2016 © Elfeetoile
Starring with : Do Kyungsoo [EXO’s D.O] Park Ahyoung [OC/You] | Also Support : Kim Jongin [EXO’s Kai] Min Hwayoung [OC] | Genre : Hurt, Marriage Life | Rating : PG 17+ | Lenght : 3500> Words | Disclaimer : This Story Line Is Mine Please Don’t Copy Paste!
Previous :
Stay I [Stay] | Stay II [It’s Over? Not Yet]
___
“Mma mma mma.” Mataku mencuri pandangan pada gadis kecil berambut lebat yang sedang duduk di kursi khusus seraya bermain dengan mainan karet di mulutnya, di tengah kegiatanku mencuci piring.
“Aaa ….” Dia memang suka sekali berteriak, entah itu dalam keadaan gembira atau sedih. Aku sedikit khawatir dengan pita suaranya.
“Hyonhee bermain sendiri?” Tanyaku setelah menyelesaikan pekerjaan. Dia menatapku dengan mata bulatnya yang besar, tak lupa menampilkan empat gigi serinya. Dan dia kembali berteriak.
“Sst. Ayah sedang istirahat, jangan berteriak.” Aku berbisik seraya menempelkan satu jari telunjukku di bibir. Senyumnya kembali melebar, dan tubuhnya memberi respons positif atas ucapanku.
“Po po po.” Kembali Hyonhee bergumam tak jelas. Po po po … Pororo maksudnya. Aku melirik jam dinding yang menunjukan pukul tujuh. Pintar sekali anakku, dia bahkan mengetahui jam tayangan film animasi Pororo.
Kuangkat tubuh Hyonhee dan menggendongnya menuju ruang keluarga. Televisi seketika mengeluarkan cahaya dan gambar ketika aku menekan tombol pada remot.
“Aaa ….“ Lengkingannya kian menaik oktaf saat tayangan sudah di mulai. Pupilnya membesar dan ia mulai mencampakan mainan karet kesukaannya.
Kini Hyonhee sudah berumur tujuh bulan. Dia begitu aktif diumurnya dan tentu saja sehat. Berbeda sewaktu dikandungan, Hyonhee kini mempunyai berat tubuh ideal. Giginya sudah terdapat empat, pipi kemerahannya gempal, matanya bulat seperti Kyungsoo dan rambut jelaganya yang tebal mempercantiknya.
Hyonheee sangat menyukai film animasi seperti; pororo dan larva. Tidak, ia menyukai semua film animasi. Dan ia menyukai ayahnya.
“Ahyoung.” Aku berbalik dan menatap pemilik suara berat yang baru saja memanggil namaku. Wajahnya masih terlihat seperti baru saja terbagun meski sudah mandi.
“Kau ingin makan?” Ia menggeleng, diam-diam tatapan datarnya mengerling pada televisi dan Hyonhee yang sedang terfokus.
“Aku ingin ramen.” pintanya, kini giliran aku yang menggeleng. Sepertinya dia menyukai tubuh yang sakit. Senang sekali dengan makanan tidak sehat, berbeda sekali dengan ibunya.
“Bagaimana dengan roti isi cokelat dan segelas susu? Setidaknya itu lebih baik dari pada ramen.” Aku beranjak menuju dapur menyiapkan untuknya.
“Kau menjadi pengatur,” komentarnya, lalu kulihat duduk di kursi meja makan.
“Aku hanya tidak ingin kau sakit.”
Kyungsoo tetaplah Kyungsoo. Meski berkata begitu, ia tetap melahap yang kuberikan.
“Hyonhee mengganggu tidurmu?” Kyungsoo kembali melirik pada putrinya yang kini sedang menatapnya penuh harap.
“Sedikit.” Tatapan datarnya tidak berubah sedikitpun, bahkan saat Hyonhee tersenyum padanya. Ugh!
“Dia ingin bermain denganmu, Kyung.” Dengusannya terdengar oleh telingaku. Apa salahnya jika bermain dengan anaknya sendiri?
