CRUEL
Title : Cruel
Author : Zeya
Genre : slight of romance and angst-mystery-mafia!au
Length : Chaptered
Cast(s) : EXO-K’s Kai | APINK’s Naeun | other casts
Poster Credit : parkkyungjin
Previous : PART 1 | PART 2 | PART 3 | PART 4
Disclaimer : Saya gapunya castnya, punyanya cuman storyline sama copyright atas fanfic ini. Saya gaperlu tanggapan bash kalian soal Kai-Naeun, soalnya fanfic ini pure karena kecocokan karakter mereka untuk fanfic yang saya bikin sekarang. Kalau gasuka pairing ini, mending jangan dibaca. Ini hanya untuk have fun bukan?:-) Semoga menyukai fanfic ini, comments are really appreciated!
©ZEYA 2013
.
.
It seems like fate is so cruel that people always trying to get rid from it.
Kaki Sehun tidak berhenti bergerak kekiri dan kekanan sedari tadi. Matanya setiap beberapa menit memperhatikan lampu berwarna merah diatas pintu berwarna keabu-abuan. Ia menggigit jarinya—ketakutan. Dan saat ia mendengar decitan suara pintu terbuka, lelaki itu berbalik dan melihat Kim Sunggyu keluar seraya menarik sarung tangan plastiknya.
“B-bagaimana… k-keadaannya?” ujarnya serak. Lelaki itu meletakkan tangannya di bahu Sehun, mengangguk.
“Dia selamat, melewati masa kritisnya. Dia akan dipindahkan di ruang VVIP sesuai permintaanmu, Tuan.” Ujar dokter itu. Sehun menghela napas lega. Ia tidak kehilangan Jongin.
“Sunggyu-ssaem.” Panggilnya. Lelaki itu berbalik, menatap Sehun bertanya-tanya. “Saya berutang budi pada anda.” Ujarnya. Lelaki itu terkekeh.
“Tidak. Ini kewajiban saya sebagai seorang dokter, untuk menyelamatkan Kim Kai.” Ujarnya, menepuk-nepuk bahu Sehun, namun Sehun menggeleng.
“Aku ingin… ssaem menjadi dokter pribadi kami. Aku dan Kai.” Ujarnya dengan nada penuh otoriter namun mampu membuat Kim Sunggyu terkekeh.
“Masih banyak dokter yang lebih handal dariku, aku saja baru dua tahun selesai dari residensiku, Tuan Oh.” Kim Sunggyu tersenyum padanya.
“Aku mohon.”
Sehun membungkukkan badannya, memohon pada dokter dihadapannya. Sunggyu yang terkejut meraih bahu lelaki itu, menyuruhnya untuk bangkit.
“B-Baiklah, aku akan menjadi dokter pribadi kalian. Namun, aku tidak sejago Professor Cha ataupun Professor Goo.” Jawab Sunggyu. Sehun tersenyum lebar, dan mengangguk.
“Kami akan membiarkan Kim ssaem kuliah dan belajar dimana saja, asalkan Kim ssaem hanya setia kepada kami.” Jawab Sehun mantap.
Sunggyu sedikit terkesima melihat lelaki didepannya ini, ia tahu Tuan Oh adalah seorang yang pendiam, namun ia tidak tahu bahwa lelaki didepannya ini ternyata sangat percaya kepadanya. Ia berjanji, ia akan melakukan apapun untuk menyelamatkan kedua anak ini, Kai dan Sehun.
*
“Ini kali keberapa kau mencoba menghubunginya, Naeunnie?” abangnya, Dongwoon—yang tengah menguyah buah apel sambil menonton televisi, menatapnya sebentar.
“Aku tidak tahu ini yang keseratus berapa, oppa, tapi, Kai tidak menghubungiku, dan telepon genggamnya tidak aktif.” Desah Naeun.
“Mungkin dia sedang ada pekerjaan dengan siapa lagi nama temannya itu, Naeun?” tanya Dongwoon—mencoba mengingat-ingat nama sahabat tunangan adiknya itu.
“Sehun, oppa. Se. Hun.” Desah Naeun kesal karena kebodohan abangnya dalam mengingat nama.
“Ah, ya. Coba saja kau telepon dia atau Yookyung.”
“Tidak. Yookyung juga bingung dimana mereka berdua.” Keluhnya. Naeun menggigit bibir bawahnya. Ia harap, kejadian tadi malam—saat piring yang ia cuci jatuh dan menggores jari telunjuknya tidak menunjukkan kejadian buruk untuk Jongin.
Drrt… Drrrttt…
“Halo?” jawabnya tergesa-gesa. “Sehun?…. Hah?!”
*
“Ayah, apa aku boleh ikut?”
