman dengan tatapan teman-teman sekelasnya. Mereka semua menatapnya dengan penuh rasa takjub, tapi entah kenapa tatapan itu malah membuatnya risih. Oh, kecuali satu orang. Laki-laki berwajah kebas bernama Kyungsoo yang duduk di bangku paling belakang sama sekali tidak memberikan tatapan takjub padanya seperti teman-teman sekelas yang lain. Ia malah memandangnya dengan tatapan dingin sebelum akhirnya membuang muka ke arah lain, tidak tertarik dengan kehadiran Krystal.

“Halo. Namaku…”

“Krystal Jung, kan?” Seorang murid perempuan yang duduk di meja paling depan, tepat di depannya, menyela ucapan Krystal.

Krystal menatap perempuan itu dengan tatapan bertanya. Darimana perempuan itu tahu?

Mengerti akan tatapan Krystal, murid perempuan itu menunjuk pin nama berbentuk bintang yang tersemat di dada kiri seragam Victory Academy yang dikenakannya. “Lihat pin nama yang tersemat di dadamu, tertulis nama Krystal Jung disana. Benar, kan?”

“Pin namanya keren! Andai saja Genie High School juga membuatkan pin nama seperti itu pada murid-muridnya,” sahut murid yang lain.

“Seragamnya juga bagus sekali. Ada blazernya. Tidak seperti sekolah ini,” tambah murid yang lain.

Kemudian Krystal mendengar Jongin tertawa di sebelahnya. “Tenang saja, teman-teman. Sebentar lagi Genie High School pasti akan membuatkan blazer dan pin nama berbentuk bintang seperti Victory Academy,” kata laki-laki itu dengan mimik ceria. Krystal menyukai aura positive thinking yang dimiliki laki-laki berkulit tan itu. “Lanjutkan perkenalanmu, Krystal.”

“Kalian cukup memanggilku Krystal. Aku pindahan dari Victory Academy. Karena aku masih merasa asing disini, mohon bantuan dari kalian. Terimakasih,” Krystal membungkukkan setengah badannya.

“Kudengar di Victory Academy ada kelas yang harus diambil pada semester pertama sesuai bidang musik yang diminatinya. Kau mengambil kelas apa disana, Krystal?” Seorang murid laki-laki bertanya padanya.

“Piano,” Krystal menjawab singkat.

Entah perasaan Krystal saja atau bukan, tetapi ia melihat Kyungsoo menoleh ke arahnya dengan gerakan refleks begitu ia menjawab pertanyaan dari murid perempuan itu. Ia juga mendengar decakan kagum yang keluar dari bibir Jongin.

“Wah, hebat. Berarti kau jago bermain piano, ya?” tanya murid yang lain.

Krystal tidak menjawab.

By the way, kenapa kau pindah ke Genie High School, Krystal? Bukankah bersekolah di Victory Academy benar-benar menyenangkan? Kalau saja aku bisa bermain musik, aku pasti tidak akan pernah keluar dari sana sebelum kelulusanku,” tanya murid perempuan yang tadi.

Lagi-lagi Krystal tidak menjawab. Air mukanya berubah ketika bayangan wajah Jessica kembali hadir dalam pikirannya.

Melihat perubahan wajah Krystal, Jongin tahu kalau pertanyaan itu sulit dijawab untuk perempuan itu. Maka dari itu ia menepukkan tangan sekali, mengalihkan perhatian murid-murid sekelasnya dari Krystal padanya.

“Baiklah, sesi wawancara selesai. Krystal, kau bisa duduk di bangku kosong di ujung belakang sana.” Jongin menunjuk bangku kosong yang berjarak dua bangku di samping bangku Kyungsoo. “Pelajaran pertama adalah kesenian, jadi siapkan bukumu.”

Tepat setelah Krystal duduk di bangkunya, perempuan berponi yang Jongin bilang bernama Suzy masuk ke dalam kelas dengan wajah tanpa ekspresi dan melangkah menuju bangkunya di barisan paling depan, tepat di depan meja guru.

“Selamat pagi, kelas 1-3!”

Tiba-tiba saja seorang guru wanita masuk ke dalam. Krystal sempat bertemu pandang dengan Jessica sebelum akhirnya ia mengalihkan pandangan ke arah lain.

“Kalian sudah berkenalan dengan murid baru?” tanya Jessica setelah berdiri di balik meja guru.

“Sudah, Bu.”

“Baiklah, kalau begitu. Ibu harap kalian bisa membantunya disini.” Jessica membuka buku kehadirannya, lalu menoleh pada Suzy yang duduk tepat di depan mejanya. “Bae Suzy, siapa yang hari ini tidak hadir?”

Suzy mengedarkan pandangannya ke seisi kelas dan pandangannya terhenti pada bangku kosong yang terletak di antara Kyungsoo dan murid baru berseragam Victory Academy itu. Ia menghela napas pendek, merasa kesal karena lagi-lagi orang itu membolos pelajaran kesenian.

“Kim Sohyun, Bu.”

“Ck, lagi?!” Jessica berdecak.

Suzy mengangguk pelan. Wajahnya tidak menampilkan ekspresi apapun.

“Kau sudah pernah bicara padanya?” tanya Jessica.

Kali ini Suzy menggeleng. Tanpa ekspresi. “Belum, Bu.”

Lagi-lagi Jessica berdecak. “Kau ini bagaimana sih, Suzy? Sebagai ketua kelas seharusnya kau mengingatkan teman sekelasmu. Dia sudah membolos lebih dari 20 kali pertemuan selama semester pertama.”

Wow. Krystal menggelengkan kepalanya, merasa tidak menyangka. Ternyata begini model murid Genie High School. Kerjaannya membolos pelajaran. Benar-benar tidak terpelajar.

“Kalau sampai pekan depan dia tidak masuk lagi. Kau ajak dia untuk menghadap Ibu,” kata Jessica.

Suzy mengangguk. Wajahnya masih tidak menampilkan ekspresi apapun. “Baik, Bu.”

Setelah memberikan tanda silang pada kolom nama Kim Sohyun, Jessica menutup buku kehadiran sambil sekilas melirik ke arah Kyungsoo yang duduk di belakang. “Keluarkan buku kalian. By the way, Do Kyungsoo,” Kyungsoo mengangkat kepala dan balas menatap Jessica. “Ibu senang melihatmu hari ini tidak membolos pelajaran kesenian.”

* * *

Setelah pelajaran kesenian berakhir dan Jessica keluar dari kelas, kelas mendadak berubah ramai. Krystal melihat beberapa murid perempuan bergosip di bangkunya dengan suara keras yang benar-benar mengganggu indra pendengaran. Ada juga murid laki-laki dan perempuan yang berlarian di dalam kelas karena si murid laki-laki itu tiba-tiba saja mengambil ponsel si perempuan. Krystal malah terkejut saat melihat murid laki-laki yang lain naik ke atas meja guru lalu berjoget tidak jelas dengan gerakan erotis yang sungguh membuat mata Krystal pedih melihatnya, tetapi teman-teman sekelasnya malah tertawa seakan-akan itu adalah pertunjukkan yang lucu. Oh man, kelas macam apa ini?! gerutu Krystal dalam hati. Selama enam bulan ia bersekolah di Victory Academy, ia tidak pernah bertemu dengan orang-orang gila macam mereka.

Pintu kelas terbuka. Kelas mendadak hening. Seisi kelas menolehkan kepala ke arah pintu, termasuk Krystal, dan menemukan seorang murid perempuan berkacamata berdiri di bingkai pintu kelas dengan tangan memegang handel pintu. Demi Tuhan, perempuan itu baru datang?! Krystal lebih terkejut dengan kenyataan yang satu itu. Murid-murid Victory Academy tidak pernah datang telat ke sekolah karena mereka memiliki disiplin waktu yang telah ditanamkan pada dirinya masing-masing.

Perempuan itu menutup pintu dengan pelan, lalu dengan langkah ragu dan kepala tertunduk, ia melangkah menuju bangkunya. Krystal merasakan keheningan yang terasa ganjil saat perempuan itu melangkah menuju bangkunya. Sepertinya teman-teman sekelasnya memberikan tatapan tidak suka pada perempuan berkacamata itu. Terlebih ketika akhirnya sebuah suara tertahan milik Suzy menghentikan langkah perempuan itu.

Yya! Kim Sohyun!”

Suzy mengangkat kepala, menatap Sohyun dengan tatapan tajam. Perempuan berkacamata bernama Sohyun menahan napas begitu diberikan tatapan seperti itu oleh Suzy.

“Kemana saja kau selama pelajaran kesenian?” tanya Suzy tertahan.

Sohyun tidak menjawab, malah menundukkan kepalanya.

“Bisa tidak sih kau sehari saja masuk pelajaran kesenian? Guru Jung selalu memarahiku karena murid di kelas ini tidak pernah lengkap pada saat Beliau yang mengajar!” Suara Suzy meninggi.

Lagi-lagi Sohyun tidak menjawab. Ia malah semakin menundukkan kepalanya.

Kesabaran Suzy sudah habis saat melihat perempuan itu tidak menjawab pertanyaannya untuk yang kedua kalinya, maka dari itu ia berdiri dari duduknya secara mendadak sambil menggebrak meja.

Yya! Kim Sohyun! Kalau aku bertanya padamu, seharusnya kau menjawab!” bentaknya kemudian.

Krystal cukup terkejut dengan suara bentakan Suzy. Teman-teman sekelasnya pun begitu. Namun mereka memilih untuk diam dan tidak ikut campur dalam masalah mereka.

“Ma-maaf.” Hanya itulah yang diucapkan oleh perempuan berkacamata itu.

“Apakah kau hanya bisa mengatakan maaf?!” tanya Suzy, masih dengan suaranya yang meninggi. “Kalau memang kau membolos pelajaran kesenian hanya karena ingin menghindari musik, kau tak lebih dari seorang pecundang, Kim Sohyun.”

Uh-oh. Kalimat itu terdengar menyakitkan.

Perempuan berkacamata itu perlahan mengangkat kepala dan menunjukkan wajah terluka pada Suzy. “Memangnya apa urusanmu? Kenapa kau harus peduli padaku tentang hal itu?”

Kali ini Krystal terkejut dengan ucapan yang dilontarkan perempuan berkacamata itu. Perempuan itu tampak lemah, terlihat dari wajahnya yang mengundang rasa prihatin bagi siapapun yang melihatnya. Bahkan ia terlihat takut saat berdiri berhadapan dengan Suzy, tetapi perempuan itu malah menantang Suzy dengan ucapan yang dilontarkannya barusan.

“Ck, siapa juga yang peduli padamu.” Suzy membuang muka, lalu kembali menoleh pada Sohyun sambil menggebrak meja. “Tapi aku adalah ketua kelasmu, bodoh! Gara-gara kau bolos pelajaran kesenian, Guru Jung memarahiku lagi!”

Jongin yang sedari tadi hanya diam bergerak maju mendekati Suzy dan Sohyun, hendak melerai keduanya. Namun tiba-tiba saja sebuah suara bentakan sekaligus dobrakan meja yang berasal dari arah belakang kelas menghentikan aksi Jongin.

“BERISIK SEKALI SIH!”

Krystal dan teman-teman sekelasnya menolehkan kepala pada Kyungsoo dengan mimik terkejut. Kyungsoo berdiri di balik mejanya dengan tatapan yang mengarah tajam pada Suzy dan Sohyun. Tatapannya sudah jelas mengartikan kalau ia merasa terganggu dengan keberisikan kedua perempuan itu.

Tetapi Suzy malah mendengus mendengar bentakan itu. Ia melipat tangan di depan dada dan memutar tubuh menghadap Kyungsoo.

Yya, Do Kyungsoo, jangan mentang-mentang hari ini kau tidak bolos pelajaran kesenian, kau bisa bebas dariku. Kau hanya selamat hari ini, belum tentu untuk hari yang lain,” ucap perempuan berponi itu dengan suara tajam.

“Memangnya kenapa kalau aku dan Kyungsoo selalu bolos pelajaran kesenian? Toh, keberadaan kami berdua tidak akan berpengaruh pada nilaimu. Jadi kau tidak perlu ikut campur urusan kami berdua,” kata Sohyun.

“Kau juga tidak perlu ikut campur urusanku, bodoh!” sahut Kyungsoo dengan suara dingin.

Sohyun langsung menutup mulut.

“Teman-teman,” Jongin yang berdiri di antara Suzy dan Sohyun menyela dengan suara yang dibuat seceria mungkin. “Berhentilah.”

“Kau juga tidak perlu ikut campur, Kim Jongin!” ucap Suzy pada Jongin.

Ketika Jongin hendak berkata untuk melakukan pembelaan, Suzy sudah kembali menyela. “Ini urusan ketua kelas. Kau hanyalah wakil ketua kelas jadi kau diam saja dan kembali duduk di bangkumu. Aku tidak butuh bantuanmu.”

Entah bodoh atau memang ia pandai mengontrol dirinya untuk tidak terbawa suasana, Krystal melihat Jongin malah tetap berwajah ceria dan menampilkan senyumnya meskipun sudah diberikan perkataan tajam seperti itu oleh Suzy. Sekali lagi, Krystal menyukai aura menyenangkan yang dimiliki laki-laki berkulit tan itu.

Suasana berubah senyap selama beberapa detik sebelum akhirnya seorang guru pria membuka pintu kelas dan masuk ke dalam.

“Selamat pagi, kelas 1-3! Oh, ada apa ini? Tumben sekali kelas ini tidak berisik saat Bapak masuk,” ucap guru pria itu, lalu menoleh pada Suzy, Sohyun, Jongin, dan Kyungsoo. Hanya keempat murid itu yang kini sedang berdiri.

Suzy, Sohyun, maupun Kyungsoo membuang muka ke arah lain saat tatapannya bertemu dengan Taehyung, guru sejarah di kelasnya. Sementara Jongin memberikan senyum ramah sambil membungkukkan setengah badannya pada Taehyung.

“Sohyun, Jongin, Suzy, Kyungsoo, kembali duduk di bangkumu. Heran, kenapa hanya kalian berempat yang berdiri?” perintah Taehyung sambil berjalan menuju meja guru.

Krystal melihat Suzy dan Kyungsoo kembali duduk di bangkunya, sementara Sohyun perlu melangkah dulu ke belakang untuk duduk di bangkunya yang terletak persis di sebelah Krystal. Tatapannya sempat bertemu dengan perempuan berkacamata itu dan Krystal sempat menangkap ekspresi menahan tangis yang tergambar pada wajah perempuan itu. Perempuan itu cukup terkejut dengan kehadiran Krystal sebelum akhirnya mengalihkan pandangan ke arah lain. Tentu saja perempuan itu terkejut, saat perkenalan diri tadi kan perempuan itu belum datang.

Krystal beralih pada Kyungsoo yang kini menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dengan wajah tanpa ekspresi seolah kejadian barusan tidak pernah terjadi. Berjarak dua bangku di depannya, Krystal melihat Jongin masih sempat-sempatnya melemparkan senyum pada teman-teman sekelasnya ketika hendak duduk di bangkunya. Sementara Suzy yang duduk di bangku paling depan, masih sempat-sempatnya melirik ke belakang untuk memberikan tatapan sebal pada Sohyun, Jongin, dan Kyungsoo. Krystal menatap keempat teman sekelasnya yang baru itu secara bergantian dengan alis terangkat. Oh, jadi begini sikap murid-murid Genie High School

Sepertinya ini bukan awal yang mudah untuk Krystal dapat beradaptasi dengan sekolah barunya itu.

Awal semester genap, pada pagi hari yang masih saja terasa dingin, di bawah atap yang sama, di dalam ruangan yang sama, kelima makhluk adam dan hawa akhirnya dipertemukan oleh sebuah takdir. Dalam sebuah permainan emosi yang memuakkan. Ada yang mencoba untuk menahan tangis, ada yang mencoba untuk tidak peduli, ada yang mencoba untuk tersenyum, ada yang mencoba untuk menahan amarah, dan ada yang hanya diam saja memperhatikan semuanya. Mereka tidak menyadari kalau sejak pertikaian itu benang merah yang mengaitkan kelimanya mulai terlihat dan tampak.

“Takdir itu ada, karena dia adalah rahasia Tuhan. Takdir itu ada, tetapi bukan untuk disalahkan. Karena ketika kau menyalahkan takdir-Nya, bagaimana Tuhan mau berbaik hati padamu?” -Another Star-

– tbc –

Thanks for Nff atas kritik, saran, dan komennya di chapter sebelumnya ^^ Masih kutunggu feedback dari readers yang lain yaa~ Btw, foto di bawah ini adalah posisi duduk mereka berlima di kelas 1-3 yaa~

1-3

Regards,

Zulfa Azkia (zulfhania)


CLIMAX : Interview Cast

$
0
0

CLIMAX POSTER

Previous :

Chapter 1 | Chapter 2 | Chapter 3 | How-To-GET PW 4 | Chapter 4| Chapter 5 [END] | SIDE STORY : FIRST IMPRESSION

[INTERVIEW INI DILAKUKAN DISELA-SELA PROSES PEMBUATAN]

JEON MINJU THE ARK AS MICHELLE LEE

bdac1c89c9774df8c69608acea00b0f9

Annyeong!!! Apa yang harus kukatakan ya? Ckckckckck…The Ark’s Leader Minju imnida!

Halooo, disini aku memerankan sebuah karakter kesayangan author Kaihwa, Michelle Lee. Jujur aku menyukai sekali karakter wanita utama yang dengan begitu terhormat author Kaihwa memberikannya kepadaku. Sebagaimana kalian pasti pernah tahu fanfiction author Kaihwa yang sebelumnya sering menunjuk original character Michelle Lee untuk menjadi pasangan Kai sunbae-nim sejak pertama dia menulis fanfiction, bukan? Hehehehehe… [Btw, author Kaihwa sangat mencintaiiiii Kai sunbae-nim kekekeke dia bahkan memberi nama penanya dengan nama Kai ahaha..]

 

Jujur saja, aku begitu terkejut sekaligus senang saat diajak untuk memerankan karakter Michelle yang terkenal dewasa, pendiam dan terkesan ribut dengan teman-teman tertentunya, walau untuk scene dengan Sehun-ssi terkesan jadi pendiam disini karena alasan jika ‘ceritanya Sehun sudah bertunangan.’ Sebenarnya sih Michelle Lee ini juga memiliki sifat yang tak terduga untuk beberapa waktu, sungguh tak terduga! Sebagaimana karakter ini sebelumnya sempat banyak berganti-ganti pemeran dari beberapa aktris fanfiction profesional seperti IU sunbae-nim, After School’s Nana sunbae-nim bahkan Ulzzang Baek Sumin yang pada dasarnya mereka keren sekali!!

 

Aku merasa iri sekali!! Hahahahahaha, aku bersumpah! Kalian harus menyukai Michelle Lee ya? Dan ikuti kelanjutan fanfiction CLIMAX ya?! Aku berharap author kaihwa akan mempertimbangkan akting ku dan sering menambahkan aku sebagai pemeran wanita utamanya lagi!

Flying kisss love uu…

KIM KAI EXO AS KIM JONG IN

6184e5fd72d69412fc11a6fb64f65fe8

Haloo.. Ekhemm… ekhemm.. ya!! Oh Sehunnnnnnn!! Kembalikan ponselku, bangs*t! Oh yatuhan!! apa ini sudah dimulai, chagiya? Author cintaku sayangku!!

 

[Kaihwa : Tengil hitam! Cepat bicara!!]

 

Ahhh baiklah sayang.. Maafkan aku readers tercinta *flying kiss dengan wink nakal* tadi Oh Sehun mencuri ponselku mendesak seperti saat seperti ini. Kalian masih bisa mencintai dia dari pada aku? Oh ya tuhan! Aku bingung kenapa kalian masih lebih menyukai karya author Kaihwa yang abal-abal plus absurb seperti Sehun-Sena The Series daripada dimana aku diperankan menjadi pemeran pria utama seperti My Hottie Robber, A Cup Of Mocktail, Time to Love, dan Lady Luck (walau ke dua utama) yang sepertinya ada yang di discontinued atau dihiatus kan sementara oleh author Kaihwa karena dia merasa ff itu jelek sekali!!! Apa kalian berpikir sama denganku?

 

[Kaihwa : Tengil hitam!!! Sekarang bukan waktunya untuk mengejek semua karyaku!!]

 

Heheheheheheh *cengir* Baiklah, di CLIMAX, aku berperan menjadi seorang Produser Musik terkenal yang jatuh cinta dengan seorang gadis biasa bernama Michelle Lee dan kemudian menjalin kasih, dari situ masalah mulai timbul, dimana ayahku—Sang Joong sunbae-nim—yang bahkan juga menyukai kekasih anaknya sendiri. Selebihnya ceritanya kalian hanya perlu setia membaca dan memberi feedback disetiap chapter CLIMAX. Karakterku tidak segila di MHR atau sedingin ACOM dan TTL. Aku cukup dikenal Produser berwibawa, ramah, setia dan satu lagi, begitu jatuh cinta pada Michelle Lee. Dan satu lagi, aku banyak menangis disini haha aku bersumpah itu selalu membuatku tertawa karena malu dengan wajah jelekku saat menangis ahahahaaaa…. Karakterku begitu sangat menyedihkan disini tapi aku menyukainyaaa, aku berterima kasih sekali dengan author kaihwa yang memberiku pengalaman berharga ini.

 

Sudahlaa.. selanjutnya baca CLIMAX ya! Jangan lupa untuk menunggu cerita FIRST IMPRESSION Jong In dan Michelle setelah interview ini. Yoohoo… EXO-L kau harus membaca fanfiction ini! Love uuuu…  

 

KIM SANG JOONG AS KIM JONG WON

City_Hunter-37

Annyeong haseyo! Ini terasa awkward sekali haha karena aku senior dari segala senior yang dimasukkan author kaihwa untuk menjadi orang ketiga dari kisah percintaan seorang Produser Musik dan salah satu Staff biasa di sebuah rumah produksi. Aku tidak akan banyak muncul ketika chapter 3 keatas tapi ini benar-benar menyenangkan, bertemu dengan junior-junior ramah dan semenyenangkan seperti Minju, jujur dia benar-benar manis dan Jong In begitu bully-able hahahaha… aku suka melihatnya melakukan take beberapa kali dan tertawa seperti kesetanan karena malu. Ngomong-ngomong Sehun banyak bercerita jika Kai memang tak bisa menjaga tawanya jika sudah terlanjut tertawa.Hahahaha… Apalagi Sehun begitu friendly dan menjadi teman bicaraku yang setia disela-sela fanfiction ini.

 

Selanjutnya bacalah CLIMAX ya! Sampai berjumpa lagi..

 

OH SEHUN EXO AS HIMSELF

tumblr_nwxodaXb8e1riav2to1_500

Annyeong haseyoo!! Good night babiess.. aegi-yaa (EXO-L) kalian membaca fanfiction ini kan? Akan lebih baik jika kalian melihat si Sehunman beraksi menjadi hero di fanfiction inii dan memotong scene Kai dan Minju-ssi hahahahahaha… Kai tidak ada disinikan? Baguslahh,aku bersumpah akting Kai perlu dipertimbangkan lagi author kaihwa!! Bukan berarti nama penamu adalah gabungan nama hangeul mu dengan Kai, kau tidak mau mempertimbangkan aktingku! Jujur, aku rindu bermain dengan Yura noona! Tolong buat kan kami fanfiction Sehun-Sena The Series Season 2! 8 Series itu terlalu sedikit! Tolong ya *puppy eyes*

 

Baiklah aku disini berperan sebagai Sehun si sahabat Michelle dan Jong In yang begitu baik hati dan begitu penyabar dengan sifat keras kepala mereka berdua. Aku menjadi tunangan kemudian menjadi suami dari Kim Yeri disini. Itu saja sihh… tidak lebih.

 

Sampai jumpa~ author! Pertimbangkan permintaanku! Tetap membaca fanfiction author Kaihwa ya!!

 

 

KIM YERI RED VELVET AS HERSELF

sddefault

Halooo…. Happiness! Red Velvet’s Maknae Yeri imnida. Aku begitu senang sekarang! Hahaahahaa… aku sangat menyukai karakterku yang periang dan aneh disini wkwwkk, walau hanya 1-2 kali tampil tapi ini menjadi pengalaman yang lucu. Hehehehe Menyenangkan sekali, aku dapat bertemu senior-senior keren yang berkali lipat keren sekali!! Aku suka sekali dengan Sehun sunbae-nim yang banyak membantuku untuk menjadi peran Kim Yeri yang begitu polos dan aneh haha..

Dan disini aku mengucapkan banyak terima kasih pada author kaihwa yang mau mengajakku bermain disini.

Sampai jumpa~

[SPECIAL DUO]

Note :

‘dalam petik’ kata-kata yang muncul dilayar

*dalam bintang* gerak-gerik cast

 

Siapa cast terbaik versi-mu di CLIMAX?

 

Minju : Kai sunbae-nim, aku bersumpah dia sangat keren dan berhasil memerankan perannya disini! Aku menyukainya!

 

Kai : Minju? Dia keren sekali!

 

ALL (except Kai-Minju) : Ei!! *melihat mereka berdua yang ketahuan malu* *Sehun memberi smirk*

 

Minju : HAHAHAHAHAHA…. ‘berhasil tertawa! Pipi leader kalem The Ark merah padam!’

 

Kai : Waeyo? Ada yang salah? Aku bersumpah ini benar! ‘dancing machine EXO berusaha membela diri! Hahaha’

 

ALL (except Kai-Minju) : *tertawa tertahan*

 

Sang Joong : Kai dan Minju, juga Sehun, Yeri… mereka terbaik!

 

Sehun : Tentu saja, Minju. Aku tidak bisa bilang kalau Kai terbaik karena dia sering melakukan take berkali-kali!

 

Yeri : Sang Joong sunbae-nim, Kai sunbae-nim ahh Minju eonnie juga yang terbaik!

 

 

Chapter Climax Favorit-mu ?

 

Minju : Jujur, aku suka sekali part 3,4 dan 5. Sebagaimana yang pastiny dibeberkan oleh semua cast , Kai sunbae-nim memiliki pengalaman tak terduga, ahahaaaa.. Dia sempat melakukan take berkali-kali karena tertawa! Hehehe, terus di chap 4 aku paling suka saat aku bebas berteriak ditengah malam karena ketakutan, dan yang terakhir karena harus berjumpa dengan pemain Hayi uuu…. dia manis sekali!

 

Kai : Aku paling suka part ke 2 karena akting Sang Joong sunbae-nim terlihat sangat keren dan feeling-nya benar-benar terasa sekali. Selebihnya aku suka semuanya!

 

Sang Joong : Sepertinya yang ke….1 mungkin? Karena pertemuan Michelle-Jong In disebuah subway itu benar-benar membuatku seperti merasakan apa yang dirasakan Michelle.

 

Sehun & Yeri : Kami suka semua chapternya!

THANK YOU!

 

Kai : Aku sangat berterima kasih pada semua readers yang telah setia membaca CLIMAX dari awal, padahal saat pertama kali author kaihwa meminta padaku untuk memainkan CLIMAX versi oneshoot waktu itu, aku bahkan tidak memiliki firasat bahwa komennya mencapai 70-an dan banyak yang meminta untuk dilanjutkan. Terima kasih untuk semuanya.

 

Minju : Annyeong! Aku hanya ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada semua readers dan juga pada author kaihwa yang mempercayakan peran ini padaku dan mewakili semua cast. Aku ingin sekali memerankan karakter Michelle lebih baik! Jadi bantu aku readers!

 

Kai-Minju : Thanks, xie xie, arigatou, gamsahamnida!

 

Sehun : just wanna say! Masukkan aku kedalam ff terbarumu author-nim! *ngelirik wedding dress* Biarkan aku bermain walau hanya cameo yang tidak diharapkan!

 

Yeri : Haahhahahahhahaahaha ‘maknae Red Velvet yang manis tergelak lucu!’

 

Sehun : yayaya! Jangan tertawa! O iya, hanya ingin berterima kasih untuk semuanya…..

 

Yeri : Aku juga!!

 

ALL : SELALU TUNGGU FF ABAL-ABAL AUTHOR KAIHWA,OKAY?

 

 

*bow*

*flylingkisswithcoganlineEXO*

*seeyouinWEDDINGDRESSwithKai-Elle*

*loveualways* 

*bowagain*

 

#Prefinal HAMARTIA (Let Go?)

$
0
0

hamartia

 

Title : Hamartia (Fatal Flaw)

Main Cast : Kim Jongin (EXO’s Kai), Song Jiyoon (Original Character)

Minor Cast : Oh Sehun (EXO’s Sehun), etc

Rating : PG for this part

Genre : Psychology, Romance, Angst

Author : Jongchansshi (http://thejongchansshi.wordpress.com)

Prev Part : [#Teaser] [#1] [#2] [#3] [#3,5] [#4] [#5]  [#6] [#7] [#8] [#9a] [9b] [10]

***

Whatever you love, that is your weakness. Kau bisa sangat mencintai uang dan menghabiskannya adalah kelemahanmu. Kau bisa sangat mencintai pekerjaan dan jabatan adalah kelemahanmu. Kau bisa sangat mencintai kemewahan dan kemiskinan adalah kelemahanmu. Kau bisa sangat mencintai dunia dan kematian adalah kelemahanmu. Dan kau bisa mencintai seseorang sedangkan kehilangannya adalah ketakutanmu.

Tapi kau harus ingat, mencintai mawar bukan berarti memetiknya kemudian menempatkannya di dalam vas termahal dalam buffet emas. Sehebat apapun kau merawat dan menjaganya, ia akan tetap mati dalam hitungan hari. Karena kau tidak bisa memaksa bunga untuk berkembang ditempat yang bukan seharusnya ia hidup. Itu juga berlaku terhadap manusia, bagaimanapun.

Dan soal hal itu, jangan pikir Jongin tidak mengetahuinya sama sekali. Meskipun dia melakukan hal yang dimata orang orang salah, dia tetap berharap bahwa ada secercah kebenaran dalam tiap perbuatannya. He just wants her to be with him, tidak ada yang salah tentang itu, kan? Ya, sampai ketika dia melihat keputusasaan Song Jiyoon dengan mata kepalanya sendiri. Mungkin, jika Jongin masih bersikukuh untuk mempertahankan keinginannya, Jiyoon bisa mati se sia sia itu. Maka berjam jam yang lalu, tanpa pikir panjang, dengan sok kuatnya ia mengatakan kalau ia akan melepaskan Song Jiyoon.

Mungkin Jongin hanya asal bicara agar Jiyoon terlihat lebih baik, atau setidaknya agar gadis itu berhenti menangis. Atau yang paling jahat, dia hanya mencoba memberikan gadis itu sedikit harapan kemudian membuatnya makin hancur karena Jongin telah mempersiapkan hal yang lebih buruk, seperti yang selalu ia lakukan sebelumnya. Bukankah dia licik dan sangat ambisius? Tentu hal yang tidak terpikirkan oleh siapapun bisa dilakukannya dengan begitu mudah.

Sejak tadi, ketika dia masuk ke mobil bersama Jiyoon, setelah dokter mengizinkannya untuk keluar dari rumah sakit, tidak pernah sedikitpun Jongin melirik ke samping kanannya. Ia tidak tahu kenapa rute ke rumah Luhan bisa terasa selama dan sejauh ini. Oh, bukankah seharusnya Jongin senang? Ini memberikannya kesempatan untuk melakukan hal hal yang sudah terlintas dalam benaknya dan bisa ia terapkan pada detik detik ini dengan sangat sempurna. Anggap tawarannya terhadap Jiyoon tadi merupakan bagian dari rencana. Ia bisa melewati jalanan yang lebih sepi kemudian menabrakkan mobilnya di daerah hutan sampai hancur, kalau perlu terbakar. Itu bukan hal yang sulit bagi orang seperti Jongin untuk merekayasa kecelakaan dengan korban yang seolah olah sungguhan. Mengingat kondisinya yang belum sepenuhnya stabil, kecelakaan itu akan terlihat menjadi sangat wajar di mata semua orang. Setelah itu, ia bisa kembali mengurung Jiyoon, melakukan apapun yang ia mau seperti sebelumnya, membuat gadis itu sadar bahwa dia terlahir memang hanya untuk kesenangan Kim Jongin. Dan kali ini, Jongin menjamin jika tidak akan ada satu orangpun yang tahu, termasuk Oh Sehun.

Oh shit.” Jongin menggerutu tanpa sadar, Jiyoon yang sejak tadi mengamati jalanan lewat jendela mobil lantas melihat kearah Jongin dengan raut datarnya yang mengisyaratkan pertanyaan. Jongin menggeleng singkat sebagai jawaban, tanpa suara dan masih menolak menoleh kearah gadis itu. Kemudian Jiyoon melanjutkan aktifitasnya, dia melihat ke arah jalanan yang beberapa bagian dipenuhi salju. Pada saat itu, Jongin mulai berani untuk meliriknya sekali dua kali. Ia mendapati pemandangan bagian belakang Jiyoon, terlihat begitu menikmati dengan apa yang ia lihat di luar sana. Mungkin Jiyoon sudah menunggu saat seperti ini datang padanya lama sekali. Terbebas dari neraka yang selama ini dengan sadis membelenggunya.

Jongin sebetulnya sangat penasaran dengan apa yang ada dalam benak Song Jiyoon. Bagaimana bisa Jiyoon masih percaya Jongin setelah ia mengingat semua kenangan buruk yang Jongin perbuat padanya? Atau bagaimana bisa ia berpikir Jongin serius dengan tawarannya tadi? Bukankah ia tahu sendiri bahwa Jongin punya puluhan, bahkan ribuan rencana jahat? Bukankah seharusnya ia masih ingat betapa keras kepala dan ambisiusnya seorang Kim Jongin? Kalau Jiyoon pintar, ia pasti tahu Jongin mana mungkin merelakannya pergi semudah ini.

Tapi Jongin sama sekali tidak tahu apakah sejak tadi ia tengah mencoba menipu ataupun memanipulasi dirinya sendiri karena pada detik ini mobilnya sudah terparkir dan berhenti di depan rumah Luhan. Dan tidak satupun bagian dari rencananya ia lakukan terhadap Jiyoon, ia telah menyia nyiakan banyak kesempatan emas. Jongin melirik ke samping kanannya, sekali lagi. Jiyoon masih dalam posisi yang sama, ia melihat ke arah jendela. Pada detik itu Jongin sadar bahwa sejak tadi Jiyoon tidak melihat kearah pemandangan luar, melainkan ke dalam pikiran tidak sistematisnya nya yang entah sudah sejauh mana.

“Jiyoon?” tegurnya. Gadis itu belum bergeming. “Song Jiyoon.” Kali ini panggilan Jongin lebih keras dari sebelumnya. Ia terlihat linglung dan memandang kearah Jongin, dengan tatapannya yang tidak pernah bisa terbaca. “Tujuanmu.” Ucap Jongin singkat sembari menunjuk rumah Luhan menggunakan dagunya. Ia benar benar merasa sangat awkward dengan keadaan mereka sekarang, apalagi Jiyoon sama sekali tidak mengeluarkan satu katapun untuknya.

Jiyoon hanya menatap Jongin kurang lebih tiga detik dengan matanya yang selalu berbinar menurut Jongin, lalu gadis itu langsung menarik handle pintu mobil, yang sialnya pada detik yang sama Jongin menekan kunci pintu otomatis dari pintu kemudi. Gadis itu sontak menatap kearah Jongin, tapi dia terlalu datar untuk terbaca apakah ia panic atau tidak peduli apapun lagi.

Tanpa membuang buang waktu lebih lama lagi, Jongin langsung menarik gadis itu kedalam pelukannya, seerat yang ia mampu. Apakah ini salah satu cara lain untuk melancarkan rencana busuknya? “Kau bisa menamparku setelah ini.” Ucapnya, masih memeluk Jiyoon seerat eratnya, “tapi biarkan aku memelukmu sebentar.” Jongin tidak pernah merasa bahwa ia adalah orang yang lemah. He hates weak people. He hates himself for being weak. He is strong, strong enough to hide all his pain. Strong enough to pretend like his life is completely okay. Strong enough to make everyone believe that he aint broken. “Meskipun kau tidak mungkin kembali padaku, kau bisa menghubungiku kapanpun kau mau, kau bisa memintaku datang kapanpun kau butuh. Kau bisa menceritakan apapun yang mengganggu pikiranmu padaku. I will come…and I promise you I will listen.”

I know whatever I have done to you is unforgiveable, but you have to forget it all, so you can live happily. Atau kau bisa melakukan apapun kepadaku agar kau bisa melupakannya. Kau bahkan bisa membeberkan seluruh perbuatanku pada Luhan, pada Jinwoo atau siapapun. Jika kau mau melihatku membusuk di penjara seperti yang kau katakan dulu, aku akan mengakui semuanya dan tidak akan mengelak. Atau kalau perlu kau bisa menghancurkan hidupku juga.”

“Ah ya, kau punya beberapa hutang padaku. Aku akan menagihnya sekarang. Bagaimanapun, ini bisa menjadi kesempatan terakhir kita bertemu, kan?”

Jongin terdiam untuk beberapa saat, pikirannya seperti melarikan diri darinya. Ia melepaskan pelukannya didetik berikutnya, meletakkan kedua tangannya dibahu Jiyoon dan memandang gadis itu dengan tatapan tajamnya dalam dalam.

“Berhentilah melukai dirimu sendiri. Tubuhmu bukan mainan.”

“Tidurlah sebelum jam 11 malam, kau tidak perlu menunggu siapapun pulang agar tertidur.”

“Kalau kau sakit, minum obatmu meskipun kau tidak suka. Tolong jangan membuangnya dibawah tempat tidur lagi.”

“Mandilah dengan air hangat, ini musim dingin. Kau seharusnya sudah ingat bahwa kau tidak suka air dingin.”

“Jika ada yang mengganggu pikiranmu, ceritakan pada orang lain, jangan menyimpannya sendirian. Tidak semua orang tidak mau mendengarkanmu. Atau jika kau butuh bantuan orang lain, katakan. Tidak semua orang punya bakat peramal dan bisa membaca pikiranmu.”

Jongin mengucapkan itu semua dengan suaranya yang terdengar lebih cepat dari biasanya dia bicara, sedikit terburu buru. Jiyoon sedaritadi hanya menatap kearah matanya, tidak mengeluarkan satu ucapanpun atas segala yang dikatakan Jongin sedaritadi, mungkin dalam hati ingin protes kenapa permintaan Jongin banyak sekali. Pria itu kemudian mengangkat bibirnya sedikit, berusaha untuk tersenyum kearah gadis yang masih ia cintai dihadapannya sekarang.

“Dan bisakah kau tidak jatuh cinta terhadap orang lain?”

Yeah, raut Jiyoon langsung berubah, jauh lebih tegang dari sebelumnya. Didetik berikutnya Jongin langsung tertawa, tawa renyah yang memperlihatkan eye smilenya yang manis. Tapi matanya yang sendu tidak bisa berbohong sama sekali. “Aku hanya bercanda soal yang terakhir. Kau bisa jatuh cinta terhadap siapapun yang kau mau.” Lanjutnya setenang mungkin. Jiyoon masih terus menatapnya, entah ini hanya perasaan Jongin saja atau memang dia sedang  dalam keadaan tersudut, Jiyoon seperti baru saja mengintimidasinya. Wow, siapa yang berani mengintimidasi Jongin sebelumnya?

Jongin lalu mematikan kunci pada mobilnya sehingga Jiyoon bisa membuka kembali pintu itu.

“Pergilah. AKu sudah melepaskanmu. Jadi tidak ada lagi alasan bagimu untuk tidak bahagia.”

Gadis itu mengikuti seperti yang disuruh oleh Jongin, ia membuka handle pintu, kemudian turun dari mobil Jongin, masih bisu tanpa satu ucapanpun, berjalan terus menuju rumah dua tingkat milik Luhan, seperti tiada keraguan apapun pada langkahnya. Bagaimanapun, semua juga tahu bahwa Jiyoon memang dari dulu ingin terbebas secepatnya dari Jongin. Dan ia tidak mungkin kembali meskipun Jongin menjanjikannya hidupnya sekalipun.