“Tidak, terimakasih.” Oh, aku sudah kebal dengan kata-kata itu. Mungkin kebanyakan ibu akan sakit hati mendengarnya.
Setelah itu ia beranjak dan melenggang kembali menuju kamar. Aku seperti tengah menghadapi anak lelaki yang membenci adiknya.
Aku mendekat pada Hyonhee yang tiba-tiba ia menangis. Pantas saja, acaranya sedang iklan. Kini aku menggendongnya, mencoba menghentikan tangisannya. Ini salah satu alasan mengapa aku membeli banyak DVD Pororo. Susah sekali menenangkannya jika sudah begini. Sayangnya, DVD player kami sedang eror akhir-akhir ini.
Lalu, tak lama aku mencium bau tidak sedap, dan sepertinya itu berasal dari celana Hyonhee.
“Anak ibu poop rupanya.” Ia masih menunjukan wajah penuh air matanya. Dia itu seperti Kyungsoo, sangat menyukai kebersihan. Contohnya saja sekarang, jika popoknya penuh ia akan menangis keras. Oke, kebanyakan bayi seperti itu, mungkin.
Aku berjalan menuju kamar mandi yang terdapat di dalam kamar tidur. Mataku menangkap Kyungsoo yang sedang sibuk dengan Macbook-nya di atas ranjang.
“Apa Hyonhee ingin mandi?” Tanyaku saat matanya kembali berbinar melihat mainan bebek karet yang biasa menemaninya saat mandi. Tangannya terangkat mencoba meraih mainan itu.
“Ayo kita mandi.”
.
.
Selesai mandi, aku berjalan menuju ranjang membaringkan tubuh Hyonhee yang masih berbalut handuk di samping Kyungsoo. Kyungsoo sedikit menjauh dan merubah posisi tidurnya saat merasakan eksistensi kami.
“Anak ibu yang cantik sudah wangi.” Tangan dan kakinya tidak bisa diam, mulutnya kembali mengeluarkan gumaman khas bayi. Sesekali ia tertawa dan berteriak di tengah kegiatanku memakaikannya pakaian.
“Bisa kau jaga Hyonhee sebentar? Aku ingin berganti baju.” Hyonhee yang aktif sudah bisa merangkak, itu sedikit bahaya untuknya di atas ranjang bila tanpa pengawasan.
“Kau bisa menggantinya disini.” Kyungsoo berucap cuek tak mengalihkan fokusnya sedikit pun.
“Aku juga harus membereskan kamar mandi.” Ia menghela nafasnya lalu mengangguk setengah hati. Aku tetap kembali ke kamar mandi dan membersihkan semua perlatan mandi Hyonhee yang berserakan dan tak lupa berganti baju.
“Ahyoung,” Panggil Kyungsoo dari luar sana.
“Sebentar.” Pintaku sedikit berteriak. Aku bergegas menggunakan semua pakaianku lalu, pergi menemuinya.
Aku tersenyum lebar saat mengetahui apa yang membuat Kyungsoo memanggilku.
Disana Hyeonhee tengkurap diatas punggung ayahnya. Aku meringis samar ketika kakinya menghentak-hentak tubuh Kyungsoo di bawahnya. “Ppa ppa ppa.” Dan bibirnya kembali melontarkan suara khasnya.
“Apa yang kau lakukan disana, sayang?” Ia tersenyum dan berteriak. Sepertinya ia senang.
“Singkirkan dari tubuhku, Ahyoung.” Ujarnya seraya menahan tubuh Hyonhee agar tidak terjatuh.
“Biarkan seperti itu, Kyungsoo. Ia menyukainya.”
“Dia sangat berat.” Aku tak mengindahkan geraman Kyungsoo, dan memilih tertawa.
Hyonhee bergerak aktif disana seiring aku menghiburnya dengan tepukan-tepukan tangan dan suara yang kubuat cempreng. Akhirnya Kyungsoo memilih terdiam, sambil tetap menahan tubuh Hyonhee.
