Quantcast
Channel: kim-jongin « WordPress.com Tag Feed
Viewing all articles
Browse latest Browse all 621

Sunshine [7]

$
0
0

Original Story by Lee-Jungjung

 

Covered by Nisanoona

 

Cast: Kim Jongin & Jung Soojung

Support Cast: Myungsoo, Sehun, Chanyeol, Jinri, Seulgi, Sooji

Chaptered| Romance, Angst | PG-17

 

[7] Jurnal

.

.

.

.

Jongin memandang ke depan sembari menyunggingkan senyum. Di sana, di atas podium sudah ada teman sebangkunya semasa di tingkat kedua. Si jenius yang tidak pernah terkalahkan dari awal mereka menduduki bangku sekolah menengah atas, hingga di hari kelulusan mereka. Siapa lagi kalau bukan Oh Sehun.

“Aku harap bukan hanya prestasi yang mampu kita raih,” suara Sehun menggema memenuhi seluruh sudut aula. “Tetapi, smoga ilmu yang kita miliki ini nantinya dapat bermanfaat bagi orang lain.”

Jongin dan sekitar 300-an siswa memberikan penghargaan atas sambutan Sehun selaku siswa terbaik dengan tepukan tangan. Jongin mengerahkan seluruh tenaganya agar suara tepukannya terdengar paling keras. Yah, semua demi mantan teman sebangku yang kini sudah menjadi sahabat terbaiknya.

Jongin mengacungkan ibu jarinya saat Sehun tersenyum ke arahnya. Pemuda berkulit tan itu menghela napas sejenak saat Sehun mulai turun dari podium. Kedua netranya lantas berkeliling. Memperhatikan raut teman-teman seangkatannya. Sama seperti dirinya, mereka juga tampak bahagia. Senyum tak pernah pudar dari wajah teman-teman seangkatannya.

Jongin menarik-hembuskan napasnya lantas menatap langit-langit aula sekolahnya. Hidupnya di sekolah ini sudah berakhir. Waktunya selama 3 tahun ini dilalui dengan cepat. Semua bagaikan bunga tidur yang hanya lewat dan mudah berlalu begitu saja. Jongin tersenyum sendiri saat bayangan mengenai tingkahnya selama di sekolah silih berganti terputar di otaknya. Membayangkan bagaimana dirinya dulu, Jongin tak yakin bisa lulus saat ini. Ingat, dia adalah berandalan terkenal seantero sekolah. Kerjanya kalau tidak berkelahi, ya membuat ulah. Begitu terus hingga suatu keajaiban muncul. Menariknya masuk untuk mengalami indahnya negeri dongeng barang sebentar saja.

Dan keajaiban itu adalah Jung Soojung.

Baiklah, Jongin menyebut mantan kekasihnya itu sebagai keajaiban bukan karena gagal moveon. Bukan serta merta Jongin melupakan bagaimana Soojung mencampakkannya. Jongin tidak pernah lupa. Tidak akan. Selama satu setengah tahun kurang beberapa bulan, dia harus menghadapi Soojung. Caranya? Berjuang keras dan membuktikan kalau dia adalah orang yang berguna. Berusaha mematahkan semua anggapan Soojung mengenai dirinya. Dan karena itulah Jongin menyebut Soojung sebagai keajaiban. Dia tidak mungkin akan mampu meraih apa yang didapatnya sekarang jika tidak pernah terlibat dengan ketua kelasnya di tingkat kedua.

“Ada banyak kenangan yang kita lewati.”

Jongin mengerjapkan kedua matanya pelan. Berusaha meraih kesadarannya kembali dan melihat siapa yang sekarang memberikan sambutan. Dan berbeda dengan raut yang tadi Jongin tampilkan saat Sehun menyampaikan sambutannya, kali ini wajah Jongin berubah dingin. Kedua matanya menatap tajam sesosok pemuda tampan seusianya yang tengah berdiri di podium.

Dia si ketua OSIS sekaligus ketua angkatannya. Kim Myungsoo.

“Ada suka, duka, senang, sedih. Semua kita rasakan. Dan jangan pernah lupakan semua rasa itu. Karena itu sangat berarti. Siapa tahu kita tak mampu lagi menikmatinya.”