Jongin tersenyum…kemudian ia tertawa. Tawa yang terkesan begitu miris. Ia masih ingin menunggu Jiyoon dan memastikan kalau dia masuk kerumah Luhan dengan aman. Meskipun tidak seorangpun yang bisa ia percayai untuk menjaga gadis itu lebih baik dari dirinya.

“I know, it’s time for you to stop being weak.” Ungkapnya untuk dirinya sendiri. Well, bukankah orang jahat adalah orang yang paling lemah?

****

Song Jiyoon percaya bahwa ketika dia terbebas dari neraka dan penjara Kim Jongin, itu adalah saat dimana dia pasti sudah mati. Tapi pada detik ini, paru parunya masih bisa memompa udara, jantungnya masih berdetak, kakinya masih menginjak tanah, matanya bahkan masih mampu melihat kearah langit biru yang tidak memiliki ujung. Dia masih hidup dan Jongin membebaskannya.

Ayolah, ini pasti mimpi. Hal seperti ini bukannya sering terjadi dalam mimpi indahnya? Dan ia akan terbangun dalam keadaan menyedihkan karena menyadari ini hanya mimpi. Maka dari itu Jiyoon sejak awal tidak mau banyak berharap. Mungkin itu alasan kenapa dia tidak merasa senang sama sekali, hal yang seharusnya ia rasakan pada saat ini.

Gadis itu melangkah maju, kearah rumah Luhan yang berada didepan matanya. Daritadi banyak sekali yang berlalu lalang sekilas di benaknya, terlalu banyak sampai sampai kepalanya terasa pening bukan main. Paru parunya terasa perih sekali, sesak setengah mati. Ia merasa ada yang salah pada detakkan jantungnya, terlalu cepat dan bahkan tidak stabil. Kemudian kakinya terasa berat dan lemas, seperti sedang tersesat dan berjalan kearah yang salah. Langit yang cerah pun terasa  begitu kelabu hari ini.

Jiyoon memegang bagian dadanya yang sejak tadi membuat ia ingin menangis, atau kalau perlu berteriak frustasi. Tapi, bukankah yang bisa ia lakukan sejak tadi hanyalah mengantarkan kesunyian? Ia bahkan nyaris mengatakan sesuatu tadi kepada Jongin, nyaris, mulutnya bahkan sudah terbuka. Tapi tetap saja lidahnya terlalu keluh untuk menghasilkan suara. Ia bagaikan terhempas pada ingatan kejadian 9 tahun yang lalu, yang apabila dia mengatakan maksudnya yang terpendam pada Jongin, mungkin baik dirinya maupun Jongin tidak perlu hidup dalam kesengsaraan seperti ini.  Hidup mereka akan berakhir jauh berbeda dari apa yang terjadi sekarang.

Jiyoon tahu bahwa ia membenci Jongin setengah mati. Bahkan tidak ada kata kata yang pas untuk mendeskripsikan betapa ia membenci Kim Jongin setelah mengingat semuanya. Ia  ingin membuat Jongin menderita, sungguh. Ia bahkan ingin menghabisi nyawa Jongin dengan tangannya sendiri. Seharusnya beberapa malam yang lalu, ketika ia punya kesempatan, ia seharusnya menghantam kepala Jongin berkali kali sampai ia betulan mati. Peduli setan dengan pengadilan dan pidana penjara seumur hidup. Yang penting ia bisa puas dan menghabisi Jongin. Bukankah monster menciptakan monster? Dan Jongin telah membuat monster itu tumbuh di kepala Jiyoon secara tidak sadar entah sejak kapan.

Sayangnya, hati gadis itu masih disana. Masih sepenuhnya sehat meskipun sudah dirusak berkali kali oleh beberapa orang. Ia tahu bahwa ia bukanlah orang kuat, beberapa orang bahkan mencapnya perempuan lemah yang bisa disakiti dengan cara paling murahan. Gadis itu bahkan mengutuk airmatanya sendiri yang kembali berjatuhan tanpa perintahnya.

Kenapa Kim Jongin harus sejahat ini padanya?

Itu pertanyaan yang tidak ada habis habisnya berkeliaran diotaknya bahkan sejak pertama kali Jongin mengurungnya ke dalam neraka itu, hingga detik ini.  Yeah, disaat yang seharusnya ia bisa hidup dengan aman karena Kim Jongin memutuskan untuk mengembalikan kehidupannya yang tentram seperti sebelumnya. Tapi kenapa rasanya tetap saja tidak enak?

Langkah gadis itu berhenti seketika. Ia menoleh kebelakang, mobil Jongin masih terparkir disana. Mungkin tengah memperhatikannya juga dari balik kaca mobilnya yang gelap. Jiyoon berpikir beberapa kali apakah ia harus mengatakan apapun yang ingin ia katakan pada Jongin sekarang…atau tidak selamanya. Setidaknya, ia harus mengatakan terimakasih, kan? Karena berkat Jongin, ia pada akhirnya tahu bagaimana rasanya ketulusan, something that she is craving for in her whole life. Dan bukankah Jongin adalah satu satunya yang berada disisinya ketika semua orang meninggalkannya? Dia harus berterimakasih terhadap semua itu. Tapi kemudian ia memutuskan untuk melanjutkan langkahnya ke rumah Luhan, menjadi pengecut sekali lagi. Membiarkan kata kata itu tertelan oleh memori yang cepat atau lambat akan ia lupakan.

But they said, don’t look back. Because if you look back, you will comeback. And she was looking back.

****

 

DUHHHHH prefinal yah. iya seharusnya udah tamat tapi gimana yaa harus ada scene (sangat tidak penting) ini dulu. fufufu… see you di final part yaaaa… iam so sorry for you guys that auraku(?) mungkin akhir2 ini look so bad. Maybe it was because i am weak. Ngga, aku ngga akan melakukan pembelaan apapun or play victim right now. But i just want to say thank you so much for you who are still here!!!

PS : I will post something on my blog ( https://thejongchansshi.wordpress.com/ ) tonight/tomorrow sebagai clue(?) endingnya gimana hahaha.

LOVE - [2]

$
0
0

LOVE – [2]

Im Yoona – Oh Sehun

Bae Irene – Kim Jongin/Kai

Standard Disclaimer Applied

KAIGERL’s Present

-OoO-

 

 

“Kapan warna rambut nona berubah?” 

 

 

“Baru saja, bagaimana? Apa aku terlihat cantik?”

 

 

Han ahjumma tersenyum kemudian mengacak rambut gadis itu pelan. “Nona selalu terlihat cantik, karena itu nona harus selalu tersenyum. Jangan sedih lagi, karena ahjumma juga akan sedih.”

 

 

Gomawo, sudah menjagaku selama ini.”

 

 

-OoO-

 

 

Ini adalah hari pertama Yoona masuk sekolah setelah satu minggu tanpa kabar. Kesan pertama yang ia terima adalah tatapan aneh dari seluruh warga sekolah. Yoona sudah menduga sebelumnya, dan ia sudah sangat terbiasa dengan itu.

 

 

Yoona sudah bertekad, ia akan berubah dan berusaha menjadi gadis yang baik. Ia sadar sikapnya selama ini sudah keterlaluan, terutama pada Irene. Mengenai gadis itu, Yoona akan menemui Irene dan meminta maaf padanya, hal yang tidak pernah ia lakukan selama ini.

 

 

“Im Yoona!”

 

 

Langkahnya terhenti ketika mendengar seseorang memanggilnya, Yoona balik badan dan menemukan Kai sedang berlari ke arahnya. Yoona kaget ketika namja itu tiba-tiba memeluknya dengan sangat erat hingga membuatnya sulit bernafas.

 

 

Yak! Apa yang kau lakukan, Kkamjong?”

 

 

Namja itu melepas pelukannya, kemudian ia menatap lekat wajah Yoona membuat gadis itu mengerutkan kening.

 

 

*pletak

 

 

Appo ~ “ Sontak Yoona memegang keningnya yang baru saja mendapat jitakan manis dari Kai. “Kau darimana saja? Satu minggu menghilang tanpa kabar.” Kai memegang kedua bahu gadis itu.

 

 

“Itu tidak penting.” Yoona tersenyum kecil melihat raut kekhawatiran di wajah Kai. Gadis itu baru sadar bahwa selama ini Kai adalah orang yang selalu berada di dekatnya—selain Jieun—meski ia kerap kali berlaku seenaknya pada namja itu.

 

 

“Tapi bagiku itu penting!”

 

 

Yoona melanjutkan langkahnya tanpa mempedulikan Kai yang terus berteriak. Kemudian ia merasakan seseorang merangkul bahunya, itu Kai yang menyusulnya. Kemudian mereka bersama-sama masuk ke kelas.

 

 

Gadis itu mencari-cari keberadaan sosok sahabatnya, namun ia tidak menemukan pemilik bangku yang ada di sampingnya. Seolah mengerti dengan hal itu, Kai memberitahu Yoona bahwa Jieun pindah sekolah beberapa hari yang lalu. Yoona merasa sedih dan menyesal karena tidak sempat bertemu dengan Jieun.

 

 

“Karena si culun itu sudah tidak ada, maka aku yang akan jadi teman sebangkumu.”

 

 

Yak! Siapa yang memperbolehkanmu duduk di sini, huh?” Yoona mencoba mendorong tubuh Kai agar namja itu pindah dari kursi Jieun. Namun kekuatannya tidak sebanding dengan kekuatan Kai, namja itu bahkan tidak bergerak dari tempatnya sama sekali.

 

 

“Hey, nona Im. Seharusnya kau sadar bahwa sekarang hanya aku temanmu di sini.”

 

 

Tak ingin berdebat lebih lama, akhirnya Yoona membiarkan Kai berbuat sesuka hatinya meski sebenarnya ia merasa senang, setidaknya ia tidak sendiri setelah Jieun tidak ada. Tanpa sengaja, tatapannya bertemu dengan seorang namja yang baru saja masuk ke dalam kelas bersama seorang gadis.

 

 

“Se—“Ia hendak menyapa dan menghampiri namja itu seperti biasa, namun ia langsung menyadari tatapan dingin namja itu.

 

 

Sehun pasti sangat membenciku sekarang.” Batinnya.

 

 

Selama pelajaran berlangsung, Yoona hanya fokus pada materi yang dibawakan. Karena sekarang ia sebangku dengan Kai, terpaksa Yoona harus menerima segela kejahilan dari namja berkulit kecoklatan itu.

 

 

Yak! Berhenti menggangguku, Kkamjong!” Desis Yoona.

 

 

“Huft! Aku bosan mendengar penjelasan guru itu.” Kai menyandarkan kepalanya di bahu sempit gadis itu.

 

 

Yak! Menjauh dariku!”

 

 

“Tidak mau.”

 

 

“Kkamjong!”

 

 

Kai terus mengganggu Yoona, dan Yoona hanya bisa memaki Kai. Ternyata pertengkaran kecil itu tidak luput dari perhatian seseorang di kelas.

 

 

“. . .Hun? Sehun oppa, kau mendengarku?”

 

 

“A-aku mendengarmu.”

 

 

-OoO-

 

 

Kai berseru ketika guru di kelas selesai mengajar dan keluar. Namja itu beranjak dari tempat duduknya kemudian menarik tangan Yoona berniat untuk mengajaknya ke kantin.

 

 

“Aku lapar.”

 

 

“Aku juga.” Jawab Yoona, ia masih duduk di tempatnya.

 

 

“Kalau begitu ayo ke kantin.”

 

 

“A-aku bawa bekal.”

 

 

“Apa?”

 

 

“Kubilang aku bawa bekal!” Yoona menghempaskan tangan Kai ketika melihat raut wajah namja itu menahan tawanya. Yoona kesal, ia merasa Kai sedang mengejeknya. “Apa yang salah dengan bawa bekal?” Gumamnya pelan.

 

 

Gadis itu mengambil tasnya dan keluar dari kelas, ia akan mencari tempat untuk memakan bekalnya. Kai berteriak memanggil Yoona, tapi gadis itu tidak menghiraukan Kai dan terus berjalan. Kai berdecak sebal kemudian berlari menyusul Yoona.

 

 

Di sinilah Yoona sekarang, di taman belakang sekolah. Ia tidak sendirian, ada Kai yang ikut memakan bekalnya. Namja itu memaksa untuk memakan bekal milik Yoona meski Yoona bersikeras melarangnya. Tapi Kai tidak peduli dan makan begitu saja.

 

 

-OoO-

 

 

“Kau mau ke mana?”

 

 

“Aku ada urusan sebentar.”

 

 

Irene menatap kepergian Sehun, ia pikir Sehun akan menemaninya makan di kantin, tapi ternyata namja itu malah pergi. Dengan setengah hati, Irene memakan makanannya sendirian.

 

 

Dan Sehun, namja berkulit pucat itu berapa di rooftop sekolah. Sesampainya di sana, ia disuguhkan oleh pemandangan halaman belakang yang jarang dikunjungi. Tak sengaja, pandangannya menangkap dua orang yang sedang berebut sesuatu. Sehun menyipitkan matanya dan memastikan bahwa itu adalah Kai dan Yoona.

 

 

“Im Yoona.”

 

 

Flashback On

 

 

Sehun mendudukkan tubuhnya di pinggir tempat tidur, dan ia begitu terkejut ketika Yoona langsung memeluknya. Samar-samar ia mendengar suara isakan dari mulut gadis itu. Tanpa sadar, tangannya tergerak untuk mengusap punggung rapuh itu.

 

 

“Sebenarnya kau ini orang seperti apa?” Gumamnya pelan.

 

 

“Hiks. . .eomma. .” Gumam Yoona dalam tangisnya.

 

 

Sehun menjauhkan sedikit tubuhnya dari gadis itu, kemudian ia menangkup kedua pipi Yoona dan menatap wajahnya lekat-lekat. Ibu jarinya mengusap lelehan air mata yang membasahi pipi gadis itu.

 

 

“Kenapa gadis jahat sepertimu bisa menangis seperti ini?” Tanya Sehun, sementara Yoona masih menangis sesegukan.

 

 

“Hiks—aku. . .”

 

 

Tak tahan melihat gadis itu menangis, Sehun menahan kepala Yoona dan mencium bibir pink itu dengan lembut. Sehun bisa merasakan rasa asin yang diyakini berasal dari air mata gadis itu. Setelah beberapa menit, akhirnya Sehun menajuhkan wajahnya. Dan ia menemukan gadis itu sudah terlelap. Tanpa sadar, namja itu tersenyum tipis.

 

 

Flashback Off

 

 

Karena terlalu asik melamun, Sehun sampai tidak menyadari bahwa kedua objek yang ia perhatikan sudah tidak lagi di sana.

 

 

-OoO-

 

 

Yoona kembali ke kelas sendirian, sedangkan Kai menuju ke kantin membeli air mineral karena Yoona tidak membagi minumannya. Di koridor, ia melihat Irene berjalan sendiri di depannya. Dalam hati Yoona bertanya-tanya mengapa gadis itu sendirian, biasanya gadis itu selalu berdua dengan Sehun.

 

 

Oh, bukankah aku harus minta maaf padanya.” Batin Yoona.

 

 

Gadis itu berlari kecil menyusul Irene, ia kemudian memegang tangan Irene membuat gadis itu sedikit terkejut. Yoona bisa melihat raut ketakutan di wajah Irene, ia tahu bahwa gadis itu pasti takut dengannya setelah kejadian itu.

 

 

“A-ada apa? Apa aku melakukan kesalahan lagi?” Tanya Irene.

 

 

“Tidak, justru aku yang bersalah.” Yoona menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya pelan. “Irene ssi, aku benar-benar minta maaf tentang kejadian itu. Aku menyesal, seharusnya aku tidak melakukan itu padamu.” Ujar Yoona bersungguh-sungguh.

 

 

Irene tampak terkejut dan tidak menyangka bahwa gadis dengan reputasi buruk itu meminta maaf padanya. Jujur saja setelah kejadian itu, Irene menaruh rasa tidak suka terhadap Yoona, tapi kali ini ia melihat kesungguhan di wajah itu.

 

 

“Syukurlah kalau kau sadar.” Irene tersenyum manis. “Aku memaafkanmu, asal kau tidak mengulanginya lagi.”

 

 

Yoona ikut tersenyum, ia merasa sangat lega mendengar Irene memaafkannya. Kini ia mengerti kenapa Sehun tidak bisa menerima perasaannya, bagaimana mungkin Sehun meninggalkan gadis sebaik Irene demi orang seperti dirinya. Tiba-tiba saja Yoona merasa tidak percaya diri berhadapan dengan gadis mungil di depannya.

 

 

“Terima kasih. Aku janji tidak akan mengulanginya.” Yoona memeluk Irene secara tiba-tiba membuat gadis itu lagi-lagi terkejut.

 

 

“Apa yang kau lakukan padanya?”

 

 

Yoona merasa tubuhnya ditarik sehingga ia terpaksa melepas pelukannya pada Irene. Ia menemukan Sehun menatapnya dengan alis berkerut, dari ekspresi wajahnya Yoona bisa menyimpulkan bahwa Sehun tidak suka dengan apa yang ia lakukan pada Irene.

 

 

“Dia tidak melakukan apa-apa padaku.” Irene memegang lengan Sehun dan menjelaskan semuanya dengan cepat, tak ingin Sehun salah paham.

 

 

“Bisa saja dia mencelakaimu seperti waktu itu.” Ujar Sehun sambil terus menghunuskan tatapan penuh intimidasi pada Yoona.

 

 

“Tidak, dia baru saja minta maaf padaku.”

 

 

“Apa?” Ujar Sehun tak percaya.

 

 

“A-aku juga minta maaf padamu Sehunie—maksudku Sehun ssi, selama ini aku sudah berbuat jahat padamu. Aku benar-benar minta maaf.” Yoona berbalik dengan cepat, ia merasa kedua matanya berkaca-kaca dan siap untuk menangis. Yoona benar-benar tidak bisa melihat Sehun bersama gadis lain, ia terlalu mencintai namja itu.

 

 

Sehun menatap punggung Yoona hingga gadis itu berbelok entah kemana dan hilang dari pandangannya. “Dia minta maaf padamu?” Tanya Sehun ingin memastikan.

 

 

“Iya, kau dengar sendiri tadi, dia juga minta maaf padamu.” Jawab Irene. “Sudahlah, ayo kembali ke kelas.”

 

 

-OoO-

 

 

Kai menyaksikan semuanya, tapi ia memilih untuk diam dan mengamati. Kini ia berada di luar toilet menunggu gadis itu hingga selesai. Beberapa saat kemudian, Yoona keluar dari toilet dengan wajah sembab.

 

 

“Kau tidak apa-apa?” Tanya Kai.

 

 

“Memang kelihatannya bagaimana, huh? Minggir!” Ujar Yoona ketus.

 

 

Tapi jawaban ketus itu membuat Kai lega, ia pikir Yoona akan keluar dengan wajah berurai air mata. Meski berwajah sembab, tapi gadis itu tidak terlihat menyedihkan. Ya, setidaknya ia bisa menyembunyikan itu dibalik wajah menyebalkannya.

 

 

-OoO-

 

 

Karena terlambat masuk kelas, Yoona dan Kai diberi hukuman membersihkan toilet. Yoona benar-benar tidak terima dengan itu, tapi mengingat misinya untuk menjadi gadis baik-baik, akhirnya ia terpaksa melakukan pekerjaan yang mengharuskannya berbaur dengan alat pembersih.

 

 

“Ya Tuhan, bagaimana bisa sekolah elit ini memiliki toilet yang menjijikan?” Ujar Yoona sebal.

 

 

“Jangan banyak bicara, cepat lanjutkan pekerjaanmu.”

 

 

Jika membersihkan satu toilet tidak masalah, tapi kali ini mereka diharuskan untuk membersihkan semua toilet di sekolah. Karena itu, mereka pulang lebih lambat dari yang seharusnya.

 

 

“Aku lelah sekali.” Yoona mengusap peluh di wajahnya. “Huft! Kenapa si kkamjong itu lama sekali sih?” Keluh gadis itu. Ngomong-ngomong, Kai sedang membeli air mineral beberapa saat yang lalu, tapi sampai sekarang namja itu belum kembali.

 

 

Drrtt Drrtt

 

 

Yoona merasakan ponselnya bergetar, ia bertanya-tanya siapa yang mengiriminya pesan singkat. Keningnya berkerut ketika pesan yang masuk berasal dari nomor yang tidak dikenal.

 

 

From : +9234xxx

 

Maaf, aku pulang duluan. Adikku meminta untuk dijemput.

-Dari orang paling tampan di dunia, Kim Kai-

 

 

YA! Berani-beraninya dia meninggalkan aku sendirian.” Yoona hendak membanting ponselnya, tapi ia tidak akan melakukan itu demi makhluk hitam yang meninggalkannya di toilet sendirian.

 

 

“Tunggu, darimana dia mendapatkan nomorku?” Tak ingin ambil pusing dengan itu, Yoona mengambil blazernya kemudian berjalan meninggalkan toilet.

 

 

-OoO-

 

 

Yoona berjalan gontai di sepanjang koridor, penampilannya sekarang sungguh sangat tidak enak dipandang. Rambutnya lepek dan diikat asal-asalan, roknya basah di bagian depan, dan blazer yang disampirkan di bahunya. Sesekali ia mengumpat demi menumpahkan kekesalannya pada Kai yang tega meninggalkannya begitu saja.

 

 

“Lihat saja, aku akan mencincangmu besok, nappeun Kim!”

 

 

Di ujung koridor, ia bertemu Sehun yang tampaknya dari ruang guru. Saat pulang sekolah tadi, ia dipanggil oleh guru Park. Sebagai kapten basket sekolah, akhir-akhir ini ia sering dipanggil Park saem, apalagi pertandingan antarsekolah sudah semakin dekat.

 

 

Suasana canggung meliputi keduanya, jika saja Yoona masih Yoona yang dulu, pasti ia akan bergelayut di lengan namja itu. Tapi sekarang, ia bahkan tidak berani menatap Sehun. Yoona berjalan tergesa-gesa, Sehun berada di belakangnya dan itu membuat Yoona ingin cepat-cepat sampai di tempat parkir. Tapi entah kenapa, ia merasa waktu berjalan sangat lambat.

 

 

“Im Yoona.”

 

 

NE?” Jawab Yoona antusias, tapi menyadari bahwa ia tidak seakrab itu pada Sehun ia memelankan nada suaranya. “K-Kau memanggilku?” Yoona tidak tahu sejak kapan Sehun berada di sampingnya. Oh, tentu saja itu mudah mengingat Sehun adalah laki-laki bertubuh tinggi yang dilengkapi sepasang kaki panjang.

 

 

“Kau dari mana saja?”

 

 

Yoona sempat bingung dengan pertanyaan Sehun, tapi kemudian ia menangkap bahwa Sehun menanyakan tentang keberadaannya selama seminggu setelah kejadian itu.

 

 

“A-aku ke Amerika.”

 

 

Sehun cukup terekjut sebenarnya, tapi ia mampu menyembunyikan itu dibalik wajah datarnya. “Apa yang kau lakukan di sana?”

 

 

Yoona bingung hendak menjawab apa. Haruskah ia jujur ? Tapi setelah dipikir lagi, Yoona memilih untuk tidak menceritakannya pada Sehun. Ia tidak ingin seperti mengharapkan simpati dari namja itu dengan bercerita bahwa ia baru saja mendonorkan organ tubuhnya pada Yuri.

 

 

“Aku bersenang-senang dengan keluargaku.” Jawab Yoona. Ia tidak sepenuhnya berbohong, ia memang senang bisa menghabiskan waktu bersama keluarganya.

 

 

“Jadi kau bersenang-senang setelah mencelakakan seseorang?” Sehun berhenti melangkah membuat Yoona juga ikut berhenti. “Aku pikir kau sudah berubah, ternyata kau masih sama.” Kemudian Sehun berjalan dengan cepat dan meninggalkan Yoona yang masih mencerna perkataannya.

 

 

“Tapi aku sudah minta maaf pada Irene.” Yoona menatap sendu punggung Sehun. “Apa itu tidak cukup bagimu?”

 

 

-OoO-

 

 

Sudah beberapa hari ini, Yoona sama sekali tidak ada interaksi apapun dengan Sehun. Yoona sedih tentu saja, padahal ia sangat berharap Sehun akan memandangnya setelah ia berubah sikap dan berusaha menjadi lebih baik. Tapi tampaknya itu tidak akan terjadi, banyak gossip beredar bahwa Sehun telah berpacaran dengan Irene.

 

 

“Jangan berpikir untuk kembali menjadi Im Yoona yang dulu. Kau yang sekarang adalah gadis yang mengagumkan.” Ujar Kai seolah tahu apa yang dipikirkan gadis di sampingnya.

 

 

“Tidak. Aku melakukan ini karena keinginanku sendiri, kau jangan sok tau.” Yoona menoyor kepala Kai. “Tapi, apa benar mereka berpacaran?” Tanya Yoona, ia ingin mendapat kepastian.

 

 

“Entahlah, kau bisa bertanya langsung pada Sehun.”

 

 

Ya! Memangnya dia masih mau berbicara padaku? Dia sangat membenciku sekarang, ah tidak.”Yoona menggelengkan kepalanya.” Dia membenciku sejak dulu.”

 

 

“Baguslah kalau kau sadar.”

 

 

Kai hanya bercanda, tapi itu membuat Yoona kembali dirundung sedih. Sejak pertama masuk ke sekolah ini, ia sudah menyukai Sehun. Dan sejak itu pula, ia selalu membully gadis-gadis yang mencoba dekat dengan Sehun. Sekarang, Yoona sangat menyesal telah melakukan hal kekanakan itu.

 

 

“Daripada kau tidak ada kerjaan, lebih baik kau menemaniku berlatih basket. Kau tau kan satu minggu lagi akan ada pertandingan di sekolah kita.” Kai berdiri diikuti Yoona.

 

 

“Baiklah, karena kau tidak sepopuler dan tidak memilik penggemar yang banyak seperti Sehun, aku akan menemanimu.” Yoona berusaha merangkul bahu Kai yang lebih tinggi darinya.

 

 

Mwo? Aku cukup popular, penggemarku juga tidak kalah banyak dengan si pucat itu.” Ujar Kai tak terima.

 

 

“Tidak usah mengelak, kau terlihat menyedihkan sekarang.”

 

 

“Aku tidak menyedihkan.”

 

 

“Ya, kau menyedihkan.”

 

 

Dan perdebatan bodoh itu terus berlanjut sampai keduanya tiba di lapangan basket. Tak ada siapa-siapa di sana, hanya mereka berdua. Yoona duduk di pinggir lapangan menunggu Kai yang sedang berganti pakaian. Tak lama kemudian, namja itu muncul dan membawa beberapa benda di tangannya.

 

 

“Kau pegang ini.” Kai menyerahkan botol minuman pada Yoona. “Dan ini.” Kai membuang handuk kecil ke wajah Yoona begitu saja.

 

 

Yak! Kau tidak sopan sekali.” Protes Yoona.

 

 

-OoO-

 

 

Sehun sudah berganti pakaian dan menuju ke lapangan basket. Namun sesampainya di sana, ia melihat seseorang sedang latihan ditemani oleh seorang gadis. Hal itu membuatnya mengurungkan niat dan memilih untuk menyaksikan dari bangku penonton.

 

 

Ia melihat bagaimana Kai memasukkan bola ke dalam ring, dan setiap itu terjadi Yoona akan berteriak heboh sambil bertepuk tangan dan melompat-lompat kecil. Tanpa sadar ia ikut tersenyum melihat wajah Yoona. Gadis itu tampak bebas dan tanpa beban.

 

 

“Ya Tuhan, aku tidak menyangka kau jago bermain basket.” Puji Yoona tulus.

 

 

Kai memutuskan untuk beristirahat sejenak dengan mendudukkan dirinya di samping gadis itu. Yoona menyerahkan botol air kepada Kai dan menghapus bulir-bulir keringat di wajah namja tan itu.

 

 

Aigooo, keringatmu banyak sekali.” Ujar Yoona, gadis itu tidak menyadari bahwa Kai sedang menatapnya begitu lekat dalam jarak yang cukup dekat.

 

 

Di bangku penonton, Sehun memalingkan wajah. Kemudian ia beranjak dari sana dan meninggalkan tempat itu. Tak sengaja, sosoknya tertangkap oleh retina mata Yoona yang tak sengaja melihat ke bangku penonton.

 

 

Apa itu Sehun?” Batin Yoona tak yakin.

 

-OoO-

 

 

Setelah mempersiapkan acara selama satu minggu, kini Seoul High School siap menggelar pertandingan yang diadakan setiap 2 tahun sekali. Setelah acara penyambutan dan pembukaan selesai, langsung dilanjutkan dengan pertandingan antara Seoul High School dan Kirin High School.

 

 

“Apa kau menyiapkan banner dukungan untukku?” Tanya Kai pada Yoona. Saat ini ia berada di ruang ganti bersama teman-temannya yang lain.

 

 

“Aku membuat ini selama 2 hari, jadi tidak mungkin aku tidak membawanya.” Yoona menunjukkan banner buatannya pada Kai. Terlihat kekanakan dan tidak professional, tapi Kai tetap memujinya karena ia tahu gadis itu sudah berusaha dengan kemampuannya yang sangat lemah jika berbicara seni.

 

 

“Bagus.” Kai menepuk-nepuk kepala Yoona seperti anjing kecil. Dan perlakuan itu membuat Yoona segera menjauhkan tangan Kai dari kepalanya. Di ruangan itu tak hanya mereka berdua, tapi semua anggota tim ada di sana, dan tentu saja interaksi Yoona dan Kai tak luput dari mereka.

 

 

“Ayo semua, bersiaplah.” Park saem menginstruksikan agar tim segera ke lapangan.

 

 

-OoO-

 

 

Yoona duduk di pinggir lapangan bersama manejer dan cheerleader. Ia bisa duduk di sana dengan sedikit paksaan, karena seharusnya ia duduk di bangku penonton bersama yang lain.

 

 

Wasit baru saja membuang bola ke atas, dan direbut dengan cepat oleh kapten tim Seoul High School. Gemuruh penonton terdengar ketika Sehun mendribble bola kemudian mengopernya pada Kris. Di beberapa kesempatan, Kai memiliki banyak peluang untuk memasukkan bola ke ring, tapi anehnya Sehun tak pernah mengoper bola kepada Kai.

 

 

“Huh! Ada apa dengannya?” Ujar Kai.

 

 

“Dia terlihat aneh, terutama sikapnya padamu.” Tao menepuk bahu Kai pelan, kemudian kembali berlari.

 

 

Tim Seoul High School terus mencetak angka, tak ingin ketinggalan tim dari Kirin juga giat menerobos pertahanan tuan rumah demi mendapatkan poin.

 

 

Yoona berteriak heboh di pinggir lapangan dengan memegang banner lucunya. Juga tim cheerleader yang menyuguhkan penampilan menarik sebagai bentuk dukungan mereka. Karena terlalu larut, Yoona melompat-lompat sambil berteriak menyemangati anggota tim sekolahnya.

 

 

Ya! Kkamjong, jangan diam saja. Cepat rebut bolanya.” Ujar Yoona ketika melihat Kai berusaha mencuri bola dari lawan.

 

 

“Ya, seperti itu.” Yoona tersenyum melihat Kai akhirnya berhasil merebut bola dan memasukkannya ke dalam ring.

 

 

Tiba-tiba saja Yoona merasa kepalanya sakit dan pandangannya buram. Ia masih berusaha bertahan, namun ahirnya ia pingsan di pinggir lapangan. Melihat itu, Sehun yang sedang memegang bola langsung melempar bola itu ke sembarang arah dan berlari ke pinggir lapangan menghampiri Yoona.

 

 

Ya! Im Yoona, ada apa denganmu?” Ujarnya dengan wajah panik,

 

 

“Ya Tuhan, bagaimana bisa dia pingsan.” Kai tiba-tiba datang dan mengangkat tubuh gadis itu. Sehun terlihat kecewa dan kesal karena kalah cepat dari Kai, padahal ia duluan yang menghampiri Yoona.

 

 

Sehun melihat Park saem berbicara dengan wasit, ia menghampiri guru laki-laki itu dan meminta keterangan wasit mengenai kejadian tiba-tiba ini.

 

 

“Kau terpaksa berhenti bermain untuk 2 pertandingan ke depan.”

 

 

-OoO-

 

 

Sehun berada di ruang kesehatan menunggu gadis itu sadar. Ia telah mendengar keterangan dokter yang menyatakan bahwa gadis itu hanya kelelahan dan kehabisan tenaga. Sehun menduga bahwa Yoona mengabaikan makannya karena membuat banner untuk Kai. Ya, Sehun mendengar semua pembicaraan Kai dan Yoona di ruang ganti tadi.

 

 

Entah kenapa Sehun merasa aneh dengan dirinya akhir-akhir ini, terutama ketika melihat Kai dan Yoona bersama. Jika sebelumnya Yoona bersama Jieun, kini gadis itu lebih sering dengan Kai karena Jieun sudah pindah sekolah.

 

 

Sehun memang menjaga jarak dengan Yoona, terlebih setelah kejadian buruk yang menimpa Irene. Bagi Sehun, Irene adalah gadis yang sangat penting dalam hidupnya, terlebih lagi gadis itu adalah orang yang mengenalkan ia pada sebuah perasaan bernama cinta.

 

 

Selama ini, Sehun merasa kesal dengan Yoona. Ia sangat menyayangkan bahwa gadis dengan wajah rupawan itu memiliki sifat yang sangat buruk. Tapi terkadang, ia melihat Yoona seperti orang yang berbeda. Ya, meski ia tampak tidak peduli dan selalu mengacuhkan Yoona, tapi sebenarnya ia menaruh perhatian besar pada gadis itu. Entahlah, ia merasa bahwa Yoona memiliki sesuatu yang lain—selain sifat buruknya—yang tidak ia ketahui.

 

 

“Eunghh. . .”

 

 

Lenguhan gadis itu membuat Sehun tersadar dari lamunannya. Sambil memegang kepalanya, Yoona berusaha bangun dan mengubah posisinya menjadi duduk.

 

 

“K-Kau sudah sadar?”

 

 
“Apa yang terjadi?”

 

 

“Kau pingsan.”

 

 

“Benarkah?” Yoona berusaha menghilangkan rasa pening di kepalanya.

 

 

“Kata dokter kau kelelahan, jadi kau sebaiknya mengisi perutmu.” Sehun mengambil nampan berisi semangkok bubur dan segelas air di meja kemudian menghampiri Yoona dan duduk di pinggir tempat tidur kecil itu.

 

 

Yoona memejamkan mata sejenak, kemudian membukanya ketika peningnya telah hilang. Ia terkejut ketika menyadari bahwa yang berbicara dengannya sejak tadi adalah Sehun. Ia mengira bahwa yang bersamanya adalah Kai.

 

 

“Di-di mana Kai?”

 

 

Gadis itu mengira Sehun adalah Kai karena ia berpikir hanya Kai yang mau menjaganya dan dekat dengannya. Ia sama sekali tidak berpikir bahwa Sehun yang ada bersamanya, bukan Kai.

 

 

Mendengar gadis itu menyebut nama sahabatnya, Sehun menghela nafas pelan. “Dia masih harus menyelesaikan pertandingan.” Jawabanya.

 

 

“Lalu, kau sendiri kenapa masih di sini?”

 

 

“Aku dikeluarkan.”

 

 

“Apa itu karena aku?”

 

 

“Jangan banyak tanya, lebih baik kau habiskan ini.” Sehun meletakkan nampan itu di tempat tidur kemudian keluar dari sana.

 

 

-OoO-

 

 

Yoona sedang menghabiskan buburnya ketika dokter Choi masuk ke ruang kesehatan. Dokter tampan itu tersenyum hangat dan menghampiri Yoona. Ia mengambil 2 butir obat kemudian memberinya pada gadis itu.

 

 

“Bagaimana keadaanmu?”

 

 

“Aku merasa lebih baik.” Yoona mengambil pil pemberian dokter Choi kemudian menelannya bersama air mineral.

 

 

“Aku ingin bertanya sesuatu padamu.”

 

 

“Bertanya apa?”

 

 

“Kau—“Dokter itu tampak ragu melanjutkan kalimatnya. “Apa kau baru saja melakukan operasi ?” Tanya dokter Choi pada akhirnya.

 

 

“A-Aku telah mendonorkan ginjalku pada Yuri unnie.” Jawab Yoona sedikit terbata.

 

 

Dokter Choi menghela nafas pelan. “Seharusnya kau lebih menjaga kesehatanmu, organ tubuhmu tidak lengkap sekarang.” Lelaki itu mengacak rambut gadis remaja di depannya sambil tersenyum lembut. Dokter Choi sangat mengenal Yoona—ingat, semua orang di sekolah mengenal Yoona—dan ia cukup senang mendengar gadis itu tidak pernah melakukan hal-hal buruk lagi.

 

 

“Kau bisa kembali ke kelas, dan pesanku tolong jaga kesehatanmu. Okay?”

 

 

Gomawo, uisanim.”

 

 

-OoO-

 

 

Yoona keluar dari ruang perawatan, tadinya ia berniat ke aula pertandingan tapi akhirnya ia putuskan untuk kembali ke kelas. Baru sampai di pintu, gadis itu menghentikan langkahnya. Dari sini, ia melihat Sehun berciuman dengan Irene.

 

 

Tiba-tiba saja rasa sesak itu menghampirinya. Yoona mengepalkan kedua tangannya kemudian berbalik dan menjauh dari sana. Di setiap derap langkahnya, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk melupakan Sehun dan berhenti mencintai namja itu mulai dari sekarang.

 

 

Yoona masuk ke mobil dan meninggalkan sekolah. Sebelum itu, ia mengirim pesan singkat pada Kai yang isinya adalah permintaan maaf karena tidak bisa mendukungnya dengan alasan harus kembali ke rumah dan bersitirahat.

 

 

“Baiklah, selamat tinggal Oh Sehun.”

 

 

-OoO-

 

 

Sehun menjauhkan wajahnya dari Irene, dan ia bisa melihat rona kemerahan di pipi gadis mungil itu. Setelah dari ruang kesehatan tadi, Sehun kembali ke kelas dan kebetulan bertemu Irene yang sedang mencarinya.

 

 

“Maaf aku—aku menciummu.”

 

 

Pipi gadis itu semakin memerah. “Ka-kau tidak perlu minta maaf, oppa.” Ujarnya sambil memberanikan diri menatap namja di depannya yang tampak—bingung, mungkin?

 

 

“Kita pulang saja sekarang.” Ujar Sehun kemudian berbalik dengan cepat, namun Irene segera memeluk namja itu dari belakang.

 

 

“Sehun oppa, aku menerimamu.”

 

 

Sehun tertegun mendengar pernyataan gadis itu. Ia mengingat kembali ketika gadis itu akan berangkat ke laur negeri, ia sempat menyatakan perasaannya pada Irene dan berharap gadis itu menerimanya sebagai kekasih. Namun saat itu, Irene tidak memberi jawaban apapun. Irene melakukan itu karena ia sendiri tak tahu apakah akan kembali ke Korea, ia hanya tak ingin memberi harapan pada Sehun.

 

 

Dan sekarang ia telah kembali, selama di luar negeri ia tak pernah berhenti memikirkan Sehun. Dan setelah berusaha keras membujuk orang tuanya, akhirnya ia diberi izin untuk menamatkan sekolah di Korea.

 

 

“Aku menerimamu, aku mencintaimu oppa.” Ujar Irene sekali lagi.

 

 

Sehun hanya diam, jujur saja ia akan sangat bahagia jika saja Irene menjawab seperti ini 2 tahun yang lalu. Tapi sekarang, entahlah, ia merasa biasa saja dengan pernyataan cinta Irene. Bahkan ketika menciumnya tadi, Sehun tidak merasakan apa-apa.

 

 

“Ayo pulang.”

 

 

Sehun bingung harus melakukan apa, di satu sisi ia sangat menyayangi gadis itu, namun di sisi lain tepatnya di hatinya, ia tidak mengharapkan Irene lagi. Organ itu tidak lagi berdebar kencang seperti dulu.