“Aku ingin buang air.” Suara Kyungsoo mengintrupsiku. Mendengar itu, aku segera mengangkat tubuh Hyonhee dan membawanya keluar. Sepertinya ia mengantuk. Ini sudah waktunya Hyonhee tidur. Aku pergi menuju dapur untuk memanaskan ASI yang kutampung dalam botol susu.
Aku melihat wajahnya yang sedang memerhatikan air yang mendidih dengan mata sayu. Ia tampak lucu, dan menggemaskan. Tentu saja, Hyonhee selalu tampak seperti itu di mataku. Ia kembali menguap lebar, lalu mengucak kedua matanya. Oh, kapan aku berhenti memujinya.
Tiba-tiba kejadian beberapa menit yang lalu muncul dipikiranku. Kyungsoo … dia tidak pernah seperti itu. Dia selalu memperioritaskan pekerjaannya. Entah itu di kantor atau di rumah.
Selama tujuh bulan, Hyonhee menghabiskan sebagian besar waktunya bersamaku. Tepatnya, Hyonhee hampir tidak pernah memiliki waktu bersama Kyungsoo. Ia tidak sempat melakukan hal seperti tadi. Berangkat saat fajar dan pulang larut malam. Setiap hari selalu saja begitu, ia tidak punya waktu untuk kami, dan hari ini dia tumben sekali libur-biasanya, walaupun hari ini adalah akhir pekan ia tetap pergi ke kantor.
Meski begitu, Hyonhee mencintai ayahnya. Sayangnya, Kyungsoo belum menunjukan tanda-tanda membaik. Ia masih alret dengan bayi. Dokter tempatnya berkonsultasi menyarankan untuk di rumah dalam beberapa bulan, mencoba beradaptasi dengan kami. Tapi kenyataannya saat Hyonhee lahir perusahaan keluarga Do berkembang pesat dan melahirkan banyak cabang. Semua itu membuatnya bekerja keras, dan membuat sebagian atensinya ada pada perusahaan.
“Kau mengantuk, sayang?” Tangannya melingkar pada leherku dan kepalanya menyusup pada dadaku. Tak lama kemudian, kakinya menghentak-hentak, lalu suara tangis memenuhi dapur.
“Iya, ayo kita tidur.”
___
“Selamat siang, Nyonya muda.” Pelayan berpakaian sergam khas maid menyambutku hangat.
“Anda mencari Nyonya besar?” tanyanya setelah mengizinkanku masuk dan duduk.
“Ya, apa ibu di rumah?” Junhee, pelayan tersebut mengangguk.
“Akan saya panggilkan.”
Sudah hampir sebulan aku tidak kemari. Ibu mertua sama sibuknya dengan orangtuaku dan Kyungsoo. Meski umurnya menginjak hampir kepala lima, namun itu tidak mengurangi semangat kerjanya. Ibu terbiasa hidup sehat, mungkin itu yang membuatnya terlihat segar di umurnya.
Cucu nenek datang.” Hyonhee berteriak dan menyembunyikan tubuhnya saat ibu mendekat. Beliau mengambil alih Hyonhee dariku dan bermain dengannya sebelum kami berbicara serius. Ya, pembicaraan serius.
Ibu mertuaku senang akan kehadiran Hyonhee. Namun, itu tak menyurutkan keinginannya memiliki cucu laki-laki. Aku tak akan marah dengan itu selama Hyonhee diterima dan dianggap. Ibu pantas bersikap seperti itu karena Kyungsoo adalah anak tunggal.
“Sunyeon.” Panggilnya dengan suara sedikit lebi keras. Setelah itu derapan kaki terdengar. Kali ini pelayan yang agak lebih tua dari yang sebelumnya datang.
“Tolong jaga cucuku.” Pelayan tersebut patuh dan menuruti perintah ibu. Ia berlalu bersama Hyonhee yang menangis.
“Sudah berapa minggu kau tidak kemari?” Ibu bertanya dengan nada marah yang dibuat-buat, senyum mengakhiri ucapannya.
“Maaf, bu.” Aku hanya tersenyum kecil. Tekadang, aku masih merasa tidak nyaman dengannya, meski kami sering menghabiskan waktu bersama. Entahlah, tapi setidaknya akhir-akhir ini hubungan kami semakin membaik setelah kelahiran Hyonhee.