Jongin tersenyum sinis menanggapi sambutan Myungsoo. Masih segar diingatannya bagaimana gadis yang dicintainya lebih memilih pemuda yang tengah berdiri di podium itu. Dan hingga detik ini rasa ketidaksukaan Jongin masih belum pudar. Tidak sebelum akhirnya si mantan ketua kelasnya yang menyebalkan itu menyesal karena sudah mencampakkannya.

“…. Sukses selalu untuk kita semua.”

Suara tepukan sama riuhnya untuk memberi penghargaan pada Kim Myungsoo, seperti saat Sehun memberi sambutan tadi. Tapi, mungkin hanya ada satu perbedaan. Myungsoo tidak mendapatkan penghargaan dari Jongin. Pemuda berkulit tan itu sama sekali tidak menggerakkan tangannya.

“Yak, hentikan tingkah konyolmu, Jong,” Chanyeol menyikut lengan Jongin sambil terus bertepuk tangan. “Beri penghargaan terakhir untuknya.”

Jongin mendengus saja mendengarkan cicitan Chanyeol. Kedua tangannya masih setia bersedekap di dada. Kedua netranya masih menatap Myungsoo yang sedang memandang ke depan dengan sendu.

Eh? Sendu?

Jongin mengerjap beberapa kali sebelum mengikuti arah pandang Myungsoo. Pemuda berlesung pipit itu memandang satu bangku kosong di deretan terdepan. Deretan sepuluh besar siswa berprestasi. Letaknya tepat di sebelah bangku Sehun. Kalau tak salah itu milik ….

“Hiks….”

“Jinri, tenanglah.”

Jongin menoleh. Sekitar lima bangku di sebelah kirinyanya ada Seulgi yang tengah menenangkan sahabat karibnya, Choi Jinri. Kening Jongin mengerut sempurna. Keduanya tampak sedang tidak baik-baik saja. Begitu pula dengan salah seorang rekan mereka Bae Sooji. Gadis itu terlihat melamun sambil memperhatikan bangku di sebelah Sehun. Sebenarnya apa yang sudah terjadi?

O0O

“Sambutanmu tadi keren, Oh Sehun.”

Sehun tersenyum tipis. Pemuda berkulit putih itu lantas menonjok bahu Chanyeol pelan. “Biasa saja, Chan,” katanya merendah.

Yang terjadi selanjutnya adalah obrolan ringan antara Sehun dan juga Chanyeol. Biasa mengenai apa yang akan mereka lakukan selepas menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah. Tentang impian Chanyeol yang berubah dari pemain basket ingin menjadi penulis lagu. Hingga Sehun yang berkeinginan menjadi seorang jaksa seperti sang ayah. Keduanya berceloteh cukup akrab hingga mengabaikan sesorang yang terus melamun sejak tadi.

“Kalau kau berniat mendaftar ke mana, Jong?”

Jongin terkesiap. Pemuda itu tampak tergagap menjawab pertanyaan Chanyeol dan Sehun. “Oh, eoh? Kalian tanya apa tadi?”

Chanyeol dan Sehun menatap satu sama lain hingga akhirnya memutar bola mata masing-masing. Sudah pasti dapat diketahui kalau Jongin tidak fokus dari tadi. Dan tentunya tidak mendengar pertanyaan yang mereka ajukan.

“Kau mau meneruskan di mana?” tanya Sehun dengan sabar.

Jongin berpikir sejenak. Pemuda itu lantas memilih untuk mengedikkan bahunya. “Entah. Belum kupikirkan. Yang jadi tujuan utamaku adalah lulus dari sekolah ini. Setelah lulus aku belum punya rencana apapun,” jawab pemuda itu dengan santainya.

“Wah, Jong. Kau seharusnya segera memutuskan mau lanjut ke mana. Dengar, masa depanmu nanti mempengaruhi misi balas dendammu pada Soojung.”

Sehun mendesah pasrah. Lagi-lagi Chanyeol memprovokatori Jongin untuk semakin membenci Soojung, “Hentikan, Chanyeol. Kau tahu, kata-katamu sungguh memperburuk suasana.”

Chanyeol mengabaikan omelan Sehun dengan tetap berceloteh. Terus memprovokasi Jongin untuk terus melaksanakan misi balas dendamnya pada sang mantan kekasih yaitu Jung Soojung. Sehun menggelengkan kepalanya pelan. Dia tidak habis pikir dengan Park Chanyeol. Bukankah dia dulu juga pengagum Soojung? Kenapa sekarang dia yang malah memanas-manasi Jongin untuk membalas perbuatan Soojung? Tsk, apakah ini efek patah hati seorang lelaki?