 

 

-OoO-

 

 

Di pertandingan hari kedua, Yoona terpaksa datang ke sekolah karena paksaan Kai. Yoona bahkan bingung dengan dirinya sendiri, bagaimana bisa ia diperintah seenaknya oleh Kai. Sesampainya di sekolah, Yoona segera mencari keberadaan namja berkulit kecoklatan itu.

 

 

Dalam perjalanan, ia tak sengaja bertemu Irene dan Sehun. Rasanya Yoona ingin berbalik dan mengambil jalan lain, tapi ia tidak ingin terlihat seperti sedang cemburu. Ia ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia bisa menghadapi Sehun.

 

 

Anyeong, Yoona-ya.” Sapa Irene dengan ramah.

 

 

Yoona tersenyum kecil dan membalas sapaan Irene. “N-ne, anyeong Irene ssi, Sehun ssi.”

 

 

“Apa kau akan ke tempat pertandingan?” Tanya Irene.

 

 

“Um! Si Kkamjong itu memintaku membawa air mineral dan handuk, padahalkan ada manajer yang menyiapkan semuanya.” Ujarnya dengan menunjukkan mimik kesal.

 

 

Irene tersenyum kecil melihat kelakuan gadis di depannya, ia baru tahu bahwa Yoona memiliki sisi lucu dan kekanakan. “Kami juga akan ke sana.”

 

 

Yoona tak ada pilihan lain, ia terpaksa berjalan berbarengan dengan Sehun dan Irene. Gadis itu berusaha bersikap sebiasa mungkin, meski dalam hati ia cemburu melihat Irene yang terus merangkul lengan Sehun.

 

 

Aish! Berhentilah memikirkan itu Im Yoona.” Batin Yoona sambil menggelengkan kepalanya, dan itu menarik perhatian Irene.

 

 

“Ada apa?”

 

 

“Eh?” Yoona gelagapan. “Ti-tidak ada apa-apa.” Ia tersenyum aneh dan menampilkan deretan gigi putihnya.

 

 

“Yoona-ya, kau menyukai Sehun oppa ‘kan?”

 

 

Pertanyaan tak disangka-sangka itu keluar dengan lancar dari mulut Irene. Yoona bahkan dibuat berhenti melangkah, namun hanya sebentar, kemudian ia melanjutkan langkahnya. Sehun sendiri juga terkejut dengan pertanyaan Irene. Dan sekarang, namja itu menunggu jawaban seperti apa yang akan diberikan Yoona.

 

 

“A-aku berbohong jika aku berkata tidak menyukai Sehun.” Tutur Yoona. “Tapi tenang saja, aku tidak akan mengganggu Sehun lagi. Aku menyerah” Gadis itu menatap lantai di bawahnya.

 

 

Yoona mengumpulkan segenap kekuatannya, meski di dalam ia sangat hancur. Gadis itu menatap Irene dan Sehun secara bergantian. “Tidak perlu dipikirkan, perasaanku adalah milikku sendiri.” Yoona tersenyum sangat tulus dari hatinya.

 

 

-OoO-

 

 

Karena masih dalam masa hukuman, Sehun harus rela duduk di bangku penonton. Namja itu tak pernah mengalihkan pandangannya dari gadis yang duduk sendiri di bangku paling depan. Masih teringat jelas kejadian beberapa saat yang lalu dimana Yoona berkata bahwa ia menyerah. Dan itu membuat Sehun merasa sulit bernafas untuk sejenak karena dadanya terasa sesak.

 

 

Tiba-tiba ia teringat kembali dengan kejadian di gudang, Sehun merasa kata-katanya sangat kasar pada waktu itu. Sejujurnya ia tidak berniat menyakiti Yoona, ia hanya ingin meyadarkan gadis itu. Tapi tampaknya ia terlalu terbawa emosi dan tidak bisa mengendalikan perkataan dan tindakannya.

 

 

Sehun menghela nafas pelan, ia merasa sangat tidak bersemangat. Selama ini ia terbiasa dengan keberadaan Yoona di sekitarnya, memanggilnya dengan panggilan ‘Sehunie’ , dan sering bergelayut manja padanya. Dan akhir-akhir ini, sosok Yoona yang seperti itu tidak ada lagi. Gadis itu bahkan memanggilnya dengan embel-embel ssi.

 

 

Tanpa disadari Sehun, sejak tadi Irene memperhatikannya. Memperhatikan ketika pandangan namja itu tak lepas dari Yoona, dan entah sudah berapa kali ia mendengar namja itu menghela nafas berat. Irene tidak bodoh, ia telah mengenal Sehun sejak lama, dan ia menyadari sesuatu telah berubah dari Sehun. Sesuatu yang sangat ia sesali sekarang.

 

 

-OoO-

 

 

“Aku mencetak banyak point hari ini.”

 

 

“Iya, aku tahu.”

 

 

“Kalau begitu kau harus memberiku hadiah.”

 

 

“Enak saja. Aku datang ke sini saja termasuk hadiah. Waktuku berharga tau!”

 

 

“Gadis jahat sepertimu mana mungkin memiliki waktu yang berharga.”

 

 

Ya! Aku tidak jahat lagi. Buktinya, aku membawakanmu minuman dan berteriak seperti orang bodoh di bangku penonton.”

 

 

Dan perdebatan konyol itu terus berlanjut. Pertandingan baru saja usai, dan tim dari Seoul High School kembali mendapatkan kemenangan kedua. Kai terus menyombongkan dirinya di hadapan Yoona, dan gadis itu akan berbalik mengejek Kai.

 

 

“Baiklah, aku akan mentraktirmu ice cream.” Yoona menyerah. Kai berseru senang kemudian merangkul bahu gadis itu.

 

 

“Im Yoona memang yang terbaik.”

 

 

Sepulang dari sekolah, Yoona terlebih dahulu kembali ke rumahnya untuk menyimpan kendarannya. Kemudian ia bersama Kai menuju kedai ice cream yang cukup terkenal akan kelezatannya. Kai juga mengajak adik perempuannya yang masih berusia 7 tahun. Yoona tidak menyangka Kai memiliki adik perempuan dengan perbedaan usia yang cukup jauh.

 

 

“Jadi namamu,Kim Yein ?” Tanya Yoona pada bocah lucu itu.

 

 

Ne, Yoona unnie.”

 

 

“Kau mengenalku?”

 

 

“Jongin oppa sering bercerita padaku.”

 

 

Yoona melirik Kai yang sibuk menyetir—tampak tak peduli dengan pembicaraan Yoona dan Yein—dan terus memperhatikan jalan di depannya.

 

 

“Memangnya Kai bercerita apa padamu?”

 

 

“Jongin oppa bilang ia memiliki teman gadis jelek yang cerewet dan menyebalkan.”

 

 

Oppamu berkata seperti itu?” Tanya Yoona tak percaya, ia melihat Kai dengan tatapan membunuhnya. Namun, lelaki itu hanya bersiul santai seolah tak mendengar apapun.

 

 

“Um. Tapi menurut Yein, Yoona unnie sangat cantik dan menyenangkan.”

 

 

“Aku memang cantik, oppamu saja yang tidak mau mengakui.” Dengan penuh percaya diri Yoona menyelipkan rambutnya ke belakang telinga.

 

 

Tak lama kemudian, mereka telah sampai di kedai ice cream. Mereka baru saja masuk dan berniat mencari tempat duduk, tapi seseorang memanggil Yoona dan mengajaknya bergabung. Dia adalah Irene. Karena tidak enak untuk menolak, akhirnya Yoona dan Kai bergabung dengan mereka.

 

 

“Dia adikmu?” Tanya Irene pada Kai.

 

 

“Namanya Yein.”

 

 

Neomu kyeopta!” Irene mencubit gemas pipi gembul adik perempuan Kai.

 

 

Tak lama kemudian, pesanan mereka datang. Sambil menikmati ice cream, mereka sesekali tertawa bersama melihat tingkah lucu Yein. Lebih tepatnya, hanya Yoona dan Irene. Karena dua namja di samping mereka hanya diam, bahkan tidak menyentuh pesanan mereka sama sekali.

 

 

Tanpa kedua gadis itu sadari, sejak tadi aura dingin menyelimuti Kai dan Sehun. Hal ini bermula sejak kemarin, ketika Sehun terang-terangan tidak memberikan bola pada Kai dan terkesan mengacuhkan namja itu di pertandingan.

 

 

Yak! Kenapa kau melumuri wajahku dengan ice cream?” Yoona tampak kesulitan mencegah Yein melumuri wajahnya, karena gadis mungil itu sangat cekatan.

 

 

“Hahaha, Yoona unnie lucu sekali.” Yein tertawa puas melihat ice cream di hidung dan di kedua pipi Yoona, Irene juga cekikikan membuat Yoona semakin sebal.

 

 

Namun itu tidak berlangsung lama, karena tanpa diduga Sehun menjulurkan tangannya dan menghapus noda ice cream di wajah Yoona. Kini suasana ceria itu berganti dengan rasa canggung. Oh, tentu saja tidak berdampak pada si kecil Yein.

 

 

.

Mungkin ada chapter yg akan diprotect

Jadi, yang mau dapat password silahkan tunjukkan itikad baik

First Kiss - Kaistal valentine special by.Ryokucha

$
0
0

FIRST KISS

Author : Ryokucha

Cast     : Kim JongIn/Kai (EXO), Jung SooJung/Krystal (f(x))

Genre   : Romance, FLUFF, School life

Rating  : PG-16

Length : Vignette (1700+ w)

Disc     : I don’t own anything beside storyline. Casts belongs to our god and theirself. This is just a fanfic from my imagination. just have fun as a shipper and fan^^ Pic credit : Google

Warning for TYPOs and MAINSTREAM STORYLINE

( Cerita ini misah sama Kaistal yang sebelumnya. Kita sebut saja itu puppy series oke? Yang ini tanpa monggu dan Snowy. lagi lagi ryo males bikin poster.. nistakanlah author yang satu ini)

 

Happy Reading~^^

 

[First Kiss]

“apa?” tanya seorang gadis pada seorang pemuda disampingnya, yang jelas-jelas sedang memandanginya sejak tadi.

“ada sesuatu di wajahmu.” Balas pemuda itu cepat.

“geojitmal. Aku sudah bercermin tadi.” Jawab gadis itu datar. Sementara si pemuda hanya meringis karena jawabannya sangat mudah ketahuan.

“ya! Second Ice Princess” seru pemuda itu saat si gadis mendahuluinya berjalan.

“apa?” jawab gadis itu.

“tak ada yang ingin kau katakan padaku?” tanya si pemuda.

“tidak.” Jawab gadis itu cepat tanpa pikir panjang.

Si pemuda hanya memandang gadis itu sengit, kemudian menghela napas. Ia tahu kalau gadis di sampingnya ini memang tipe yang dingin. Tapi siapa yang tidak ingat hari valentine? Semua gadis di sekolah mereka sedang heboh-hebohnya membuat sekedar cokelat atau kue untuk kekasih mereka. Tapi gadis di sampingnya ini? jangan ditanya.

Krystal Jung, gadis dengan julukan Second Ice Princess, karena kakaknya juga menyandang julukan yang sama. Gadis luar biasa cantik dengan hati sedingin es, yang baru saja lumer pada pesona seorang Kim JongIn. Sedikit.

Masa pacaran mereka, sangat sangat sangat membosankan. Tak ada ciuman, tak ada kata-kata romantis. Setidaknya dari Krystal. Kim JongIn—Kai—si tampan yang terkenal di sekolah karena kulitnya yang berwarna tan, bersikap seperti layaknya pasangan biasa. Contohnya kali ini.

Kai langsung menggandeng tangan Krystal dan menyelipkan jari-jarinya diantara jari-jari tangan gadis itu. lalu tersenyum manis pada Krystal yang memandangnya kaget. Yah. 3 bulan masa pacaran dan mereka masiih terlihat canggung—terutama Krystal.

Perlahan, topeng es gadis itu lumer juga. Ia ikut tersenyum pada Kai, yang mulai menggoyangkan tautan mereka ke depan dan belakang sesuai irama langkah mereka. Pemuda itu memutuskan, bila gadisnya tidak ingin bersikap manis apalagi romantis, setidaknya ia harus mencairkan topeng es gadis itu hari ini.

“teruslah tersenyum seperti itu. kau terlihat 10 kali lebih cantik.” Kata Kai.

“akan kuusahakan.” Jawab Krystal. Gadis ini punya hobi menjawab seperlunya. Benar benar seperlunya.

“andwae. Jangan, jangan tersenyum pada siapapun hari ini.” tegas Kai setelah beberapa saat mereka tenggelam dalam kehenigan.

“wae?” tanya Krystal sambil menoleh padanya.

“senyum itu hanya punyaku.” Jawab pemuda itu sambil mengedipkan sebelah matanya nakal pada Krystal.

“heol…” tanggap gadis itu. tapi ia tersenyum juga. Kai tipe yang posesif, tapi terkesan lucu karena sikap posesifnya itu.

“yaaaaa! Sudah kubilang jangan tersenyum!” seru Kai dengan nada manja.

“ah wae? Hanya ada aku dan dirimu disini mr. possesive” jawab Krystal sengit.

Kai langsung nyengir pada gadis itu. “hehe~”

Tak lama mereka sampai di gerbang sekolah. Masih dengan tangan bertaut. Tangan mereka baru terlepas ketika sampai di kelas Krystal. Kai selalu mengantar Krystal ke kelasnya, baru kemudian pergi ke kelasnya sendiri. Dan biasanya sudah ada gerombolan fans Kai dan Krystal sudah menunggu mereka dengan tatapan iri. Tapi hari ini mereka bebas dari tatapan itu, meskipun beberapa masih seperti itu.

“wae?” tanya Kai melihat gerak-gerik Krystal yang tidak biasa.

“rasanya.. hari ini lebih tenang.” Jawab gadis itu sambil menghela napas lega.

Yah, mungkin gadis itu memang tidak peka, atau dia pura-pura tidak peka. Karena pagi ini seluruh sekolah sedang diselimuti atmosfer aneh, seolah ada kabut pink yang menyelimuti mereka.  Di setiap sudut sekolah pasti ada pasangan yang sedang berlovey-dovey, atau kumpulan gadis yang sedang berdiskusi dengan heboh.

“iewh..” gumam Krystal saat mendapati sepasang kekasih yang sedang berciuman di salah satu sudut koridor. Kai hanya tersenyum melihat reaksi gadisnya itu.

“wae?” tanya Kai jahil.

“setidaknya mereka harus melakukannya di tempat yang lebih privasi. Itu menjijikkan.” Sungut gadis itu.

“kau mau melakukannya?” tanya Kai.

Gadis itu langsung menggeleng cepat sambil membuat pandangan ke arah lain. Menyembunyikan rona yang muncul di pipinya saat Kai bertanya tadi.

“Oppaaa! Ini cokelat untuk Oppa!” seru seorang gadis yang memang salah satu fans Kai. “tolong diterima! Aku membuatnya sendiri!” tambah gadis itu setelah melirik Krystal dengan tatapan kurang ajar yang membuat Krystal otomatis mengerutkan keningnya. Tidak tahu malu.

“oh.. gomawo.” Kata Kai sambil menerimanya dan tersenyum pada gadis itu, tanpa melepaskan tautan tangannya dengan Krystal.

Setelah itu, beberapa anak juga dengan berani menyorongkan kotak-kotak berisi cokelat buatan mereka. Membuat tangan namja itu penuh dan terpaksa melepaskan tautannya dengan tangan Krystal, yang senyumnya langsung memudar setelah kehangatan Kai lepas darinya.

Gadis gadis tak tahu malu.. batin gadis itu.

“sudah selesai?” tanya Krystal setelah Kai memberikan senyuman dan lambaian terakhir pada gerombolan gadis itu.

Kai melirik gadis itu sambil tersenyum geli melihat wajah kesalnya. “ne, my ice pricess. Kaja.”

Mereka kembali melangkah ke kelas. Di loker, Kai kembali kebanjiran kotak dan bungkusan-bungkusan yang kelihatannya berisi cokelat. Sementara Krystal sendiri kelihatannya juga mendapat cokelat dan beberapa bunga di lokernya—meskipun tidak seheboh Kai.

“kelihatannya kau akan kenyang makan cokelat selama sebulan, tuan Kim.” Kata Krystal dengan tatapan kesal sambil meninggalkan pemuda itu dengan tumpukan kotak dan bungkusannya.

“ya! ya! Himeee!” seru Kai sambil meninggalkan tumpukannya dan mengejar Krystal. Tapi ia langsung disambut gerombolan gadis yang berusaha memberikan hadiah mereka untuk Kai.

Melihat hal itu Krystal hanya mendecak dan langsung meninggalkan Kai yang sibuk dengan para fansnya. Gadis itu langsung masuk ke kelasnya dan duduk di bangkunya, lalu memasang handsfree dan membaca buku dengan tenang.

Begitu merogoh laci mejanya, gadis itu mendapati belasan mawar disana. gadis itu langsung mendengus dan menarik tangannya dari sana dan melanjutkan kegiatannya. Tak lama, suara bangku ditarik dan sesuatu yang menimpa mejanya mengganggu aktivitasnya itu.

“sudah selesai dengan fansmu itu?” gadis itu membuka suara.

“kau marah?” jawab yang diajak bicara.

Krystal menutup bukunya dengan kesal, lalu menatap pemuda yang sedang duduk di hadapannya. “ani, aku..”

“cemburu.” Potong suara itu bahkan sebelum Krystal bisa menyelesaikan kalimatnya.

“naega eonje?” seru Krystal dengan emosi yang sebenarnya berlebihan untuk ukuran dirinya.

“sekarang.” Jawab Kai dengan polosnya.

Dalam hati Krystal membenarkan perkataan Kai. Tapi ia masih asing dengan perasaan kesal yang sedang menggerogotinya saat ini. ia kesal saat Kai ramah pada gadis lain selain dirinya. Ia kesal saat kai menerima semua hadiah itu dengan senyum di wajahnya. Dan ia kesal karena Kai melepaskan tangannya hanya karena bungkusan-bungkusan sialan itu. dan emosinya sudah naik sampai ke ubun-ubun, bahkan di pagi yang cerah ini.

Bunyi bel membuyarkan lamunannya, Kai mengacak puncak kepala gadis itu sesaat sebelum ia bangkit dan meninggalkan kelas XI-1 dan pergi ke kelasnya di XI-3.

“sampai nanti. Dan jangan terima semua mawar di lacimu.” Pesan pemuda itu. sementara Krystal mendecak kesal. Tapi bibirnya membentuk lengkungan saat memalingkan wajahnya kearah jendela.

Istirahat siang. Krystal berjalan kembali dari perpustakaan untuk mengembalikan buku yang dipinjamnya tempo hari.

“Kai oppa ramah sekali. Ia menerima semua hadiah kita.” Kata seorang gadis yang Krystal tidak kenal sedikitpun.

“hmm.. sayangnya dia sudah punya pacar.” Kata gadis satunya.

“pacarnya dingin sekali. Kudengar bahkan mereka belum pernah ciuman sekalipun selama 3 bulan ini. waaah daebak. Kasihan Kai Oppa.” Timpal gadis pertama.

“kalau aku jadi gadis itu.. mungkin bibirku sudah bengkak.” Jawab gadis kedua diiringi gelak tawa.

Mendengar percakapan itu Krystal langsung mempercepat langkahnya. Mendengar semua itu membuat hatinya panas.

“Hime!” seru Kai sambil mengiringi langkah Krystal. “eodiga?”

“perpus.” Jawab Krystal.

“ayo makan siang.” Ajak pemuda itu.

“makan saja semua kue dan cokelatmu itu.” balas Krystal.

“Jung SooJung!” seru Kai

“aku tidak bawa bekal hari ini. lebih baik kau ke kantin sebelum bel berbunyi.” Ucap Krystal, lalu ia meninggalkan Kai yang tidak mengerti apa salahnya sampai Krystal semarah itu padanya.

Sepulang sekolah, Kai sudah menunggu Krystal di depan kelasnya. Sementara gadis itu langsung lewat begitu saja seolah tidak menyadari kehadiran Kai.

“ya! kenapa kau marah?” tanya Kai bingung sambil mengimbangi langkah Krystal.

“ani.” Jawab gadis itu. ia melirik kesal saat mereka lewat ke loker Kai. Dengan banyak bungkusan di depannya. “kau tidak membawa bungkusan-bungkusan itu pulang?”

Kai kembali menautkan jari-jarinya pada milik Krystal, seperti tadi pagi. Ia sudah melihat topeng es gadis itu kembali. “ani, aku memutuskan menerimanya bukan berarti barang itu penting untukku. Sebanyak apapun orang yang memberiku cokelat, aku hanya akan membawa pulang dari satu orang.”

Krystal menatap Kai dengan perasaan campur aduk. Marah, kesal, dan merasa bersalah.

“mian.” Kata gadis itu pelan. Mereka sudah keluar dari gerbang sekolah dan jalanan yang mereka lalui cukup sepi.

“untuk apa?” tanya Kai.

“karena aku tidak bisa bersikap manis.” Jawab gadis itu lirih. Ia kesal pada dirinya yang tidak bisa bersikap manis di hadapan kekasihnya sendiri. Gadis itu agak menggigil kedinginan. Salju mulai turun lagi.

Kai merapikan syal yang gadis itu kenakan, lalu menyentil hidung Krystal yang sedikit memerah karena kedinginan. “gwaenchanna.”

“maaf aku tidak menyiapkan cokelat.” Lirih krystal lagi.

“asal melihatmu tersenyum, tanpa cokelat pun aku sudah senang.” Jawab Kai sambil menautkan tangan mereka lagi.

Mereka mulai berjalan lagi.

“mau temani aku ke suatu tempat?” tanya Kai.

Krystal memandang pemuda itu sejenak, lalu mengangguk.

5 menit kemudian, mereka sampai di sebuah bukit kecil dengan sebuah pohon besar diatasnya. Di dahannya menggantung sebuah ayunan dari ban. Tempat itu terlihat berkilau karena perpaduan dari sinar matahari sore dan butiran salju yang turun perlahan.

“wahh..” gumam Krystal.

“yeppeuji? Ini markas besarku.” Kata Kai. “Yeppeuji?”

Krystal bergumam mengiyakan kata-kata Kai. Pemuda itu menuntunnya duduk di ayunan. Kemudian berlutut di depan Krystal hingga tinggi mereka setara. Ia  mengeluarkan setangkai bunga mawar dari dalam mantelnya. Lalu memandang Krystal langsung ke matanya.

“gomawo sudah menjadi kekasihku selama 100 hari ini. saranghae.” Ucap Kai lancar setelah mengambil napas panjang.

Krystal terdiam mendengar pengakuan pemuda itu, yang terlihat gugup dan malu-malu tapi juga sangat tulus. Kemudian ia tersenyum lembut pada Kai sambil mengulurkan tangannya menerima bunga mawar Kai.

“gomawo. Maaf aku tidak bisa jadi kekasih idamanmu selama 100 hari ini. nado saranghae, kim JongIn.” Ucap Krystal sambil memandang mawar di tangannya, kemudian menatap Kai yang tersenyum senang padanya.

Gadis itu sedikit menggigil. “maaf aku tidak menyiapkan apa apa, tapi aku punya hadiah untukmu.” Kata Krystal.

Gadis itu mengalungkan tangannya di sekitar leher Kai, kemudian menatap mata Kai langsung. Jarak wajah mereka hanya sekitar 20 cm.

“cium aku.” Ucap gadis itu singkat.

Kai terbelalak sesaat. Tapi ia tak melihat keraguan sedikitpun di mata gadis itu. jadi ia melingkarkan tangannya di pinggang Krystal dan menempelkan bibirnya pada bibir Krystal, lalu melumat bibir Krystal lembut. Manis dan lembut, itulah yang dirasakan keduanya.

Krystal hanya diam menerima perlakuan Kai. Ia merasa ada kehangatan yang mengalir ke dalam tubuhnya dan kejutan kecil seolah kupu-kupu menggelitik perutnya. Sensasi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Detak jantunya mengalami percepatan berkali-kali lipat.

Tak lama mereka melepaskan tautan masing masing. Krystal langsung mengalihkan pandangannya pada apapun selain Kai, sementara pemuda itu memandang wajah manis Krystal yang memerah.

Pemuda itu mendekat dan berbisik pelan pada gadis itu. “first kiss? Eottae?”

Krystal melipat bibirnya kedalam. Kemudian berkata lirih. “joha..”

Dengan takut takut gadis itu menatap mata Kai. Lalu mereka saling tersenyum penuh arti.

“saranghae..” ucap keduanya bersamaan.

-END-

A/N :

Akhirnyaa bisa update setelah bertahun tahun nggak bisa buka wp kecuali bales komen dan sekedar baca… stress gabisa ngetik sama sekali astagfir…. lelah hayati mas…

kabar buruk, ternyata Laptop Ryo memang harus di lembiru dan Ryo lagi berusaha ngumpulin si hijau melambai lambai buat beli laptop baru.. do’akan author nista ini genks! inipun update lewat warnet disela sela ngerjain tugas laknat guru guru itu…

Osh, jadi Ryo mau bela diri dikit *pencak silat*

 

Cerita ini Cuma selingan yang Ryo bikin buat valentine.. daaaan ini pernah di publish setaun yang lalu di wp ryo. Dan ingat. Cerita ini misah dari puppy series oke?

Begitulah .. ryo udah terlalu banyak ngoceh so.. kita ngobrol lagi di lain waktu.

Yang pingin lebih deket sama ryo, kalian bisa langsung follow twitter Ryo di ryokucha136 Buat line dan BM, Ryo bakal kasih lewat DM kalo kalian berminat. Soo.. bye~

Triple J Series - Ice Cream Sundae

$
0
0

Ice-Cream-SundaeTriple J Series

Title : Ice Cream Sundae  |  Author : Chateld  |  Type : Oneshot  |  Genre : Friendship  |  Cast : Park Jiyeon, Lee Jieun, Kim Jongin

-Disclaimer : Plots and story are mine. Don’t like? Don’t read! Thanks.! :)

sorry for typo(s)


Ice Cream Sundae.

Sudah sejak satu jam yang lalu Jongin duduk disalah satu meja di Café ini. Diketuk-ketukkannya jari miliknya diatas meja sehingga menimbulkan suara, ia hanya ingin mengusir rasa bosan, bahkan gelas Cappucino miliknya sudah bersih tak berisi. Diliriknya seseorang yang duduk didepannya, Jongin membuang napas kasar. Mungkin aku benar-benar akan mati karena bosan. Batin Jongin

Jongin menegakkan duduknya, lantas mengangkat tangan kanannya untuk memanggil pelayan. Aku butuh makan sesuatu untuk mengusir rasa bosanku. Batinnya

“Ada yang bisa saya bantu?” Tanya salah satu pelayan saat sudah sampai dihadapan Jongin

“Boleh saya meminjam buku menu? Saya ingin pesan sesuatu.” Ujarnya

“Tentu.” Pelayan tersebut memberikan buku menu yang memang selalu ia bawa, Jongin pun menerima buku menu tersebut dan mulai membukanya.

“Saya pesan satu Chicken Pizza Medium Pan, satu Regular Fried Fries, dan satu Ice Cappucino.” Ujarnya kemudian memberikan buku menu tersebut kepada pelayan.

“Apakah ada tambahan?.” Tanya Pelayan

“Satu Ice Cream Sundae Mix.” Ujar seseorang yang duduk didepan Jongin

Jongin membelalakkan matanya kearah seseorang yang duduk didepannya, “Yaa!! Kau gila, eoh? Kau masih ingin memesan Ice Cream lagi? Yaa!! Lee Jieun!! Kau bahkan sekarang sedang memakan Ice Cream keduamu.” Seru Jongin

Ice cream milikku sebentar lagi habis, makanya aku memesan lagi.” Jawab Jieun, seseorang yang sedari tadi duduk didepan Jongin

“Bagaimana? Apakah Ice Cream Sundae-nya jadi?” Tanya Pelayan

“Ya!/Tidak!” Jawab Jongin dan Jieun bersamaan

“Bagaimana? Jadi atau tidak?” Tanya Pelayan itu bingung

“Ya, jadi!” Jawab Jieun cepat

Jongin membuang napas kasar, “Oke, Ice Cream Sundae mix satu.”

“Baik, pesanan anda akan datang dalam beberapa menit, mohon tunggu sebentar.” Ujar sang pelayan

Jongin dan Jieun mengangguk, lantas pelayan tersebut meninggalkan mereka.

Jongin mengalah, terlihat jelas senyum merekah dibibir Jieun, senyum kemenangan.

“Aku tak akan mau mendengar kau merengek-rengek kepadaku jika suara milikmu hilang lagi.” Ucap Jongin sembari menatap Jieun yang kini masih menikmati ice cream miliknya

“Kalau begitu aku akan datang ke Jiyeon, Jiyeon tak akan tega padaku sepertimu.” Balas Jieun santai

Heol!” Jongin mencibir, “Ya!! Jika kau kesal dengan Chanyeol seharusnya tak seperti ini kau melampiaskannya.” Ujar Jongin, “Lagi pula, menurutku Chanyeol tak salah sama sekali.” Lanjutnya

Ya!! Kim Jongin!! Mengapa kau malah membela Chanyeol, eoh? Seharusnya kau membela aku, Lee Jieun, sahabatmu!” Ujar Jieun sebal

“Jieun-ah, aku tak bermaksud membela Chanyeol, namun, memang kenyataannya begitu.” Jelas Jongin, “Bukan salah Chanyeol jika nilai ulangan bahasa inggrisnya kali ini lebih tinggi darimu. Mungkin Chanyeol memang belajar keras, atau mungkin memang kau saja yang menjawabnya salah.” Lanjutnya

“Kau tahu sendiri bukan kalau selama ini nilainya selalu dibawahku? Ah, bahkan nilainya selama ini selalu dibawahmu. Bagaiman bisa eoh, sekarang nilainya berada diatasmu dan diatasku? Aku yakin sekali dia pasti mencontek. Pantas saja kemarin dia dengan percaya dirinya mengajakku bertaruh sebelum ulangan dimulai.”

Jongin mencibir sebal mendengar perkataan Jieun. Ia mengakui kalau memang nilainya selalu dibawah Jieun, karena ia memang tak sepandai Jieun, namun bisakah Jieun tak berkata seperti itu?. Ah, jangan tanya bagaimana dengan nilai Jiyeon, karena Jiyeon selalu menjadi nomor satu dikelasnya.

“Kau selalu berpikir negatif.” Ucap Jongin, “Lagipula, bagaimana caranya ia mencontek, eoh? Mungkin kali ini ia memang lebih unggul darimu karena hari ini ulangan listening, bukan writing, sehingga ia tak perlu berfikir keras seperti ulangan yang biasanya. Ayolah, listening kita hanya perlu mendengarkan dan menulis apa yang kita dengarkan, tak perlu berfikir. Mungkin telinganya lebih peka daripadamu.” Lanjutnya

“Huh, karena nilainya lebih tinggi dariku, aku harus merelakan uang sakuku hari ini untuk mentraktirnya makan tadi dikantin. Menyebalkan.” Keluh Jieun

“Anggap saja hari ini kau amal dengan mentraktirnya makan.” Timpal Jongin

Jieun memilih diam, tidak menanggapi perkataan Jongin, karena ia tahu kalau ia menanggapi maka pembicaraan mereka tak akan selesai. Hingga pesanan mereka datang pun mereka masih diam, memilih untuk menikmati makanan dan minuman mereka.

Huh, aku berharap Jiyeon segera datang. Batin Jongin

Jongin merutuk dalam hati, mengapa Jiyeon harus rapat organisasi siswa pada saat seperti ini, sehingga ia harus menghadapi Jieun yang saat ini sedang kesal.

Untuk mengusir rasa bosan, Jongin lebih memilih untuk menikmati Pizza yang tadi ia pesan. Jongin melirik kearah Jieun, didapatinya Jieun yang kini sedang asyik menikmati Ice Cream Sundae ketiga miliknya.

Jongin menunduk, meminum Ice Cappucino miliknya, kemudian memainkan sedotan miliknya. Aish, Park Jiyeon! Mengapa kau lama sekali? Batinnya sebal sembari mengaduk-aduk minumannya dengan sedotan

Yaa!! Park Jiyeon!! Itu Ice Cream milikku!!!”

Pekikan dari Jieun membuat Jongin mendongakkan kepalanya, dilihatnya Jiyeon yang sekarang duduk disamping Jieun sedang menikmati Ice Cream Sundae milik Jieun

“Biar saja! Kau bahkan sudah makan dua porsi.” Jiyeon menunjuk dua mangkuk kosong yang berada diatas meja, “Jika kau masih ingin makan Ice Cream, pesan saja lagi!” Lanjutnya diikuti sesendok Ice Cream memasuki mulutnya

Jieun beranjak berdiri dari duduknya, berniat memesan Ice Cream lagi, saat akan melangkah untuk memesan, perkataan Jiyeon menghentikan niatnya

“Jika kau memesan Ice Cream lagi, jangan harap kau bisa berbicara denganku lagi.” Ujar Jiyeon santai

Jieun mendengus sebal, lantas ia kembali duduk, “Heol, daebak. Kau mulai mengancamku. Bukankah tadi kau menyuruhku untuk memesan lagi, dan apa sekarang? Kau malah mengancamku jika aku memesan lagi.” Kata Jieun

“Aku tak pernah main-main dengan perkataanku Jieun-ah, kau tahu itu.” Ucap Jiyeon

Nan arra.” Balas Jieun dengan nada terpaksa. Jieun memilih mengambil sepotong Pizza milik Jongin daripada memesan Ice Cream lagi, ia tak ingin mengambil resiko Jiyeon mendiaminya.

Jongin yang sedari tadi menyaksikan mereka tersenyum geli, ia bahkan menahan tawanya melihat ekspresi sebal diwajah Jieun. Ancaman Jiyeon memang selalu ampuh. Batinnya

Jieun salah. Siapa bilang Jiyeon tak akan tega kepadanya? Nyatanya, Jiyeon lebih tega daripada Jongin.

keut.


Triple J Series 70% dari real life Chat nih, jadi kalo di real life nggak ada kejadian yang menurut Chat menarik buat diketik, nggak bakal ada Triple J Series yang dipost

Rate and review, please? karena rate dan review kalian itu sangat berharga buat Chat ^^ Thanks ^^

 

NB : Detective Club Chapter 2 will post at 10/02/16 18:00 WIB

FF Painful [ONESHOT] -Kim Jongin (KAI) EXO-

$
0
0

Author

Elvina Hasna Wijayanti

Main Cast

Kim Jong In a.k.a Kai

Park Haera

Genre

Angst, PG-15, Romance, School Life

Length

One Shoot

Annyeong Readers! Btw ini my first post, so i’m so exciting! saya mengharapkan apresiasi dari para pembaca :) Semoga suka karena cast dari ff ini adalah KIM JONGIN!!! Omaigat siapa yang gak kenal dia para penggila kpop..

NO PLAGIAT!!! Cerita ini ‘pure’ hasil pemikiran otak saya yang mulai setres karena sekarang sudah kelas 12 SMA dan sebentar lagi Ujian Nasional :( Do’akan saya bisa masuk Pendidikan Dokter dan cepet-cepet bisa nulis lagi. ah banyak bacit wkwk, langsung aja, cekidot :D Jangan lupa like,comment nyaaa :D

——————————

[Author Pov]

Menunggu merupakan hal tersulit di dunia ini, manusiawi memang. Dan menunggu cukup melelahkan, terutama untuk urusan hati. Namja itu muncul kembali, menunjukkan batang hidungnya setelah hampir empat tahun menghilang tanpa kabar. Pandangannya berbeda, seolah tak mengenal yeoja yang ia jumpai di koridor di hari pertmanya sekolah di Great Academy High School, seolah mengoyak kembali luka lamayeoja itu, seperti tertimpa jutaan beton dan tertusuk jutaan duri. Sakit, tentu saja sakit. Siapa yang tidak sakit setelah penantiannya sia-sia, segala waktu yang digunakan untuk memikirkan laki-laki itu sangat terbuang percuma. Mungkin konyol, tetapi perempuan itu malah berusaha untuk membuka hati laki-laki itu, agar mengingatnya. Mungkin ia amnesia, atau mungkin pura-pura amnesia. Entahlah, tetapi perempuan itu selalu berfikir untuk mengganti kata “percuma” menjadi “berhasil” karena empat tahun bukanlah waktu yang singkat untuk seseorang yang menunggu.

Namun, apakah “percuma” itu bisa dijadikan “berhasil”? ketika yang dinanti itu datang dan kemudian pergi lagi? Lalu untuk apa namja itu menunjukkan batang hidungnya, memberi harapan besar kepada hati perempuan itu untuk memperjuangkan penantiannya, hatinya, pikirannya. Datang untuk mengucapkan kata perpisahan kah? Atau menggoreskan luka yang semakin dalam, lagi..?

 

****

Sinar matahari masuk dan menyeruak ke dalam kamar seorang gadis yang sedang ber-mimpi, mungkin mimpi indah, dan sinar itu jelas mengganggunya. Ia mengerjapkan mata dan sedikit meregangkan tubuhnya. Ia bangun perlahan dan dilihatnya benda kesayangannya itu, sebuah telpon genggam yang tak pernah lepas dari genggamannya.

“Oh gawat, setengah jam lagi gerbang akan ditutup. Sial!”

Ya, dia Park Haera. Gadis manis yang hatinya manis seperti wajahnya, dengan rambut panjang bergelombang dan terurai yang berwarna cokelat tua dan tanpa poni menambah kesan anggun dan cantik gadis berkulit putih susu ini. Ia tipe gadis yang senang berlama-lama di kamar mandi, merendam diri, bernyanyi atau pun perawatan kulit. Namun, dalam kodisi seperti ini, tentu ia akan mandi dengan kecepatan kilat, semuanya ia rapihkan dalam kurun waktu kurang dari sepuluh menit, dan dia pun siap berangkat ke sekolah. Kecepatannya ini bisa saja tercatat ke dalam Guiness World Records, untuk mandi saja ia hanya menghabiskan kurang dari tiga menit, hal yang mustahil untuk seorang perempuan manis sepertinya.

Haera sudah sampai di sekolah dengan selamat, lima menit saja dia terlambat, ia bisa saja tidak akan sekolah hari ini. Dia bersekolah di Great Academy High School, sekolah ternama dengan nilai akademis tertinggi di Negara ini. Segera saja ia berlari menuju kelas yang berjurusan Ipa itu, ia tak akan mau terlambat di hari pertamanya sekolah di kelas sebelas ini, dan tentu saja perkenalan dengan wali kelas barunya, Lee sonsaengnim yang terkenal galak dan menghukum siapa saja dengan kesalahan sekecil apapun itu. Ia melihat bangku itu kosong, di depan dan dekat dengan meja guru. Ia pun duduk dan kelas pun dimulai.

————————

Bel pun berbunyi dan menandakan bahwa para siswa dipersilahkan untuk beristirahat selama empat puluh lima menit. Park Haera ingin ke perpustakaan, tentu saja untuk tidur sejenak atau sekedar membaca beberapa halaman dari novel-novel yang ada di sana.

“Ka….Kai…Kai oppa?”

Mata Haera terbelalak kaget, Ia merasakan detak jantungnya berpacu lebih cepat, semakin cepat hingga rasanya ingin loncat saja jantung itu dari singgasananya. Ia merasakan kaki dan tangannya bergetar, tumpukan buku-buku yang ada di tangannya nyaris jatuh dan rasanya tangan itu tak mampu lagi menopang buku-buku yang dirasanya lebih berat dari sebelumnya.

“Apa, aku salah lihat? Ah tidak mungkin!”

Deg….

Sungguh, matanya tidak salah lihat. Laki-laki itu mendekat, Haera semakin mudah mengenali wajahnya. Matanya masih normal, ia pun merekam dengan jelas wajah namja itu. Laki-laki yang hampir empat tahun menghilang, dan sekarang berada tepat di hadapannya.

“Kai Oppa? Jongin Oppa?”

“Ne..?” Jawab laki-laki itu, suaranya masih sama. Suara berat yang mampu melelehkan hati siapa saja yang mendengarnya.