“Bagaimana kabar ibu dan ayah?”
“Kami baik-baik saja. Apa yang ingin kau bicarakan?”
Pepatah mengatakan; buah jatuh tidak akan jauh dari pohonnya. Mungkin itu kata itu cocok sekali untuk Ibu dan Kyungsoo-tidak suka bertele-tele. Aku tidak akan kemari jika ibu tidak mengundang. Anggap saja aku menantu kurang ajar. Tapi, aku tidak ingin mengganggunya jika aku datang begitu saja, tanpa janji atau kabar.
“Bisakah, ibu memberi Kyungsoo libur?” Ibu menyesap teh yang telah disiapkan, sebelum menjawab pertanyaan yang kuajukan.
“Berapa hari?”
“Paling sedikit enam bulan.” Matanya membelak samar. Aku nyaris bertepuk tangan melihatnya tidak tersedak sedikit pun meski terkejut saat sedang minum. Selain cerdas, ibu memiliki pribadi yang tenang.
“Memang ada apa dengan anakku?” Aku meremas gaunku. Pandanganku seketika jatuh pada kedua flat shoes yang kukenakan. Seharusnya aku menyiapkan beberapa rencana sebelum aku memutuskan kemari dan membicarakan hal ini pada ibu.
“Katakan dengan jujur, sayang. Ibu tidak akan marah.”
Aku tidak bisa memikirkan alibi yang tepat untuk mengesampingkan semua kebenaran itu.
Kyungsoo membutuhkan liburan?
Itu sangat tidak mungkin. Dia pria pekerja keras.
Kyungsoo sakit parah?
Ibu akan meminta datanya langsung dari rumah sakit.
Kyungsoo membutuhkan istirahat?
Itu masuk akal. Tapi, ayah tidak akan mengizinkan sampai proyek selesai.
“Apa yang terjadi pada anakku, Ahyoung?” Ibu mulai memanggil namaku. Tandanya api baru saja dinyalakan. Biasanya ibu memanggilku; sayang atau menantu. Dia memang tenang, tapi tidak jika menyangkut anak semata wayangnya.
“Aku hanya bisa menceritakan ini semua pada ibu. Tidak mungkin aku menceritakan hal seperti ini pada ibu atau keluargaku, dan kuharap mereka jangan sampai tahu.”
“Jangan bertele-tele.”
“Dokter Jo bilang, Kyungsoo harus beristirahat dari pekerjaaanya selama beberapa bulan. Ia harus menghabiskan sebagian besar waktunya bersama kami. Aku dan Hyonhee. Dan beliau juga mengatakan agar melarang Kyungsoo untuk bertemu dengan Jongin.”
“Apa maksudmu?”
“Kyungsoo harus sembuh, bu.”
“Anakku tidak sakit.” Ibu masih berucap tenang. Namun, matanya menajam, ia tidak bisa menyembunyikan pancaran matanya.
“Kyungsoo penyuka sesama jenis.” Aku berucap selirih mungkin, walaupun itu tidak bisa memastikan beberapa pelayan tidak mendengar. Mata ibu berembun.
“Tidak mungkin.”
“Ia hanya bercerita padaku. Jongin adalah pria yang ia cintai.”
“Tidak mungkin! Kau bohong! Kalau memang anakku seperti itu, seharusnya kau tidak hamil. Oh! Atau jangan-jangan Hyonhee bukan cucuku?” Intonasi Ibu berubah sinis.
Nafasku tercekat detik itu juga. Apa ia baru saja mengatakanku secara tak langsung seorang jalang?
Pandanganku menegak menatap ibu yang sedang menatapku dengan tatapan tajam bercampur intimidasi.
“Hyonhee anak Kyungsoo. Ia tetap melakukannya, berharap bisa sembuh dengan itu.”
Tanpa sadar mataku melakukan hal yang sama seperti ibu. Aku tidak tersinggung akan ucapannya. Ia pantas mempunyai pemikiran seperti itu, karena ia tidak tahu semuanya.