“Jongin-a, bukankah kau ingin menjaga Sehun?”
“Tapi…. bersama Ayah dan Ibu jauh lebih menyenangkan. Aku merindukan kalian. Apa aku harus mengajak Sehun juga?”
“Jongin-a, berjanjilah pada Ibu… Kau harus bertahan hidup, dan kau akan menemukan kebahagiaanmu. Karena, saat kau menemukannya, Ibu dan Ayah tahu itulah yang terbaik.”
“Aku membencimu Jongin! Kau menghancurkan ayahku! Aku membencimu!”
Mata Jongin terbuka perlahan, dan yang ia kenali adalah bau rumah sakit dan cat berwarna putih—sedikit krem. Badannya terasa kaku karena tidak pernah digerakkan, dan ia memaksa kepalanya menoleh kearah seseorang yang menunggunya.
Sehun terlelap, sangat lelap. Seperti sudah sangat lelah. Dan Jongin tahu alasannya apa. Dirinya.
“Se… Sehun-a…” ujarnya serak. Pergerakan dari tubuh Sehun berlangsung cepat sebelum akhirnya Sehun menatapnya dengan raut wajah senang—bahkan ingin menangis untuk kesekian kalinya. “Kau tidak pulang?” pria yang lebih muda darinya beberapa bulan itu menggeleng.
“Aku harus menunggumu. Aku harus tahu kau bangun. Hoo membawakan makanan dan baju untukku—kalau itu yang ingin kau tanyakan.” Jelasnya, tersenyum lebar.
“Maafkan aku, Sehun.” Ujar Jongin, lirih.
“Bodoh, kau benar-benar bajingan. Harusnya kau membiarkanku membantumu…”
“Dan membiarkanmu tertembak? Aku lebih memilih dipanggil bajingan daripada kau harus merenggang nyawa. Kita berjanji tidak akan meninggalkan satu sama lain, brengsek!” dengus Jongin, dengan suara lemahnya.
“Aku juga tidak bisa kehilanganmu, brengsek!” bentak Sehun, dengan suara yang sedikit direndahkan—tidak ingin ada petugas yang masuk dan meng-klaim dirinya mengganggu istirahat pasien.
“Naeun?” tanya Jongin tiba-tiba. Sehun mengendikkan bahunya. “Sepertinya…. aku harus menjauhinya, Sehun-a.”
“Kenapa?” alis Sehun membentuk ombak, bingung. Jongin menghela napas.
“Aku bermimpi dia membenciku, dan aku tidak bisa membayangkan jika itu benar-benar terjadi.” Jongin menatap kearah jendela, memperhatikan langit yang mulai berwarna oranye. Hal yang paling Jongin takutkan adalah Naeun membencinya, itu artinya… Ia benar-benar akan kehilangan gadis itu.
“Bagaimana… jika kita membuat Naeun tahu bahwa ayahnya seorang pembunuh? Bahwa ayahnya membunuh orang tua kita berdua, Jongin.” Lirih Sehun.
“Dan membuatnya berpikir aku menggunakannya untuk balas dendam? Kau ingat Sehun, setelah ia mendapatkan harta kita untuk sementara saja, ia akan mati setelahnya.” Jongin menghela napas panjang, lelah.
“Son Dahun harus membalas semuanya, Jongin. Kau tahu itu.”
*
Ayahnya? Membunuh?
Percakapan antara Jongin dan Sehun yang didengarnya membuat kepalanya seperti tercuci, tidak tahu harus merespon apa. Jika ayahnya seorang pembunuh, apakah Jongin benar-benar hanya menggunakannya?
Dengan gemetaran Naeun meninggalkan ruangan inap Jongin yang belum ia ketuk, berjalan keluar rumah sakit tanpa memperdulikan sekelilingnya. Ia tidak bisa membayangkan hidupnya tanpa Jongin. Tidak setelah ia sadar ia benar-benar telah jatuh cinta kepada Kim Jongin.
Ia jatuh cinta kepada anak dari seseorang yang ayahnya bunuh.
Dan ia merasa jijik pada dirinya karena hal itu.
*
“Namanya Kim Sunggyu. Sunggyu ssaem, ini Kai.” Ujar Sehun, empat hari setelah Jongin sadar dan mulai pulih. Untuk pertama kalinya, Sehun memperkenalkan dokter yang menyelamatkan nyawa Jongin. Senyum dari Dokter Kim membuat Jongin ikut tersenyum.
“Kai. Kim Kai.” Ujarnya. “Terima kasih, sudah menyelamatkanku, ssaem.” Ujarnya, membungkuk sopan, walaupun dirinya masih harus berbaring di Kasur rumah sakit.