“Kau , sejak kapan kau bersekolah di sini? Apa yang terjadi? Ke..kenapa baru muncul sekarang? Kemana saja? Apa kau baik-baik saja o..oppa? Selama empat tahun ini….” Mata Haera mulai berkaca-kaca, Ia melontarkan begitu banyak pertanyaan, pertanyaan yang selalu menghantuinya selama ini, Ia tak sanggup melanjutkan kata-katanya, Ingin Ia berhambur ke pelukan namja itu, matanya tak tahan menampung tetesan air itu dan air matanya sukses mengalir dan membasahi pipinya.

“Kau siapa? Kita pernah saling mengenalkah sebelumnya?” Deg.. Serasa di tampar dan tertusuk duri, serasa dirobek hatinya hingga hancur tak berbentuk. Segitu sakitnya kah? Ini bahkan teramat menyesakkan, kata kata yang baru saja dilontarkan laki-laki itu sunggu membuatnya ingin mati di tempat. Ia mengurungkan niatnya untuk memeluk namja itu, kakinya terasa kaku, terasa mati rasa hingga ia ingin jatuh dan menangis sekencang-kencangnya. Inikah namja yang dinantinya selama empat tahun terakhir?

“A..aku.. aku Haera, Park Haera, teman kecilmu oppa. Apa oppa sungguh tidak mengingatnya? Kita sudah hampir dua belas tahun bersahabat oppa..” Bahkan dia adalah cinta pertama yeoja ini, yang membuat dirinya selalu meleleh ketika berhadapan dengan namja itu.

“Aniyo, kurasa kau salah orang nona, maaf aku sedang buru-buru ke ruang guru. Karena aku baru pindah hari ini. Sampai jumpa.” Kai melontarkan senyum ramah, entah senyum terpaksa atau senyum pilu.

Park Haera mengurungkan niatnya untuk pergi kembali ke kelas, ia berlari sekencang mungkin ke atap sekolah. Tentu saja untuk menangis, menangis sekencang-kencangnya dan sepuas-puasnya. Perempuan mana yang tidak merasa sakit? Perempuan itu memiliki perasaan yang sangat kuat dan perasaan Haera kini sedang hancur berkeping-keping.

Bel pun berbunyi, segera ia menghapus air matanya. Ia melihat dirinya di layar handphone nya, matanya bengkak dan sembap. Ia tak mungkin ke kelas dengan keadaan seperti itu, Ia lebih memilih untuk ke UKS disbanding membuat orang sekelas heran dengan keadaan yang mengenaskan itu.

Baru saja Ia membaringkan tubuhnya, seseorang pun masuk dan sontak hal tersebut membangunkannya kembali.

“Kau sakit apa?” Tanya namja itu.

“Ah.. tidak, aku hanya sedang tidak enak badan dan badanku terasa lemas.”

“Mau ku buatkan teh manis hangat? Mungkin itu bisa membuatmu menjadi lebih baik.”

“Ah, ne.. Gomawo”

Laki-laki itu tersenyum dan memperlihatkan deretan giginya yang rapih, senyumnya masih sama. Sangat manis seperti dulu, sifatnya pun sama. Setiap Haera sakit pasti Kai akan sangat perhatian dan menunggunya hingga sembuh. Otak Haera memutar seluruh memorinya dan kejadian-kejadian itu membuatnya tersenyum dan bahagia, namun saat kejadian di koridor dekat perpustakaan tadi itu membuat hatinya sakit lagi. Matanya berkaca-kaca lagi, namun Ia menahannya, segera menghapus buliran air mata yang dengan tidak sopan jatuh di pipinya tanpa izin dari pemiliknya.

“Ini tehnya, semoga kau cepat sembuh. Aku akan kembali ke kelas.”

“Terimakasih banyak, tapi.. tunggu! Untuk apa kau ke sini lalu segera ke kelas?” Haera penasaran, apa Kai tidak ingin bertemu dengannya? atau sebenarnya Ia sakit tetapi tidak ingin bersamanya di UKS ini?

“Aku hanya mengambil obatku yang tertinggal tadi pagi.”

“Kau sakit apa?”

“Tidak, ini hanya vitamin biasa. Oh iya, matamu sembap? Siapa yang berani menangisimu?”

“Ah, mianhae, tidak seharusnya aku bertanya seperti itu. Sampai jumpa..” Kai sempat berhenti sejenak dengan kata katanya yang pertama, tapi Kai tidak begitu mempedulikannya. Lalu Kai segera meninggalkan ruangan itu.

Haera tau, itu dia. namja yang ia nantikan. Sikapnya yang cuek, tatapan yang datar, suara yang berat, senyum yang mempesona dan juga perhatiannya yang membuat siapa saja akan meleleh. Apakah ia amnesia? Pikirnya dalam hati. Tapi mengapa bisa? Apa yang terjadi? Tidak sedikitpun dalam memorinya ada dirinya kah?

****

Kai memasuki kelasnya, tadinya Ia berniat untuk tidur di UKS karena kepalanya mulai pusing lagi. Namun gadis itu ada di sana, tidak mungkin seorang laki-laki dan seorang perempuan ada di dalam ruangan yang sama hanya berdua kan? Ah itu adalah alasan ke sejuta dari berjuta alasan, Ia merutuki dirinya sendiri. Kai bukan tidak mau seorang namja dan yeoja satu ruangan, permasalahannya, yeoja itu adalah Haera, Park Haera.. Dia lah yang mengisi 99% memori otak seorang Kim Jongin. Ah, tidak, bahkan 100% isi memorinya adalah Haera.

“Kenapa kita bisa bertemu lagi? Kenapa kau masih mengingatku? Kenapa aku melihat air mata lagi di pipimu? Sungguh aku tidak bermaksud menyakitimu Park Haera, aku tidak ingin kau dan aku dekat lagi. Tapi hati ini menyuruhku untuk memulai lagi denganmu dari awal, seperti dulu. Jantung ini pun masih berdetak begitu cepat saat bertemu denganmu, seperti dulu Park Haera..” Kai berbisik dalam hatinya, sakit rasanya melihat perempuan itu menangis di hadapannya. Tapi Kai memiliki alasan, Kai tidak mungkin sejahat itu. Dia memiliki rahasia yang tak mungkin ada yang tahu. Biarlah Ia yang memendam rahasia ini, toh setiap manusia pasti memiliki rahasia.

Kai tidak fokus dengan pelajaran di hari pertamanya ini, semenjak Ia melihat perempuan itu. Hatinya kacau, pikirannya pergi entah kemana. Tapi tak lama kemudian bel yang menandakan pelajaran di hari ini selesai pun berdering. Ia bergegas merapihkan semua barangnya dan segera menuju mobilnya, Ia ingin pulang. Tidak ingin bertemu dengan Haera, itu akan membuat Haera semakin sakit jika melihatnya.

Namun rencananya gagal total, ia melihat Haera berjalan gontai di trotoar dekat sekolah, di satu sisiKai ingin tidak mempedulikannya saja tetapi di sisi lain 99,99% hatinya ingin segera turun dari mobil dan memarahi yroja itu karena pulang berjalan kaki dengan gontai dan ia baru saja sakit. Oh Tuhan, Park Haera!

Apa perempuan itu gila? Bagaimana jika dia pingsan? Kai segera meminggirkan mobilnya, menepis pikiran 0,01% yang tadi untuk mengacuhkannya saja. Dia bisa menjadi tidak waras jika hal buruk menimpa Haera.

“Kau.. yeoja yang tadi di UKS kan? Mengapa kau berjalan kaki? Bukankah seharusnya kau naik Bis atau Taksi atau dijemput oleh supirmu?”
Kai mengatur deru nafasnya, ia berusaha sebaik mungkin untuk bersikap datar.

“A..aku.. anu, tadi itu supirku menelpon bahwa ban mobilnya bocor. Aku menunggu taksi tapi tidak juga datang dan aku berfikir untuk berjalan kaki sambil menunggu taksi yang lewat.”
Haera sungguh gugup, bagaimana tidak? Laki-laki itu tepat berada di depannya, rasanya ingin pingsan. Jantungnya berdetak dengan cepat, sangat cepat.

“Naiklah ke mobilku, aku akan mengantarmu pulang.”
Bodoh Kai, apa dia sanggup berlama-lama dengan yeoja itu. Bagaimana jika pertahanannya runtuh dan segera memeluk yeoja itu nanti, bagaimana jika detak jantungnya menjadi cepat, sangat cepat dan keras sehingga yeoja itu bisa mendengarnya nanti.

“Tapi… itu akan merepotkanmu, Kai-ssi.”
Hatinya tercekat karena harus memanggil Kai dengan embel-embel -ssi bukan Oppa yang ia inginkan.

“Siapa bilang? Akan lebih repot ketika kau pingsan dan orang-orang akan kebingungan mengangkat tubuhmu yang berat itu.” Jongin sempat kaget mendengan panggilan sopan dari Haera, hatinya sakit mendengarnya, bukan panggilan itu yang ia ingin dengar, bukan!

“Ah, apa? Pingsan? Ah, iya aku baru ingat kalau aku sedang sakit, hehe..” Jantungnya semakin berdetak cepat, rasanya ia sembuh kembali.

“Oh iya, Park Haera imnida. Kita belum berkenalan secara resmi dan aku benar benar meminta maaf karena mengira kau adalah seseorang yang pernah kukenal dulu, tetapi kurasa aku salah orang, pikiranku sedang kacau akhir-akhir ini.” Haera tersenyum miris, kata kata itu terlontar begitu saja dari bibirnya.

Hati Kai bergetar, mengapa rasanya sangat sakit? Ingin rasanya ia menarik Haera ke pelukannya lalu meneriaki bahwa ini adalah Kai, Kim Jongin yang selalu bersamanya setiap hari, membangunkannya setiap Haera bangun kesiangan, berangkat ke sekolah bersama, menjahili Haera hingga nangis dan mengadu pada ibunya, menaruh cacing dalam sepatu Haera hingga Haera nangis dan meminta sepatu baru dan memaksa Kai untuk membelikannya, Kim Jongin yang selalu ada ketika Haera membuka korden kamarnya dan melihat Jongin di seberang kamarnya melambaikan tangan dan tersenyum setiap harinya.

Haera pun masuk ke dalam mobil, Kai tersadar dari pikiran gilanya, Ia langsung tancap gas dan mobil itu segera melaju dengan cepat. Suasana di dalam mobil pun semakin dingin. Tak ada yang berbicara atau bahkan memulai pembicaraan. Kai menyalakan musik untuk menyamarkan suara detak jantungnya, sesekali melirik ke arah Haera dan melihat Haera yang menyembunyikan senyumnya, tentu saja Haera senang. Setidaknya Ia bisa berada dekat dengan namja ini lagi. Sedikit sakit mengingat apa yang telah ia katakan, ia yakin bahwa ini adalah Kai, Kim Jongin yang selalu bersamanya, namun muncul berbagai keraguan dengan beribu kemungkinan, mungkin saja namja di sebelahnya ini operasi plastik, lalu namanya kebetulan sama.

Park Haera ingin mencari tissue, saat ia ingin mengambilnya tissue itu terjatuh. Kemudian diambillah tissue itu, namun sesuatu jatuh dari kotak tissue itu. Itu foto lima tahun yang lalu, saat merek liburan di gunung dan camping bersama keluarga mereka. Ia ingat, betapa bahagianya saat itu. Saat tawa, tangis menjadi satu.

DEG!

Kemungkinan-kemungkinan tadi hilang begitu saja di kepalanya, ini tidak salah lagi. Ini benar Kai, 100% Kim Jogin, bukan orang yang operasi plastik ataupun kebetulan sama namanya, ini benar dia..

Tunggu dulu, berarti seharusnya Kai mengingat dia, ini foto bersamanya. Namun ia urungkan niatnya untuk menunjukkan foto itu, tapi kenapa Kai masih menyimpannya? Apa Kai benar-benar amnesia?

****

 

Ini sudah enam bulan semenjak Ia bertemu Kai, Kai masih menunjukkan sikap yang sama. Mereka mulai dekat lagi, rasanya semua seperti dulu. Makan Ice Cream bersama, menonton film bersama. Tetapi Kai masih saja tidak mengenalnya. Separah itukah amnesianya?

“Kenapa melamun?”

“Ah tidak..” Gadis itu berbohong, tentu saja Ia melamun, memikirkan masalah yang belum juga terpecahkan.

“Apa kau mau ikut, ke taman bermain setelah pulang sekolah?” Laki-laki itu tersenyum, siapa yang tidak mau diajak “berkencan”? Walaupun sebenarnya mereka pergi ber-sepuluh.

“Tentu aku mau.” Gadis itu menunjukkan senyuman terbaiknya, Ia kelewat senang.

Sekolah pun usai, mereka bergegas untuk ke tempat tujuan mereka, yaitu taman bermain. Sudah lama Haera tidak mengunjungi Amusement Park semenjak laki-laki itu menghilang. Ia tahu bahwa Kai menyukai ketinggian, semua permainan pasti Ia coba begitupun dengan Haera.

Setelah asik bermain, mereka pun istirahat sejenak. Rasanya melelahkan berteriak histeris saking asyiknya dengan berbagai wahana permainan yang menakjubkan di sini. Haera memperhatikan Kai, wajah tampannya itu membuat Haera tak berhenti memandangnya. Namun ada raut berbeda di sana, tiba-tiba Kai pergi menjauh. Haera pun mengejarnya.

“Kai o..oppaa, oppa tidak apa-apa?” Haera sangat cemas, sangat amat cemas.

“Tidak, aku sangat sehat kok. Tiba-tiba saja kepalaku pusing. Mungkin karena kecapekan. Kembalilah bersama teman-temanmu, aku ingin menenangkan pikiranku sejenak.”

“Ah iya, berhati-hatilah Oppa, jika masih sakit sebaiknya kita pulang.” Baru saja Ia membalikan badannya, Ia mendengar suara seseorang terjatuh.

“OPPPPPAAAA!!!!!” Haera panik, sangat panik. Ia menangis sejadi-jadinya. Darah itu terus mengalir dari hidung Kai yang terkulai lemas tak sadarkan diri di tempat Ia berdiri tadi.

“Haejin-ah, Kyungsoo-ya, Raina-ya, semuanya tolooong..” Haera langsung berlari ke arah teman-temannya. Memberi tahu bahwa Kai pingsan.

Mereka langsung membawanya ke rumah sakit terdekat. Setelah Kai ditangani tim medis. Mereka pulang ke rumah masing-masing, kecuali Haera.

“Haera, kau tidak pulang? Istirahatlah, dan semoga Kai Sunbae lekas sembuh.” Ujar Haejin, salah satu temannya.

“Tidak, aku ingin menemaninya di sini Haejin-ah. Aku akan memastikan Ia akan baik-baik saja.” Ujar Haera pelan, seperti berbisik namun masih bisa terdengar oleh Lee Haejin.

“Baiklah, aku pulang dulu ya.” Haejin menepuk pundak Haera lalu bergegas pulang.

Haera memasuki kamar Kai, Ia menatap laki-laki itu sendu. Matanya berkaca-kaca. Sebenarnya ada apa dengan Jongin Oppa? Apakah Ia sakit? Apa ini berkaitan dengan amnesianya? Atau Kai memang hanya kelelahan?

Perlahan laki-laki itu mengerjapkan matanya. Ia masih sedikit pusing dan pandangannya berangsur-angsur mulai jelas. Ia melihat sosok perempuan yang tertidur di seberang kasur, perempuan itu terbaring di sofa dan tidur dengan sangat anggun.

“Haera? Apa dia menjagaku semalaman? Bagaimana jika Ia jatuh sakit? Ah gadis itu memang tidak berubah sejak dulu.”

Terlihat sang gadis juga menggeliatkan tubuhnya, Ia bangun dan meregangkan badannya. Haera melihat laki-laki yang Ia rawat semalaman sudah siuman. Terlihat jelas lengkungan manis di wajahnya, Raina tersenyum. Kai sudah mulai membaik rupanya.

“Oppa, ah ani, Kai sunbae, bagaimana keadaanmu? Mengapa kemarin kau…”

“Oppa! Panggil aku oppa mulai sekarang, arraseo? Aku sangat baik. Kemarin aku memang sedang kelelahan dan aku pingsan. Haha, memalukan memang.”

“Hah? Ah, a..arraseo Kai O..pppa..Kau membuat kami semua panik, Oo..ppaa. Terutama, emm.. terutama aku..” Yap, Haera malu-malu mengatakannya.

“Mendengarmu memanggilku oppa, rasanya aku sudah sembuh.”

Sontak semburat merah muncul di pipi yeoja itu, mukanya persis kepiting rebus saat ini

“Pulanglah, aku sudah membaik. Aku tidak mau kau sakit Haera-ya”

Tiba-tiba seorang dokter masuk dan menyuruh Haera untuk menunggu di luar. Haera pun keluar dengan raut wajah yang masih cemas.

“Kau sungguh kuat. Mengapa kau tidak katakana saja jika kau mengidam tumor otak? Ini penyakit yang sangat serius, Nak. Sebaiknya kau beritahu orangtuamu dan juga kekasihmu itu.” Ujar sang dokter panjang lebar.

“Tidak, dia bukan kekasihku, dok. Lagipula, cepat atau lambat waktu itu sebentar lagi tiba kan dok? Jadi untuk apa? Toh percuma.”

“Tapi, ini harus segera ditangani. Setidaknya kau akan…”

“Terimakasih atas perhatian dan semua yang telah dokter berikan untuk saya, dan terimakasih sudah menjaga rahasia ini. Saya senang bertemu dengan anda.” Kai hanya tersenyum setelah memotong perkataan dokter itu.

“Kalau begitu saya permisi, dan jika kau mau. Kau boleh pulang hari ini, dan jangan lupa untuk tetap rutin meminum obatnya. Permisi..”

Kai tersenyum tulus walaupun sesak itu menyeruak di dadanya. Baru saja Ia menjalani enam bulan setelah sekian laman Ia menghilang dari perempuan itu, dan tentu saja menghilangnya Kaitersebut secara disengaja. Ia tak mau Haera tahu penyakitnya. Itu akan menyakitinya lebih dalam lagi.

“Oppa, apa benar kau sudah boleh pulang?” Haera pun masuk ke ruangan.

“Ah, ya.. Aku akan pulang sekarang.”

“Syukurlah, berarti Oppa sudah baikan ya?”

“Emm.. ne.., aku sangat baik.” Kai tersenyum lagi, lalu Ia segera membereskan perlengkapannya dan bergegas pulang.

****

 

Haera melangkahkan kakinya perlahan menuju kelas, Ia tersenyum bahagia. Ia sangat senang bisa sedekat ini lagi dengan Kai. Tak sadar, Ia pun terjatuh menyandung sesuatu dan lututnya berdarah.

“Ah, appo..” Haera meringgis kesakitan.

“Kau tidak apa-apa?” Laki-laki itu mengulurkan tangannya, membantu Haera untuk berdiri.

“Ne.. gwaenchana, aku..aku hanya terjatuh, emm.. karena..”

“Karena memikirkanku?” Kai dengan mudah menebaknya, jantung Haera berdetak kencang tak karuan. Bagaimana bisa Ia tahu?

“Nde? Aniyo! ” Haera menunduk, wajahnya sudah merah semerah kepiting rebus dan tentu saja Ia malu.

“Hahah, arra arra, aku hanya bercanda..Sini, biar oppa obatin.”

Mereka pun menuju ruang UKS, diambilnya obat merah dan obat luka lainnya seperti alkohol, kapas, dll.

“Ah, appo, oppa.. neomu appo!!”

“Tahan sedikit ya? Kalau tidak diobati bisa infeksi.”

Haera memandangi Kai, wajahnya terlihat cemas saat mengobati luka Haera. Haera ingin sekali berkata bahwa Ia merindukan sosok di hadapannya ini. Mengapa Ia belum juga ingat dengan Haera? Apa lagi yang harus Haera lakukan. Bahkan momen-momen selama enam bulan terakhirnya ini banyak kejadian yang seperti mengulang kejadian di masa lalunya, saat mereka menjadi sepasang sahabat yang hari-harinya penug dengan canda tawa ataupun kesedihan. Bahkan mereka sudah seperti adik-kakak walaupun nyatanya memang mereka saling menyukai satu sama lain.

“Ah, sudah selesai. Lain kali hati-hati saat berjalan. Bagaimana jika hidungmu yang terluka? Haha..” Kai mencubit hidung Haera pelan, Haera meringgis kesal. Tentu saja itu membuat wajahnya terlihat memalukan, sangat merah seperti kepiting rebus.

****

“Anak-anak, sekolah kita akan mengadakan acara camping untuk tiga angkatan di gunung Semeru. Kalian bersiaplah, acaranya akan dilaksanakan minggu depan. Saya akan membagikan surat pemberitahuan dan surat izin untuk orangtua kalian, tolong sampaikan ya?”

“Iya Bu…” Para siswa menjawab serempak dengan semangat. Akhirnya mereka dikabarkan akan jalan-jalan setelah belajar mati-matian untuk ulangan akhir semester satu ini.

Seminggu terasa sangat cepat, mereka akan berangkat ke Gunung Semeru pagi ini. Para siswa sudah menunggu di halaman sekolah dan bis pun sudah berjejer rapih dengan nomor kelas di kaca jendela bis masing-masing.

“Dimana Haera?” Haejin mencari Park Haera kesana-kesini dan yang dicari belum memperlihatkan batang hidungnya.

“Jangan sampai dia ketinggalan bis.. Oh Tuhan…” Haejin pun bertemu Kai saat itu juga, Haera tidak bisa ditelpon. Ini gawat.

“Sunbenim, apa sunbae datang bersama Haera?”

“Aniyo, memangnya kenapa?” Kai pun kaget ditanyai hal tersebut.

“Haera masih belum datang, padahal pemberangkatan lima menit lagi dan handphone nya tidak bisa dihubungi, Sunbae.” Haejin panik sambil terus menghubungi Haera tapi hasilnya nihil.

“Oke, serahkan padaku. Dan aku akan pastikan bahwa Haera akan ikut acara ini.”

Kai langsung berlari kea rah mobilnya yang hampir saja melaju meninggalkan sekolah. Kai tentu memakai supir karena mobilnya tidak mungkin ditinggalkan di sekolah. Dengan cepat Kai melaju ke rumah Haera dan sesampainya di sana. Haera baru keluar dari pekarangan rumahnya.

“Haera!! Kenapa kau baru mau berangkat hah? Semua orang sudah berangkat semenjak sepuluh menit yang lalu.” Ujar Kai sedikit berteriak.

“Ah, mianhae. Aku semalam tidak bisa tidur, alhasil aku baru tidur jam tiga malam dan bangun kesiangan. Dan, kenapa kau malah ke sini oppa, kau tidak…”

“Sebaiknya kau cepat masuk ke dalam mobilku, kita akan ke Semeru dengan mobil ini.” Kai memotong kalimat yang dilontarkan Haera. Sebenarnya Kai ingin menjawab, bahwa Kai sangat cemas dan takut hal buruk terjadi kepada Haera karena Ia tidak datang dan terlebih lagi tak bisa dihubungi.

Akhirnya mereka melaju dengan kecepatan tinggi menuju Semeru. Di mobil sangatlah sunyi, tak ada yang berbicara. Mereka berdua sama-sama mengatur detak jantung masing-masing. Rasa itu masih sama, jantung itu tak bisa memperlambat detakannya ketika mereka berdua sedang bersama seperti ini, walaupun sebenarnya ada supir di bangku kemudi. Tetapi tetap saja, mereka masih canggung satu sama lain.

Setelah perjalanan yang cukup panjang dan melelahkan, mereka pun sampai di Gunung Semeru. Terlihat rombongan dari Great Academy High School juga sudah tiba dan mereka pun bergegas mendirikan tenda.

“Ah, aku cemas padamu Haera-ya.” Haejin berlari mendekati Haera yang baru sampai di dekat kelompoknya mendirikan tenda.

“Mianhaeyo, hehe aku bangun kesiangan lagi. Untung ada Kai oppa yang menjemputku.”

“Kalian sangat cocok, mengapa tidak jadian?” Tanya Haejin spontan.

“Hah? Itu, ah itu.. itu tidak mungkin Haejin.” Haera merasakan sakit lagi di hatinya, mana mungkin Kai Oppa menyukainya, mengingatnya pun tidak.

“Ah, aku bercanda Haera. Hehe.. ayo, bantu aku memasang tenda ini.”

****

Malam pun tiba, para siswa menyalakan api unggun dan bersenang-senang di sana. Ada yang bermain gitar, bernyanyi, berfoto-foto, memanggang daging dan ada juga yang lebih memilih untuk berdiam diri di tenda. Haera duduk sendirian, Ia menatap bintang yang berkilauan di langit yang gelap itu, Tentu sangat dingin di sini, dia sudah mempersiapkan segala perlengkapannya, kecuali syal untuk menutupi lehernya.

“Mengapa tak bergabung dengan yang lain?” Kai mendekat, Ia bingung melihat Haera yang lebih memilih untuk menyendiri.

“Ah, kau tidak kedinginan huh? Kau bisa saja sakit bodoh.” Kai langsung melepas syalnya dan melingkarkannya di leher Haera.

“Ah, aku lupa membawanya, gomawo kai oppa. Tapi bagaimana dengan lehermu?”

“Aku sudah biasa dengan dingin, cemaskanlah dirimu dulu Haera, kau itu yeoja, aku namja dan sudah jelas namja harus tahan banting kan, haha…” Kai tersenyum, sangat manis. Lengkungan itu seperti bulan sabit yang sedang bersinar pada malam itu. Sungguh indah.

“Kau tahu, aku senang bisa bertemu denganmu lagi. Aku, aku merasa beruntung.” Kai melontarkan kata-kata itu begitu saja, seperti sebuah keajaiban. Sungguh sangat amat langka. Dan tentu saja Haera menganga tidak percaya.

“Bagaimana bisa?” Tanya Haera heran.

“Tentu bisa Kim Haera” Hati Haera terasa tercekik, tercabik namun bahagia. Panggilan itu, itu adalah panggilan masa kecilnya. Hanya Kai lah yang memanggilnya Kim Haera, dahulu Kai berjanji untuk menikahi Haera dengan begitu ia memanggilnya dengan marganya, yaitu “KIM”

Haera menangis sejadi-jadinya, jadi selama ini apa? Dia pura-pura amnesia atau dia baru mengingatnya kembali?

“Uljima, aku minta maaf. Aku seperti ini karena aku menyayangimu, sungguh aku tidak bermaksud. Seharusnya aku..” Kata-katanya terpotong, darah itu mengalir lagi dari hidungnya. Pandangan Kai semakin buram dan detik berikutnya tubuhnya sudah terkulai lemas di tanah, tidak sadarkan diri. Lagi..

“OPPPPAAA!!!KAI OPPA!! Ireona, jebal jangan bercanda seperti ini! Ireona jebal!! OPPPAA!!”

Keadaan pun ricuh, Kai langsung dilarikan ke rumah sakit di kaki gunung. Hanya beberapa yang mengantarnya, termasuk Haera. Dan yang lain melanjutkan acara camping-nya.

Setelah dua jam menunggu, seorang dokter keluar dri ruang perawatan. Wajahnya datar. Haera semakin cemas dengan keadaan Kim Jongin di dalam.

“Maafkan kami, keadaan nya sangat parah. Kami sudah melakukan yang terbaik.” Dokter itu hanya berkata singkat. Tangisan Haera pun pecah saat itu juga.

“Maksud dokter apa?!!! Tidak mungkin kan kalau, ah dokter pasti berbohong. Selama ini Kai Oppa baik-baik saja dok!”

“Baik-baik saja? Apa anda tidak mengetahui? Kim Jongin memiliki tumor otak yang sangat ganas, dan sepertinya Ia menahan penyakitnya sangat lama. Keadaannya sangat buruk, dan nyawanya sudah tidak dapat diselamatkan lagi. Maafkan kami.”

“Apa? Tumor? Dokter jangan bercanda! Ini tidak mungki, Dok!”

Dokter itu hanya menepuk pundak Haera lalu segera berlalu. Haera langsung masuk ke dalam ruangan berbau obat-obatan tersebut. Ia melihat sosok yang biasanya ceria dengan senyuman yang mampu melelehkan hatinya sudah diselimuti kain di sekujur tubuh kakunya.

“Jadi, ini Oppa? Ini mengapa kau pura-pura melupakanku? Kenapa kau tidak pernah sedikitnya jujur? Mengapa kau menghilang selama itu? Mengapa kau membuat hatiku kacau Oppa? Mengapa Kai tidak bertahan hingga akhir? Apa Kau harus pergi dulu? Setidaknya empat tahun adalah waktu yang sangat lama, sangat lama untuk kita menghabiskan waktu bersama, waktu yang cukup untukku mengatakan bahwa aku mencintaimu setiap hari, sangat cukup untuk berbagi rasa sakit yang kau pendam, cukup untukku lebih lama memelukmu dan memilikimu.”

Mungkin Kai pergi lagi untuk kembali lagi bersamanya suatu saat nanti, agar bisa lebih lama bersamanya ketika kembali kedua kalinya, mengumpulkan semua tenaganya untuk dihabiskan bersama kelak nanti.

Haera tidak bisa berhenti menangis, pikirannya kacau. Matanya sangat bengkak, hatinya sangat amat sakit. Baru beberapa saat yang lalu mereka saling tersenyum satu sama lain. Baru beberapa waktu mereka habiskan untuk saling mengenal satu sama lain lagi. Tapi semua hilang begitu saja, laki-laki ini bahkan sudah tidak bisa menghapus air matanya lagi, tidak bisa membuat jantungnya berdetak cepat lagi, tidak bisa membuatnya meleleh karena senyumannya, dan tidak bisa mendengar apa yang dikatakannya barusan.

****

“Tahukah Oppa, saat pertama kali kita bertemu lagi saat empat tahun lalu? Bagaimana dengan keadaan langitnya? Apakah itu secerah hatiku yang melihatmu kembali setelah sekian lama? Dan bagaimana denga hari-hari yang kita lewati? Bagaimana kah keadaan langitnya? Aku bahkan tidak tahu oppa, aku tidak memperhatikan langitnya, karena aku hanya memperhatikan yang lebih cerah di banding langit saat itu, Kau!”

Haera tersenyum, Ia pun menghapus setetes air mata di pipinya yang tidak sengaja keluar. Ia perlahan meninggalkan tempat dimana orang-orang beristirahat untuk selama-lamanya. Ia tersenyum sambil menggenggap secarik kertas yang berisi ungkapan hati Kai yang terselip di buku diary nya. Ia sekarang mengerti semuanya dan mencoba untuk menerima semuanya. Kai ingin Ia tersenyum, setidaknya tersenyum untuk Kai di setiap detik di hidupnya.

“Tapi kenapa Oppa? Kenapa kau pergi? Apakah untuk kembali lagi suatu saat nanti? Dahulu kau pergi meninggalkan berjuta pertanyaan, dan sekarang kau pergi lagi meninggalkan luka yang belum sembuh ini, masih banyak pertanyaan yang belum kau jawab. Aku akan menunggu hingga saat itu tiba, empat tahun lagi ? Kita akan mengulang pertemuan itu? Atau kali ini bertambah menjadi lima tahun? atau bahkan delapan tahun? Aku tak peduli, Aku ingin kau menjelaskan semuanya, mungkin kau akan menjelaskannya di tempat nanjauh di sana, tunggu aku kesana, dan kau berhutang banyak penjelasan padaku!”

 

-END-

 

 

Huaaaaa, bagaimana??? Butuh sequel kah? Jangan lupa like dan komen nya, don’t be a silent reader guys! Terimakasih telah membaca ff ini hingga tuntas, semoga ff selanjunya bisa lebih baik lagi. Annyeong!!!

Detective Club [Chapter 2]

$
0
0
detective-club

Poster by D.A’Grace Young @ Poster Channel

Title : Detective Club [Chapter 2] | Author : Chateld | Type : Chaptered | Genre : Adventure, Friendship, School Life | Cast : Kim Myungsoo, Park Jiyeon, Kim Jongin, Park Chanyeol, Oh Sehun.

–Disclaimer : Plots and story are mine. Don’t like? Don’t read! Thanks.! :)

–Notes : Inspired by Touche, Kindaichi, Tantei Gakuen Q, etc.

[Prolog] [1]

sorry for typo(s)


Begitu memasuki Café, Chanyeol langsung mengambil tempat duduk dekat jendela, ia semakin merapatkan tudung hoodie yang sejak tadi ia kenakan, berusaha menutupi sebagian wajahnya. Dibukanya sebuah surat kabar yang sedari tadi dibawanya, bukan untuk dibaca, melainkan hanya sebagai pelengkap penyamarannya saja. Seragam sekolahnya pun sudah ia tukar dengan pakaian santai, celana jeans panjang berwarna hitam, kaos abu-abu, dan hoodie berwarna hitam.

Lima belas menit sudah berlalu, sembari sesekali ia menyedot milkshake coklat miliknya, tatapan matanya tidak lepas dari meja nomor 12 yang berjarak lima meja dari tempatnya duduk.

Saat ia mendapat pesan masuk di ponselnya, ia langsung menuju ke Café ini. Pesan masuk yang berisikan sebuah misi untuk anggota Detective Club, misi yang diberikan mengatakan anggota Detective Club harus mengikuti seseorang dan harus mendapatkan sebuah bukti yang kuat. Sampai sekarang pun Chanyeol tak tahu bukti seperti apa yang seharusnya ia dapatkan, yang jelas sekarang ia harus mengikuti orang tersebut.

“Park Chanyeol, surat kabar yang kau baca terbalik.” Seru seseorang sembari menepuk bahunya

Chanyeol dengan terpaksa mengalihkan pandangannya, memutar kepalanya ke belakang untuk mengetahui siapa yang telah mengganggunya. “Eoh, Kim Myungsoo, apa yang kau lakukan disini?.”

Myungsoo memilih untuk duduk disamping Chanyeol, “Melakukan apa yang sedang kau lakukan, mengamati seseorang yang duduk di meja nomor 12.” Jawab Myungsoo

Chanyeol menaikkan alisnya tanda bingung mendengar jawaban Myungsoo. Myungsoo yang menyadari reaksi Chanyeol langsung mengeluarkan ponsel miliknya, lantas menunjukkan layar ponsel miliknya kepada Chanyeol, “Kau juga mendapatkan pesan ini, kan? Detective Club.”

Chanyeol membulatkan matanya, “Kau salah satu anggota Detective Club? Kenapa aku baru tahu?”

“Tak ada satu pun yang tahu identitas anggota Detective Club, jika kau lupa.” Ujar Myungsoo

“Ah, benar. Kita tak tahu identitas satu sama lain.” Chanyeol mengangguk-anggukkan kepalanya membenarkan perkataan Myungsoo, “Aku ber-ID 160325, kau?.” Lanjutnya

“111319.” Jawab Myungsoo, “Sebaiknya kita fokus pada misi kita. Aku sudah lama menanti misi ini, tentu aku tidak ingin membuang-buang waktuku.” Lanjut Myungsoo

Chanyeol mengangguk setuju. Mereka berdua pun melanjutkan tugas mereka, mengamati seseorang yang duduk di meja 12.

Jika Chanyeol sudah berganti pakaian santai, Myungsoo kini masih menggunakan seragam sekolahnya, walau tanpa dasi dan blazer yang ia ganti jaket berwarna hitam.

Beberapa menit sudah berlalu, namun seseorang yang sedari tadi mereka amati tak menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Bahkan Chanyeol sudah menguap beberapa kali karena bosan dan mengantuk.

“Sebenarnya apa yang harus kita dapatkan dari yeoja itu? Bahkan yeoja itu tak menunjukkan tanda-tanda yang mencurigakan.” Ujar Chanyeol yang kini meletakkan dagunya diatas meja, “Sedari tadi yang ia lakukan masih tetap sama, membaca sebuah buku.” Lanjutnya

Myungsoo mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan oleh Chanyeol, bahkan ia sekarang merasa bosan menunggu tidak jelas seperti ini. Ingin rasanya ia melepas sarung tangan miliknya, lantas menuju yeoja itu dan berpura-pura tidak sengaja menyentuh tangan yeoja itu agar ia mengetahui isi pikirannya. Namun itu hanyalah sebuah keinginan, tentu Myungsoo bukan orang bodoh yang akan menunjukkan kemampuan miliknya kepada orang-orang.

“Park Chanyeol, Kim Myungsoo, kalian terlalu banyak mengeluh.”

Chanyeol dan Myungsoo langsung menolehkan kepalanya kearah sumber suara. Dilihatnya Jiyeon yang kini sedang duduk manis di meja yang berada tepat dibelakang mereka

Ya!! Park Jiyeon, apa yang kau lakukan disini? Dan sejak kapan kau duduk disitu?” Tanya Myungsoo dengan suara normal, ia takut jika ia akan menarik perhatian orang-orang disekitarnya

“Aku sudah berada di Café ini bahkan sebelum kalian datang.” Jawab Jiyeon santai

“Mengapa aku tak melihatmu saat aku masuk kesini? Dan apa yang kau gunakan itu? Pakaian pelayan?.” Kini Chanyeol memandang Jiyeon dengan pandangan heran karena pakaian yang Jiyeon kenakan saat ini memanglah pakaian pelayan di Café ini

“Eoh, kebetulan aku memang bekerja ditempat ini, namun sekarang bukan waktu bekerjaku, aku memakai pakaian ini hanya untuk penyamaran, seperti yang kau lakukan dengan hoodie dan surat kabar yang kau gunakan, Chanyeol-ssi.” Jawab Jiyeon

“Ya!! Bahkan sekarang sudah bukan dilingkungan sekolah dan kau masih memanggilku seperti itu? Dan, mengapa aku tak tahu kalau ternyata selama ini kau bekerja? Yaa! Kau tak pernah mengatakannya padaku!” Seru Chanyeol

“Chanyeol-ah, kau kenal Jiyeon? Dari nadamu berbicara kau seperti sangat dekat dengannya.” Ujar Myungsoo pada Chanyeol, “Park Jiyeon kalau aku tidak salah dengar kau bilang kau melakukan penyamaran? Untuk apa kau menyamar, eoh?” Kali ini Myungsoo bertanya pada Jiyeon

“Tentu saja aku mengenalnya sangat dekat, karena Jiyeon adalah yeo-dongsaengku.”Jawab Chanyeol mantap, “Dan satu lagi, Jiyeon juga anggota Detective Club.” Lanjutnya

“Park Chanyeol, kau tak bercanda, kan? Mana mungkin Jiyeon adalah yeo-dongsaengmu, bahkan kalian berada diangkatan yang sama, dan tak mungkin juga seorang Park Jiyeon adalah anggota Detective Club.” Ujar Myungsoo

YA! Kim Myungsoo, memangnya kenapa jika aku anggota Detective Club? Nyatanya aku memang salah satu anggota Detective Club.” Balas Jiyeon tak suka saat mendengar perkataan Myungsoo

Aigoo, sejak kapan Jiyeon menanggapi perkataan orang lain, ia bahkan selalu diam saja saat ada seseorang yang menghinanya. Batin Chanyeol

“Jiyeon memang satu angkatan dengan kita, aku akan menjelaskannya padamu nanti.” Ujar Chanyeol menjawab pertanyaan Myungsoo, “Jiyeon-ah, kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Sejak kapan kau bekerja? Dan kenapa aku tak pernah tahu?.” Lanjut Chanyeol yang kini menatap Jiyeon

“Aku akan menjelaskannya padamu nanti.” Jiyeon mengatakan apa yang tadi Chanyeol katakan pada Myungsoo, “Lebih baik sekarang kalian mengejar dan mengikuti yeoja itu, karena yeoja itu sudah keluar dari Café.” Lanjut Jiyeon

Yaa!!! Mengapa kau tak mengatakannya dari tadi?!! Kajja! kita tak boleh kehilangan jejaknya.”

Chanyeol dan Myungsoo langsung beranjak dari duduknya dan melangkah menuju pintu masuk dengan langkah buru-buru, namun begitu sampai pintu Chanyeol menghentikan langkah kakinya, ia menoleh ke belakang dan dilihatnya Jiyeon yang masih duduk manis dimejanya.