Di lain pihak, Jongin sama sekali tidak mendengarkan celotehan Chanyeol. Pikirannya melayang pada beberapa fakta yang dilihatnya tadi. Terlalu mengganggu pikirannya sehingga Jongin gagal fokus. Tapi, ada satu pertanyaan yang mencuat dari batinnya. Satu pertanyaan yang merangkum seluruh rasa penasarannya.

Apakah Jung Soojung tidak menghadiri acara kelulusan mereka? Tapi, kenapa?

.

.

.

“Aku tidak peduli, Seulgi. Aku harus memberitahunya.”

Jongin menghentikan langkahnya saat melihat 3 orang gadis tengah berdebat soal sesuatu. Ada Choi Jinri, Kang Seulgi, Bae Sooji. Seperti yang sudah diketahui kalau mereka itu sahabat karib Soojung. Uh, melihat mereka membuat rasa penasaran Jongin berlipat ganda. Ingin rasanya menanyakan perihal mantan kekasihnya pada 3 gadis itu. Tapi, itu sama saja merusak harga dirinya. Bisa-bisa dia kembali dicemooh Jinri dan Sooji karena gagal moveon.

“Ah, bagus sekali. Orangnya sudah di sini.”

Jongin mengerjap pelan. Dia menunjuk dirinya sendiri dan berpaling menatap kedua rekannya yang lain –Sehun dan Chanyeol. Keduanya juga seperti dirinya. Bingung karena tiba-tiba Jinri menatap Jongin dengan emosi tak stabil. Juga ketika gadis itu dan kedua temannya yang lain berjalan mendekati mereka.

“Syukurlah kau belum pulang, Kim Jongin,” ujar Jinri. Pelan-pelan gadis itu menghembuskan napasnya. Kelihatan sekali kalau tengah memendam emosi yang cukup menguras energi. Walau tak jelas emosi seperti apa yang dimiliki gadis yang satu ini. Marah, sedih, kecewa? Entahlah.

“Ada apa?” tanya Jongin degan nada datar. Pemuda berkulit tan itu mencoba bersikap acuh meski penasaran sekali apa yang mau disampaikan oleh Jinri.

“Bukan masalah besar, Jong. Jinri hanya ingin mengucapkan selamat tinggal,” Seulgi segera menyerobot untuk berbicara.

“Kang Seulgi!” Jinri menepis tangan Seulgi yang berusaha menariknya untuk pergi. “Sudah kukatakan aku akan memberitahukan semuanya pada Jongin.”

Seulgi menghembuskan napasnya pelan, “Kan kita sudah berjanji, Jinri.”

“Tapi, aku tidak akan membiarkan Soojung berakhir seperti itu.”

Jongin, Sehun, dan Chanyeol menatap satu sama lain. Baiklah, kenapa sekarang mereka harus melihat pertengkaran antara Seulgi dan Jinri? Ketiganya lantas menatap Sooji menuntut penjelasan. Tetapi, gadis berparas cantik itu memilih memalingkan wajahnya. Berupaya tutup mulut.

“Aku lakukan ini demi Soojung, Seulgi. Demi kebahagiaannya. Kenapa kau tidak mengerti sih?”

Seulgi menundukkan kepalanya. Menarik napas dalam-dalam sebelum kembali membujuk Jinri, “Aku juga mau begitu tapi ….”

“Hei, ada apa ini?” Jongin yang sudah jenuh akhirnya bersuara. “Kenapa kalian malah bertengkar? Kenapa juga tadi menunjuk dan menyebut namaku?” tanya Jongin penasaran.

Jinri menatap Jongin sekilas lantas beralih menatap Seulgi. Gadis itu menggeleng sambil menggerakkan bibirnya. Berharap Jinri tidak membeberkan semuanya. “Dengar Kim Jongin, Soo ….”

“Ikut aku,” sebelum Jinri sempat berucap, Sooji sudah menarik tangan Jongin. Membuat si pemuda menatapnya keheranan.

Sooji menarik-hembuskan napasnya perlahan. Dia juga sudah lelah memendamnya, sama seperti Jinri. Tapi, dia tidak mungkin melanggar janjinya pada Soojung. Jadi, dia memilih tidak secara langsung memberitahu Jongin, tetapi melalui suatu perantara.