“Ah, Tuan Kim.” Ujar Sunggyu, tersenyum, ikut membungkuk. “Tidak masalah. Itu sudah menjadi tugas saya.” Lanjutnya.
“Aku dengar dari Sehun.” Ujarnya. “Terima kasih, sudah mau menjadi dokter pribadi kami. Jangan segan, ketika anda ingin meminta bantuan kami.” Lanjutnya lagi, masih dengan senyumnya. Sungguh, ucapan Kim Kai membuat Kim Sunggyu terkadang mempertanyakan kenapa anak lelaki itu bisa memiliki luka tembak empat hingga lima hari yang lalu.
Jika dibilang, rumor yang beredar mengenai Kim&Oh Corp. adalah dimana pemimpinnya adalah seorang yang kasar. Namun, kedua anak muda ini nampak manis dan benar-benar sopan. Kenapa? Benar-benar tidak masuk diakalnya.
“Anda bisa pulang hari ini. Saya akan datang ke mansion anda untuk mengecek luka tembak dan lainnya setiap tiga hari sekali, apa tidak masalah?” tanyanya. Jongin menggeleng.
“Tidak masalah. Terima kasih, Sunggyu-ssaem. Sungguh.”
Senyum dr. Kim Sunggyu tidak bisa lebih lebar daripada itu.
*
Pembunuh.
Ayahnya seorang pembunuh.
Dua kalimat itu tetap berkeliaran di pikiran gadis bermarga Son. Tangannya terlipat, ia menggigit bibirnya. Matanya hanya menatap kosong kearah koran yang belum tersentuh.
“Kau membaca koran, Naeun?”
Tidak ada respon.
Son Dongwoon mengernyit. Adiknya jelas-jelas menatap koran itu, kenapa tidak membalas pertanyaannya?
“Naeun?”
Gadis itu tersentak dari lamunannya. Lalu menoleh. “Oppa? Ah—tidak. Aku tidak membaca koran, aku hanya…. Berpikir. Ya, aku berpikir.” Ujarnya, menoleh kekiri dan kanan, membuat sang abang mengernyit bingung.
“Naeun. Kau tidak apa-apa?”
Tidak. Ia hancur. Namun, ketika dirinya mengatakan yang sejujurnya kepada sang kakak, apa kakaknya akan percaya kepadanya? Kakaknya mungkin akan menganggap dirinya gila karena membela laki-laki lain, hanya karena ayahnya membatalkan pertunangan mereka berdua. Pasti. Ia yakin itu.
“Aku tidak apa-apa, oppa. Mungkin kelelahan.”
Maka, membohongi kakaknya adalah satu-satunya jalan.
*
“Selamat datang, Tuan.”
Ucapan itu membuat sang anak perempuan meninggalkan boneka-bonekanya, juga kakak laki-lakinya yang tengah bermain dengan mobil-mobilan. Berlari menuju pintu depan. “Appa!” serunya.
“Oh, putri kesayanganku.” Ujar sang Ayah, merentangkan tangannya, membuat sang perempuan terkekeh sebelum berlari menuju pelukan sang Ayah. “Apa Ayah membawakanku buku dongeng?” tanyanya. Ayahnya tertawa senang.
“Ayah mampu memberikanmu segalanya sekarang, Naeun. Ayah mampu. Dan tidak ada lagi yang bisa mengalahkan kemampuan Ayah.”
“Belakangan ini kau sering melamun.” Ujar Yookyung. Naeun menoleh, meninggalkan halaman daftar nama tulang-tulang manusia beserta nama ilmiahnya. “Kau banyak pikiran? Bagaimana Jongin, apa dia sudah sembuh? Sehun jarang membicarakan hal itu padaku.” Cerocos Yookyung, lagi.
Ah, Jongin.
Apa kabar lelaki itu? Terakhir Naeun melihatnya, pria itu masih dirumah sakit. Sampai hari ini, batang hidung Jongin ataupun Sehun tidak kelihatan. Ini sudah memasuki hari kesepuluh sejak Naeun melihatnya di Rumah Sakit.
“Entah. Sejujurnya, belakangan ini aku sibuk membantu perusahaan Ayahku. Bahkan hapalan Professor Jeon saja belum kuhapal tuntas. Matilah aku.” Ujarnya, terkekeh sebelum kembali berfokus pada bukunya. Namun, Yookyung menghela napas panjang.
“Son Naeun, kau tahu kan kalau…”
“Yookyung!”
Suara itu membuat mata Naeun membulat sembari dirinya membaca materi dibuku. Sehun. Jika Sehun datang, maka…
“Sehun! Kai!”
Kai juga ada.