Ya!! Park Jiyeon!! Kau juga harus ikut!! Palli kajja!!” Teriak Chanyeol dari tempatnya berdiri, “Palli!!” Lanjutnya

Jiyeon menundukkan kepalanya, ia benar-benar malu karena sekarang seluruh perhatian pengunjung Café tertuju padanya. Jiyeon pun segera beranjak dari duduknya dan melangkah menuju Chanyeol yang masih menunggunya didepan pintu, tak memedulikan seragam pelayan yang kini masih melekat pada tubuhnya. Lebih baik aku segera keluar dari Café ini daripada harus menanggung malu lebih lama. Batinnya

-oOo-

Eiii, ternyata anggota Detective Club selama ini mereka semua.” Seru Sehun

Sehun saat ini sedang berada didalam mobil miliknya, didepannya terdapat 3 buah laptop yang memperlihatkan beberapa sudut distric di Kota Seoul. Jangan tanya bagaimana ia bisa mendapatkan semua gambar dari semua CCTV yang terlihat dilaptopnya saat ini, karena tentu saja ia meretas keamanannya untuk mendapatkan semua itu.

Sembari menikmati ice cream coklat-nya, diamatinya salah satu layar laptop miliknya. Pada salah satu kotak dilayar tersebut, terlihat jelas Chanyeol, Myungsoo, dan Jiyeon yang sedang mengikuti seorang yeoja.

Aigoo!! Pabbo-ya!! Mereka terlalu kentara sedang mengikuti yeoja itu.” Ujarnya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya

Heol, daebak. Pantas saja tadi aku merasa familiar dengan perkataan Jiyeon Noona.” Sehun menatap layar laptop miliknya yang memperlihatkan Jiyeon sedang bersama Chanyeol dan Myungsoo dengan pakaian pelayannya, “Ternyata selama ini yang selalu chattingan denganku adalah Jiyeon Noona.” Lanjutnya.

-oOo-

Yeoja itu memasuki toko buku.” Ujar Jiyeon

“Aku juga tahu kalau yeoja itu memasuki toko buku.” Balas Myungsoo

Mendengar balasan dari Myungsoo, Jiyeon melirik kearah Myungsoo sebal, sedangkan yang dilirik merasa cuek-cuek saja

“Kalian masuk dari pintu depan, aku akan masuk dari pintu belakang.” Perintah Chanyeol

Arraseo

Mereka pun berpencar, Myungsoo dan Jiyeon memasuki toko buku tersebut melalui pintu masuk utama, sedangkan Chanyeol melalui pintu belakang. Mereka pun mulai mencari keberadaan yeoja yang sedari tadi mereka ikuti dengan berpencar. Hingga Myungsoo dan Chanyeol bertemu ditengah-tengah toko buku.

“Aku tak melihat yeoja itu.” Ujar Chanyeol yang pandangan matanya masih menyusuri isi toko buku

Nado. Aku juga tak melihat yeoja itu.” Kata Myungsoo, “Geunde, aku menemukan ini disalah satu rak buku, bukankah ini yang dipakai yeoja itu?.” Lanjut Myungsoo sembari menunjukkan sebuah jas, rambut palsu berwarna pirang, dan topi

Mendengar ucapan Myungsoo membuat Chanyeol mengalihkan pandangannya kearah barang yang dibawa oleh Myungsoo, “O, majayo, itu semua barang yang dipakai yeoja itu.” Chanyeol mengambil rambut palsu tersebut, “Aishh, aku bahkan tak ingat seperti apa yeoja itu, yang aku ingat hanya rambut pirangnya saja, dan apaan ini? Ternyata yeoja itu menyamar.” Lanjutnya

Myungsoo hanya mengangguk setuju, ia bahkan sama kesalnya dengan Chanyeol, mengetahui kalau yeoja yang selama beberapa jam ini mereka ikuti ternyata sedang menyamar.

Eoh, dimana Park Jiyeon?” Mendengar pertanyaan Chanyeol membuat Myungsoo tersadar kalau Park Jiyeon tidak bersama mereka

Myungsoo mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu, “Molla, aku langsung berpisah dengannya saat kami memasuki toko ini.” Jawabnya seadanya

Ahh, Jiyeon pasti sedang mengikuti yeoja itu.”Ujar Chanyeol, “Tidak heran jika ia bisa mengenali yeoja itu sedangkan kita tidak, ia pasti menggunakan kemampuannya.” Lanjut Chanyeol dengan menggelengkan kepalanya

Ne? Kemampuan?” Myungsoo benar-benar bingung mendengar apa yang Chanyeol katakan

O, kemampuan. Ingatan fotografik, itulah kemampuan Jiyeon.” Jelas Chanyeol

Jawaban Chanyeol membuat Myungsoo terbengong-bengong. Pertama, ia tak mengerti maksud Chanyeol tentang ingatan fotografik, dan yang kedua ia masih tak percaya dengan perkataan Chanyeol dan menganggap bahwa itu ialah sebuah candaan.

Yaa!! Kim Myungsoo!! Aku tahu kau pasti tak percaya dan terlalu shock mendengar ucapanku, namun, bisakah kau terbengong-bengongnya nanti saja? Kita masih harus melaksanakan misi kita.”

Perkataan Chanyeol menyadarkan Myungsoo, “O, kau benar.” Ucapnya, “Sekarang kita harus kemana?” Lanjutnya

“Tentu saja mencari Jiyeon, pabbo. Kajja.” Setelah mengatakan itu, Chanyeol melangkah menuju pintu keluar

Myungsoo bersungut-sungut sebal sembari mengikuti langkah Chanyeol, Mwo? Apa katanya? Pabbo? Seenaknya saja dia. Belum tau dia kalau aku bisa saja membocorkan isi pikirannya dengan mudah. Batin Myungsoo kesal

-oOo-

Jiyeon masih terus mengikuti yeoja itu, didapatinya yeoja itu berhenti didepan semua Kedai Surat Kabar. Ia memilih bersembunyi dibalik pohon besar, sambil mengatur deru napasnya yang mulai memburu, bahkan sekarang pandangannya mulai mengabur. Ia merutuki dirinya sendiri, Park Jiyeon, mengapa kau harus memiliki tubuh yang lemah. Batinnya

Diamatinya kembali yeoja itu, terlihat yeoja itu masih membaca sebuah majalah. Mendapati itu, Jiyeon mengambil kesempatan itu dengan menjongkokkan dirinya, tangannya berpegang pada pohon, ia memejamkan matanya beberapa detik, berusaha menormalkan kembali pandangannya yang mengabur. Setelah merasa pandangannya kembali normal, ia berdiri seperti semula, ia mulai mengintip kembali untuk mengetahui keberadaan yeoja itu.

Jiyeon membelalakkan matanya mendapati ternyata yeoja itu sudah tak ada di Kedai Surat Kabar itu. Ia mengamati sekelilingnya, berharap yeoja itu masih terjangkau oleh pandangannya, namun hasilnya nihil, ia tak melihat yeoja itu. Sial, aku kehilangan jejaknya. Batinnya kesal

-oOo-

“Mengapa yeoja itu sendirian? Mana yang lain?” Sehun meletakkan toples makanan ringan miliknya, dilihatnya layar laptop miliknya, lantas jari-jari tangannya mulai sibuk menari diatas keyboard, mengetikkan sesuatu.

“Ah, pasti mereka kehilangan jejak yeoja itu.” Ujarnya pada dirinya sendiri, “Untung aku tak perlu mengikuti yeoja itu seperti mereka, hanya dengan duduk manis dan menatap layar laptop, aku sudah mengikuti yeoja itu. Oh Sehun, kemampuanmu luar biasa. Tak ada yang bisa sepertimu.” Lanjutnya diakhiri dengan memuji dirinya sendiri

Sudah sejak Sekolah Menengah Pertama Sehun memiliki kemampuannya ini. Berawal dari rasa ingin tahunya tentang Komputer dan Internet, ia mencoba mengutak-atik segala sesuatu yang membuatnya penasaran. Dengan kemampuannya ini, ia juga dapat mengalahkan teman-teman sekelasnya saat bermain game, tentu saja dengan cara curang tanpa diketahui oleh teman-temannya.

“Eh?” Sehun melihat layar laptopnya dengan bingung, lalu menoleh kebelakang, dan kembali menatap layar laptopnya, “Bukankah itu mobilku?” Tanyanya pada dirinya sendiri

Dilihatnya yeoja itu melangkah menuju sebuah mobil putih yang terparkir dipinggir jalan, lantas yeoja itu menempelkan sesuatu dipintu belakang mobil itu

“Ehhhhh? Ige mwoyaa?” Sehun berteriak frustasi saat layar laptopnya kini hanya memunculkan warna biru

Sehun buru-buru keluar dari mobilnya, lantas ia berusaha mengejar yeoja itu. Sial, dia tahu kalau aku mengawasinya melalui CCTV. Batinnya sebal

-oOo-

Kai memasuki sebuah hotel didaerah Hongdae, ia mengamati seorang yeoja yang sedang berada didepan sebuah lift, lantas ia menuju yeoja itu dan menyenggol bahu yeoja itu sehingga kertas-kertas yang dipegang yeoja itu terjatuh, dan ia buru-buru membantu yeoja itu dengan mengambil kertas-kertas yang berserakan itu.

Joesonghamnida.” Ucapnya sembari membungkuk meminta maaf

Yeoja itu hanya mengangguk dan memasuki lift tersebut.

“Sebuah surat perjanjian.” Ucap Kai pelan

Kai masih tetap didepan lift tersebut, dilihatnya nomor lantai diatasnya, setelah mengetahui lift itu berhenti dilantai berapa, lantas ia berlari menuju tangga darurat dan menaiki tangga tersebut menuju lantai yang tadi ia lihat.

Jangan tanya bagaimana Kai bisa mengetahui isi kertas tadi tanpa membacanya, tentu itu karena kemampuannya, bahkan Kai dapat mengetahui isi sebuah buku tanpa membaca buku tersebut hanya dengan menyentuhnya.

Sembari ia menaiki tangan tersebut, ia mengambil ponsel miliknya didalam saku blazer seragamnya, lantas menghubungi seseorang

Hyung, aku sekarang sedang mengikuti yeoja itu. Cepatlah ke Star Hotel di daerah Hongdae, dan naiklah ke Rooftop. Palli, hyung.” Ujarnya saat panggilannya diangkat, setelah mengatakan itu segera ditutupannya panggilan tersebut tanpa menunggu jawaban sang penerima telepon

Begitu sampai di Rooftop, Kai memilih untuk bersembunyi dibalik sebuah dinding. Dilihatnya yeoja itu menuju tumpukkan kardus dipojokan dan membuka salah satu kardus, yeoja itu mengambil sebuah tas dari dalam kardus tersebut, dibukanya tas itu dan didapatinya tumpukan uang didalam tas itu.

Klik.

Kai tersenyum tipis sesaat karena ia telah mengambil sebuah bukti dengan menggunakan kamera dari ponsel miliknya.

Yaa! Kaii! Seenaknya saja kau memerintahku!”

Kai menoleh saat mendengar sebuah desisan dibelakangnya, didapatinya Myungsoo, Chanyeol, Jiyeon, dan Sehun menghampirinya

“Apa yang mereka lakukan disini?.” Tanyanya pada Myungsoo sambil menunjuk tiga orang yang sedang bersama Myungsoo

“Aku akan menjelaskannya padamu nanti.” Balas Myungsoo, “Sekarang mana yeoja itu?” Lanjutnya

Kai menunjuk yeoja itu yang masih sibuk dengan uang dan tas miliknya, “Aku sudah mendapatkan bukti itu dengan memotretnya. Tugas kita sudah selesai. Kajja kita pergi.” Ucapnya

Hyung, sepertinya tugas kita belum selesai, karena yeoja itu sekarang sedang menelepon seseorang.” Ujar Sehun

Oppa, dengarkan apa yang yeoja itu bicarakan ditelepon.” Perintah Jiyeon pada Chanyeol

Nan arra, kalian semua harus diam agar aku bisa mendengarkannya baik-baik.”

Mereka berempat memilih diam sesuai perkataan Chanyeol, sedangkan Chanyeol sedang fokus mendengarkan apa yang sedang yeoja itu bicarakan. Saat yeoja itu sudah menutup panggilan di ponselnya, mereka berempat langsung menatap Chanyeol minta penjelasan.

Yeoja itu membuat janji dengan seseorang nanti jam satu siang di Rainbow Café.” Jelas Chanyeol, “Berarti satu jam lagi.” Lanjutnya saat melihat jam tangan miliknya

Hyung, bagaimana bisa kau mendengarkan apa yang sedang yeoja itu bicarakan? Aku bahkan tak mendengar sama sekali apa yang ia bicarakan.” Tanya Sehun heran

Myungsoo dan Kai bahkan sekarang juga menatapnya heran, hanya Jiyeon yang biasa-biasa saja

“Aku akan menjelaskannya nanti.” Balasnya

Kajja, kita pergi, tugas kita sudah selesai. Jongin sudah mendapatkan bukti itu bukan.” Ujar Jiyeon lantas akan melangkah pergi

“Sekarang waktunya untuk memberi pelajaran yeoja itu.” Ucap Chanyeol, segera ia akan melangkah menuju yeoja itu, namun Kai mencegahnya

Wae?” Tanyanya pada Kai

“Misi kita hanya mendapatkan bukti, bukan menghajar dan menangkapnya.” Ucap Kai mengingatkan

“Membosankan kalau kita hanya mengikuti perintah itu. Awas!”

Chanyeol lantas menuju yeoja itu.

“Oke, sekarang serahkan tas itu padaku!” Ucap Chanyeol pada yeoja itu saat sudah berada didekatnya

Yeoja itu hanya menatap Chanyeol datar, lantas ia berusaha untuk lari, namun Chanyeol berhasil memegang tangannya.

Ternyata yeoja itu pandai bela diri, sehingga terjadi pertarungan antara Chanyeol dan yeoja itu, dan siapa sangka ternyata Chanyeol kalah dari pertarungan itu sehingga sekarang posisi Chanyeol berada dibawah yeoja itu.

“Park Chanyeol! Kau harus berfikir dahulu sebelum bertindak!” Bentak yeoja itu

“Ehhhhhhhh?” Myungsoo, Jiyeon, Kai, dan Sehun langsung keluar dari persembunyian mereka

“Suara itu rasanya tak asing.” Kata Kai

“Suara itu….” Myungsoo berfikir

“Lee Beom Soo Seonsaengnim.” Kata Jiyeon

“Ehhhhhhhh? Benarkahh?” Reaksi Sehun

Yeoja itu tersenyum, lantas melepaskan Chanyeol, setelah itu yeoja itu melepaskan topeng diwajahnya sehingga sekarang identitas Lee Saem terlihat

“Ehhhhhhhh?” Reaksi kelimanya

Lee Saem terkekeh melihat reaksi kelima anggota Detective Club, “Kaget ya? Hahaha, kalian ini baru pertama kali diberi misi nyata tapi tidak mempraktekkan apa yang selama ini diajarkan di Detective Club.” Ujar Lee Saem

“Eh? Berarti selama ini yang memberi kami tugas di Detective Club adalah Lee Saem?” Tanya Sehun

O, itu aku, dan aku juga yang tadi mengirimkan pesan pada kalian.” Kata Lee Saem

“Belum memahami apa yang sebenarnya terjadi.” Ujar Lee Saem sembari menatap Chanyeol dan Myungsoo

“Kalian lengah dan membiarkan kalian kehilangan jejak.” Kali ini menatap Jiyeon

“Terlalu percaya diri pada kemampuan kalian.” Lee Saem menatap Sehun

“Dan terakhir, meremehkan musuh kalian dan hampir mencelakai diri kalian.” Lee Saem menatap Chanyeol

“Hanya seseorang yang tetap tenang dalam situasi ini dan melakukan tindakan terbaik, Kim Jongin.” Lanjutnya diakhiri dengan menatap Kai

Kelimanya hanya diam

Wae? Kalian masih tak percaya ya dengan apa yang kulakukan?” Ujar Lee Saem

Saem, sebenarnya apa yang terjadi?” Tanya Jiyeon

“Aku hanya ingin mempertemukan kalian semua. Setahun ini kalian tak mengetahui identitas satu sama lain bukan? Kecuali Jiyeon Chanyeol dan Myungsoo Kai tentunya.” Jelas Lee Saem

“Berarti ini bukan misi sebenarnya?” Tanya Kai

O, aku membuat misi ini hanya untuk mempertemukan kalian semua.” Jawab Lee Saem

“Padahal aku sudah terlanjur senang sekali saat mengetahui akan mengerjakan misi sungguhan.” Ujar Sehun dengan nada kecewa

“Eiii, jangan kecewa dulu.” Ujar Lee Saem, “karena dengan kalian semua sudah bertemu seperti ini berarti kalian akan melakukan misi dengan kasus-kasus yang nyata dan sesungguhnya, bukannya yang main-main dan hanya soal saja.” Lanjutnya

Lee Saem mengambil sebuah kertas didalam saku jas miliknya, “Ini, pergilah ke tempat itu! Kalian akan mengetahui semuanya tentang Detective Club ditempat itu.” Lee Saem menyerahkan kertas itu pada Chanyeol

Keempatnya lantas mengerumuni Chanyeol untuk melihat kertas tersebut

Hyung, bukankah ini tempat yang tadi kau dengar ditelepon?” Tanya Sehun

O, majayo.” Jawab Chanyeol, “Saem, bukankah ini tempat yang tadi kau bicarakan ditelepon?” Kali ini Chanyeol bertanya pada Lee Saem

“Kau tadi menggunakan kemampuanmu ternyata. O, itu tempat yang tadi aku bicarakan ditelepon.” Jawab Lee Saem, “Sekarang kalian cepatlah kesana! Aigoo, bahkan kalian sekarang membolos sekolah.” Lanjutnya

“Kami membolos juga karena mendapatkan misi darimu.” Ujar Jiyeon pelan yang membuatnya mendapatkan sebuah sikutan dari Chanyeol

“Baik, saem, kalau begitu kami pergi dulu.” Kata Chanyeol, “Kajja.” Ajaknya pada keempat lainnya

Ne, Saem, annyeonghaseyo.

Kelimanya pun menuju Rainbow Café, meninggalkan Lee Saem seorang diri di Rooftop Star Hotel

-tbc-


ini udah panjang, serius ini udah panjang haha :D

nulis FF genre adventure dkk itu lebih susah daripada nulis FF yang genrenya romance atau friendship aja, serius! nyusun kata-katanya itu loh astaga haha

penulisannya bikin bingung + susah dipahami? maafkan Chat karena Chat bukan anak sastra hehe

alurnya masih bikin bingung + susah dipahami? maafkan Chat sekali lagi, karena nulis itu cuma hobi dan Chat amatir dalam dunia tulis menulis hehe

oya, Chat mau kasih tau nih, mungkin Chat bakal post FF di wp paling cepat seminggu karena aktivitas di real life yang tak menentu hehe.

leave comment and like, please? Karena Comment dan like dari kalian itu sangat berharga buat Chat ^^

byebye, sampai ketemu entah kapan hehe, thanks ^^ – Chat


[3] - Another Star (+ Info)

$
0
0

req-zulfa-another-star1

Ini adalah kisah kecil tentang mimpi, tentang musik, tentang persahabatan, tentang keluarga, tentang kehilangan, dan tentang menemukan. Tentang Krystal, Jongin, Kyungsoo, Suzy, dan Sohyun yang berbagi kisah tentang mimpi mereka yang tertunda.

ANOTHER STAR

by zulfhania || Main cast(s): Krystal Jung [F(x)], Kim Jongin [EXO], Do Kyungsoo [EXO], Bae Suzy [Miss-A], Kim Sohyun [Actress] || Support cast(s): Byun Baekhyun [EXO], Bae Irene [Red Velvet], Kim Taeyeon [SNSD], Jessica Jung [Ex-SNSD], Kim Taehyung [BTS], Kim Myungsoo [Infinite], and others || Genre: School-life, Friendship, Family, Romance, Musical || Rating: PG-15 || Length: Multichapter

Poster by Laykim @ Indo Fanfiction Arts

A/N: Fanfic ini terinspirasi dari Drama Korea Dream High dan Monstar. Ini adalah fanfic lama yang ditulis ulang dengan beberapa perubahan. Semoga tulisan ini bermanfaat dan kalian bisa mendengarkan musik yang bermain di dalamnya :)

Previous: [Intro] | [1] | [2]


Info:
Sebelumnya aku minta maaf pada readers semua, karena ada beberapa hal yang tak bisa kusebutkan satu persatu, mulai dari chapter 3 ini cast utama akan diganti. Salah satu alasannya adalah karena kurasa karakter fanfic pada cast utama yang sebelumnya kurang cocok dengan karakter asli mereka di dunia nyata. Tapi 5 cast utama yang sebelumnya tidak akan hilang di fanfic ini, mereka hanya berubah peran sebagai tokoh yang lain. Jadi dengan sangat menyesal, aku mengganti cast utama (main cast)-nya menjadi sebagai berikut.

Krystal Jung diganti menjadi Park Jiyeon [T-ara]
Kim Jongin diganti menjadi Park Chanyeol [EXO]
Do Kyungsoo diganti menjadi Kim Myungsoo [Infinite]
Bae Suzy tetap menjadi Bae Suzy [Miss-A]
Kim Sohyun diganti menjadi Krystal Jung [F(x)]

Adapun cast pendukung (support cast)-nya diganti menjadi sebagai berikut.

Byun Baekhyun tetap menjadi Byun Baekhyun [EXO]
Bae Irene tetap menjadi Bae Irene [Red Velvet]
Jessica Jung diganti menjadi Park Joy [Red Velvet]
Kim Taeyeon diganti menjadi Jessica Jung [Ex-SNSD]
Kim Myungsoo diganti menjadi Do Kyungsoo [EXO]
Kim Taehyung tetap menjadi Kim Taehyung [BTS]

Selain itu aku menambahkan cast tambahan (additional cast) pada fanfic ini yaitu sebagai berikut.

Kim Taeyeon [SNSD], Kim Jongin [EXO], Park Jimin [BTS], dan Kim Sohyun [Actress]

Sekali lagi aku minta maaf atas ketidakkonsistenan dari author yang mengganti nama cast utama di tengah-tengah cerita. Kuharap kalian tetap membaca fanfic ini dan berikan feedback ya. By the way, perubahan nama cast tidak mendukung pada perubahan alur cerita. Hanya cast yang diganti, sementara alur cerita tetap. Tidak ada yang berubah dari chapter-chapter sebelumnya, hanya nama cast-nya saja. Kalau ingin membaca ulang fanfic ini dengan cast yang berbeda, boleh di klik kembali chapter 1 dan chapter 2-nya. Pada intro juga sudah diberikan info tambahan mengenai perubahan cast. Semoga cast terbaru pada chapter ini lebih dapet feel-nya buat kalian ya. Selamat membaca :)

Oh iya, poster akan kuganti pada chapter selanjutnya ya :)


∴ Komunitas Pecinta Musik dan Ruang Bawah Tanah ∴

“Jadi namamu adalah Park Jiyeon?”

Jiyeon mengalihkan pandangan dari buku bacaan di atas meja pada Suzy yang rupanya sudah berdiri tepat di sebelah mejanya dengan wajah yang sama sekali tidak menunjukkan keramahan. Jiyeon tidak suka dengan tatapan perempuan itu. Jiyeon tidak suka dengan tatapan murid-murid Genie High School. Pengecualian untuk Park Chanyeol.

“Aku Bae Suzy, ketua kelas disini. Karena kau adalah murid baru, aku akan mengantarmu untuk keliling sekolah. Ayo!”

Jiyeon melihat Suzy berbalik, hendak mengantarkannya untuk berkeliling sekolah. Jiyeon hanya mendengus melihat ketidaksopanan ketua kelas barunya itu.

“Aku tidak mau,” jawab Jiyeon kemudian.

“Apa katamu?” Suzy berhenti melangkah dan menolehkan kepalanya pada Jiyeon dengan mimik terkejut yang terlihat tidak suka.

Jiyeon menutup bukunya, lalu menatap Suzy intens. “Aku bilang aku tidak mau.”

Yya!—” Suzy hendak memarahi Jiyeon ketika Jiyeon malah menyela.

Wae? Kau tidak menerima penolakan? Atau kau memang tidak pernah menerima penolakan sebelumnya?” Jiyeon tersenyum (sok) manis. “Sayangnya mulai hari ini kau harus belajar untuk menerima penolakan, Bung. Karena hidup bukan hanya berbicara tentang menerima maupun diterima, tetapi juga tentang menolak maupun ditolak.”

Jiyeon melihat air muka Suzy berubah. Tampaknya perempuan berponi itu merasa tersindir dengan ucapan Jiyeon barusan. Setelah melemparkan tatapan sebal pada Jiyeon, perempuan itu berbalik dan melangkah keluar kelas dengan langkah lebar.

Di bingkai pintu kelas, Suzy nyaris bertabrakan dengan Chanyeol yang baru saja kembali dari kantin. Untungnya Chanyeol segera menghindar, jadi tabrakan itu tidak terjadi. Ia memandang punggung Suzy yang semakin menjauh sebelum mengalihkan pandangannya ke dalam kelas dan hanya menemukan Jiyeon yang berada di dalam kelas.

“Hei, Murid Baru, kau tidak pergi ke kantin?” sapa Chanyeol sambil melangkah masuk ke dalam kelas.

Jiyeon menoleh ke kanan dan kiri, lalu kembali melihat ke arah Chanyeol yang kini sedang berjalan menuju ke arahnya. “Kau berbicara padaku?”

Chanyeol tertawa. “Memangnya ada oranglain disini selain dirimu?” laki-laki itu malah balas bertanya.

“Kau,” jawab Jiyeon seadanya.

Chanyeol terdiam sejenak, lalu kembali tertawa. “Benar juga ya. Baiklah, aku mengaku kalah.”

Chanyeol sampai di samping meja Jiyeon, lalu memutuskan untuk duduk di bangku milik Krystal.

“Ada apa dengan Suzy? Dia berbicara denganmu?” tanya Chanyeol kemudian.

Jiyeon mengangguk. “Dia mengajakku berkeliling sekolah.”

“Lalu?”

“Aku tidak mau.”

“Kenapa?”

“Dia tidak ramah padaku.”

Chanyeol agak tertawa. “Dia memang seperti itu orangnya.”

Melihat Jiyeon yang tetap diam, Chanyeol pun menambahkan. “Bagaimana kalau aku yang menemanimu berkeliling sekolah?”

“Tetap tidak mau.”

“Kenapa?”

Jiyeon mengangkat bahu. “Hanya tidak ingin.”

Chanyeol mengangkat alis, heran. Namun ia tidak bertanya lebih lanjut. Ia lebih memilih untuk mengalihkan topik pembicaraan.

“Tentang kejadian di kelas tadi, aku minta maaf karena kau harus melihat kejadian seperti itu di hari pertamamu masuk sekolah ini. Kelas kami memang dipenuhi murid-murid bermasalah, tapi kelas lainnya tidak seperti itu kok. Jadi kau jangan beranggapan yang tidak-tidak mengenai murid-murid Genie High School,” kata Chanyeol.

“Teman-teman sekelasmu memang benar-benar aneh,” komentar Jiyeon.

“Dan sekarang mereka juga adalah teman-teman sekelasmu, Jiyeon,” timpal Chanyeol sambil tersenyum.

Jiyeon mendengus begitu menyadari kenyataan yang satu itu. Benar kata Chanyeol, mereka kini menjadi teman-teman sekelasnya juga. Orang-orang aneh itu. Oh, semoga ia tidak ketularan menjadi aneh seperti mereka.

“Kalau ada yang melakukan macam-macam padamu atau kau merasa terganggu dengan mereka, lapor saja padaku atau Suzy. Kami berdua akan menanganinya.”

Kami berdua?” Jiyeon mengulang kalimat yang diucapkan Chanyeol, lalu tersenyum miris. “Aku merasa sangsi dengan kalimat itu. Sepertinya Suzy tidak akan membiarkanmu ikut campur dalam masalahnya.”

Chanyeol terdiam sejenak, lalu tertawa. Terlihat miris.

“Ya, kau memang benar,” sahut Chanyeol kemudian. “Padahal aku adalah wakil ketua kelas, sudah seharusnya aku ikut campur dengan masalah ketua kelas.”

Jiyeon memandang Chanyeol cukup lama sebelum akhirnya ia bertanya, “Kenapa kau ingin menjadi wakil ketua kelas?”

Chanyeol mengangkat alis, heran dengan pertanyaan Jiyeon yang mendadak. “Siapa bilang aku ingin menjadi wakil ketua kelas? Menjadi wakil ketua kelas itu menyusahkan.”

“Lalu kenapa kau menjadi wakil ketua kelas? Karena hasil voting teman-teman sekelasmu?” tebak Jiyeon.

Chanyeol tersenyum, lalu menggeleng. “Namaku tidak masuk ke dalam voting. Hanya Suzy satu-satunya nama yang masuk voting.”

“Calon tunggal?”

Chanyeol mengangguk.

“Lalu? Bagaimana kau bisa menjadi wakil ketua kelas?”

“Aku mengajukan diri.”

Jiyeon menatap Chanyeol tidak mengerti. “Tadi kau bilang kau tidak ingin menjadi wakil ketua kelas.”

“Aku memang tidak ingin menjadi wakil ketua kelas. Tapi aku berubah pikiran setelah Suzy terpilih sebagai ketua kelas.”

Jiyeon semakin menatap Chanyeol tidak mengerti. “Jadi kau menjadi wakil ketua kelas hanya karena… Suzy? Perempuan jutek itu?”

Chanyeol tidak menjawab. Ia hanya tersenyum.

“Kenapa begitu?” Jiyeon menemukan dirinya bertanya lagi.

“Kupikir Suzy membutuhkan bantuan karena banyak orang yang tidak menyukainya, terlebih dia tidak pernah bersikap ramah ataupun peduli pada siapapun.”

“Tetapi nyatanya dia tetap tidak membutuhkan bantuan, bukan?”

Chanyeol tersenyum miris. “Dia menjadi ketua kelas dengan caranya sendiri.”

“Bukan dengan caranya sendiri, tapi semaunya sendiri,” komentar Jiyeon.

“Kelihatannya kau tidak suka dengan Suzy.”

“Aku tidak suka dengan orang yang tidak bersikap ramah.”

“Tapi aku melihat kau tidak jauh berbeda dengan Suzy.”

Jiyeon melirik Chanyeol dengan tatapan tidak mengerti, sementara lelaki itu hanya balas menatapnya dengan senyum cengiran di bibirnya.

“Aku pikir di kelas ini hanya kau satu-satunya orang yang tidak aneh. Tetapi rupanya kau sama saja dengan yang lainnya. Aneh dan membingungkan,” kata Jiyeon, lalu berdiri dari duduknya.

Sebelum Jiyeon melangkah keluar kelas, ia sempat melihat senyum cengiran Chanyeol yang malah semakin melebar. Jiyeon mendengus lucu melihatnya. Tuh, kan, dia aneh.

* * *

Jiyeon baru tahu kalau gedung sekolah Genie High School rupanya luas juga. Tak hanya halaman depannya yang luas, bahkan di dalam gedungnya pun demikian. Setelah ia keluar dari koridor kelas 1 yang rupanya terdiri dari 10 kelas, ia menemukan toilet perempuan dan toilet laki-laki, serta kantin yang luasnya tak jauh berbeda dengan luas kantin Victory Academy, luas sekali. Di depan kantin ada beberapa ruangan yang tampaknya merupakan ruangan komunitas-komunitas yang ada di Genie High School, salah satunya adalah komunitas pecinta musik yang ruangannya terletak di paling ujung kanan. Di sebelah kiri ruangan komunitas-komunitas adalah ruang guru. Lalu nantinya akan bertemu lagi dengan lobi yang kemudian menghubungkannya lagi ke koridor kelas satu. Oh, jangan lupakan tangga di depan lobi yang menjulang tinggi ke lantai atas, bak tangga-tangga yang ada di dalam istana. Lantai atas adalah area murid-murid senior, maka dari itu Jiyeon tidak menjelajahi lantai atas.

Sebenarnya Jiyeon tidak berniat untuk berkeliling sekolah. Ia tidak ingin mengenal sekolah barunya itu lebih dalam. Ia hanya ingin belajar disana dengan tenang dan damai lalu lulus dengan nilai memuaskan tanpa sama sekali mengetahui apapun tentang Genie High School. Tetapi usai pelajaran sastra berakhir tadi, ia tertarik dengan apa yang diajarkan oleh Taehyung. Sejak kecil, ia memang menyukai sastra. Musik dan sastra adalah hal yang paling melekat dalam diri Jiyeon. Maka dari itu ia berniat pergi ke perpustakaan untuk meminjam buku sastra disana. Namun setelah menjelajahi gedung lantai satu, ia sama sekali tidak menemukan ruang perpustakaan. Tampaknya ruang perpustakaan ada di lantai dua atau mungkin juga di lantai tiga atau empat. Meskipun begitu, Jiyeon menyukai tata letak ruangan Genie High School pada lantai satu yang hanya berputar-putar saja, tidak terlalu ribet seperti Victory Academy yang tata letak ruangannya seperti labirin.

Tetapi sebenarnya ada suatu hal yang cukup membuat Jiyeon penasaran mengenai Genie High School. Dalam kompetisi musik, Jiyeon seringkali menemukan sekolah tersebut berpartisipasi dan tak jarang pula sekolah tersebut bersaing bersama Victory Academy untuk menjadi yang terbaik. Meskipun Jiyeon selalu berkata kalau Genie High School tidak ada apa-apanya dibandingkan Victory Academy dalam hal musik, tetapi Jiyeon cukup mengakui kalau penampilan murid-murid Genie High School yang mengikuti kompetisi musik tidak bisa diremehkan begitu saja. Nah, yang membuat Jiyeon penasaran adalah bagaimana bisa sekolah biasa seperti Genie High School, yang tidak memfokuskan muridnya untuk belajar musik seperti Victory Academy, bisa menampilkan penampilan yang bisa dibilang cukup memukau untuk ukuran murid dari sekolah biasa, bukan sekolah musik. Jiyeon yakin sekali kalau guru-guru disini tidak seluruhnya paham tentang musik, bahkan tidak ada pelajaran tentang musik di sekolah ini. Hanya ada pelajaran kesenian yang tidak hanya mempelajari seni musik saja, tetapi juga meliputi seni tari, seni teater, dan seni rupa. Itu berarti pelajaran kesenian tidak hanya fokus pada bidang musik, tetapi juga bidang yang lainnya. Jadi, darimana murid-murid Genie High School mendapatkan pembelajaran mengenai teknik bermain musik? Mungkinkah hanya karena bakat individual?

Yya, Park Chanyeol! Kau lama sekali! Kemana saja kau dari tadi?”

Jiyeon yang sedang duduk di dekat pintu kantin sambil meminum bubble tea setelah lelah mengelilingi lantai satu sendirian menolehkan kepala ke arah luar kantin begitu mendengar suara seorang perempuan menyebutkan nama yang ia kenal.

Di luar kantin, tepatnya di depan ruang komunitas pecinta musik, Jiyeon melihat Park Chanyeol berlari menghampiri seorang perempuan berambut pirang yang berdiri di bingkai pintu ruang musik.

“Aku mengambil buku musikku di kelas, sunbae. Aku masih belum hapal lirik lagu dan chord gitarnya jadi aku butuh melihat buku,” kata Chanyeol sambil mengangkat buku musik di tangannya.

Jiyeon memandang ke arah Chanyeol dengan mimik terkejut. Musik?

“Semuanya sudah datang?”

“Tinggal Baekhyun yang belum datang.”

Kemudian Jiyeon melihat Chanyeol bersama perempuan itu bercakap-cakap sambil masuk ke dalam ruang musik.

Merasa penasaran, Jiyeon meninggalkan bubble tea-nya di atas meja lalu melangkah mendekati ruang musik. Dari bingkai jendela, Jiyeon melihat ada tiga orang laki-laki dan seorang perempuan di dalam sana. Chanyeol sedang duduk di atas sofa yang tampaknya sudah tidak layak pakai dengan sebuah gitar di atas pangkuannya sambil memetik senar gitar. Di sebelah Chanyeol, perempuan berambut pirang itu duduk mendengarkan sambil sesekali berkomentar sesuatu. Sementara dua orang laki-laki lainnya tampak sedang mengobrol di atas sofa yang lain. Tetapi ada yang aneh.

Ruang itu adalah ruang musik, tetapi Jiyeon sama sekali tidak melihat satupun alat musik di dalamnya, kecuali gitar yang ada di pangkuan Chanyeol. Jiyeon hanya menemukan dua sofa panjang yang sudah tidak layak pakai, meja kayu dengan beberapa gelas minuman plastik kosong di atasnya, beberapa poster band-band terkenal luar negeri maupun boyband-girlband dalam negeri di sekeliling dinding, dan sebuah lemari kayu yang tampaknya sudah tua di sudut ruangan. Ruangan itu pun ternyata tidak seluas yang ia kira. Lalu darimana ruangan itu bisa dikatakan ruang musik kalau tidak ada satupun alat musik di dalamnya (kecuali gitar Chanyeol)? Ini benar-benar membingungkan untuk Jiyeon.

Ketika keempat orang di dalam sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing, sebuah suara bariton dari belakang punggung mengagetkan Jiyeon.

“Kau siapa?”

Jiyeon menoleh ke belakang dengan ekspresi terkejut dan menemukan seorang murid laki-laki bertubuh tinggi dengan bentuk mata sipit yang tajam berdiri tepat di belakangnya. Di sebelah laki-laki itu, ada seorang perempuan berponi yang menggaet lengan—oh, tunggu, bukankah perempuan itu adalah Suzy?

“Dia murid baru di kelasku,” Suzy yang menjawab pertanyaan laki-laki di sebelahnya dengan suara datar.

Laki-laki itu tampak mengangkat alis, melirik seragam yang dikenakan Jiyeon, lalu berdecak antusias. “Murid pindahan Victory Academy? Wow, keren. Siapa namamu?”

Belum sempat Jiyeon menjawab, sebuah suara dari belakang punggungnya kembali membuatnya menolehkan kepala ke belakang.

“Oh? Park Jiyeon!”

Itu suara Park Chanyeol. Dan Jiyeon baru menyadari kalau saat ini tatapan keempat orang di dalam ruangan sedang mengarah padanya.

“Apa yang kaulakukan disini?” tanya Chanyeol setelah ia keluar dari ruang musik mendekati Jiyeon. Jangan lupakan senyum ceria yang terbentuk di bibir laki-laki itu. “Kau membuntutiku ya?”

Jiyeon mendengus lucu. “Apapun katamu.”

Toh, ucapan laki-laki itu ada benarnya juga. Ia memang membuntuti Chanyeol setelah melihat laki-laki itu masuk ke dalam ruang musik.

“Oh, jadi namamu Park Jiyeon?” Laki-laki yang berdiri di sebelah Suzy kembali bersuara. Kali ini ia mengulurkan tangan pada Jiyeon. “Namaku Baekhyun. Senior. Kelas 3-2.”

Belum sempat Jiyeon menggerakkan tangannya untuk menyambut uluran tangan laki-laki bernama Baekhyun itu, Suzy sudah menggerakkan tangannya untuk menurunkan uluran tangan laki-laki itu.

“Tidak usah pakai jabat tangan segala,” kata Suzy kemudian.

“Oh, ada yang cemburu rupanya,” ledek Chanyeol sambil tersenyum jahil.

“Diam kau, Park Chanyeol!” bentak Suzy.

Chanyeol hanya menunjukkan senyum cengirannya.

“Baekhyun, kenapa kau datang lama sekali? Bukankah kelas sudah selesai dari tadi?” tanya perempuan berambut pirang yang rupanya juga sudah keluar dari ruang musik.

Laki-laki bernama Baekhyun itu tersenyum meminta maaf pada perempuan berambut pirang. “Maaf, Taeyeon. Tadi ada hal yang harus kuurus dulu bersama perempuan-ku ini,” katanya sambil mengacak rambut Suzy.

