Quantcast
Channel: kim-jongin « WordPress.com Tag Feed
Viewing all articles
Browse latest Browse all 621

(Jongin-Jiyoon) Start

$
0
0

tumblr_najotoyhgf1sgzgvno1_1280

Tittle : –

Author : Jongchansshi (http://thejongchansshi.wordpress.com)

Genre : Slice of Life, Marriage Life

Cast : Jongin, Jiyoon

Length : Ficlet

Rating : PG

JANGAN LUPA BACA PENJELASAN DIBAWAH

****

Jongin merasa kalau sekarang adalah saatnya mencari kebebasan. Setelah bertahun-tahun menjadi budak keegoisan dan kehilangan masa muda demi masa depan, ia berakhir mengajukan pengunduran diri di Rapat Umum Pemegang Saham terakhir, resign dari jabatan Chief Executive Officer disaat namanya sedang berada pada di puncak-puncaknya dunia bisnis. Keputusannya memang dianggap sinting oleh sebagian besar orang, bahkan teman baiknya Sehun tidak habis pikir. Tapi percayalah, Jongin sudah memikirkan ini matang-matang beserta sebab-akibatnya.

Malam sudah menjelang dan lampu café yang mereka datangi cukup temaram. Tapi Jongin tidak dapat menyangkal kalau dia baru saja melihat cahaya dari mata perempuan yang meminum Greentea dan terduduk anggun di depannya, cahaya yang dia pikir telah redup selamanya. Oh ayolah, dia sangat yakin kalau Song Jiyoon akan menyiram wajahnya dengan Greentea yang sisa setengah itu. Mana ada perempuan yang mau menikah dengan pria pengangguran? Kecuali kalau perempuan itu sudah tidak waras.

Karena gadis itu tidak juga menjawab, Jongin melanjutkan, “tenang saja. Kau tidak akan kelaparan. Aku masih melakukan investasi di beberapa Perusahaan dan mungkin aku bisa bekerja sebagai Geomatic Freelance Surveyor. Pengetahuanku tentang Geomatic tidak terlalu buruk. ”

Gadis itu hanya menatapnya dengan tatapan yang tidak terbaca, dia membuka mulut kemudian dan mengutarakan isi pikiran dengan suara yang sama ragunya dengan Jongin tadi, “kau tetap mau hidup denganku meskipun aku tidak bisa…ah belum bisa melakukan hubungan Sex?

However, apa yang dilakukan Jongin dahulu kepadanya tetap saja meninggalkan bekas luka. Sekuat apapun Jiyoon ingin menyembuhkan diri. Jangankan melakukan hubungan sex, disentuh sedikit saja kadang dia tak nyaman. Masalahnya, apa point dari pernikahan kalau tidak berhubungan sama sekali?

“Ok.” Jongin menyanggupi. Entah dia sudah berpikir panjang atau asal jawab. “Sekarang, bagaimana denganmu?”

Dan Song Jiyoon memberikan jawaban yang sama.

***

Jiyoon merasa asing. Tiap kali dia berjalan di tempat-tempat umum kemudian bertemu dengan orang yang mengenalnya, meskipun ingatannya memberitahu siapa orang itu, tetap saja dia merasa asing bahkan terhadap teman kerjanya dulu.

“Jiyoon, kan? Astaga kemana saja kau selama ini? Kau menghilang tiba-tiba.” Itu merupakan pertanyaan serta kalimat yang kurang-lebih sama dari beberapa orang yang berbeda.

Perempuan bergaun hitam itu memberikan respon canggung. Dia sedang berada di salah satu mall terbaik Seoul, melihat-lihat ke dalam butik ternama. Sangat tipis kemungkinan dia tidak bertemu dengan gadis berselera fashion tinggi seperti yang sedang tersenyum kearahnya sekarang.

“Aku tinggal luar negeri. Untuk melanjutkan sekolah.” Dia menjawab kebingungan, takut-takut alasannya tidak diterima. Sedang gadis dihadapannya memberikannya tatapan aneh, dia sudah biasa mendapati itu.

Oh really? Kenapa kau tidak memberi kabar apapun? Kami sangat mengkhawatirkanmu. Kami bahkan berpikir kau diculik kemudian dimutilasi. Kejahatan jaman sekarang kan semakin mengerikan.”

Jiyoon tersenyum canggung. Ya benar, dia diculik, tapi masih beruntung karena belum di mutilasi.