Dirinya belum siap bertemu dengan pria itu. Tidak ketika dirinya mengetahui mengenai Ayahnya yang seorang pembunuh. Tidak ketika dirinya benar-benar merasa jijik terhadap dirinya, dan darah yang mengalir dalam tubuhnya. Dan kenyataan bahwa dirinya sudah jatuh cinta kepada anak dari Tuan Kim. Kim Jongin. Tidak.
Tidak ketika dirinya tidak sanggup harus kehilangan Jongin.
Ponselnya bergetar. Dengan cepat diraihnya ponselnya, membaca pesan yang ditujukan untuknya.
Dokumen yang anda inginkan sudah saya siapkan, Nona Son. Tidak diketahui oleh Tuan Son. Dokumennya akan saya berikan di tempat pertama kali kita bertemu, pukul empat sore.
Sebentar lagi.
Ia menengadah. Matanya beradu dengan Jongin.
Maafkan aku, Kkamjjong.
“Aku sedang ada urusan penting, aku harap kalian tidak marah aku pergi duluan.” Ujarnya, memutuskan kontak mata dengan mantan tunangannya. Ia membereskan buku-bukunya yang berserakan di meja, semua dengan kata-kata ilmiah yang tengah dihapalnya sedari tadi—yang sebenarnya sudah buyar semenjak Jongin muncul.
“Senang melihatmu lagi, Jongin.” Ujarnya, tersenyum—ia berusaha, sangat berusaha membuat senyumnya terlihat normal. Apa dirinya berhasil?
Jongin mengangguk, berniat mengajak gadis itu berbicara, namun dalam sekejap, gadis itu menghilang dari pandangannya. Dahinya mengernyit, bingung. Mereka tidak mempunyai kelas, hingga jam dua nanti. Gadis itu bukan tipe pembolos, ia bersumpah terakhir kali Naeun bolos adalah saat bersamanya. Apa yang membuat gadis itu terburu-buru?
“Kalian mempunyai kelas setelah ini?” tanya Sehun, sembari mengambil posisi duduk disamping Yookyung, tempat Naeun sebelumnya berdiam. Jongin menggeleng sebagai jawaban.
Tatapan Naeun.
Tatapan apa itu?
Ia tidak pernah melihat tatapan Naeun yang seperti itu. Menyerah, pasrah. Seperti merasa dirinya adalah orang terjahat di dunia ini. Seperti dunianya tengah hancur.
Namun, ada hal lain yang membuat pria berkulit kecokelatan itu bingung dengan sikap sang gadis. Tapi, tidak mungkin, bukan?
Bukan?
Tidak.
Naeun seharusnya belum boleh mengetahui hal itu. Tidak ketika Jongin tengah berusaha untuk menyembunyikan hal itu rapat-rapat dari Naeun. Tidak ketika Jongin tidak ingin melibatkan Son Naeun. Tidak.
Jadi, darimana firasatnya yang mengatakan Naeun telah mengetahui semuanya itu muncul?
*
KIM YEOL – OH SOO MURDER CASE.
CLOSED IN 2003
“Hanya ini?” tanya Naeun, memandangi dokumen dengan tebal seperti tesis ketika mengambil gelar doctor. Pria diseberangnya mengangguk. “Kau yakin, Ayah tidak mengetahui hal ini?” tanyanya lagi.
“Semua data sudah saya palsukan, Nona. Tidak akan mungkin diketahui.” Ujar pria diseberang. “Jika anda membutuhkan hal lain, langsung saja hubungi saya.”
Naeun hanya mengangguk sebelum melangkah pergi dari tempat bertemunya dirinya dan sumber informasi. Matanya nampak berkaca-kaca, memandang nama yang tertera sebagai judul dokumen.
Empat jam kemudian, Son Naeun menyudutkan tubuhnya di dinding, memeluk kakinya erat, membiarkan rambut menutupi wajahnya.
Ia menangis.
Mengetahui seluruh kebohongan yang ada. Mengetahui kebenaran yang sebenarnya.
Ia menangis.
Dan menangis.
*
A.N : Iya. Kalo mau nyumpahin Zeya enggak apa kok. ZEYA EMANG JAHAT BANGET DUA TAHUN GAK UPDATE FANFIC INI MAAFKAN AKU SUMPAAAAAAH T_T Zeya jahat sekali tidak update yah T_T Maafkan zeya yang kejam ini, ampunilah. Saya berjanji akan rajin update, mumpung sudah tahun tua /loh, ketahuan/. TUNGGUIN YA KAI SAMA NAEUN SAMA SEHUN SAMA YOOKYUNG SELANJUTNYA. I LOVE YOU GUYS!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! (apalagi yang nungguin fanfic ini, lup u phul).