Teringat bagaimana perjuangan Kyungsoo dulu. Perjuangan kami. Menyakitkan, mengancurkan mental. Kalau saja aku tidak mencintainya dan kalau itu sumua bukan dari proses penyembuhan, aku tidak akan berdiri di hadapannya detik ini. Aku selalu menuruti hatiku, mencoba bertahan disisinya demi anakku yang- setidaknya mengetahui kalau Do Kyungsoo adalah ayahnya yang menyanginya, bukan ayah yang jahat meninggalkannya dan ibunya. Ya, aku tidak bisa menyangkal otakku terus mengatakan untuk meninggalkannya.
“Kyungsooku adalah anak baik-baik.”
“Kumohon untuk kali ini saja, bu. Aku mencintainya, aku ingin Kyungsoo normal.”
___
“Nomor yang anda tuju tidak menjawab. Cobalah-”
Huh. Lihat, betapa sibuknya suamiku. Aku tidak yakin dia akan pulang awal atau setidaknya tidak pulang larut. Agendanya hari ini hanya tinggal membereskan proyek di Busan yang akan selesai paling cepat hari ini.
Mataku melirik pada sudut kanan atas layar ponselku. Waktu sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Seharusnya para pegawai kantor normalnya sudah tiba di rumah pada jam-jam seperti ini.
“Ibu macam apa aku ini, selalu mementingkan pekerjaan, sampai-sampai tidak tahu kalau anaknya sendiri semenderita itu.”
Aku akan membantumu. Tunggulah sampai proyek di Busan selesai.”
“Terimakasih sudah membantu dan setia pada Kyungsoo. Aku tidak salah memilihmu sebagai menantu.”
Aku tahu ibu akan mengerti meskipun itu adalah pukulan terkeras untuknya. Sudah kubilang kan kalau ibu mertuaku itu pintar?
Terkadang perlakuan seseorang itu tergantung bagaimana ia diperlakukan. Aku tidak mengatakan Kyungsoo membalas rasa sepinya yang selama ini ia alami pada Hyonhee. Tetapi, melihat keadaan dan kenyataan selama ini membuatku yakin. Seandainya Kyungsoo mempunyai saudara atau orang yang bisa ia ajak bicara sejak kecil, mungkin ia tidak akan seperti ini. Dan mungkin Jongin bukanlah teman pertamanya dan cinta pertamanya. Secara psikis itu bisa saja terjadi. Latar belakang keluarga memberi pengaruh besar terhadap anak. Itulah alasan mengapa aku tidak melanjutkan karierku. Suamiku mempunyai banyak uang, jadi untuk apa bekerja?
Aku pantas bersyukur, walaupun merasakan hal yang sama-hidup seperti tanpa orangtua. Namun, aku berutung mempunyai kakak yang selalu menemaniku dan sangat aku cintai. Terlepas dari semua itu, orangtuaku setidaknya masih menyempatkan diri menonton acara pentas seni sekolahku, mengambil rapor saat kenaikan kelas, dan menyempatkan untuk menghadiri acara kelulusan dan wisuda. Terkadang jika ada waktu, mereka kerap memanjakanku dengan kata-kata atau perlakuan selayaknya seorang anak bungsu.
Ujung bibirku tertarik. Sekarang aku adalah seorang wanita dewasa yang sudah menjadi ibu. Aku bukan anak bungsu lagi di rumah ini. Kapan aku bisa bermajaan dengan orangtua dan kakak lagi?
Ting!
Tiba-tiba pintu unitku terbuka. Tanpa perlu berpikir dua kali pun aku sudah tahu siapa si empu tersebut.
Siluet pria berbadan tanggung terlihat sedang melepas kedua sepatu dan kaus kakinya di sana. Aku menunggunya di dekat sofa, dan ia sedikit terkejut mendapatiku.
“Mengapa kau belum tidur?” Aku hanya tersenyum kecil, tahu kata-kata itu pasti yang pertama kali ia lontarkan begitu melihatku. Aku tak mengaindahkan pertanyaannya, malah mengambil alih tas jinjing dan jas yang disampirkan.