Gadis itu masih ingat kalau sering menghabiskan makan siang dengan gadis ramah ini dan beberapa  temannya yang lain. Namanya Kang Sora, seumuran dengannya, Fashion Stylist di Nylon, punya pacar yang 3 tahun lebih muda darinya dan sering ia selingkuhi. Tidak satupun dia lupakan tentang gadis ini kecuali perasaan akrab yang seperti hilang begitu saja.

“AKu baik-baik saja.” Balasnya, sekali lagi awkward. “Ah, kau masih bekerja di Nylon?” Ia bertanya, bermaksud mencairkan suasana.

Sora menggeleng, “aku Ibu rumah tangga sekarang.”

Satu alis Jiyoon terangkat, “Kau sudah menikah?”

Sora mengangguk ringan, ia mengambil gaun berwarna pastel selutut dan meletakkannya di badannya, menanyakan pendapat Jiyoon soal gaun itu. Jiyoon memberikan gelengan, memberitahu temannya kalau itu kurang cocok. “Aku bahkan sudah punya anak. Umurnya 2 bulan dan laki-laki. Kau harus melihatnya.”

Jiyoon hanya memaksakan sebuah senyum yang masih saja terlihat canggung. Terlalu banyak hal yang ia tinggalkan sekaligus ia rindukan. “Kau kemari sendirian? Bagaimana kalau kita mampir ke starbucks sebentar? Ada banyak hal yang ingin kubahas denganmu.” Sora menawarkan ketika mereka berjalan keluar dari butik itu tanpa membawa satu kantong belanjaan-pun.

Perempuan yang menggunakan gaun gelap selutut itu tidak langsung memberikan respon, dia melihat ke kiri dan ke kanan, mencari seseorang. Sampai ketika matanya menangkap sosok tinggi itu berjalan mendekat, barulah ia bisa bernapas lega.

“Aku kemari bersamanya.” Jawabnya pelan.

“Dia siapa?” sora bertanya menggunakan bisikan. Pandangannya searah dengan Jiyoon, menatap lelaki tampan berkulit tan yang mendekati mereka. Jiyoon kebingungan untuk menjawab apa.

“suamiku.” Ia akhirnya bersuara pelan. Apakah Jongin bisa disebut suaminya?

“Serius? Kepan kau menikah? Dimana?”

Kenapa pertanyaan Kang Sora adalah pertanyaan paling sulit itu lagi? Jiyoon tidak pernah bisa menjawab tiap kali diberikan pertanyaan begitu. Dia bahkan tidak yakin apakah dia betulan sudah menikah dengan Jongin atau tidak. Mereka hanya punya surat nikah yang meskipun terlihat sah, tapi sangat tidak sah.

“satu tahun yang lalu, di Filipina.” Jongin yang sudah berada di sekitar mereka menggantikannya untuk membalas. Lelaki itu menjawab dengan tidak ada ramah-ramahnya sedikitpun. Jiyoon menghela napas pendek. Oh bahkan ia belum pernah menginjak kaki di Filipina, di bandaranya saja tak pernah.

Jiyoon memberikan Jongin pandangan, ‘tolong-ramahlah-sedikit-kepada-temanku.’

“Selamat.” Sekarang malah Sora yang menjadi canggung. Lelaki dihadapannya terlalu dingin dan mengintimidasi. “Kalau tidak salah aku pernah melihatmu.” Sora membuka pembicaraan lagi. Raut Jongin berubah. Tentu saja dari awal ia melihat perempuan ini, ia ingat kalau pernah bertemu sebelumnya. Dia adalah satu dari beberapa gadis yang ia dan Sehun temui di Restaurant dan sedang membicarakan Jiyoon 2 tahun lalu. Serta beberapa pertemuan lainnya.

“Kau CEO SC Oil, Gas and Energy, kan?” tanyanya Excited. Jongin tidak memperlihatkan kalau dia lega mendengar pertanyaan itu. Dipikirannya, perempuan ini akan mengungkit soal ‘apakah kau yang menculik Jiyoon’ atau ‘apakah kau yang telah menghancurkan Jiyoon’ atau pertanyaan-pertanyaan lain yang tidak mau dia dengar ataupun ingat.

“Tidak lagi.” Pria itu menjawab seadanya, masih juga tidak ramah. “Aku dipecat dan menjadi pengangguran sekarang.” Lanjutnya asal.

“Hah? Kenapa bisa? Dengan pencapaianmu, bagaimana mungkin kau dipecat?” mata sipit Sora terbelalak. Dia belum mendengar soal pemecatan pria itu ataupun gossip-gossip tidak sedap dari SC.