Jiyeon mengangkat alis, cukup terkejut. Laki-laki itu adalah pacarnya Suzy?

“Saatnya latihan ya latihan. Saatnya pacaran ya pacaran. Seharusnya kau bisa membagi waktu, sunbae,” sahut Chanyeol.

Perempuan berambut pirang bernama Taeyeon itu memberikan lirikan tajam pada Chanyeol. “Kau juga datang telat, Park Chanyeol! Jadi kau diam saja!”

“Ampun, sunbae, ampun,” kata Chanyeol sambil mengatupkan kedua tangannya. Jangan lupakan lagi senyum cengiran yang terbentuk di bibirnya.

“Jimin dan Jongin sudah datang?” tanya Baekhyun.

“Sudah. Tuh, mereka sedang berdiskusi tentang bagaimana cara mendapatkan pacar! Sungguh, tidak penting sekali!” kata perempuan berambut pirang mengedikkan pandangan pada dua laki-laki yang masih bercakap-cakap di dalam ruangan. “Kami hanya tinggal menunggumu seorang, Baekhyun.”

Sekali lagi Baekhyun memberikan senyum meminta maaf. “Baiklah, kalau begitu ayo kita latihan sekarang. Oh iya, Murid Baru, apakah kau datang ke ruang musik untuk melihat-lihat?” tanyanya lalu beralih pada Jiyeon.

Jiyeon sempat melihat Suzy melirik tajam ke arahnya saat laki-laki bernama Baekhyun itu bertanya padanya. Tampaknya perempuan berponi itu tidak suka saat Baekhyun mengajak Jiyeon berbicara. Karena Jiyeon pun tidak ingin menambah masalah dengan perempuan itu, ia menggelengkan kepala atas pertanyaan Baekhyun. Tetapi sebelum kepala Jiyeon bergerak menggeleng, suara Park Chanyeol menyahut.

“Wah, suatu kehormatan sekali ada mantan murid Victory Academy yang melihat band kami latihan.”

Jiyeon tidak suka dengan ucapan Chanyeol yang menyebutkan ia adalah mantan murid Victory Academy.

Jiyeon berjengit kaget ketika tiba-tiba saja Chanyeol melingkarkan tangan pada lehernya. Tangan laki-laki itu sempat menyentuh kalung peace cross yang melingkar di leher jenjangnya. Kalau saja tangan itu turun ke bawah kalung sedikit lagi, menyentuh daerah terlarangnya, berarti laki-laki dengan wajah menyenangkan itu adalah laki-laki mesum. Mencuri kesempatan dalam kesempitan. Tetapi untungnya itu hanya ada dalam khayalan Jiyeon.

“Baekhyun sunbae, Jiyeon boleh melihat kita latihan, kan?” tanya Chanyeol pada Baekhyun.

Baekhyun tersenyum. “Tentu saja.”

Okeeey!” Chanyeol langsung menyeret Jiyeon untuk mengikutinya masuk ke dalam ruang musik sambil berkata, “Ayo, kita masuk ke dalam! Akan kutunjukkan padamu ruangan rahasia yang hanya boleh dilihat dan dijejaki oleh murid Genie High School.”

Jiyeon mengernyit bingung. Ruangan rahasia?

Rupanya lemari di sudut ruangan itu tidak benar-benar berada di sudut ruangan. Karena di belakang lemari tersebut rupanya ada sedikit celah hingga menunjukkan sebuah pintu kayu yang lebarnya seukuran dengan lemari tersebut. Usut punya usut, rupanya pintu kayu itu bukan pintu kayu sembarangan. Pintu kayu itu memiliki ketebalan yang luar biasa, terlihat dari bagaimana susahnya Chanyeol membuka pintu yang tampaknya berat itu. Chanyeol lalu menyeret Jiyeon masuk ke balik pintu kayu itu, diikuti oleh Baekhyun, Suzy, Taeyeon, dan dua laki-laki bernama Jongin dan Jimin. Ruangan di balik pintu itu gelap, Jiyeon tak dapat melihat apa-apa. Tetapi setelah Chanyeol menyalakan saklar lampu yang terletak tepat di sebelah pintu masuk hingga akhirnya ruangan mendadak terang benderang, Jiyeon sempurna tercengang melihat apa yang ada di depan matanya.

“Kutunjukkan padamu, Park Jiyeon, ruangan rahasia yang hanya boleh dijejaki oleh murid Genie High School. Ruangan musik terkeren di dunia! Ruang bawah tanah Genie High School!”

* * *

Pernahkah kalian masuk ke ruang bioskop? Ruangan bergaung dengan layar lebar yang menempel di dinding pada lantai dasar serta bangku-bangku yang bertingkat dari lantai dasar hingga beberapa lantai di atasnya?

Seperti itulah kira-kira yang pertama kali dilihat oleh Jiyeon saat lampu ruangan dinyalakan. Ruangan musik yang Chanyeol bilang terkeren di dunia. Ruang bawah tanah Genie High School.

Bedanya adalah bukan layar lebar yang berada di lantai dasar sana, melainkan adalah sebuah panggung besar nan megah dengan berbagai macam alat musik di atasnya, bak panggung teater yang ada di Victory Academy. Panggung itu lebar sekali, nyaris menyentuh dinding di sisi kanan dan kiri ruangan. Ada tirai berwarna merah yang terlipat di sisi kanan dan kiri panggung. Ada juga yang terlipat di langit-langit panggung. Apabila ingin menelisik lebih jauh, di belakang panggung ada sebuah backstage yang luas, ruang tata rias, dan juga tempat penyimpanan alat-alat musik. Rupanya berbagai macam alat musik yang ada di atas panggung masih belum seberapa. Masih ada banyak alat-alat musik lainnya yang jauh lebih lengkap di tempat penyimpanan alat-alat musik. Bahkan ada alat-alat musik tradisional juga disana, yang sama sekali tidak ada di Victory Academy.

“Kelihatannya kau terkejut sekali,” komentar Suzy saat melihat Jiyeon sama sekali tidak bergeming di sebelahnya.

Saat ini Suzy dan Jiyeon sedang duduk bersebelahan di salah satu bangku yang berada di tingkat ketiga di dalam ruang bawah tanah sambil memperhatikan Chanyeol, Baekhyun, Taeyeon, Jongin, dan Jimin yang sedang latihan band di atas panggung di bawah sana. Pintu kayu tebal di atas sana yang tadi mereka lewati sudah ditutup rapat sehingga suara musik yang dimainkan kelima orang di bawah sana hanya bergaung di dalam ruang bawah tanah.

“Ini benar-benar di luar batas pemikiran,” kata Jiyeon dengan suara yang terdengar mengambang akibat masih merasa syok dengan kenyataan tersembunyi yang baru dilihatnya tentang Genie High School.

Suzy mendengus lucu mendengarnya. “Di luar batas pemikiran? Kau melecehkan Genie High School?”

Jiyeon melirik Suzy kesal. “Aku tidak berkata begitu.”

“Tapi aku mendengar nada pelecehan dalam suaramu.”

“Terserahlah,” Jiyeon memutuskan untuk tidak menanggapi ucapan Suzy.

“Kau pikir sekolah biasa seperti Genie High School tidak mungkin memiliki ruangan musik di ruang bawah tanah seperti ini?” Suzy memancing.

Tetapi Jiyeon tidak terpancing. Pandangannya terarah pada empat laki-laki dan seorang perempuan yang bermain musik di atas panggung. Chanyeol berdiri di balik stand-mic sambil memainkan gitar dan bernyanyi. Tak ia sangka, rupanya laki-laki itu bisa bermain gitar dan bernyanyi. Permainan musik dan suaranya saat bernyanyi juga lumayan, walaupun tidak bagus-bagus amat. Taeyeon berdiri memainkan bass. Ia juga tidak menyangka perempuan berambut pirang itu bisa memainkan bass, padahal tubuhnya terlihat kecil dan tampak rapuh. Baekhyun berdiri memainkan keyboard. Jiyeon menyukai tangan-tangan lihai dan ekspresi laki-laki itu saat memainkan alat musiknya, tampaknya laki-laki itu sudah bersahabat lama dengan alat musik yang dimainkannya. Jimin berdiri memainkan gitar listrik, dan Jongin duduk memainkan drum. Mereka menyanyikan lagu barat yang Jiyeon tak ketahui judul dan penyanyinya.

Genie High School bukan Victory Academy, yang memfokuskan muridnya untuk belajar musik. Menganggap musik lebih penting daripada pendidikan akademi. Genie High School bukan sekolah musik. Genie High School hanyalah sekolah biasa, seperti sekolah lain pada umumnya, yang lebih memfokuskan pendidikan akademi dibandingkan non-akademi seperti musik. Di ruang bawah tanah ini, suara musik yang dimainkan oleh mereka tidak akan terdengar sampai atas. Suara musiknya akan teredam dan hanya bergaung di dlam ruang bawah tanah. Jadi, seberisik apapun mereka bermain musik, hal itu tidak akan mengganggu kegiatan apapun di lantai satu maupun dua, tiga, dan empat, termasuk kegiatan belajar mengajar di kelas.”

“Kenapa harus dalam bentuk panggung dan bangku-bangku seperti di bioskop? Bahkan ada backstage dan ruang tata rias juga di belakang,” rupanya Jiyeon terpancing dengan cerita Suzy.

“Pelatihan mental,” jawab Suzy. “Dengan bentuk ruangan musik seperti ini, mereka tidak berlatih musik secara main-main. Mereka menganggap diri mereka seolah-olah sedang tampil di atas panggung, di depan ribuan penonton. Seperti yang kukatakan tadi, pelatihan mental. Mereka latihan musik, sekaligus diuji secara mental dengan pemandangan ribuan bangku di depannya. Dengan begitu, mereka akan secara serius berlatih musik hingga mental mereka siap untuk mengikuti kompetisi musik. Maka dari itu, murid-murid Genie High School yang bermain musik di ruang bawah tanah ini tidak pernah main-main. Kalau memang mereka merasa tidak bisa bermain musik, maka mereka tidak akan bermain musik disini. Belajar musik boleh saja, murid-murid komunitas pecinta musik akan dengan senang hati membantu. Tetapi bukan di ruangan ini, melainkan di lantai paling atas, rooftop sekolah. Ada kelas musik yang diadakan murid-murid komunitas pecinta musik tiap akhir pekan disana. Kau boleh datang kesana lain kali. Kau akan melihat betapa banyaknya murid-murid Genie High School yang datang dan belajar musik bersama murid-murid komunitas pecinta musik. Kalau mereka menemukan ada murid yang bisa bermain musik dengan caranya sendiri; maksudnya dengan pembawaannya yang unik, penghayatannya yang dalam, dan beberapa nilai yang hanya diketahui oleh murid-murid komunitas pecinta musik, maka murid itu akan diundang untuk bergabung ke komunitas pecinta musik dan diperbolehkan untuk latihan musik di ruang bawah tanah ini. Murid-murid yang bermain di ruang bawah tanah ini hanya diperuntukkan untuk murid-murid komunitas pecinta musik yang sudah memiliki jam terbang yang cukup tinggi.”

“Wow. Ide yang unik,” decak Jiyeon kagum setelah mendengar penjelasan panjang-lebar dari Suzy. Tampaknya ia mulai tertarik pada Genie High School. “Harusnya murid-murid Genie High School membayar mahal atas pendidikannya di sekolah ini.”

“Memangnya siapa yang bilang sekolah ini biayanya murah?” Suara Suzy terdengar tidak suka.

Jiyeon menoleh pada Suzy dengan kening berkerut.

“Jangan dianggap remeh. Biaya bulanan yang harus dibayar murid Genie High School hanya berbeda 20% dari biaya bulanan yang harus dibayar murid Victory Academy,” kata Suzy.

Jiyeon tertegun. Walaupun hanya berbeda 20%, tapi itu mahal sekali. Tetapi kalau memang benar begitu, kenapa waktu itu Joy bilang padanya kalau Genie High School biayanya tidak terlalu mahal?

“Seperti Victory Academy, orang-orang yang tidak mampu tidak akan bisa semudah itu masuk ke sekolah ini. Kecuali,” Suzy menoleh pada Jiyeon dan memberikannya tatapan sinis yang sama sekali tidak disukai Jiyeon. “Kalau kau memiliki orang dalam disini.”

Kali ini Jiyeon benar-benar tertegun. Ibu…?

Masih pada awal semester genap, pada siang hari yang entah kenapa masih saja terasa dingin, di dalam ruang bawah tanah, di dalam ruangan rahasia yang baru pertama kali dilihatnya, seorang perempuan tenggelam dalam lautan pemikiran yang berkecamuk dalam pikirannya sendiri. Tentang sekolah barunya, tentang kebenciannya pada sekolah barunya, tentang ibunya, tentang kebenciannya pada ibunya, dan juga tentang segala kenyataan tersembunyi yang baru saja diketahuinya. Ia tidak tahu apa yang kini harus dilakukannya setelah mengetahui seluruh kenyataan itu. Yang hanya ia ketahui adalah seluruh kenyataan tersembunyi yang baru saja diketahuinya itu kini mulai merubah sudut pandangnya. Pada sekolah barunya, maupun ibunya sendiri.

“Kau tidak bisa menilai sesuatu hanya dari luarnya saja, karena sesungguhnya ada hal yang tak kauketahui yang tersembunyi di dalamnya.” -Another Star-

-tbc-

Thanks for Anne atas komennya di chapter sebelumnya ^^ Semoga perubahan nama cast yang dimulai pada chapter ini tidak mengecewakan yaa~ Masih selalu kutunggu feedback dari readers yang lain yaa :) Ingat, hargai author yang sudah menulis :) Btw, foto di bawah ini adalah denah gedung lantai satu dan juga ruang bawah tanah Genie High School yaa~

denah lantai 1

Regards,

Zulfa Azkia (zulfhania)

Give Me Your Love (Chapter 26)

$
0
0

Chapter 26 : Game Over

 

Original Story by Lee-jungjung |

Cast : Jung Soojung, Kim Jongin, Oh Sehun |

Support Cast : Park Chanyeol, Choi Jinri etc |

Length : Chaptered | Genre : Romance, Hurt, Angst | Rating: G

.

.

.

.

 

 

Permainan cukup sampai di sini.

.

.

.

 

 

Suasana makan malam terasa sunyi. Hening. Hanya terdengar suara dentingan peralatan makan yang saling beradu. Masing-masing dari mereka yang duduk melingkari meja makan, tidak berniat mengeluarkan suara. Hal ini dikarenakan hilangnya anggota di antara mereka.

“Ehhem,” Soojung memberanikan diri memecah keheningan serta suasana canggung yang sedari tadi menyelimuti mereka. “Jadi, Jinri tidak jadi menginap di sini?”

Aktivitas makan seketika berhenti. Mereka saling beradu pandang sebelum ada yang berniat menjawab pertanyaan Soojung. “Sepertinya begitu. Karena Chanyeol tadi pamit padaku untuk mengantar gadis itu,” jawab Bakhyun.

“Dan sepertinya Chanyeol tidak memutuskan kembali,” tambah pemuda itu sembari menghela napas di akhir kalimat. Ada yang kurang bagi Baekhyun. Biar bagaimanapun Chanyeol adalah rekannya untuk berbuat onar. Dan jika tidak ada Chanyeol, maka siapa yang akan menemaninya mengganggu penghuni villa Junmyeon malam ini.

“Tapi, Sehun. Memangnya tidak apa-apa buatmu? Pacarmu kan dibawa kabur Chanyeol,” celetuk Minseok polos.

“Dia bukan pacarku,” sahut Sehun segera. Kedua matanya menatap tajam ke arah Minseok. “Jangan membuat orang lain salah paham dengan sebutan pacar,” lanjut pemuda berkulit putih itu lagi.

“Tapi, kan….”

“Sudahlah, bukankah Sehun mengatakan kalau Jinri bukan pacarnya. Berarti bukan,” sela Luhan segera sebelum suasana memanas.

Suasana kembali hening. Soojung yang telah memperoleh jawaban atas pertanyaannya pun tak berniat bersuara kembali. Pikirannya bahkan sudah melayang-layang entah ke mana. Kehadiran Jinri tadi cukup membuat Soojung terkejut. Terlebih ketika mengetahui bahwa yang membawa Jinri bukanlah Sehun, melainkan Chanyeol. Tetapi, keterkejutan Soojung bukan dalam artian negatif. Sungguh, saat ini dia sudah berniat untuk tidak memusuhi Jinri lagi. Toh, saat ini Soojung sudah pindah ke lain hati. Mau Jinri mendekati Sehun seperti apa juga, Soojung sudah tidak peduli.

“Soojung-a?”

Suara Jongin tiba-tiba memasuki pendengarannya. Mengalun merdu hingga lamunan Soojung buyar seketika. “Hum? Ada apa, Jong?”

“Kau sakit?” tanya pemuda berkulit tan itu sedikit khawatir. “Kenapa tidak dimakan lagi?” tanya pemuda itu sekali lagi.

Soojung tersenyum sebentar lantas menyuapkan sesendok penuh nasi ke mulutnya. “Liwhat akwhu makwhan. Jahwdi, janghwan khawhatir,” ucap Soojung dengan pelafalan yang berantakan.

Jongin berdecak sebentar. Ibu jarinya terulur untuk menyentuh bibir Soojung. Membantu Soojung membersihkan area sekitar bibirnya yang sedikit kotor akibat cara makan yang berantakan. “Ya, ampun. Kau seperti anak kecil saja, Soojungie,” ujar pemuda itu gemas.

Blush.

Soojung merasakan kedua pipinya memanas. Gadis itu segera menunduk sebelum semua orang menyadari raut wajahnya yang berubah merah. Tetapi, terlamat. Karena nyatanya perubahan rona wajah Soojung sudah mampu ditangkap langsung oleh para sahabat Jongin. Soojung merutuki sikap Jongin dalam hati. Meski dia senang karena Jongin bersikap lembut kepadanya, tetap saja Soojung malu jika harus dilihat langsung oleh para rekan Jongin.

“Yak, Kkamjong!” sela Jongdae di tengah-tengah kemesraan satu-satunya sejoli yang hadir di sana. “Pikirkan kami juga, jangan anggap dunia hanya milik berdua,” omelnya kesal.

Jongin hanya menampilkan seringannya diimbangi dengan tatapan mengejek. “Makanya cari pacar sana.”

Setelahnya, yang terdengar adalah celotehan mereka yang saling mengejek di iringi tawa sesekali. Hanya saja, ada satu orang yang tampaknya tidak terpengaruh dengan suasana makan malam mereka yang hangat. Satu orang yang sedari tadi menunduk, menatap santap malamnya dengan pandangan kosong. Jemarinya menggenggam erat sumpit tanpa bermaksud menggunakannya untuk makan.

Luhan yang sedari tadi ikut andil dalam obrolan hangat mereka mengalihkan pandangannya. Menilik satu ekspresi yang terlihat berbeda. Seketika tawa memudar. Tatapan Luhan berubah serius. Lekat-lekat dipandanginya orang itu. Ada perasaan tidak nyaman saat melihat ekspresi itu. Terbersit satu hal, firasat buruk yang Luhan harap tidak akan pernah terjadi.

O0O

“Jadi, mau bercerita padaku?”

Jinri mengerjapkan kedua kelopak matanya perlahan. Mencoba meraup seluruh kesadaran yang dimilikinya. Ketika berhasil, dia baru tahu kalau mobil yang dikendari Chanyeol telah berhenti. Jinri mengintip suasana di luar mobil melalui kaca jendela. Kening gadis itu mengerut. Rasanya ini bukan tempat tujuannya?

“Kenapa kita ke sini? Kenapa tidak mengantarku pulang?”

Chanyeol menghela napas sebentar. Pemuda jangkung itu lantas melepaskan sabuk pengaman dan keluar dari mobil tanpa mengatakan satu patah kata pun. Membuat Jinri semakin kesal karena merasa diabaikan.

“Yak, Park Chanyeol!” Jinri memutuskan keluar dari mobil. Mengikuti langkah Chanyeol yang berjalan mendekati sisi Sungai Han yang terbentang di hadapannya.

“Yak, Park Chanyeol! Aku mau pulang sekarang! Antarkan aku!”

Chanyeol yang sedari tadi menatap Sungai Han dengan pandangan kosong akhirnya menoleh. Tatapan teduhnya mengunci kedua lensa kelam Jinri yang menampilka raut kesedihan yang mendalam.

“Aku mau pulang, kumohon.”

Chanyeol kembali menghela napas. Sudah cukup dia khawatir kepada Jinri karena gadis itu tiba-tiba menghampiri dirinya sambil menahan tangis. Ada perasaan aneh saat melihat kedua lensa jernih itu berkaca-kaca dan berakhir mengantarkan Chanyeol untuk lekas membawa Jinri pergi dari villa.

“Apa yang sudah terjadi?” tanya Chanyeol tanpa peduli dengan rengekan Jinri yang terus saja meminta dirinya mengantarkan gadis itu pulang ke rumah. “Apa ada hubungannya dengan Sehun?”

Jinri membuang mukanya. Mengalihkan diri dari tatapan menyelidik yang dilayangkan Chanyeol. Gadis itu mengigit bibir tanpa sadar. Mengepalkan telapak tangannya kuat-kuat seakan menahan seluruh emosi yang ada dalam dirinya. “Bukan urusanmu. Antarkan aku pulang saja. Jangan banyak tanya.”

Chanyeol tertegun saat mendengarkan suara dingin yang keluar dari bibir Jinri. Pemuda itu masih diam di tempat untuk beberapa saat meski Jinri lebih dulu berbalik meninggalkannya untuk memasuki mobil kembali. Chanyeol menarik-hembuskan napasnya perlahan. Kenapa dia merasa dadanya penuh sekali. Rasanya sesak. Ada yang mengganjal. Dan semua karena Choi Jinri.

Memang apa arti Jinri baginya?

O0O

“Hei.”

Soojung mendongak saat Jongin memanggilnya. Pemuda berkulit tan itu sudah mengukir senyum termanis di hadapannya. Tangannya melingkari lengan Soojung hingga aktivitas gadis itu membereskan meja makan terhenti.

“Ayo ikut. Ada yang mau aku tunjukkan padamu,” ajak Jongin sambil menggoyang-goyangkan lengan Soojung.

“Tapi Jong, aku sedang membantu Kyungsoo membereskan ini semua.”

“Itu bisa dilakukan Baekhyun atau yang lainnya. Kau ikut aku saja, yah?” ujar Jongin sembari meletakkan pirin yang dibawa Soojung kembali ke meja. “Yak, Byun Baek. Gantikan tugas Soojung. Dia ada perlu denganku.”

Baekhyun melotot horror ke arah Jongin yang sudah kabur membawa Soojung, “Yak, Kkkamjong. Kenapa kau menyuruhku?!?”

“Jangan protes Baek,” tukas Kyungsoo. Pemuda bermata bulat itu menyerahkan setumpuk piring kotor. “Sana cuci. Sekarang giliranmu,” kata Kyungsoo dengan tampang menyebalkan.

Baekhyun mendengus pelan. Meratapi nasib yang entah kenapa hari ini selalu sial. Ini semua karena Chanyeol. Teman sekomplotannya itu kabur begitu saja. Meninggalkan Baekhyun yang teraniaya seorang diri. Sungguh, sial sekali.

.

.

.

.

.

“Bagaimana? Indah bukan?”

Soojung menoleh sebentar lantas kembali menatap ke depan. Mengangguk pelan tanpa mengurangi rasa takjub di hatinya. Di hadapannya sudah ada pemandangan pesisir pantai yang dilihatnya siang tadi. pantai yang sama tapi dengan tampilan yang berbeda.

“Aku tidak menyangka kalau pantai di malam hari itu indah juga,” gumam Soojung hingga Jongin tersenyum puas.

“Ini yang terbaik. Dan yang menjadi favoritku. Karena itu, aku ingin membaginya dengamu.”

Soojung tersenyum di sela-sela kegiatannya menatap pantai. Paduannya sangat mempesona. Ombak yang bergerak lembut, menggulung hingga ke bibir pantai. Tak lupa dengan langit malam bertabur bintang yang melengkapi ciptaan Tuhan yang begitu menakjubkan ini.

Grep.

Soojung merasa ada beban di pundaknya. Begitu melirik sekilas, ternyata itu dagu Jongin yang bersandar di bahunya. Lengan pemuda itu melingkari pinggang ramping Soojung. mendekap erat seakan tidak mau melepasnya.

“Pemandangan ini adalah favoritku. Tapi, yang kedua,” ujar Jongin setengah berbisik. Menimbulkan nuansa geli di sekitar leher Soojung.

“Lalu, yang pertama apa?”

“Kau mau tahu?”

Soojung mengangguk. Setelahnya, dia merasakan Jongin sudah memutar tubuhnya. Kini Soojung mampu menatap langsung kedua lensa Jongin di tengah pencahayaan yang remang-remang. Lensa kecokelatan Jongin tampak bersinar, dan begitu teduh. Soojung sangat menyukainya.

Jongin tersenyum manis ke arah kekasihnya. Perlahan pemuda itu membelai surai hitam Soojung yang dikepang rapi. Berlanjut hingga menemukan pengikat rambutnya. Hati-hati, Jongin melepaskan kepang itu. Membuat surai kelam sang kekasih tergerai indah. Jongin mengambil beberapa helai rambut sang kekasih yang begitu lembut. Mengecupnya sebentar hingga memunculkan rona kemerahan di sekitar tulang pipi Soojung.

Kegiatan Jongin tidak berhenti sampai di sana. Pemuda itu mulai melepaskan kacamata tebal yang membingkai wajah Soojung. Membuat Jongin akhirnya mampu bersitatap langsung dengan lensa kecokelatan sang kekasih yang tak kalah indah dari miliknya.

Jemari Jongin bergerak menyusuri paras ayu gadisnya. Kedua kelopak mata Soojung terpejam. Merasakan sensasi menyenangkan saat jemari Jongin membelai wajahnya. Membuat setidaknya aliran darah Soojung memanas. Suhu tubuh Soojung rasanya semakin meningkat ketika jemari Jongin sudah berpindah tempat. Ke sela-sela rambutnya dan menarik tengkuk Soojung hingga wajah keduanya berdekatan.

“Ini yang nomor satu,” bisik Jongin tepat di dekat daun telinga Soojung. Soojung kembali menutup mata sembari menggigit bibir. Merasakan setiap hembusan napas hangat Jongin yang menerpa kulitnya.

“Dirimu adalah yang terbaik. Ciptaan Tuhan yang terindah. Dan aku sangat bersyukur mampu menikmati serta memilikinya,” tambah pemuda itu.

“Dirimu juga yang terbaik, Jongin,” gumam Soojung. jemarinya ikut menyusuri paras kekasihnya. Membelai rahang tegas sang kekasih dengan penuh kelembutan.

“Aku mencintaimu,” gumam gadis itu lagi.

Jongin tersenyum, “Terima kasih, sweety.” Pemua itu menarik tengkuk Soojung semakin mendekat. Mengikis jarak di antara keduanya. “Kau tahu, bahkan aku lebih lebih mencintaimu,” gumam Jongin sebelum bibir tebalnya mendarat ke permukaan bibir Soojung.

Soojung memejamkan mata. Menikmati setiap kecupan Jongin. Merasakan segenap perasaan Jongin yang dituangkan melalui lumatannya. Perlahan bibir Soojung bergerak mengimbangi ritme Jongin, dan membalas ciuman pemuda itu.

Mungkin Soojung adalah pemandangan nomor satunya Jongin.

Tapi, Jongin? Dia adalah orang nomor satunya Soojung. Yang terbaik yang pernah dimiliki Soojung. Semoga saja, seperti itu terus. Selamanya.

O0O

Soojung mengernyit ketika sinar mentari mulai mengusiknya. Gadis itu mengerjapkan kedua matanya beberapa kali sebelum terbangun sepenuhnya. Tubuhnya menggeliat perlahan seolah mencari bentuk kenyamanan. Pergerakan Soojung terhenti seketika saat merasakan ada sesuatu yang melingkari pinggang rampingnya. Efek geli dan desiran halus terasa menjadi ketika hembusan napas hangat mulai menerpa area lehernya.

Kedua kelopak mata Soojung kembali mengerjap. Tapi, kini karena menyadari bahwa yang melingkari perutnya adalah lengan kekar kecokelatan. Dan tentunya Soojung tahu siapa pemilik lengan itu.

Perlahan otak Soojung menggali memorinya. Memutar dan mereka ulang adegan yang terekam jelas semalam. Yang Soojung ingat hanya mereka sedang memandangi pantai di malam hari. Berakhir dengan berciuman dan Jongin mengantar Soojung ke kamarnya. Pada saat itu entah kenapa Soojung menarik Jongin. Meminta agar pemuda itu tidak pergi dan tetap berada di sisinya. Maka dari itu keduanya berbaring di sini. Dalam satu ranjang. Tidur berpelukan.

Soojung membulatkan matanya. Maniknya bergerak liar memastikan bahwa tidak ada hal lain yang terjadi. Ketika memastikan bahwa pakaiannya dan pakaian Jongin utuh, Soojung baru dapat bernapas lega. Baguslah. Mereka tidak melakukan apapun. Hanya tidur cukup. Tanpa aktivitas lainnya.

“Enngghh.”

Tubuh Soojung merinding saat mendengar suara Jongin yang melenguh karena tidurnya terganggu. Perlahan, Soojung mulai mengangkat lengan Jongin yang berada di pinggangnya. Gadis itu memutar tubuh hingga kini mampu mengamati langsung wajah kekasih yang sedang tertidur.

Soojung tersenyum memperhatikan paras polos milik kekasihnya. Jongin yang seperti ini tampak menggemaskan. Soojung jadi tidak percaya bahwa pemuda yang memiliki wajah polos seperti Jongin mampu mematahkan banyak hati dahulu. Sepertinya sedikit tidak cocok. Jemari Soojung terulur. Menjelajahi setiap inci wajah Jongin. Dari dahi, alis, mata, hidung, bibir, dagu. Semua sempurna. Pahatan luar biasa yang pernah diciptakan. Bersyukur Soojung mampu menikmatinya. Untuk dirinya sendiri pula.

“Aku mencintaimu, Jongin,” bisik Soojung seraya mengusap pipi Jongin dengan jemarinya. Jongin sekali lagi menggeliat, seperti merespon perlakuan Soojung kepadanya.

“Semoga saja kau tidak mengecewakanku. Tidak meninggalkanku seperti yang kau lakukan pada mantan-mantan pacarmu,” ada rasa sesak ketika Soojung mengatakannya. Bukan tanpa alasan Soojung berkata demikian. Dia hanya takut. Biar bagaimanapun juga Jongin adalah seorang cassanova. Dan bisa saja pemuda itu melakukan hal yang serupa kepadanya.

Bukannya Soojung tidak percaya pada Jongin. Soojung hanya takut. Takut kehilangan Jongin. Takut dipermainkan. Dan takut sekali lagi kecewa karena patah hati. Cukup dengan Sehun, Soojung tidak mau lagi merasakannya.

Soojung bergerak kembali. Kali ini untuk melepaskan diri dari Jongin. Dengan sangat hati-hati Soojung beranjak dari ranjang. Gadis itu tersenyum sekilas sebelum memasuki kamar mandi dan membersihkan diri. Soojung harus melakukannya dengan cepat. Karena dia harus segera menyiapkan sarapan sebelum para penghuni villa kelaparan.

O0O

Jongin masih belum sadar penuh saat keluar dari kamar tidur. Pemuda itu mengacak rambutnya kasar sebelum pandangannya mengedar ke setiap sudut penjuru. Mencari keberadaan sang kekasih –Jung Soojung. Seingat Jongin, seharusnya gadis itu berada di sebelahnya. Dalam pelukannya. Tetapi, saat terbangun tadi, Jongin sama sekali tidak menemukan sosok Soojung. Jadi, sebenarnya di mana gadis itu berada?

“Siapa yang kau cari Kim Jongin?”

Jongin berbalik. Raut wajahnya menegas ketika mengetahui siapa yang memanggil dirinya. “Mencari kekasihku tentu saja,” jawab Jongin dengan nada dibuat-buat. Sengaja, ingin membuat Sehun sedikit kesal.

Sehun memasang wajah datar dan acuhnya. Membuat setidaknya Jongin kesal sendiri. yang dinantikan Jongin adalah wajah Sehun yang penuh amarah. Kalau perlu tanduk dan ekornya keluar saking marahnya. Tapi, ternyata pengendalian diri Sehun cukup baik sehingga hal itu tidak terjadi.

“Soojung pergi bersama Kyungsoo dan Baekhyun. Membeli beberapa bahan makanan,” kata Sehun sekedar memberikan informasi. “Kalau mau sarapan, itu ada di meja makan. Ada pancake dan roti bakar. Yang lain sudah sarapan. Hanya kau yang belum,” lanjut pemuda itu lagi.

Jongin mengerjap-ngerjapkan matanya sebentar. Tunggu. Jadi dia sudah terlambat bangun? Sangat amat terlambat? Pemuda berkulit tan itu kembali mengacak rambutnya. Ah, sial. Bagaimana bisa dia terlambat bangun? Apa kata Soojung tadi, coba?

“Jong?”

Jongin menoleh. pemuda itu mengernyit ketika melihat raut serius Sehun.

“Aku ingin membicarakan sesuatu.”

“Soal?”

Sehun mengalihkan pandangannya. Menghela napas sebentar sebelum akhirnya menjawab, “Tidak di sini. Ayo keluar sebentar.”

Ada perasaan aneh saat Sehun menyatakan ingin berbicara dengan Jongin. Itu yang Jongin rasakan. Perasaan aneh sejenis firasa buruk. Tapi, Jongin tetap mengikuti Sehun. Berjalan ke belakang villa menuju pesisir.

“Ada apa?” tanya Jongin pada Sehun yang tengah berdiri di sebelahnya. Memandangi ombak yang berkejar-kejaran menuju bibir pantai.

Sehun menghela napas sebelum melemparkan sesuatu ke arah Jongin. Refleks, Jongin menerima benda itu. Sebuah kunci yang sangat Jongin kenali sebagai milik Sehun.

“Kenapa kau menyerahkan kunci mobilmu padaku?”

Sehun menghela napas sebelum berhadapan dengan Jongin. Menatap sahabatnya itu lurus-lurus dengan tampang yang begitu serius.

“Permainan cukup sampai di sini. Aku akui kau menang.”

Jongin membelalakkan kedua matanya. Menang? Apa Sehun sedang berbicara soal taruhan?

“Kau yang menang. Jadi, sekarang lepaskan Jung Soojung. Kembalikan dia kepadaku.”

O0O

“Hah, tahu begini aku tidak ikut kalian,” gerutu Baekhyun. Pemuda itu sgera menurunkan belanjaan mereka kemudian mengibaskan lengannya yang terasa lelah.

“Baru begitu saja mengeluh. Dasar payah.”

Baekhyun merengut malas ke arah Kyungsoo. Terkadang pemuda bermata besar itu sedikit menyebalkan. Ah, bukan hanya sedikit. Tapi memang sangat menyebalkan.

“Ah kalian sudah pulang?” tanya Junmyeon yang entah muncul dari mana. Pemuda itu tertarik untuk mengecek keseluruhan barang belanjaan Kyungsoo, Soojung, dan Baekhyun. Berdecak pelan sebelum mengacungkan ibu jarinya tinggi-tinggi.

“Ahh, Kyungsoo, Soojung. Kalian yang terbaik. Gizi kita akan tercukupi dengan semua bahan makanan ini,” kata Junmyeon memuji.

“Hanya Kyungsoo dan Soojung?”

“Kau juga, Baek.”

Baekhyun mendengus kesal. Menurutnya Junmyeon berlebihan. Bukankah nanti sore mereka pulang? Untuk apa membeli bahan makanan sebanyak ini? Buang-uang uang saja menurut Baekhyun.

“Ahh, Junmyeon. Apakah Jongin sudah bangun dan memakan sarapannya?”

Junmyeon mengedikkan bahunya, “Aku yakin dia sudah bangun. Tapi, sepertinya belum sarapan,” jawab pemuda itu sekenanya.

“Aku lihat dia di pantai bersama Sehun tadi,” suara Kris tiba-tiba saja hadir. Pemuda itu meletakkan gelas kosong di meja sebelum kembali bersuara, “Mereka terlihat serius sekali. Jadi, tadi aku tidak berani mendekat.”

Soojung mengerutkan keningnya. Serius? Karena apa? Kenapa Sehun dan Jongin harus berbicara serius? Kecuali untuk ….

Tidak. Buku-buku jari Soojung memutih. Dingin. Tidak boleh. Sehun tidak boleh mengatakan bahwa pemuda itu adalah tunangan Soojung. tidak. tidak untuk saat ini. Soojung harus mencegah hal ini. Jongin tidak boleh mengetahui itu dari Sehun. biarkan Soojung yang menjelaskannya sendiri. Tapi, bukan sekarang.

“Yak, Soojung!” Kyungsoo memanggil nama Soojung ketika gadis itu bergegas pergi tanpa pamit.

Panggilan Kyungsoo sendiri tidak berpengaruh bagi Soojung. Karena yang penting baginya saat ini adalah mencegah Sehun membeberkan jati diri Soojung. maka dari itu, Soojung bergegas ke tempat mereka sebelum semuanya terlambat.

“Apa maksudmu?!?”

Soojung memegangi lututnya. Berupaya mengatur napas karena terburu-buru mendatangi tempat Jongin dan Sehun berada. Di sana sudah ada Jongin dan Sehun. Seperti yang dibilang Kris, keduanya tampak membicarakan hal yang serius. Dan dari rona wajah keduanya Soojung dapat memastikan ada suasana yang tidak bersahabat.

.

.

.

“Apa perlu kuingatkan lagi soal taruhan kita, Kim Jongin?”

.

.

.

Kening Soojung mengerut samar. Taruhan?

.

.

.

“Apa perlu kuingatkan lagi soal taruhan kita mengenai kau yang mengambil hati Jung Soojung?”

.

.

.

Soojung terpaku di tempat. Taruhan? Untuk mengambil hatinya?

Pertahanan Soojung runtuh. Entah mengapa Soojung merasa bahwa dongengnya tidak lagi sesempurna sebelumnya.

.

.

.

.