“Makanlah sebelum semua hidangannya mendingin.” Alisnya berjengit sebelah lalu ia bertanya,
“Dalam rangka apa?” Aku menggeleng, tanganku terulur membuka simpul dasi yang sudah terlihat tampak longgar dan menjauhkan dari lehernya. Aku menyuruhnya untuk duduk.
“Ada yang ingin aku bicarakan.” ucapnya di tengah aku menyajikan makanan dan lauk pauk untuknya.
“Aku juga. Kita bicara setelah selesai makan.” Kyungsoo menyetujuinya.
Ia memakan dalam porsi lebih malam ini, apakah pekerjaanmu semelelahkan itu? Tiba-tiba aku merasa bersalah saat menuruti perintahnya untuk tidak menunggunya pulang. Aku yakin ia hanya makan saat sarapan saja. Dengan kata lain ia hanya makan sehari satu kali. Oh, aku tahu kenapa tubuhnya semakin hari semakin mengurus.
Aku membereskan dan mencuci semua peralatan kotor bekas makanan, dan ia pergi mandi. Setelah semuanya selesai, aku menuju kamar dan menemukan Kyungsoo yang sedang memilih pakaian yang akan ia kenakan. Kudaratkan bokongku disisi ranjang. Ia berbalik dan mengambil tempat tepat di sampingku.
“Kau yang meminta pada Ibu untuk mencutikanku?” Aku hanya mengangguk. Matanya sudah memancarkan es, sehingga aku tidak berani menatapnya lama.
“Aku harus membangun beberapa cabang di kota-kota besar Cina, Taiwan, dan Singapura sebelum akhirnya aku membangun gedung pusat. Itu perusahaanku, tahun depan cabang-cabang yang kubangun menjadi milikku, karena ayah sudah tidak mampu menjalankannya lebih. Artinya aku tidak mengurusi perusahaan kakek yang harus berebut dengan paman-paman atau saudara-saudara sepupuku. Dan kau menghambatnya, aku bekerja bukan semata-mata untuk diriku sendiri, tapi untukmu, untuk Hyonhee dan untuk anak-anakku kelak.”
“Aku tahu. Kau suami dan ayah yang bertanggung jawab dan selalu memikirkan bagaimana kehidupan kami kedepannya. Tapi, ada kalanya kami tidak menginginkan itu. Kami hanya menginginkan kau. Cukup dengan kau yang menemani hari-hari kami. Aku ingin Hyonhee menyimpan kenangan indah bersama kau.” Kyungsoo menghela napasnya.
“Ayahku akan menggantikamu selama beberapa bulan ini kalau kau mau.” lanjutku. Aku menggenggam tangannya dan menatap manik matanya yang masih dingin.
“Aku menceritakan semuanya ke ibu.”
“Ibu?” Aku mengangguk.
“Ibumu, tentu saja. Aku masih mempunyai adab untuk tidak menjelekan suamiku di hadapan keluargaku sendiri. Tidak ada yang bisa membantuku lagi selain ibu.”
“Bodoh.”
“Aku ingin kau sembuh. Ini satu-satunya cara. Mencutikan dirimu agar atensimu dan pandanganmu tidak melulu pada perusahaan dan Kim Jongin.”
“Ini bukan waktu yang tepat. Setidaknya aku harus menyelesaikan proyek itu-”
“Dan tidak ada waktu untuk kau cepat sembuh selain saat-saat ini. Sekarang kau lebih sering bertemu dengan Kim Jongin karena kontrak kerja sama, dan proyek itu akan selesai sampai Hyonhee bersekolah di sekolah dasar. Apakah itu bisa disembuhkan?”
“Tapi, ini harus diselesaikan! Kau mau dapat kerugian?”
“Dengar,” Aku mengusap telapak tangannya berharap emosinya bisa mereda. “Itu tidak mungkin, ada ayahku dan ayah mertua yang menjalankan. Ini hanya beberapa bulan, Kyungsoo. Jika iya pun, aku bersedia akan memberi semua uang yang aku punya.”