“Tapi aku dipecat.” Dia memberikan penekanan pada suaranya yang dingin. Jiyoon menjadi frustasi. Apakah Jongin tidak bisa ramah sedikit? Atau setidaknya berpura-pura ramah? Dia menjadi tidak enak kepada Sora. Gadis itu mencengkram kuat lengan Jongin, membuat pria itu meringis dan menatap kearahnya.

“Sora, aku harus berbicara dengannya sebentar.” Jiyoon pamit sementara terhadap teman lamanya itu dan mengatakan kalau dia akan kembali segera. Perempuan itu menarik tangan Jongin ke sudut paling sepi lantai 3 mall itu. Mereka tidak mungkin ribut dihadpaan Sora, kan?

“Aku ingin jalan-jalan dengan Sora. Kau pulang saja duluan.” Ucapnya pelan. Jongin menatap Jiyoon tidak menyangka. Apakah dia dicampakkan karena perempuan ini?

“Tidak, kau pulang denganku. Sekarang.” Balasnya memerintah, sikap bossynya kembali. Apakah Jongin lupa perjanjian mereka kalau tidak ada perintah-merintah?

Jiyoon menatap Jongin dingin. Kenapa Jongin tidak bisa menghilangkan keegoisan serta sifat memaksanya?

“Aku tidak mau.” Balas Jiyoon telak.

Jongin menatap perempuan dihadapannya kesal dalam beberapa waktu. Dia adalah suami, kepala rumah tangga. Menurutnya, Jiyoon harus menurut permintaannya yang ini.

“Aku juga tidak mau tahu. Kau pulang. Sekarang.” Ucapnya sekali lagi bak dikatator. Jiyoon memutar bola matanya dan menatap Jongin dingin. Dia benar-benar berpikir kalau Jongin akan berubah. atau setidaknya berusaha tidak memenangkan egonya lagi.

“Aku tidak suka diatur.” Jiyoon bersuara menggunakan nada lirihnya. Jongin hanya membuka mulut kemudian menutupnya langsung. Ia baru sadar kalau baru saja melewati batas. Lagipula, apa salahnya kalau Jiyoon bersama teman lamanya itu sebentar? Ah tentu saja salah. Jongin tidak suka dengan perempuan itu. Dan setiap kali dia tidak suka dengan seseorang, dia punya alasan yang kuat.

Jongin melunak setelahnya, dia memegang perutnya dan mengeluarkan ringisan pelan. Sontak Jiyoon langsung menyanggah tubuh tinggi pria yang nyaris terjatuh.

“Kau kenapa?” Tanya Jiyoon khawatir.

“Maagh-ku kambuh.” Pria itu berkata dengan nada yang menahan sakit.

“Kau bawa obatmu?”

Jongin menggeleng, “ada di mobil.”

“Kita pulang sekarang.” Jiyoon berkata panik. Jongin mengangguk setuju. Memang dia ingin pulang daritadi. Gadis itu memegang erat lengan Jongin, takut-takut pria itu terjatuh. Ia menghampiri Sora dan sangat meminta maaf kepada teman lamanya itu, mengatakan kalau mereka bisa berbincang lain waktu.

Diam-diam, Jongin menunjukkan seringai kemenangannya. Bukankah dia masih si brengsek yang menginginkan segala hal berjalan sesuai kemauannya? Kalaupun tidak bisa, dia akan membuatnya menjadi bisa.

***

“Obatmu habis.” Jiyoon berkata cemas. “Kau tunggu disini, ok? Aku akan ke Apotik.” Jongin menggelengkan kepalanya sembari menarik tangan Jiyoon.

“Tidak usah. Sudah terasa lebih baik.” Ucapnya pelan.

“Kau yakin?”

Jongin mengangguk serius, tidak lagi memberikan ekspresi kesakitan seperti sebelumnya. Jiyoon sama sekali tidak mengerti dengan penyakit maagh. Dia belum pernah terkena maagh parah seperti Jongin. Jadi dia tidak tahu apakah itu bisa sembuh begitu saja seperti yang dikatakan Jongin.

“Biar aku saja yang menyetir.” Jiyoon meminta Jongin untuk pindah ke bangku sebelah.