“Ini.”

Jongin menatap sebuah jurnal yang disodorkan Sooji kepadanya. Pemuda itu lantas kembali menatap Sooji penasaran. Kenapa juga Sooji memberi jurnal ini kepadanya?

“Itu milik Soojung.”

Jongin mengerjap pelan. Kedua netranya kembali memandang jurnal yang ada di hadapannya. Jurnal Soojung? Untuk apa diberikan kepadanya?

“Aku sengaja mengambil ini diam-diam dari kamar Soojung semalam. Kupikir mungkin akan berguna. Ternyata benar,” ujar gadis itu seraya menghela napas di akhir kalimat.

“Kau mau memberikannya padaku?”

Sooji mengangguk tanpa ragu, “Yah, kupikir kau harus tahu mengenai Soojung lewat jurnal ini.”

Jongin menerima jurnal Soojung dengan ragu-ragu. Digenggamnya jurnal bersampul merah marun itu dengan erat. Entah mengapa dia jadi penasaran dengan apa yang Soojung tulis dalam jurnal pribadinya ini. Mungkinkah ada namanya di dalam jurnal ini.

“Bacalah, Jongin,” Sooji memerintah dengan nada seperti memohon. “Dan hubungi kami jika sudah selesai membacanya.”

O0O

“Jadi, kau mau mendaftar ke universitas mana, Jongin?”

Jongin menghentikan aktivitas makannya dan menatap sang ayah. Ragu-ragu Jongin membuka mulutnya, “Belum tahu.”

“Kuharap kau segera memutuskannya, Jong.”

“Baik, abeoji,” ujar Jongin sopan.

“Hei, jangan terlalu keras padanya, yeobbo. Bukankah dia sudah cukup berusaha keran untuk ujian kelulusan?” ibu Jongin berusaha membela putranya. Dan ditanggapi dengusan oleh sang suami.

“Iya, iya. Aku hanya mengingatkan.”

Jongin menghela napasnya. Kembali menyantap makan malamnya tanpa selera. Bukan karena pertanyaan sang ayah. Bukan. Jongin sudah cukup kebal dengan sikap keras sang ayah. Dan tadi ayahnya sudah cukup lembut bertanya padanya. Mungkin efek perubahan sikap Jongin yang berangsur bertambah baik. Ada alasan lain yang membuatnya sedikit kepikiran. Dan itu lumayan mengganggunya.

Selepas makan malam, Jongin segera undur diri untuk menuju ke kamarnya. Pemuda itu beralasan ingin memikirkan masa depannya matang-matang. Jadi, meminta agar kedua orang tuanya tidak mengganggu. Maka, di sinilah Jongin berada. Di kamarnya, berbaring di ranjang sambil memandangi langit-langit kamar dengan lekat.

Ada banyak hal yang dia pikirkan. Dari keputusan untuk melanjutkan studi di mana, sampai apa yang dia alami di sekolah tadi. Soal Soojung yang tidak datang ke acara kelulusan, soal Jinri dan Seulgi yang bertengkar, dan soal jurnal Jung Soojung.

Jongin terbangun segera. Dia baru ingat soal jurnal Soojung. Terburu-buru Jongin menuju ke meja belajarnya. Mengambil jurnal bersampul merah marun yang tersimpan di dalam tas dan menatapnya lama sekali.

Jongin menarik napasnya berkali-kali. Ada perasaan takut ketika akan membuka jurnal milik Soojung. Karenanya, Jongin hanya berani mengusap sampulnya perlahan sambil membangun keberaniannya. Benar, jika ingin tahu apa yang terjadi, Jongin harus memberanikan diri untuk membaca jurnal ini. Mungkin saja pertanyaan mengenai kenapa Soojung mencampakkannya akan terjawab. Yah, mungkin saja.

Setelah lebih dari setengah jam Jongin berkutat dengan pikirannya, akhirnya dia memberanikan diri membuka jurnal itu perlahan.

Kepunyaan Jung Soojung.

Jongin menarik napas dalam-dalam. Diusapnya halaman pertama jurnal itu. Jongin tersenyum memandangi tulisan Soojung. Begitu rapi dan indah. Melihat tulisannya saja membuat Jongin kembali merindukan sosok Soojung. Kelihatannya dia benar-benar belum bisa melupakan Soojung.