TBC

Sampai ke bagian di mana butuh persiapan hati yang matang.. ^^ Oke, saatnya aku mulai memainkan hati kalian sebagai pembaca… selamat menantikan chapter selanjutnya… Gomawo ^^

[SF] Better That We Break (CHAN x KAI)

$
0
0

Title: Better That We Break
Author: Nina*
Paring: Chanyeol x Jongin
Rating: PG
Author’s note: Sayonara – Mild

ถ้าใครเคยอ่านทวิตเราเราจะทวิตบ่อยๆ เนอะว่าเราไม่ถนัดฟิคดราม่า แบบว่าเขียนแล้วมันไม่ดราม่า อ่านแล้วมันไม่อิน มันไม่เจ็บปวดแบบที่เราชอบ เลยเลี่ยงๆ ที่จะเขียน แต่ช่วงนี้อยากลองเขียนดู ยังไงก็เป็นหนูทดลองให้เรากันไปก่อนนะคะช่วงนี้ เบื่อเมื่อไรก็คงกลับไปเขียนแนวเดิม (แนวไหน? 555)

 

ปล.ใครขี้เกียจเมนท์แต่มีอะไรติ-ชม เชิญได้ที่ #ซาโยนาระchankai นะจ๊ะ

 

*

 

ความสัมพันธ์ระหว่างของคนสองคน เริ่มต้นด้วยความห่วงใย เติบโตได้ด้วยความรัก

 

หลายคู่โชคดีที่มีทั้งสองสิ่งนี้ไปจนตราบเท่าที่ลมหายใจสุดท้ายยังเหลืออยู่

 

แต่บางครั้งที่ความรักมันก็ไม่เพียงพอ เพราะหลายครั้งที่ความสัมพันธ์ของเรามันเปราะบางเกินกว่าที่จะใช้เพียงแค่ความรักเป็นเกราะป้องกัน

 

และหลายครั้งที่เราทั้งสองฝ่ายต่างทำลายสิ่งที่เรียกความไว้ใจ ความผูกพัน และความเชื่อมั่นของกันและกันไปทีละน้อย ทั้งที่สิ่งต่างๆ เหล่านี้ที่ควรจะมีเพื่อช่วยดูแลความรักของเราเอาไว้อีกชั้นหนึ่ง

 

หรือเราก็อาจจะแค่เหนื่อยเกินกว่าจะประคองความรักของเราเอาไว้แล้ว

 

บางทีการปล่อยมือก็คงเจ็บปวดน้อยกว่าที่เป็นอยู่

 

*

 

ชานยอลถอนหายใจออกมาเป็นครั้งที่ร้อยเมื่อเห็นปฏิกริยามึนตึงของคนที่นั่งนิ่งอยู่บนโซฟา ไม่พูดไม่จามาเป็นชั่วโมง แม้ว่าจงอินจะไม่ใช่พวกถนัดใช้คำพูดอยู่แล้ว แต่ชานยอลรู้ดีว่านี่ไม่ใช่การนิ่งเงียบแบบปกติของจงอิน จงอินเป็นคนเงียบๆ แต่ไม่ใช่เงียบจนไม่พูดอะไรเลยแบบนี้ แบบที่ไม่มีแม้แต่คำทักทาย ไม่มีแม้แต่อาการสนใจว่ามีชานยอลร่วมห้องอยู่ด้วยอีกคน

 

ใช่ว่าชานยอลจะไม่รู้สาเหตุที่จงอินเป็นแบบนี้ แต่เขาก็เหนื่อยเกินกว่าจะอธิบายแล้ว ในเมื่อจงอินมีธงอยู่ในใจแล้วว่าเขาเป็นคนผิดและเขาก็แค่ไม่ยอมรับมันก็เท่านั้น

 

ถ้าเป็นเมื่อก่อน…ชานยอลก็คงจะทำทุกวิถีทางเพื่อให้จงอินหายโกรธ หรือแม้แต่ยอมขอโทษทั้งๆ ที่เขาก็ไม่ได้ทำอะไร เพียงแต่ว่าตอนนี้เขาเหนื่อยเกินกว่าที่จะทำอะไรแบบนั้นแล้ว

 

เหตุผลครั้งนี้ก็ไม่พ้นเรื่องที่ช่วงนี้เขางานเยอะมากจนต้องกลับบ้านดึกอยู่บ่อยครั้ง หรือบางทีก็ต้องค้างที่บริษัท ทำให้อีกฝ่ายระแวงว่าเขานอกใจไปมีคนอื่น ทั้งที่ชานยอลก็ยืนยันจนไม่รู้จะพูดยังไงแล้วเหมือนกันว่าเขาไม่เคยมีคนอื่นเลย ตลอดระยะเวลาสี่ปีที่เราคบกันมา ชานยอลมีเพียงแค่จงอินคนเดียว ไม่เคยวอกแวกไปหาเศษหาเลยที่ไหน เขามั่นใจกับความรักครั้งนี้มากว่ามันจะต้องไปรอด แต่ดูเหมือนว่าชานยอลจะคิดผิด

 

ไม่ใช่ว่าจงอินเป็นพวกขี้หึงไม่ฟังเหตุผลอะไร เพียงแต่ระยะหลังๆ แค่เรื่องเล็กน้อยอย่างชานยอลฟังเพลงเสียงดังเกินไปก็สามารถทำให้จงอินหงุดหงิดได้ ตอนแรกเขาก็ไม่ได้คิดอะไร มองว่าเป็นเรื่องขำๆ ยังเคยพูดเล่นกับเพื่อนด้วยซ้ำว่าฮอร์โมนแปรปรวนขนาดนี้ หรือว่าจะท้อง

 

แต่ชานยอลรู้ดีว่ามันไม่มีทางเกิดขึ้นได้ และเขาก็ไม่เข้าใจอยู่ดีว่ามันเกิดอะไรขึ้นระหว่างเรา

 

เมื่อก่อนเวลาที่เราทะเลาะกัน ชานยอลไม่ต้องพยายามใจเย็นก็พร้อมจะยอมฟังจงอินทุกอย่าง ก่อนจะรอให้จงอินเป็นฝ่ายสงบลงเอง แล้วค่อยหันหน้ามาคุยกัน แต่ตอนนี้…ทุกครั้งที่จงอินชวนทะเลาะ ชานยอลจะต้องพยายามนับหนึ่งถึงสิบในใจเพื่อไม่ให้พูดจารุนแรงกลับไป เพราะเขาไม่เคยชอบน้ำตาของจงอินเลย ไม่ว่ามันจะเกิดขึ้นจากอะไรก็ตาม

 

เขาเคยเอาเรื่องนี้ไปปรึกษากับเพื่อน หลายคนตั้งคำถามว่าจงอินมีคนอื่นหรือเปล่า ก็เลยหาเรื่องทะเลาะจะได้เลิกกัน? แต่ชานยอลก็ไม่รู้สึกว่าจงอินมีอะไรผิดปกติไปจากเดิม ไม่ติดโทรศัพท์ ไม่กลับบ้านช้า เพียงแต่จะหงุดหงิดง่ายถ้าชานยอลทำอะไรผิดพลาดไปเพียงแค่นิดหน่อย จะเรียกว่าขวางหูขวางตาก็คงไม่ผิด

 

ถ้าเป็นคนอื่น…ชานยอลก็คงคิดระแวงตามที่เพื่อนของเขาสันนิษฐานแล้ว แต่ไม่รู้สิ เพราะรักและไว้ใจมาก…ล่ะมั้ง?

 

ในทุกคืนที่ชานยอลมองใบหน้าของจงอินก่อนนอน ชานยอลก็ยังรู้สึกหลงรักดวงตาของจงอินที่ใช้มองกลับมาที่เขาในตอนที่เขาจูบราตรีสวัสดิ์ ยังคงหลงรักน้ำเสียงที่จงอินใช้เรียกชื่อของเขาอยู่ในทุกวัน ยังอยากจะกอดอีกคนเอาไว้ในทุกๆ วัน และทุกๆ คืนที่เราอยู่ด้วยกัน

 

เพียงแต่มันมีอะไรบางอย่างแปลกไป…

 

อะไรบางอย่างที่ชานยอลไม่รู้จริงๆ ว่ามันคืออะไร และเขาควรจะไปแก้มันที่ตรงไหน

 

“จงอิน”

 

ชานยอลตัดสินใจเรียกชื่อของคนที่นั่งกอดเข่ามองภาพในโทรทัศน์ออกมา เขาเกือบจะถอนหายใจออกมาแล้วตอนที่จงอินผินหน้ามามอง ดวงตาคู่นั้นยังคงมีแววแข็งกร้าว แต่ชานยอลเองก็ไม่คิดจะปิดบังความเหนื่อยล้าในแววตาว่าเขาไม่พร้อมจะสู้รบกับอารมณ์ที่ชานยอลไม่เข้าใจในตอนนี้ จงอินถึงได้มีท่าทีอ่อนลงบ้าง แม้จะแค่เล็กน้อยก็ตาม

 

ชายหนุ่มร่างสูงมองหน้าจงอินเป็นเชิงถามว่า เขาจะลงไปนั่งด้วยได้หรือเปล่า จงอินถึงได้ขยับตัวไปชิดกับพนักอีกฝั่งให้ชานยอลลงมานั่งด้วยกัน

 

ต่างฝ่ายต่างเงียบ

 

ชานยอลมีเรื่องมากมายที่อยากจะถาม แต่เขาไม่รู้จะเริ่มที่ตรงไหน และไม่รู้จะใช้คำพูดอย่างไรที่จะไม่กระทบกับความรู้สึกของอีกคนจนมันกลายเป็นการทะเลาะกันมากกว่าการคุยกันที่ชานยอลต้องการ และจงอินเองก็เอาแต่นั่งเงียบรอให้คนที่เป็นฝ่ายเรียกเขาพูดอะไรออกมาก่อน

 

“ถ้าพี่ไม่มีอะไร…”

 

“จงอินยังเชื่อใจพี่อยู่หรือเปล่า?”

 

คำถามตรงๆ ของชานยอลทำให้จงอินเผลอเม้มปาก ดวงตาทั้งสองหลุบลงต่ำไปที่ชายกางเกงของตัวเอง

 

ใช่ว่าจงอินจะไม่รู้ว่าชานยอลเป็นคนยังไง ชานยอลตามจีบเขาอยู่ราวครึ่งปีเขาถึงได้ยอมตกลงขยับความสัมพันธ์ และเราย้ายมาอยู่ด้วยกันเกือบสี่ปีแล้ว กว่าหนึ่งพันสี่ร้อยวันที่เราใช้ชีวิตร่วมกัน แทบจะไม่มีวันไหนที่ชานยอลทำให้จงอินรู้สึกไม่มั่นคงในความรู้สึก ถึงชานยอลจะเป็นพวกขี้เล่น ดูเข้ากับคนอื่นง่าย และใจดีกับทุกๆ คน แต่จงอินรู้ตัวดีว่าตัวเองน่ะพิเศษกว่าคนอื่นๆ และชานยอลไม่ใช่คนที่จะทำเรื่องแบบที่เรียกว่า นอกใจ

 

แต่จงอินก็ไม่เข้าใจตัวเองเหมือนกันว่าทำไมพักนี้จงอินถึงได้รู้สึกหวั่นไหวไปเสียทุกสิ่ง

 

ชานยอลยังคงเป็นชานยอลคนเดิมกับที่เขารู้จัก

 

คนที่เอาใจใส่กับทุกๆ ความรู้สึกของจงอิน คนที่คอยดูแลเรื่องเล็กๆ น้อยๆ ไม่ให้ขาดตกบกพร่อง คนที่ไม่เคยลืมวันสำคัญๆ ที่จงอินไม่เคยจะใส่ใจจำอย่างวันครบรอบ วันวาเลนไทน์ หรือวันเกิด คนที่ไม่มีพิรุธหรือทำอะไรผิดปกติจนทำให้จงอินระแวงเลยสักนิดว่าชานยอลจะมีคนอื่น

 

แต่ทำไมจงอินถึงรู้สึกว่าอะไรๆ มันไม่เหมือนเดิม

 

“ผมไม่รู้”

 

น้ำเสียงที่ใช้ตอบคำถามของจงอินทำให้ชานยอลอดไม่ได้ที่จะถอนหายใจออกมาไม่ได้ จงอินในตอนนี้ดูเปราะบางกว่าทุกๆ ครั้งที่เราทะเลาะกัน เพราะเพียงแค่ชานยอลถอนหายใจออกมา จงอินก็มีปฏิกิริยาตอบรับที่ไม่เหมือนเคย จงอินไม่ชอบพูด และตอนนี้ก็ยังคงไม่พูด แต่ทุกครั้งที่จงอินไม่พอใจ จงอินจะแสดงออกมาทางสีหน้าและแววตาอย่างไม่ปิดบังว่าตัวเองไม่พอใจ แต่ครั้งนี้จงอินกลับก้มหน้าลงต่ำกว่าเดิม และเผลอกำเนื้อกางเกงแน่นโดยไม่รู้ตัว

 

ถ้าเป็นเมื่อก่อนชานยอลก็คงจะพร้อมลืมทุกเหตุผลที่ทำให้จงอินเป็นแบบนี้ แต่ในตอนนี้ชานยอลเองก็…เหนื่อย

 

“จงอินยังอยากคบกับพี่อยู่หรือเปล่า?”

 

จงอินเงยหน้าขึ้นมองชานยอลทีด้วยความตกใจ ใบหน้าของคนถามเรียบเฉยราวกับว่าไม่ได้รู้สึกอะไรที่จะต้องถามคำถามนั้นออกมา จงอินเดาไม่ออกว่าชานยอลกำลังคิดอะไรอยู่ เพราะมีแต่ความว่างเปล่าอยู่บนใบหน้าและแววตาของชานยอล เป็นความว่างเปล่าที่จงอินไม่คุ้นเคย และจงอินเกลียดอะไรที่ตัวเองไม่รู้สึกคุ้ยเคย มันทำให้จงอินกลัว กลัวว่าที่ชานยอลไม่ได้แสดงอะไรออกมาทางสีหน้าจะเป็นเพราะว่า ชานยอลไม่ได้รู้สึกอะไรอีกแล้ว

 

“ผม…ไม่..ไม่รู้”

 

เสียงของจงอินฟังดูสับสนเหมือนกับสีหน้าของเจ้าตัว ดวงตากลมไม่รู้จะจับจ้องไปทางไหน ได้แต่ไหวระริกอยู่ในกระบอกตา

 

“จงอินว่าเรายังรักกันอยู่ไหม?”

 

คำถามที่ไม่คาดฝันมันทำให้จงอินรู้สึกเหมือนแข็งไปทั้งตัว จะบอกว่าตกใจก็คงได้ แต่มันก็ชวนให้คิดอยู่เหมือนกันว่าหรือนี่จะเป็นสาเหตุที่ทำให้อะไรๆ ตอนนี้มันดูบิดเบี้ยวไม่ลงตัวไปเสียทุกอย่าง

 

 

 

 

 

เรา…ไม่ได้รักกันแล้ว?

 

 

 

 

 

 

อย่างนั้นหรือ…

 

 

 

 

 

 

 

“ผม…………….ไม่รู้…ผมไม่รู้ ไม่รู้”

 

 

 

 

 

 

ไม่ได้รักกันแล้ว…

 

 

 

 

 

 

 

 

 

“โอเค ไม่เป็นไร จงอิน…ใจเย็นๆ ไม่รู้ก็ไม่เป็นไร” ชานยอลดึงที่ตัวสั่นเทิ้มเข้ามาปลอบ เหมือนว่าจงอินจะไม่รู้ตัวสักนิดว่าตัวเองกำลังร้องไห้

 

“ผม…”

 

จงอินพยายามจะไม่พูด แต่เหมือนมีก้อนอะไรสักอย่างมาจุกอยู่ที่ลำคอ ทำให้เจ้าตัวได้แต่กลืนคำพูดกลับลงไป ก่อนที่สมองจะว่างเปล่า ไม่รู้ว่าจะพูดอะไร หรือคิดอะไรต่อ

 

ชานยอลลูบเส้นผมสีเข้มให้อีกฝ่ายค่อยๆ สงบลง…เขาไม่อยากจะพูดแบบนี้เลย แต่เขาก็ไม่อยากให้มันเป็นแบบนี้ต่อไปเรื่อยๆ หรือเลวร้ายลงไปมากกว่านี้

 

“เรา…ห่างกันสักพักดีไหม?”

 

ชานยอลรู้สึกได้ว่าจงอินตัวแข็งทันทีที่ได้ยินประโยคนั้นหลุดออกมาจากปากของเขา

 

จงอินรู้ดีว่า ‘ห่างกันสักพัก’ คืออะไร

 

มันคือการที่เราค่อยๆ ห่างกันจนหายไปจากวงโคจรของกันและกัน

 

มันคือการปล่อยให้ต่างฝ่ายต่างกลับไปมีชีวิตของตัวเองจนกว่าจะรู้สึกว่าเรายืนอยู่ได้โดยที่ไม่มีเขา

 

มันคือรูปแบบของการเลิกกันที่นุ่มนวลที่สุด และอ้างว้างที่สุด

 

“พี่อยากให้เรา…เราทั้งคู่ กลับไปคิดทบทวนดูว่าเรายัง…อยากจะเดินไปด้วยกันหรือเปล่า เพราะตอนนี้จงอินไม่รู้ พี่ก็ไม่รู้ เราไม่รู้ว่ามันเกิดอะไรขึ้นระหว่างเราทั้งคู่ แต่เรารู้ว่ามันมีอะไรบางอย่างไม่เหมือนเดิม พี่ไม่อยากพูดว่าเราเดินมาสุดทาง ความจริงเราอาจจะแค่เลี้ยวผิดที่ตรงไหนด้วยกันทั้งคู่ เรากำลังหากันไม่เจอว่าเรายืนอยู่ตรงไหน แล้วบังเอิญว่ามันเป็นทางตัน และเรากำลังตกใจว่ามันเกิดอะไรขึ้น บางทีถ้าเราใจเย็นลงกันกว่านี้ เราอาจจะหาทางเดินกลับไปตรงที่เราเลี้ยวผิดก็ได้”

 

“แล้วถ้าไม่ล่ะ” จงอินพึมพำ

 

ชานยอลยิ้ม เป็นยิ้มที่ชานยอลก็บอกไม่ถูกเหมือนกันว่าเขายิ้มทำไม หรือจริงๆ แล้วยิ้มด้วยความรู้สึกแบบไหนกันแน่ ชานยอลเพียงแต่กดริมฝีปากลงที่ข้างขมับของคนที่กอดเอวของเขาเอาไว้แน่นด้วยความรู้สึกที่หลากหลายไม่แพ้กัน

 

“เรา…ก็อาจจะต้องยอมรับมันล่ะมั้ง”

 

จงอินไม่อยากยอมรับ เขาอยากจะปฏิเสธ อยากจะคัดค้าน อยากจะโวยวาย แต่เขากลับพูดมันไม่ออก เขาไม่รู้จะพูดอะไร หรือหาคำพูดดีๆ มาอธิบายความรู้สึกของเขาตอนนี้

 

“แล้วเราจะห่างกันนานแค่ไหน” จงอินเอียงหน้าซบเข้ากับแผ่นอกของชานยอลที่สะท้อนขึ้นลงอย่างสงบ

 

“ไม่รู้สิ” ชานยอลถอนหายใจ “ก็จนกว่าเราคนใดคนหนึ่งจะหาคำตอบของเรื่องนี้ได้ล่ะมั้ง”

 

“ห่วยแตกมาก” จงอินงึมงำในลำคอ แต่ชานยอลก็ได้ยินนั่นล่ะ อดไม่ได้ที่จะยิ้มออกมา ชานยอลคลายกอดที่โอบจงอินเอาไว้ แล้วเปลี่ยนมาใช้มือทั้งสองข้างประคองใบหน้าของจงอินเอาไว้แทน ทั้งตาที่ฉ่ำวาวไปด้วยน้ำตา กับจมูกแดงๆ จากการร้องไห้ ไม่ใช่อะไรที่ชานยอลชอบเลยสักนิด โดยเฉพาะเวลาที่มันมาอยู่บนใบหน้าของจงอิน ชานยอลใช้ปลายนิ้วเกลี่ยคราบน้ำตาที่เหลืออยู่บนใบหน้าของจงอินออก ก่อนจะส่งยิ้มให้

 

“จงอินเข้าใจพี่ใช่ไหม ว่าทำไมพี่ถึงพูดแบบนี้” อีกฝ่ายเม้มปากคล้ายไม่ยอมรับ แต่ก็ยอมพยักหน้าแต่โดยดี

 

ก่อนนอนคืนนั้น พวกเขาตกลงกันเอาไว้ว่าจงอินจะกลับไปนอนที่บ้านของตัวเองทุกสุดสัปดาห์ โดยที่ชานยอลจะเป็นคนไปรับไปส่งทุกครั้ง และอาจจะเพิ่มจำนวนวันที่จงอินกลับอยู่ที่บ้านของตัวเองมากขึ้นเรื่อยๆ หากว่าเรากลับมาเป็นเหมือนเดิมไม่ได้ หรือมันอาจจะดีขึ้นถ้าเรามีช่องว่างระหว่างกันมากขึ้น พวกเขาอาจจะหาเจอในที่สุดว่าเป็นเพราะเราอยู่ด้วยกันมานานเกินไปจนไม่มีชีวิตของตัวเองก็เท่านั้น

 

แม้ว่าเราจะต่างรู้ดีอยู่แก่ใจก็ตามว่าเราจะไม่มีวันหาเหตุผลและหนทางจะที่กลับมาเป็นเหมือนเดิมได้อีกแล้วก็ตาม

 

.

.

.

ฉันว่าเราหยุดก่อนดีไหม

ก่อนจะสายไป ก่อนอะไรอะไรจะเปลี่ยนแปลง

หนึ่งคำพูดแรง ๆ

เลิกแสดงว่าเรายังคงรักกันเหมือนเดิม

*

 

FIN

{KIM TALES} DEEPEST MEMORIES — 7TH PART [BY IMA]

$
0
0

Kim Tales :

“Deepest Memories”

Lee Hana / OC || Kim Jongin / EXO Kai || Others

Romance, Family, Drama, Angst

PG || Chapters

[Teaser] [1st Part] [2nd Part] [3rd Part] [4th Part] [5th Part]

[6th Part]

In Correlation with  :

{KIM TALES} WILDEST DREAM

© IMA

Dalam hidup, Hana pernah berada di titik terendah kekecewaan dan keputusasaannya ketika laki-laki itu mengkhianati dan meninggalkannya. Ketika orang-orang mengucilkannya karena kehamilan di usia muda –tanpa seorang pendamping. Dan ketika ia tidak diterima lagi di keluarganya karena kejadian itu. Kadang Hana berpikir bahwa hidup tidak adil. Ia merasa begitu terpuruk dan lemah di dunia seluas itu dengan semua masalah di hidupnya.

Namun kehadiran Tae Jun mengubah semuanya. Hari dimana Tae Jun lahir ke dunia, Hana merasa bahwa hidupnya kembali seperti semula. Rasa senang dan haru yang bercampur aduk menghapus semua perasaan terpuruk dan lemah itu ketika suara tangisan Tae Jun memenuhi indera pendengarannya. Hana yakin bahwa ia akan semakin kuat bersama Tae Jun. Dan ia akan buktikan pada dunia walaupun pernah melakukan kesalahan terbesar dalam hidup –karena laki-laki itu, ia tidak akan bertindak bodoh lagi dan membesarkan Tae Jun sebaik mungkin dengan jerih payahnya sendiri.

Setelah semua yang terjadi, harusnya Hana tidak mudah mempercayai seseorang lagi seperti itu. Ia sempat berpikir bahwa Kai mungkin berbeda, walaupun menyebalkan, ia tahu lelaki itu memang baik dan sikap menyebalkan itu hanya bagian dari mencari perhatian saja. Beberapa hari lalu Hana sudah siap untuk membuka hatinya lagi, memberikan kesempatan pada Kai –yang jelas-jelas menyayangi Tae Jun juga. Dan ia menghargai semua usaha yang dilakukan Kai.

Hingga kejadian pagi itu menghancurkan semuanya.

.

Suara riuh anak-anak berhasil menyadarkan Hana kembali ke dunia. Wanita itu memperhatikan anak-anak balita seumuran Tae Jun yang berlarian memasuki area sekolah. Hingga pandangannya terhenti pada sosok Tae Jun yang terlihat menundukkan kepala di sampingnya. Hana berjongkok, mensejajarkan tinggi dengan Tae Jun lalu tersenyum simpul pada anak itu setelah cukup lama menangis di bahu anaknya sendiri.

“Belajar yang benar, ne? Eomma akan jemput nanti siang,” Hana berujar pelan sambil mengusap puncak kepala Tae Jun dengan lembut.

Eomma gwenchana?” tanya Tae Jun seraya mengangkat kedua tangannya untuk menyentuh pipi Hana dan mengusap bagian bawah mata ibunya yang sedikit bengkak.

“Tidak apa-apa, sayang. Ayo masuk sekarang,” Hana menyentuh tangan kecil Tae Jun lalu mengecup pelan telapak tangan anak itu.

Eomma jangan menangis lagi,” ucap Tae Jun dengan kedua mata berkaca-kaca, kembali mengingat ibunya yang baru saja selesai menangis.

Hana tertawa pelan dan mengusap rambut Tae Jun lagi. “Anhi, eomma tidak menangis lagi. Cha! Masuk sekarang!”

Tae Jun mengangguk kecil, memberi kecupan ringan di pipi Hana lalu dengan setengah berlari memasuki gerbang kecil preschoolnya. Sementara Hana hanya memandanngi punggung Tae Jun yang menghilang di balik pintu sebelum berdiri kembali dan berbalik menuju jalan pulang menuju apartemennya. Ia sungguh tidak sedang mood untuk pergi bekerja setelah semua yang terjadi. Masa bodoh jika ia dipecat dari salah satu pekerjaannya, ia bisa mencari pekerjaan lain lagi.

Hana masih melangkah menaiki anak tangga menuju apartemen ketika merasakan jantungnya seperti diremas dengan kuat. Kejadian tadi pagi tiba-tiba muncul di kepalanya, ketika seorang wanita keluar dari apartemen Kai dan lelaki itu bahkan tidak berusaha mengejarnya. Oh, wanita seperti Hana harusnya tidak berharap ada seorang pria yang benar-benar menyayanginya. Semua itu pasti hanya omong kosong, Kai pasti akan memilih wanita muda yang jauh lebih cantik dan tidak seorang single parent sepertinya.

Setelah semua yang Hana lewati, ia pernah didekati beberapa laki-laki di berbagai tempat kerjanya. Mereka semua selalu mundur teratur saat ia bercerita tentang hidupnya –bersama Tae Jun. Lagipula ia memang sengaja menceritakan anaknya agar bisa tahu mana yang benar-benar ingin bersamanya atau hanya sekedar iseng saja. Harusnya ia tidak begitu mempercayai ucapan Kai kemarin karena laki-laki itu sepertinya sama saja dengan yang lain.

Ya, Kai pasti tidak serius dengan ucapannya.

“Han-ah.”

Langkah Hana baru saja mencapai lantai –dimana letak apartemennya berada, ketika mendengar suara husky Kai yang menyeruak masuk. Kepala Hana yang menunduk pun terangkat perlahan-lahan, menatap sosok laki-laki yang berdiri di depan pintu apartemennya. Rasa sesak kembali mengganjal di kerongkongannya ketika ia menatap manik mata Kai yang mengunci matanya.

Hana cepat-cepat menyadarkan dirinya dan merogoh tas slempangnya untuk mencari kunci apartemen. Ia berjalan cepat menghampiri pintu apartemen tanpa melihat dan menyapa Kai sama sekali. Dengan kedua mata berkaca-kaca, Hana berusaha memasukkan kunci dan membukanya dengan tak sabaran.

“Lee Hana,” panggil Kai sekali lagi seraya memegang bahu wanita itu.

Namun Hana menghindari sentuhan Kai tepat setelah pintu apartemennya terbuka. “Jangan sentuh aku.”

“Kau cemburu?”

Pertanyaan Kai membuat langkah Hana yang akan memasuki apartemen terhenti. Kedua matanya membulat dan menatap kosong ke depan ketika menyadari rasa sakit yang kembali menjalari jantungnya. “Cemburu? Tch. Aku tidak punya waktu untuk hal seperti itu.”

“Tapi kenapa kau lari?”

“Bukan urusanmu,” Hana baru saja masuk dan bersiap menutup pintu ketika Kai tba-tiba saja mendorong pintu itu juga hingga masuk ke dalam apartemen –bersamanya. Kai bahkan mendorong Hana ke belakang pintu hingga membuat pintu apartemen itu tertutup kembali. “Ya! Apa yang kau lakukan?!”

“Kenapa kau seperti ini?” tanya Kai dengan kedua matanya yang teduh menatap ke dalam mata Hana. Membuat kaki Hana melemah dan rasa panas kembali menyerang matanya.

Tangan Hana terangkat untuk mendorong Kai sedikit menjauh. Dari helaan napas Kai tercium bau alkohol –yang entah kenapa membuat Hana mual. “Pergi dari sini, Jong In! Aku membencimu.”

“Han-ah, jangan membohongi dirimu sendiri,” Kai mencengkeram kuat kedua bahu Hana, menahan pergerakan wanita itu.

“Kau yang harusnya jujur!” Hana menepis tangan Kai dari bahunya, kedua matanya mulai memanas, menahan rasa sesak yang mengganjal kerongkongannya. “Laki-laki mana yang bisa menerima wanita ‘bekas’ sepertiku? Aku punya anak, tapi tidak pernah menikah dengan laki-laki mana pun. Semua orang memandangku rendah, Jong In! Jangan pura-pura peduli padaku dan Tae Jun kalau akhirnya menyakiti kami lagi!”

Mianhae.

Air mata yang mengalir deras dari setiap sudut mata Hana itu membuat hati Kai terasa sakit. Ia sungguh tidak tahu kalau kejadian tadi pagi benar-benar membuat Hana terpukul. Tadi pagi ia bermaksud mengejar Hana, namun ketika melihat Hana menangis histeris di tangga gedung apartemennya sambil memeluk Tae Jun, ia mengurungkan niatnya kembali. Ia memberikan waktu agar Hana bisa sedikit tenang sebelum ia menghampiri wanita itu lagi.

“Kau bilang menyayangiku dan Tae Jun, tapi membawa wanita lain menginap di apartemenmu. Apa kau pikir aku bisa percaya? Kau sama saja seperti laki-laki itu, Jong In,” suara isak tangis masih terdengar dari ucapan Hana. Dengan kepala yang menunduk, Hana meremas ujung mantel yang dipakainya tanpa mau menatap sosok laki-laki di hadapannya.

Kai mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh, ia tidak bisa melihat Hana seperti itu. Selalu terbelenggu oleh rasa sakit dari masa lalunya. “Aku tidak seperti laki-laki brengsek yang meninggalkanmu, Lee Hana. Tadi pagi Se Ri hanya mengantarku pulang karena aku mabuk.”

“Aku tidak peduli. Kau mau melakukan apapun dengan wanita itu, aku tidak peduli,” Hana menggelengkan kepala sambil menepis tangan Kai dari kedua bahunya.

“Tapi aku peduli karena kau menangis saat melihat kejadian tadi pagi, Han-ah.”

Bibir Hana terkatup rapat. Ia menghapus jejak-jejak air matanya dengan cepat lalu mengangkat kepala, menatap –dengan kedua mata membulat pada sosok Kai. Lelaki itu terlihat menarik sudut bibirnya membentuk senyuman tipis –yang membuat jantung Hana kembali berdetak kencang.

“Aku tidak mau menjadi laki-laki brengsek yang menyakitimu seperti laki-laki itu, Han-ah. Aku mabuk berat semalam dan Se Ri hanya mengantar saja,” ujar Kai dengan nada rendah husky miliknya seraya mengusap puncak kepala Hana. Tangannya kemudian turun pada pipi wanita itu, menghapus sisa-sisa air mata yang mulai sedikit mengering di sana. “Aku tidak akan membuat air mata keluar dari matamu lagi, Han-ah. Kau bisa menghukumku dengan cara paling kejam kalau aku melanggar janji ini dan membuatmu atau Tae Jun menangis lagi.”

Tangisan Hana kembali pecah karena ia merasa begitu lemah di hadapan Kai saat itu. Ia tidak bisa mengelak dari perasaannya lagi karena ia juga menginginkan keberadaan Kai di sampingnya. Mungkin ia terlambat menyadari perasaannya sendiri karena ia baru sadar ketika Kai menghilang dalam beberapa hari ini. Setelah semua rasa sakit yang dirasakan, ia hanya berharap bahwa Kai bisa menyembuhkan rasa sakit itu dan mengembalikan kehidupannya.

Manik matanya masih fokus pada sosok laki-laki bertubuh tinggi tegap di hadapannya. Sebenarnya Hana masih belum bisa percaya sepenuhnya pada Kai. Setelah semua yang terjadi pada hidupnya, Hana merasa sangat sulit untuk memberikan kepercayaannya pada laki-laki lagi. Hana selalu menganggap semua laki-laki itu brengsek. Semua laki-laki pasti akan meninggalkan wanitanya jika sudah merasa bosan.

Hana takut jika Kai juga seperti itu. Apalagi ia hanya seorang single-parent yang tidak pernah menikah.

Bolehkah Hana benar-benar menyerahkan hatinya pada lelaki itu?

“Han-ah. Tolong katakan sesuatu.”

Hana menurunkan tangan Kai dari pipinya. Ia menunduk, menatap ujung-ujung jemari kakinya –yang masih terbalut sepatu kets. Kadang Hana merasa sangat menyesal pernah menghancurkan masa mudanya. Ia bahkan belum menginjak umur 22 tahun ketika harus membesarkan seorang anak yang juga belum menginjak usia 4 tahun. Ia masih bisa kuliah, bermain bersama teman-teman seusianya, berjalan-jalan, berkencan, dan lain-lain. Namun itu hanya ada di dalam angan-angannya saja. Kenyataannya ia harus menjadi seorang ibu di usia yang masih sangat muda.

“Jong In,” Hana mendengar suaranya sendiri begitu serak saat memanggil nama Kai. “Kenapa tidak mencari wanita lain yang lebih baik?”

“Kau yang paling baik di mataku,” jawab Kai cepat.

Hana menggeleng, menolak spekulasi Kai. “Jong In-ah. Apa kata temanmu kalau—.”

“Aku tidak peduli dengan semuanya, Lee Hana. Aku hanya menyayangimu. Kenapa kau terus mengelak?” Kai akhirnya berujar dengan nada frustasi sambil menghela napas berat. “Setelah kejadian tadi pagi, aku yakin kalau kau juga punya perasaan yang sama.”

Hana menghela napas panjang, terpaksa mengangkat kepalanya untuk menatap mata puppy milik Kai. Tatapan mata yang tajam dan menusuk, namun juga bisa memberikan kehangatan sekaligus. Hana harus menjawab apa sekarang? Ia tentu menyukai Kai, ia tidak suka ketika melihat lelaki itu bersama wanita lain, namun di sisi lain ia merasa takut juga.

“Kau kerja di bar.”

“Demi Tuhan, Han-ah. Aku hanya seorang DJ, bukan escort,” Kai mengusap wajahnya frustasi.

“Tapi semuanya bisa terjadi di bar. Kau banyak melihat wanita cantik dan seksi di sana ditambah minuman alkohol. Siapa yang bisa menjamin kalau k laki-laki normal sepertimu tidak tergoda, ha?” tanya Hana, tidak sadar bahwa terselip nada cemburu di dalamnya. Membuat senyuman Kai mengembang. “Kenapa senyum?”

“Kau lucu,” Kai terkekeh pelan lalu mengacak rambut Hana dengan gemas. “Aku sudah kerja di bar jauh sebelum mengenalmu, Lee Hana. Dan aku benar-benar tidak tertarik dengan kehidupan di dalamnya. Aku hanya kerja, cari uang, dan kadang minum sedikit. Tapi aku bersumpah, aku tidak pernah menyentuh satu pun wanita –yang kau maksud itu—di bar.”

“Sampai kau dan Tae Jun muncul di kehidupanku –yang membosankan ini.”

Ucapan Kai sempat membuat Hana tersentuh sebenarnya. Ia tahu bahwa Kai benar-benar serius dengan ucapannya tadi, namun masih ada perasaan ragu yang menyelimuti hati Hana. “Apa kau bisa memaafkan semua masa laluku?”

Kai terdiam selama beberapa saat setelah Hana melontarkan pertanyaan itu. Hana tersenyum pahit, jawaban diam dari Kai sudah menjawab semuanya. Lelaki itu menerimanya dan Tae Jun namun tidak bisa memaafkan kesalahan di masa lalunya. “Kau bisa keluar sekarang kalau memang—.”

Bibir Hana tiba-tiba saja dibungkam oleh bibir laki-laki itu. Tangan besar Kai menahan tengkuk Hana agar tidak melepaskan ciuman mendadak itu. Hana bisa merasakan perutnya bergejolak, seolah ada ribuan kupu-kupu yang terbang di dalam perutnya. Sungguh, Hana tidak ingat kapan terakhir kali merasakan ciuman dari seorang laki-laki –selain anaknya. Ada perasaan berdebar dan menggebu di dalam dada Hana ketika Kai semakin menekan bibirnya untuk memperdalam ciuman itu.

Semoga jawaban yang diberikan Kai sudah bisa menghapus semua keraguan di dalam diri Hana.

***

Jika Hana bisa meraih kebahagiaan di dalam hidupnya lagi, maka ia akan merasa sangat bersyukur.

Atau ia sudah bisa merasa bersyukur sekarang ketika melihat Tae Jun dan Kai yang sedang berjalan beriringan menaiki tangga di komplek itu setelah menjemput Tae Jun di preschoolnya.

Kejadian tadi pagi masih membekas jelas di kepala Hana. Pada akhirnya ia melawan perasaan takutnya dan membiarkan Kai memasuki hidupnya. Ia memberikan Kai kesempatan untuk menjaga kepercayaannya lagi dan membicarakan banyak hal termasuk Tae Jun. Setelahnya mereka sarapan bersama –dengan bekal yang dimasakkan Hana lalu Kai tertidur di sofa ruang tengah sementara ia membereskan apartemen sambil menunggu jam pulang Tae Jun. Walaupun Hana lebih banyak diam dan canggung –karena ini kali pertamanya menjalani hubungan lagi setelah bertahun-tahun menutup perasaan dan hatinya. Bahkan dalam perjalanan menuju sekolah Tae Jun tadi, ia dan Kai hanya berjalan bersebelahan tanpa berpegangan tangan.

Kaki-kaki panjang milik Kai sesekali terpaksa harus sedikit menekuk untuk mendengarkan ucapan Tae Jun –yang jauh lebih pendek di sampingnya. Senyuman terus menghiasi bibir Hana, ia sengaja berjalan di belakang keduanya untuk melihat interaksi –yang biasa terjadi di antara Kai dan Tae Jun. Keduanya dekat, sangat dekat malah, pantas saja Tae Jun sering membicarakan Kai di rumah.

Hyung mau menginap di rumahku?”

Pertanyaan polos Tae Jun sontak membuat senyuman Hana menghilang seketika. Ia melihat Kai sedikit melirik ke arahnya lalu tersenyum kaku pada Tae Jun. “Hyung tidak bisa, Tae Jun-ah. Lain kali saja, ne?”

“Tapi aku masih mau main. Jong In hyung kenapa tidak bisa?”

“Aku harus kerja, Tae Jun-ah,” jawab Kai dengan senyum gelinya sambil mengacak rambut anak itu.

Jinjja? Jong In hyung pulang jam berapa? Hyung bisa datang ke rumahku kalau sudah selesai ‘kan?” kedua mata bulat dan polos itu menatap penuh harap pada Kai –yang terlihat mulai kehabisan kata-kata untuk menjawab pertanyaan itu.

Membuat Hana harus turun tangan akhirnya dengan menggendong Tae Jun ke dalam dekapannya. “Jangan paksa orang lain, Tae Jun. Itu tidak baik.”

Bibir Tae Jun mengerucut sembari melingkarkan lengan kecilnya di leher Hana. Kepala anak itu bersandar pada bahu Hana sementara kedua matanya mulai mengerjap secara perlahan. Sepertinya Tae Jun mulai mengantuk.

“Biar aku yang gendong, Han-ah,” mohon Kai karena perjalanan menuju gedung apartemen Hana masih jauh dan mereka harus menaiki puluhan anak tangga lagi.

Hana menahan senyumnya sambil mengusap-ngusap punggung Tae Jun. “Gwenchana. Aku biasa seperti ini.”

Anhi. Aku juga mau gendong Tae Jun,” Kai menjulurkan tangannya –meminta Tae Jun dari gendongan Hana, namun Hana terlihat malah terkekeh pelan melihat wajah –memohonnya.

“Nanti saja kalau aku sudah pegal,” Hana mengangguk sekali, memberi tanda bahwa ia –sanggup membawa Tae Jun sampai gedung apartemen mereka.

Kai menghembuskan napas panjang, pasrah dengan sifat keras kepala Hana. Akhirnya ia mendekat dan merangkul Hana dengan sebelah tangannya, membantu wanita itu melangkah menaiki anak tangga. Sebelum Hana protes, Kai sudah lebih dulu menutup mulut Hana dengan sebelah tangannya hingga wanita itu tidak memprotes sikapnya.

“Jangan protes. Aku juga harus membiasakan diri, Lee Hana,” Kai melemparkan senyum –manisnya pada Hana dan kembali melangkah sambil menurunkan tangannya dari mulut Hana.

Mengabaikan Hana –yang masih menahan napas karena kejadian sebelumnya. Ia melangkah menaiki anak tangga, namun matanya tidak lepas melihat Kai di sampingnya. Apa mereka benar-benar menjalin hubungan sekarang?

“Habis ini kau kerja?” tanya Kai, berusaha memecah keheningan setelah keduanya memasuki gedung apartemen Hana dan menaiki tangga.