“Aku hanya menginginkan itu. Coba kau berpikir lagi bagaimana jika nanti kau berhasil sembuh? Kau dan aku tidak akan menderita lagi. Hyonhee akan bahagia karena ayahnya adalah sosok yang begitu penyayang.” Kyungsoo diam, matanya memandang kosong objek di hadapannya.
“Bukankah hal lumrah, jika seorang istri ingin dicintai, ingin disentuh dengan lembut penuh kasih sayang. Aku ingin seperti istri-istri pada umumnya. Dan Hyonhee pun ingin sering bermain dengan ayahnya. Meskipun begitu, kau tetap suami dan ayah yang hebat di mataku. Aku mencintaimu, Do Kyungsoo.”
___
Sesuatu yang indah tidak lah selalu mewah dan bernilai jutaan dollar. Atau Resort dan wisata alam yang menampilkan panorama indah. Seperti saat ini, terbangun dan langsung disuguhkan pemandangan pria tampan yang semalaman merengkuh tubuhku posesif. Waktu singkat yang sangat indah itu masih hangat dipikiranku karena berlangsung beberapa jam yang lalu. Dimana aku benar-benar merasakannya tanpa cairan lubrik buatan dan gerakan yang menyayat hati. Semalam, semuanya begitu lembut dan tidak terlupakan.
Ia mulai menggeliat, dan tak lama matanya terbuka. Aku tersenyum menyambutnya, tapi ia tak mengindahkannya dan matanya terlihat mencari sesuatu
“Pukul berapa sekarang?”
“Pukul delapan.” Aku mengertakan pelukan padanya saat ia mulai bergerak tak santai. Oh, apa kau tidak ingat hari ini sedang cuti?
“Kau tidak bekerja, Kyungsoo.” gumamku pelan.
“Aku harus menyelesaikan sedikit berkas-berkas proyek di Busan.” Aku menggeleng dalam pelukannya. “Kau sudah berjanji.”
“Ahyoung, lepaskan.”
“Tidak mau.”
“Kau harus mengurus Hyonhee.”
“Dia bersama Kakak.”
“Kau menitipkan padanya?” Aku mengangguk.
“Kak May rindu Hyonhee.”
“Jadi kapan kita memiliki keponakan?” Aku hanya mengedikan bahuku. Tentu saja, itu urusan mereka dan hanya Tuhan yang tahu kapan calon keponakan itu datang.
Aku melangkahi kakakku, karena kakakku adalah laki-laki, kak Bongyoung. Kakak menikah dua bulan yang lalu, bersama gadis campuran Korea-Jepang. Namanya kak May Lee. Dia cantik, tentu saja. Dia sangat menyayangi Hyonhee dan mereka terlihat dekat.
“Aku lelah, bisakah kita kembali tidur?”
–Kkeut
A/N :
Hoho … aku udah bikin poster buat ff stay ini. Yeay!! \(^o^)/
Dan … itu bukan edit di Photo Shop, karena el ga ngusain dan ribet gitu pkenya. Pernah nyoba, tpi hasilnya kurang memuaskan. Jdi, el pke Picsart, bagus ga? Hasilnya emg ga secetar Photo Shop sih .. cuman, el hanya bisa ngusain itu :’)
Jujur ya, yang di katain Ahyoung itu alay bgt sumpah. “Aku hanya menginginkan kau. Cukup kau yang menemani hari-hari kami.” Kyanya itu kata cuman buat orang kebanyakan duit kaya mereka yak. Coba deh di real life, ada ga yg begitu? Yang ada suami suruh cari duit yang banyak :D hihihi
Semoga kalian puas sama kelanjutanya dan dapet feelnya. Don’t forget leave coment below, click follow(ikuti) this blog or my personal blog http://elfeetoile.wordpress.com/ with your e-mail and click like if you like my story. And Ghost, go away!!!
Bonus Pics :
Park Ahyoung :
Ini orang yang sama kaya pic visual park ahyoung di Kyungsoo-Ahyoung series. Yang ini rada dewasa dan keibuan. Hehe ..
Salam
Elfeetoile ♥