Jongin menggeleng cepat, “aku sudah sangat baikkan.” Katanya disertai senyum yang dilebar-lebarkan. Meskipun perutnya sangat sakit sekali juga dia tidak akan membiarkan Jiyoon menyetir. Karena pertama, dia tidak mau gadis ini celaka. Kedua, ini mobil kesayangannya, dia terlalu protective terhadap barang kesayangannya. Ketiga, dia belum mau mati secepat ini.

Pria itu mulai melajukan Mercedes hitamnya keluar dari area parkir.

“Kita ke dokter saja, bagaimana?” Tanya Jiyoon masih khawatir. Dia tidak melepaskan pandangan kearah Jongin barang sedetik-pun.

Jongin menggeleng, sekali lagi menolak. “Sumpah, perutku tidak sakit lagi.” Balasnya meyakinkan.

“Atau memang tidak pernah sakit?” Jiyoon menembak dan Jongin langsung menghela napas berat.

“Kelihatan sekali, ya?”

“Kenapa kau berbohong?” Tanya Jiyoon kesal.

“Aku tidak suka melihatmu dengannya.” Jawabnya belagak tidak berdosa.

“Astaga. Dia bahkan bukan laki-laki!”

“Dia sama buruknya dengan laki-laki hidung belang.” Balas Jongin tidak mau kalah.

“Sora temanku, Jongin.” Jiyoon menekankan.

“Dia merebut suami orang. Bagaimana kalau kau diajarkan begitu juga olehnya?”

Jiyoon membuka mulutnya, tapi tidak satu katapun ia keluarkan. “Terserah.” Gumamnya judes. Dia langsung memandang kearah jendela, dalam hati mengeluarkan banyak sekali serapah untuk Jongin yang hari ini sangat menyebalkan. Kemarin-kemarin dia betul-betul seperti anak baik yang penurut. “Tapi, darimana kau tahu dia merebut suami orang?” Jiyoon akhirnya buka mulut karena penasaran.

“Aku kenal suaminya.”

“Terus?”

Jongin berdecak, “tidak ada informasi yang gratis. Kau mau bayar pakai apa? Aku menjadi sangat perhitungan semenjak jadi pengangguran.”

Bayar pakai apa. Bukan ‘bayar berapa’,

Jiyoon memutar bola matanya tak sopan, “yasudah.”

Jongin hanya tertawa kecil. Lagipula dia sangat bersyukur kalau Jiyoon tidak penasaran lebih lanjut. Well, bagaimanapun, dia lebih suka menyimpan aib orang daripada menyebarkannya.

Pria itu memasukkan mobilnya ke area minimarket. dia memarkirkan didepan, melepaskan safety belt tapi tidak mematikan mesin mobil.  “Ada mau beli minum. Ada yang ingin kau titip?”

Jiyoon menggeleng. Rautnya malah menjadi dingin, matanya menunjukkan kekesalan. Apakah dia merajuk karena Jongin tidak mau berbagi informasi dengannya? Seingat Jongin, Jiyoon bukan tipikal yang begitu.

Jongin turun dari mobilnya dan berjalan santai kedalam. Sementara pandangan mata Jiyoon tidak terlepas dari punggung pria itu yang menjauh. Of course she aint angry easily just because of something like that. Dia tahu kalau Jongin mau membeli obat maaghnya.

“Kenapa kau berbohong?” Jiyoon mengulangi pertanyaan seperti tadi. “Kau masih belum bisa mempercayaiku, kan?”

***

Ini bukan lanjutan amour, obsede/ hamartia. Tapi emang masa lalunya tuh dari situ. Tapi tetep ya endingnya Hamartia mereka tak bisa bersatu (halah). Anggap aja ini ff berdiri sendiri (tapi sebenarnya lanjutan ao/hamartia sih) (ribet). Jadi meskipun gabaca yang sebelumnya semoga tetap bakal ngerti. KALAUPUN LANJUT, ini bukan chaptered tapi series. soalnya dari dulu tuh pengen banget bikin Jongin yang pekerja keras di AO jadi pengangguran (tertawa kejam). Jdi ini tuh sebenarnya lanjutan tapi gamau saya bilang lanjutan (?) anggap aja ini Alternatif cerita dari endingnya Hamartia. soalnya emang ada beberapa hal yang harus dijelaskan ulang/ helah

I do support KaiStal kok. Tapi kan ini Jongin di alternative universe. Kerjaannya aja bukan jadi anak boyband. Jadi maksudnya, mereka tuh beda ya (?) kan ceritanya AU.


Viewing all articles
Browse latest Browse all 621

Trending Articles