Eoh. Aku selesai sore atau lebih malam,” Hana menghembuskan napas berat sambil menoleh pada Kai. “Biasanya aku titip Tae Jun di tempat Nayeon.”

“Aku akan jaga Tae Jun sampai kau pulang nanti,” balas Kai cepat lalu mencari kunci apartemen Hana dari dalam tas slempang wanita itu.

Hana hanya tersenyum geli ketika Kai membantunya membuka pintu apartemen. Lelaki itu bahkan menahan pintu agar Hana masuk lebih dulu, membuat Hana tidak sanggup menyembunyikan rasa hangat di dadanya. Sementara Kai sibuk mengunci pintu kembali, Hana menidurkan Tae Jun di dalam kamar. Ia melepaskan sepatu, tas, dan membuka dua kancing teratas kemeja yang dipakai Tae Jun lalu menyelimuti tubuh anak itu.

Begitu keluar dari kamar, Hana menemukan Kai duduk di sofa ruang tengah sambil memandangi foto di pekan olahraga Tae Jun. Senyuman Kai mengembang ketika melihatnya keluar kamar dan mendekat ke arah sofa. Jantung Hana berdetak menggila, ia tidak mengerti kenapa merasa segugup itu ketika berhadapan dengan Kai sekarang. Apalagi ketika Kai terus-terus menyunggingkan senyum simpul yang sangat manis, membuat Hana kesulitan mengendalikan keseimbangan tubuhnya sendiri.

“Aku akan buat makan siang untuk kalian,” Hana menemukan suaranya dengan susah payah sambil membalas senyum Kai –dengan ragu lalu berbalik kembali ke arah dapur kecil apartemennya.

Sebenarnya Kai adalah seseorang yang tidak bisa menyembunyikan affectionnya pada kekasihnya sejak dulu. Ketika hanya berdua saja, ia pasti akan mencari kesempatan untuk bisa menggenggam tangan, memeluk, memberikan kecupan ringan di pipi, kening, hingga bibir, atau terkadang menghabiskan waktu hanya dengan duduk bersama di sofa. Tapi ia tahu Hana berbeda dan wanita itu belum terbiasa dengan semua sikap seperti itu setelah apa yang terjadi. Hana bahkan masih canggung untuk sekedar berbicara dengannya atau bersikap layaknya sepasang kekasih pada umumnya.

Oh dan lagipula, mereka beberapa jam lalu memutuskan untuk berpacaran.

Jadi ia berusaha menahan diri dan hanya duduk di meja makan sambil memandangi Hana yang sibuk memasak.

“Berapa banyak pekerjaan yang kau ambil setiap hari?” Kai bertanya pada Hana yang tengah memotong-motong sayuran di depan sana.

“Tiga. Atau kadang empat kalau ada kesempatan di malam harinya,” jawab Hana dengan tenang, sementara Kai menggelengkan kepala –tidak percaya. “Tapi aku tidak bisa meninggalkan Tae Jun terus, jadi aku tidak pernah ambil pekerjaan malam hari lagi.”

“Sebanyak itu? Han-ah, kau harus mengurangi jam kerja,” protes Kai, terselip nada tidak suka di dalamnya.

“Tapi aku harus cari uang untuk dua orang, Jong In. Tae Jun masih harus masuk TK, Sekolah Dasar, dan belum lagi bayar apartemen. Mengambil tiga pekerjaan saja belum menutupi semuanya sampai aku harus pinjam uang,” jawab Hana dengan santainya seolah hal itu sudah bukan hal aneh di hidupnya. Setiap orang yang tahu tentang pekerjaannya, pasti menyuruh Hana mengurangi jam kerja, dan ia akan menjelaskan hal itu.

“Han-ah,” Kai menghela napas panjang lalu bangkit dari kursi, menghampiri Hana yang sibuk memasukkan bahan-bahan untuk membuat sup ke dalam panci. Ia mengangkat tangannya dan memberikan pijatan ringan di kedua bahu wanita itu. Tubuh Hana sedikit terperanjat karena perlakuannya yang tiba-tiba.

“Jong In, kau mengganggu,” Hana sedikit tertawa sambil menggerakkan bahunya, agar lelaki itu berhenti memberikan pijatan di sana.

“Aku membantu, Lee Hana,” jawab Kai tak bisa menyembunyikan senyum gelinya. Ia senang bisa berada di dekat Hana tanpa perlawanan lagi.

Hana mengabaikan Kai –yang masih memijat bahunya lalu memindahkan japchae yang baru dihangatkan ke mangkuk berukuran sedang. Ia sedikit menoleh ke ruang tengah untuk melihat jam kemudian memekik pelan.

Wae?” tanya Kai khawatir seraya menurunkan tangannya dari bahu Hana.

“Aku terlambat,” Hana cepat-cepat melepaskan apronnya dan setengah berlari memasuki kamar.

Sementara Kai berdiri di depan kompor sambil mengendikkan bahu heran. Ia membawa japchae dan dua potong ikan panggang ke atas meja makan, lalu kembali lagi ke dapur untuk mengecek sup yang dimasak Hana. Hingga terdengar suara pintu terbuka yang membuat Kai menoleh dengan cepat. Hana sudah mengganti bajunya dengan celana jeans dan kemeja putih yang dilapisi mantel berwarna cokelat. Rambut Hana digelung membentuk messy bun yang entah kenapa membuat Kai sulit mengalihkan perhatiannya dari wanita itu.

“Kau mau kerja?” tanya Kai tak yakin saat Hana mengambil tas slempangnya dari sofa ruang tengah.

Eoh. Siang ini aku menjaga toko mainan dulu,” Hana menghampiri Kai kembali di dapur sambil mengecek supnya. “Angkat supnya 10 menit lagi. Nanti kalau Tae Jun bangun, jangan lupa siapkan makanan untuknya dan biarkan dia makan sendiri.”

Kai hanya memperhatikan Hana yang menjelaskan berbagai macam hal mengenai letak mangkuk, piring, dan peralatan milik Tae Jun dengan senyum geli. Begitu Hana selesai menjelaskan dan menoleh ke arahnya, ia tidak tahan untuk tidak mencubit pipi Hana dengan gemas. “Iya, eomma. Aku akan menjaga Tae Jun dengan baik sampai kau pulang.”

“Uh, kenapa mencubit pipiku,” Hana mendengus sebal sambil menurunkan tangan Kai, ia berusaha menyembunyikan rasa panas di wajahnya karena panggilan ‘eomma’ yang dilontarkan lelaki itu.

Dwaesseo. Sana berangkat,” jawab Kai seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

“Uh, aku berangkat dulu ya, Jong In-ah,” Hana menggaruk pipinya yang tidak gatal, melirik Kai melalui sudut matanya lalu melangkah begitu saja meninggalkan lelaki itu.

***

Malam harinya Kai kembali kerja di bar dengan senyuman lebar yang menghiasi bibirnya. Ia tak henti-hentinya tersenyum bahkan ketika memainkan perannya sebagai DJ –yang dikenal dingin—selama ini. Sesekali bibirnya menyunggingkan senyum seduktif, membuat para wanita yang –berdiri di depan podium berbisik-bisik mengaguminya. Tapi Kai tidak memedulikan itu, karena ia membayangkan Hana yang kini sudah menjadi miliknya.

Kai menyadari shiftnya yang segera habis lalu bergegas turun dari podium, bergantian dengan Jae Rim.

Begitu tiba di meja bar, ia mendapat senyum geli yang dilontarkan Minho padanya. “Moodmu sedang baik hari ini, eoh?”

Keurae!” Kai menjawab sambil tertawa pelan lalu mengambil satu botol air mineral di dekat Minho.

“Biar kutebak. Apa Hana menerimamu?” tanya Minho seraya menyerahkan satu gelas alkohol pada wanita yang duduk di sebelah Kai.

Kai menurunkan botol mineralnya lalu tersenyum –lagi—hanya dengan melihat botol minum saja. “Ya, walaupun Hana belum bilang tentang perasaannya, tapi dia sudah menerimaku. Tapi aku yakin dia punya perasaan yang sama.”

Chukhahae!” Minho tertawa geli sambil mengacak rambut Kai dengan gemas. “Mau minum untuk merayakannya?”

Nah. Aku tidak akan minum lagi mulai sekarang. Hana membencinya,” Kai balas tersenyum pada Minho lalu melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 4 pagi. Ia masih punya sekitar tiga jam sebelum mendatangi Hana dan mengantar Tae Jun ke sekolah. “Apa ada orang di staff room?”

Molla. Paling ada si leader escort yang baru di sana,” Minho mengendikkan bahu sambil berusaha fokus pada pekerjaannya kembali.

Kening Kai berkerut mendengar ucapan Minho. “Leader escort baru?” tanyanya tak yakin.

Eoh. Yang sebelumnya sudah kalah dan mundur dari Triptych, lagipula yang baru ini jauh lebih tampan. Jadi kau tahu bagaimana pengikutnya,” Minho hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum geli.

Kai memutar posisi duduknya dan memperhatikan suasana di Triptych. Lautan manusia terpampang di depan matanya, saling menempelkan tubuh masing-masing dan bergerak mengikuti irama yang dimainkan oleh Jae Rim. Sesungguhnya Kai selalu merasa jijik melihat orang-orang saling bercumbu dan jelas-jelas melakukan hal yang lebih dari itu di dalam Triptych. Walaupun sudah bertahun-tahun bekerja di sana, ia belum bisa menyesuaikan diri dengan keadaan di sana.

Senyuman geli muncul di bibir Kai begitu memperhatikan wajah-wajah baru para escort di sana. Well, Kai harus mengakui bahwa leader escort yang sekarang membawa orang-orang dengan kualitas yang jauh lebih bagus. Jauh lebih tampan dan cantik, memiliki badan yang bagus, dan lebih menjual untuk klien-klien kelas atas. Ia salut pada siapa pun yang berhasil membawa orang-orang seperti itu ke dalam Triptych.

“Ah ya kalau tidak salah, leader escort yang baru itu seumuran denganmu, Kai,” ucapan Minho membuat Kai sedikit menoleh ke belakang. “Kau bukan yang paling muda lagi disini.”

Jinjja?” tanya Kai lagi, merasa semakin penasaran dengan sosok yang dibicarakan oleh Minho.

Eoh. Nah itu dia.”

Kepala Kai sontak kembali menghadap ke depan, mengikuti arah yang ditunjuk oleh Minho. Ia melihat sosok laki-laki bertubuh tinggi, memiliki dada yang bidang, dan rambut berwarna madu yang sangat pas dengan kulit putihnya. Lelaki itu padahal hanya memakai jeans dan kaus putih yang dilapisi jaket kulit hitam, namun terlihat paling bersinar di antara orang-orang. Beberapa wanita secara terang-terangan melirik ke arah sosok laki-laki yang kini berjalan ke arah meja bar.

Lelaki berambut madu itu duduk di sebelah Kai dan memesan minuman pada Minho, sementara tatapan Kai tidak pernah lepas dari laki-laki itu.

“Oh, kau dj yang terkenal itu,” laki-laki itu menyunggingkan senyum sambil menunjuk Kai yang duduk di sebelahnya.

Kai balas tersenyum lalu mengulurkan tangan yang langsung dijabat oleh lelaki itu. “Aku Kim Kai.”

“Mereka memanggilku ‘howi’,” ujar lelaki itu, membuat sebelah alis Kai terangkat. “Bukan nama asli. Aku akan memberitahu namaku kalau kita bertemu di luar Triptych.”

Ah, ara,” Kai mengangguk paham sambil menarik tangannya kembali. Sebenarnya Kai merasa senang karena ia tidak lagi menjadi yang paling muda di sana, karena ada ‘howi’ sekarang. Agak aneh menyebut laki-laki itu dengan nama ‘howi’, tapi ia harus menghormati nama sebutan laki-laki itu. Sama seperti dirinya yang menggunakan ‘Kai’ di dalam Triptych.

***

Entah Hana sedang bermimpi.

Atau ia memang menemukan seorang lelaki yang benar-benar memedulikannya.

Setiap pagi, Kai akan datang ke apartemennya untuk menjemput dan mengantar Tae Jun ke sekolah. Padahal lelaki itu baru saja pulang dari pekerjaannya dan masih menyempatkan diri untuk menemui Tae Jun. Atau dirinya, entahlah. Hana tidak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaanya. Kadang ia merasakan perutnya bergelinjang geli, jantung berdebar tidak karuan, dan rasa gugup yang menyerang tiba-tiba ketika ia menatap Kai dalam waktu yang lama. Ia baru sadar bahwa Kai ternyata memang se-mempesona itu.

Hana baru saja selesai dari pekerjaannya sore itu dan melangkah keluar dari toko –saat mendengar ponselnya berdering. Nama Nayeon tertera di sana.

Wae, Yeon-ah?”

‘Anhi. Tadi Jong In menitipkan Tae Jun di apartemenku, err—apartemen Kyungsoo maksudku. Dia boleh menginap ‘kan?’

“Terserah Tae Jun saja. Kau sudah tanya Tae Jun?”

‘Sudah. Tae Jun bilang harus tanya eomma dulu.’

Hana tertawa pelan. “Boleh kok. Aku juga harus pergi ke rumah sakit dulu, mau lihat Jae Hee eonni. Tolong titip Tae Jun ya, Yeon-ah.”

‘Assa!! Gomawo, Hana-ya!’

Setelah Nayeon menutup teleponnya, Hana menghembuskan napas pelan sembari memasukkan ponsel itu kembali ke dalam tas slempangnya. Seulas senyum tiba-tiba terukir di bibirnya saat mengingat tingkah Kai –yang terkadang lebih kekanakkan dari Tae Jun. Tadi pagi lelaki itu berdebat bodoh dengan Tae Jun karena memperebutkan kecupan pipi darinya. Kai aneh sekali. Tapi berhasil membuat Hana tidak berhenti tersenyum seharian itu.

Oh, Hana juga sudah berusaha membiasakan diri dengan kehadiran Kai di hidupnya selama hampir dua minggu ini. Walaupun masih terselip perasaan takut, ia mulai terbiasa melakukan skinship ringan semacam pegangan tangan atau kecupan di pipi saja. Dan Kai tidak memprotes hal itu, mungkin lelaki itu mengerti apa yang dirasakannya dan berusaha untuk tidak terburu-buru. Lagipula Hana masih bingung, ia sudah lama tidak melakukan hal-hal seperti anak muda zaman sekarang.

“Kenapa senyum-senyum?”

“Uwa!” Hana berjengit kaget ketika suara rendah Kai memasuki indera pendengarannya. Sontak Hana menoleh ke samping dan menemukan Kai berjalan di sampingnya sambil menahan senyum.

Kai memiringkan kepalanya. “Memikirkan apa?”

M-mwoya,” Hana mengalihkan pandangannya ke depan, menghindari tatapan Kai –yang selalu membuat kelumpuhan sementara pada otaknya.

“Memikirkan apa, hm?” tanya Kai, tidak tahan untuk tidak menggoda Hana. “Coba lihat tanganmu.”

Tanpa berpikiran apapun Hana membuka telapak tangannya dan langsung disambut oleh tangan Kai sedetik kemudian. Kai menggenggam tangan Hana, menyelipkan jemarinya di sela-sela jemari wanita itu sambil tersenyum geli. Sementara Hana mati-matian menahan debaran jantungnya yang menggila dan mencoba menyembunyikan rasa panas yang menyerang wajahnya. Oh wajah Hana pasti sudah memerah sekarang.

Mereka terlihat seperti pasangan normal pada umumnya. Berjalan-jalan di pedestrian dengan saling menggenggam tangan. Ada rasa geli yang kembali menggelitik Hana. Sudah lama rasanya tidak merasakan jatuh cinta seperti itu lagi.

“Mau makan apa? Gajiku baru keluar tadi malam, jadi kau yang pilih mau makan dimana,” ujar Kai seraya tertawa pelan dan berusaha menatap Hana di sampingnya. Namun wanita itu hanya menatap ke depan, memperhatikan jalan dengan sedikit tidak fokus. “Han-ah.”

Eoh?” tanya Hana cepat, menolehkan kepalanya dan mendapati Kai menatapnya dengan sebelah alis terangkat.

“Mau makan dimana?” tanya Kai, mulai merasa kesal karena Hana tak mengacuhkannya.

“Terserah,” Hana menjawab dengan ragu lalu kembali melihat ke depan.

Rasanya canggung dan kaku. Hana benar-benar bingung harus melakukan apa jika berdua saja dengan Kai. Ia sudah lupa bagaimana menjalin hubungan –semacam berpacaran dengan seorang laki-laki. Hidupnya selalu dipenuhi Tae Jun dalam beberapa tahun terakhir dan ia benar-benar tidak pernah sekali pun terpikir untuk kembali mempercayai laki-laki di hidupnya.

“Kau masih takut?” tanya Kai hati-hati, menghentikan langkahnya –dan otomatis membuat langkah Hana terhenti juga.

Hana mengangkat kepalanya, mencoba menatap Kai. Bohong jika Hana mengatakan tidak. Ia benar-benar takut kepercayaannya akan kembali dikhianati. Dan itu juga yang membuatnya sedikit sulit untuk terbuka pada Kai. “Kenapa?”

“Kenapa apanya?” Kai menaikkan sebelah alisnya, bingung karena pertanyaan balik yang dilontarkan Hana.

“Kenapa bertanya seperti itu?” Hana memperjelas pertanyaannya saat mendapati raut kebingungan –bercampur kesal milik Kai.

“Kau aneh. Hana yang kukenal tidak seperti ini. Dia brutal, suka berteriak, suka menjambak rambutku, dan suka—AWW, YA! Kenapa menginjak kakiku?” Kai meringis, menahan rasa sakit –karena Hana menginjak kakinya secara tiba-tiba.

Hana tertawa pelan lalu mengusap-ngusap rambut Kai dengan tangannya yang bebas. Rasanya Hana bukan tipe seorang wanita yang memiliki mood swing. Namun rasa takut –akan pengkhianatan itu seolah lenyap saat melihat Kai menggerutu seperti tadi. Bibir lelaki itu terlihat lucu saat menggerutu, seperti sedang merajuk padanya. Harusnya Hana mulai membuka diri pada Kai bukan?

Suara Kai yang meringis malah membuat Hana terkikik tanpa sadar. “Jangan merajuk. Kau bukan Tae Jun, Jong In.”

Wae? Wae? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya,” balas Kai cepat. Namun Hana kembali tertawa, membuat darah Kai berdesir –ketika melihat wanita itu tertawa dengan lepas.

Tatapan Hana tertuju pada Kai –yang tengah memberengut kesal. “Sekarang apa? Kenapa masih merajuk?”

“Jangan tertawa seperti itu lagi.”

“Kenapa?”

“Banyak laki-laki yang melihat ke arahmu tadi. Aku tidak suka.”

Dan demi Tuhan, rasanya Hana ingin menenggalamkan diri saja ke bak pasir –yang ada di preschool Tae Jun—saat mendengar ucapan tak berdasar dari Kai. Membuat wajah Hana merona tiba-tiba ketika Kai merangkul bahunya, seolah mengatakan pada dunia bahwa ia adalah milik lelaki itu. Oh, rasanya benar-benar menyenangkan –namun menggelikan sekaligus. Senyum Hana tertahan di bibir saat Kai mencoba melindunginya dari banyaknya orang yang berlalu-lalang di sana.

Sinar matahari sore menerpa wajah Kai –yang berjalan di sampingnya. Menembus helaian rambut kecokelatan milik Kai –yang membuat ketampanan lelaki itu semakin bertambah saja. Hana tidak tahu sejak kapan menyukai pemandangan –wajah Kai dari samping seperti itu. Ia bisa melihat bentuk hidung yang unik dan rahang tegas milik Kai. Walaupun Kai tidak setampan laki-laki itu, tapi ada aura dari dalam diri Kai yang tidak dimiliki laki-laki itu. Yang membuat Hana tidak pernah bosan memandangi Kai dari jarak sedekat itu dalam waktu yang lama.

Hana tidak tahu kalau ia sudah jatuh begitu dalam pada pesona seorang Kim Jong In yang dulu pernah dibencinya.

-TBC-

IMA’s Note :

Ciyeeh KaiNa Lovey dovey xD

Unyu unyu lucu menyebalkan gitu wkwk

Siapa yang nungguin momen begini lagi/?/

 

Thanks to ka neez yang bantuin publish deepest

Thanks to readers sekalian yang masih bertahan baca deepest, aku terharu huhu

Enjoy^^

 

Regards,

IMA

[SERIES] PUNISHMENT!

$
0
0

PhotoGrid_1455294132157

Tittle : Punishment! ║ Author : Acchan ║ Main Cast : Kim Jongin, Kim Nana ║Other Cast : Ny. Kim ║ Genre : Family, Comedy ║ Length : Series

 

~Happy Reading~

Suasana hening menyelimuti area meja makan pagi itu. meja makan yang hanya diisi oleh 3 orang. seorang pria dan seorang gadis yang sedari tadi terus menundukkan kepala mereka dan seorang wanita paruh baya yang sejak tadi menatap tajam ke arah mereka.

“Kalian berdua tidak merasa bosan apa hidup berdua seperti ini?” sudah ketiga kalinya wanita paruh baya itu bertanya hal yang sama pada 2 orang yang menunduk dihadapannya.

Diam. Tak ada yang berani merespon sejak tadi.  Jangankan merespon, untuk mengangkat kepala saja kedua orang itu sepertinya sama sekali tak berani.

“Jongin-ah, kau tak bosan apa hidup tanpa wanita selama 15 tahun ini?”

Pria yang dipanggil Jongin sedikit mengangkat wajahnya.“Hmm— sebenarnya Hmm——sssedikit bbosan bu” Jongin menjawab ragu ragu.

“Lalu mengapa sampai sekarang kau belum menikah-menikah?!”

“Itu semua karena——“ Jongin melirik Nana sekilas sebelum melanjutkan kata-katanya yang langsung dibalas dengan lirikan tajam sang anak gadis.

“Karena Nana?” Ny. Kim, wanita paruh baya yangtak lain  adalah ibu Jongin melanjutkan ucapan anaknya  yang menggantung.

“Tentu saja bukan halmoni!” Nana cepat-cepat menyangkal. “Appa saja yang sampai sekarang tak bisa menghilangkan sifat-sifat playboynya”

“Diam Nana-yah! Halmoni sedang tak berbicara denganmu” seketika nyali Nana menciut. Gadis itu kembali menundukkan kepalanya. bagi Jongin dan Nana tak ada yang lebih menakutkan dari kemarahan Nyonya Kim yang kini ada di hadapan mereka. Ibu dari Jongin sekaligus nenek dari seorang Kim Nana.

Jongin dan Nana juga tak menyangka Nyonya Kim akan datang ke rumah mereka pagi-pagi buta. Membangunkan mereka dari mimpi indah di akhir pekan yang seharusnya mereka habiskan untuk tidur seharian. Dan akhirnya mereka berakhir di meja makan dengan wajah tertunduk karena omelan-omelan yang sejak tadi dilayangkan oleh Nyonya Kim.

“Baiklah, mulai saat ini halmoni memutuskan untuk tinggal disini bersama kalian sampai Jongin menemukan calon istrinya!”

Mwoyaa????!!!!” Pekik Jongin dan Nana bersamaan.

Nyonya Kim menaikkan sebelah alisnya melihat respon mereka. “Kalian keberatan?”

“Tentu saja keberatan halmoni” Nana segera membungkam mulutnya yang tidak sengaja mengeluarkan kata-kata keberatan sehingga menimbulkan tatapan tajam Nyonya Kim semakin menjadi.

“Tentu saja kami tak keberatan bu, Nana hanya bercanda barusan” Jongin buru-buru menyela sebelum anak gadis tersayang mendapatkan amukan dari sang ibu. Begini-begini kan dia juga tetap seorang appa yang menyayangi anaknya.

“Bagus kalau begitu. Sekarang kalian berdua mandi setelah itu kita makan bersama. Nana-yah, kau bantu halmoni membuat sarapan pagi”

“Nde eommaa”

“Nde halmoniii” Jongin dan Nana menjawab dengan suara lemas.

Nyonya Kim menggeleng-geleng kepalanya “Aigo masih pagi begini kalian sudah lemas? Ckckkkk.. kalian benar-benar——“

“NEEE EOMMAA!”

“NEEE HALMONIIII!” Nana dan Jongin cepat-cepat meralat nada suara mereka dan langsung berlari menuju kamar masing-masing.

***

“Ini menyebalkan! Bagaimana bisa halmoni ada disini?”

“Oh Tuhan, bisa appa bayangkan apa yang akan terjadi padaku nanti jika halmoni ada disinii?!!!” Nana menggerutu kesal pada Jongin setelah berhasil mengendap-endap ke kamar sang appa tanpa ketahuan neneknya yang sibuk berkutat di dapur.

“Kau pikir hanya kau saja yang menderita jika eomma tinggal disini? Appa juga akan menderita Nana-yah” Nana memandang appa-nya sinis. Jawaban appa-nyasama sekali tidak membantu.

“Ahhh—— lalau bagaimana ini appaaa??”

“Molla appa juga tak tahu. Ini semua gara-gara kau!”

“Kenapa bisa gara-gara aku? Appa selalu saja melempar kesalahan!”

“Ya tentu saja gara-gara kau. Jika saja kau tak menghancurkan hubungan appa dengan kekasih-kekasih appa, pasti tak akan jadi seperti ini”

“Aish, jangan ungkit masalah itu lagi. yang berlalu biarlah berlalu. Ikhlaskan saja appa

“Yyahh dan sekarang ini hukumannya untukmu. Dan sialnya kenapa appa harus ikut-ikutan menerima hukumanmu” Nana mengerucutkan bibilnya kesal. dan tepat saat itu satu teriakan dari arah dapur membuat mood Kim Nana semakin memburuk.

“KIM NANAAA CEPAT TURUN!! BANTU HALMONI DI DAPUR”

***

Jongin menelan ludah memandang makanan yang tersaji di hadapannya. Selera makannya langsung menghilang dalam sekejap melihat hampir separuh dari makanan yang tersaji itu berwarna gelap. Jongin sudah tahu siapa tersangka dari semua ini. ia melirik Nana, anak gadisnya yang tengah duduk dengan wajah yang tertunduk disebelahnya.

“Seperti ini akibatnya jika kau tak menikah-menikah Jongin. Tak ada yang akan mengajari anakmu bagaimana menjadi seorang wanita. Kalu lihat sendiri bukan, menggoreng saja bisa sampai gosong begini” Ny. Kim memulai kembali omelannya. Dan entah kesialan apa yang diterima Jongin karena omelan pertama sang  ibu  tertuju pada dirinya.

“Kau juga Nana-yah, apa kau tak ingin memiliki seorang ibu?” Kini Ny. Kim beralih pada cucunya “Kalau kau memiliki seorang ibu, kau bisa belajar bagaimana menjadi seorang wanita yang sebenarnya”

Memang selama ini aku terlihat tidak seperti wanita apa?” Nana yang tertunduk hanya bisa mencibir dalam hati.

“Maafkan Nana bu, Hmmm— bagaimana kalau kita sarapan di luar saja?” Jongin buru-buru mengambil alih pembicaraan sebelum sang ibu melanjutkan omelannya.

“Sarapan di luar? Aigoo, sepeti ini yang ibu tak suka. Kalian pikir, makanan di luar itu sehat? Tentu tidak! ibu tak pernah suka makanan luar!” hening beberapa saat sampai Ny. Kim kembali

“Baikalah mulai saat ini, selama halmoni tinggal disini Nana akan belajar memasak bersama halmoni!”

Nana hanya bisa menghembuskan napas pasrah menerima semua perintah neneknya. Lagipula siapa sih yang berani menolak perintah sang nenek? keculi jika ingin dipanggang di atas kompor yang ada di dapur. Dan tentu saja Nana tak ingin hidupnya bernasib sama dengan makanan gosong yang kini ada dihadapannya.

***

Sudah hampir 1 minggu Nyonya Kim tinggal di rumah Jongin. Dan sudah hampir 1 minggu pula Nana merasa frustasi karena kehadiran sang nenek di rumah. Nana yang biasanya di rumah hidup bak seorang putrid raja berubah 180 drajat menjadi rakyat jelata. Bayangkan saja Nana harus bangun pagi-pagi buta hanya untuk menyiapkan sarapan, menyapu, mengepel membersihkan rumah. Pulang sekolah Nana harus belajar memasak bersama sang nenek bahkan Nana dipaksa untuk belajar menjahit dan berkebun. Entah sudah berapa puluh kali jarinya teriris pisau atau tertusuk jarum.

Hal yang tak jauh berbeda juga terjadi pada Jongin. Tapi tak separah seperti yang terjadi pada anaknya. Pria itu juga tak suka jika sang ibu tinggal di rumahnya. Pasalnya, Jongin tak bisa lagi pergi keluar sesuka hatinya. Ia harus mendekam di rumah seperti yang dialami anak gadisnya. Ia tak bisa keluar bersama temannya, pergi ke club, bahkan mengencani wanita cantik. Itu semua sirna saat ibunya mulai tinggal di rumahnya.

“Demi Tuhan appaa, aku sudah tak kuat lagi jika halmoni terus tinggal di siniii!! Appa lihat sendiri kan? Aku harus memasak, bersih-bersih rumah, menyapu, mengepel, belajar menjahit.. Oh aku benar-benar merasa seperti cinderella yang sedang disiksa oleh ibu tirinya” Nana berteriak frustasi di kamar sang appa. Dan untung saja kamar appanya dapat meredam suara teriakan sehingga tidak sampai kedengaran oleh Ny. Kim yang ada di luar. Namun mereka dapat mendengar suara dari luar.

“Kau ini terlalu berlebihan sekali Kim Nana” Jongin mencibir sinis anak gadisnya.

“Aku tidak berlebihan appaaaaa!! Halmoni lebih parah dari sosok ibu tiri yang selama ini ku bayangkan! Coba appa lihat tanganku! berkali-kali aku teriris pisau. Appa tega apa melihat aku terluka terus begini??”

“Lalu apa maumu?”

“Aku ingin halmoni kembali ke Daegu”

“Kau pikir mudah membuat halmonimu kembali? Kau tidak ingat halmoni akan kembali jika appa mempunyai calon istri sekaligus calon ibu buatmu”

Nana meniup poninya sebal. “Yasudah appa cari saja wanita untuk jadi kekasih appa, lalu bawa kehadapan halmoni

“Kau pikir segampang membalik telapak tangan apa mencari seorang kekasih?! Itu semua butuh perjuangan gadis nakal!”

Nana mengerucutkan bibirnya kesal. “Kalau begitu appa panggil saja mantan kekasih appa untuk datang ke rumah lalu kenalkan pada halmoni. Beres kan?”

Jongin kembali menoyor kepala anak gadisnya. “Jangankan menyuruh mereka kemari, melihat wajah appa saja mereka sudah tak sudi. Kau lupa apa saja yang sudah kau lakukan pada mereka?” Nana hanya menyeringai lebar menanggapi pertanyaan appanya. Tapi tak lama wajah merengutnya kembali ditampakkan.

“Huffth— sifat playboy appa benar-benar tak berguna di situasi ini”

“Ya!!! dasar anak nakal!!”

“Huwwaaa appppaaaa——terus apa yang harus kita lakukan untuk membuat halmoni cepat pergi dari siniii? Apa kita perlu menyewa kekasih sewaan untuk appaa??”

Jongin terdiam memikirkan kata-kata Nana. Tak beberapa lama senyum cerha terkembang di wajahnya. “Benar juga, kekasih sewaan! Kenapa tidak terpikirkan olehku sebelumnya. Good Idea Kim Nana. Kau benar-benar anak appa yang jenius”

“Mwo?? Appa benar-benar akan menyewa kekasih sewaan?” Nana terkejut dnegan respon sang appa yang menyetujui begitu saja ide asalnya.

“Kenapa tidak? bukankah kau ingin halmoni cepat kembali ke Daegu?” Nana mengangguk-anggukkan kepalanya mantap.

‘TING TONGGG TINGG TONGGG’ Suara bell tanda rumah mereka kedatangan tamu terdengar.

“KIM NANA KAU DIMANA? CEPAT BUKA PINTU” Dan setelahnya teriakan dari sang nanek terdengar menyuruh Nana untuk membuka pintu. Dengan setengah hati Nana berjalan keluar dari kamar sang appa menuju pintu depan. Dan betapa kagetnya gadis itu saat membuka pintu, melihat sosok wanita berdiri dihadapannya.

SONGSAENIMM????!!!” Nana membelalakkan matanya lebar melihat seorang wanita muda yang tak lain adalah guru disekolahnya kini berdiri dihadapannya.

Annyeong Kim Nana” Wanita memasang wajah datar menyapa Nana yang masih memasang wajah kaget.

Songsaenim Aa—aada apa kemari?”

“Ada apa? bukankah saem pernah mengatakan jika saem akan ke rumahmu untuk membahas nilai-nilaimu pada orang tuamu”

Nana menepuk dahinya pelan. Ia lupa jika Choi songsenim, guru matematika sekaligus walikelas barunya di sekolah pernah mengatakan hal itu. tapi sayangnya ini bukan saat yang tepat untuk gurunya itu datang ke rumah. Tentu saja ini masih berkaitan dengan neneknya yang masih tinggal di rumahnya. Nana tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika neneknya tahu nilai-nilainya selama ini yang selalu berada dibawah standart.

“Kim Nanaa” Choi songsaeinim melambaikan tangannya di depan wajah Nana yang melamun.

“Ah Ne saem— Emmm— tapi orang tuaku sedang tak ada di rumah”

“KIM NANA SIAPA YANG BERTAMU?” Lagi-lagi terdengar teriakan sang nenek yang membuat kebohongan Nana gagal.

“Itu siapa? Jangan mencoba membohongi saem Kim Nana” Choi Songsaenim menatap Nana dingin.

Sesuatu yang sangat ditakutkan oleh Kim Nana karena Choi songsaenim merupakan guru yang paling ditakuti di kelasnya. Choi songseinim memiliki gelar monster dari teman-teman sekelasnya walaupun dirinya masih muda dan berparas cantik. Tapi untuk kali ini suara langkah kali yang berjalan kea rah pintu lebih membuat Kim Nana merasa takut. Karena itu pasti suara langkah kaki neneknya. Dan jika nenek sihir bertemu dengan seorang monster, Kim Nana yakin dirinya pasti akan menjadi seekor semut malang yang siap untuk diinjak.

“Siapa yang bertamu Nana-yah?” Dugaan Nana benar. Yang datang adalah neneknya. Keringat mulai bercucuran di pelipisnya. Jangan sampai sang nenek tahu jika wanita yang berdiri di depan pintu adalah gurunya. Ah! Nana harus mencari akal untuk membuat sang guru pergi atau sang nenek yang pergi. Dan kebetulan saat itu Jongin juga ikut keluar untuk melihat siapa yang bertamu ke rumahnya. Dan saat itu juga sebuah ide cemerlang muncul diatas kepala Kim Nana bagai lampu neon yang tiba-tiba tergantung diatas kepalanya.

“Ah Ini kekasih appa yang baru halmoniii” Pekik Nana dengan satu kali tarikan nafas. sontak saja ketiga orang dewasa yang ada disitu kaget mendengar ucapan Nana barusan.

“MWOYA??”

“Emmm.. Nn—ndee iini kkekasih appaa. Emmm mm—mmereeka aakan bberkencan harii ini… Emmm yahh mereka akan berkencan hari ini. iya kan appa?” Nana akhirnya menemukan sebuah alibi. refleks Nana kemudian membawa Choi songsaenim mendekat pada appanya. Dan tentu saja wanita muda itu shock dengan ucapan muridnya

apa-apaan kau ini Kim Nana?” Jongin berbisik pelan pada anaknya.

katakan saja iya appa. Ini satu-satunya cara. Bantu aku please”

Tak ada pilihan lain, akhirnya Jongin mengangguk pasrah. Dan tentu saja guru Choi semakin bingung dan hendak mengelak namun selalu berhasil dipatahkan oleh Nana.

“Wwwaahh Jinja? Bagus kalau begitu.” Nyonya Kim tampak senang.

“Tidakk— ini Tidakkk Bbenn—“

Appa bukankah kalian berdua harus cepat cepat pergi?” Nana kembali memotong sekaligus was-was.

“Ah iya, Ibu aku harus pergi dengan———“ Jongin menggantungkan kata-katanya. Ia melirik Nana, lirikannya seakan meminta kode pada Nana siapa Nama guru anak gadisnya itu.

“Ahri! Choi Ahri songsaenim!!” Pekik Nana kilat.

“Ah-yaaa Ahri-yah

“Songsaenim? dia juga gurumu Nana-yah?” tanya Ny. Kim. Tanpa ada kecurigaan sedikitpun. Padahal gelagat sepasang ayah dan anak itu saat ini benar-benar terlihat mencurigakan.

Nde, aku adalah guru dari Kim Na——“

“Appa bukankah kalian harus pergi sekaranng? Acaranya akan dimulai 15 menit lagi!!” lagi-lagi Nana memotong ucapan gurunya.

Ah ya! Ibu aku pergi duluu” Jongin tampak semakin gelagapan namun setelah itu ia buru-buru pamit lalu menarik mesra Choi songsaenim untuk segera pergi.  Yang tentunya mendapatkan banyak penolakan namun Jongin tetap berhasil membawa wanita itu pergi bersamanya.

Nyonya Kim hanya mengangguk membiarkan anaknya pergi begitu saja dengan kekasihnya. Lengkungan senyum menghiasi wajahnya.

“Kenapa appamu tidak bilang jika dia sudah memiliki kekasih?”

“Entahlah emmm mungkin appa takut jika aku merusak hubungannya lagi” Nana memberikan seringaian lebar.

“Aish kalau begitu jangan samapai kau merusaknya lagi Kim Nana! Halmoni tidak akan tinggal diam”

Nana kembali merengut “Nde halmonii”

“Yasudah ayo masuk” Nana mengangguk pelan. Satu masalah teratasi, besok pasti nenek akan pergi dari rumahnya. Namun entah apa yang terjadi padanya esok hari di sekolah karena telah berani membohongi gurunya sekaligus mengatakan bahwa gurunya itu adalah kekasih appanya. Ah pasti hukuman selanjutnya akan menantinya esok hari. Itu sudah dipastikan. Oh Tuhan, baru saja keluar dari kandang Singa, haruskah besok Nana masuk ke kandang macan???

[END]

[EPILOG]

“Ya!! dasar pria mesum!! Lepaskan tanganku!!” wanita itu memukul mukul tubuh Jongin dengan sebelah tangannya yang bebas. Sedangkan pergelangan tangan satunya digenggam erat oleh Jongin.

“Awww!! Awww!! Awww!! Sakit!! Awww!! Arasso arasso akan ku lepaskan!” Jongin menghempaskan tangan wanita itu sambil meringis kesakitan akibat pukulannya. Namun ringisannya tak berhenti disitu saja karena rasa sakitnya bertambah saat tulang keringnya ditendang oleh wanita itu.

“YAA!!”

“Itu hukuman yang pantas untuk pria kurang ajar seperti anda!!” Wanita itu memandang bengis wajah Jongin dan langsung pergi setelah mengucapkan serapahannya.

Jongin masih meringis memegang kakinya yang kesakitan. ini lebih menyakitkan dibanding dnegan tamparan-tamparan yang selalu ia terima dari mantan kekasihnya. Jongin heran, wajah wanita itu cantik dan tampak polos tapi ia memiliki kekuatan seperti seorang monster. Lihat saja, tendangannya di tulang kering jongin memberi bekas kemerahan yang pasti dalam beberapa hari ini akan berubah menjadi membiru. Ia tak bisa membayangkan bagaimana selama ini anaknya, Kim Nana menghadapi guru seperti wanita itu.  ditambah lagi ulah anaknya hari ini. Jongin yakin seyakin-yakinnya, besok anak gadisnya pasti akan menjadi daging cincang jika bertemu dengan gurunya itu. dan Jongin hanya bisa berdoa besok anak gadisnya bisa pulang dengan tubuh yang utuh. Yah semoga…………..

 

~””~””~””~

Maaf lama banget ngepostnya. semoga pada suka ya^^

Viewing all 621 articles
Browse latest View live