Pemuda itu menarik napas kembali dan mencoba membuka lembar berikutnya.

Hei, aku mendapatkan ini dari eomma. Katanya ini bisa menemaniku selama berada di rumah? Hum, benarkah? Kurasa tidak. Karena aku masih saja merasa kesepian. Huh, aku benar-benar ingin kembali bersekolah bersama Jinri, Seulgi, dan Sooji.

 

Jongin tersenyum. Dari bahasanya kelihatannya Soojung menulisnya semasa SMP dulu. Bukankah Sehun mengatakan kalau gadis itu sempat mengikuti home schooling. Jongin merasa sedikit kasihan pada Soojung. Kelihatannya gadis itu sangat kesepian.

Jongin terus tersenyum membaca lembar demi lembar, tulisan demi tulisan yang ditorehkan gadis itu. Rata-rata isinya sama. Menceritakan betapa bosannya gadis itu, betapa kesepian dirinya. Tapi, tak hanya itu. Beberapa halaman menceritakan pengalaman menyenangkannya saat bersama ketiga temannya. Dari yang Jongin tangkap, keempatnya memang dekat sejak dulu hingga sekarang. Benar-benar tipikal persahabatan sejati.

Myungsoo menyatakan perasaannya padaku.

Jongin menatap lama tulisan itu. Ada gejolak di dadanya saat membaca sebaris kalimat yang Soojung tulis. Jongin masih membaca bagian semasa Soojung SMP, jadi Myungsoo sudah menyukainya sejak dulu?

Jongin menghembuskan napas lantas mengalihkan pandangan. Niatnya, ingin menyudahi acara membaca jurnal Soojung. Takutnya ada nama Myungsoo lagi dan membuat Jongin semakin sakit hati. Tapi, rasa penasaran Jongin terus membujuknya. Jika ada nama Myungsoo maka kemungkinan nanti akan ada nama Jongin. Dan Jongin bisa tahu seperti apa sebenarnya perasaan Soojung kepadanya.

Baiklah, Jongin memutuskan untuk kembali membaca.

Aku bingung harus menjawab apa. Jadi, aku hanya diam. Aku tak sanggup menjawabnya. Entahlah karena apa. Mungkin karena aku belum merasakan hal yang serupa dengan Myungsoo. Tapi, yang jelas aku tak pantas untuk Myungsoo. Bukan hanya Myungsoo, tapi juga untuk cinta yang lain. Hati ini terlalu lemah untuk itu.

 

Jongin membaca bagian itu berulang-ulang. Ada yang aneh. Baik, alasan karena tidak memiliki perasaan yang sama dengan Myungsoo dapat diterima. Tapi, kenapa Soojung sampai mengatakan tak pantas untuk menerima cinta yang lain juga?

“Aku harus membacanya hingga akhir,” gumam Jongin. “Aku harus tahu semuanya. Semua tentang Jung Soojung,” Jongin mempertegas niatnya.

Yah, dia harus tahu. Dia harus mengenal Soojung lebih baik. Hal yang tidak dilakukannya saat menjadi kekasih gadis itu.

 O0O

Aku tengah mengumpulkan tugas teman-teman sekelas bersama Jinri. Tidak ada yang istimewa. Hanya mengumpulkan tugas lantas kembali ke kelas. Tapi, ada sesuatu yang cukup menarik perhatianku.

Seorang siswa lelaki tengah diomeli di ruang guru. Wajahnya babak belur. Kelihatannya habis berkelahi?

.

.

.

“Yak, Kim Jongin lagi-lagi kau berkelahi.”

Soojung tanpa sadar menoleh ke sumber suara. Netranya menangkap sesosok pemuda yang acuh tak acuh mendengarkan omelan sang guru. Kening Soojung mengerut. Tampak lebam di sekitar tulang pipi pemuda itu. Juga bekas darah yang mongering di ujung bibirnya. Kelihatan sekali kalau pemuda itu baru saja terlibat perkelahian.

“Kim Jongin membuat ulah lagi.”

Soojung beralih menatap Jinri. Temannya itulah yang baru saja bersuara. “Kau mengenalnya? Kita sekelas dengannya?” tanya Soojung penasaran.

Jinri menggeleng. “Tidak, tapi Sooji yang sekelas dengannya,” jawab gadis itu. “Sooji bilang kalau Kim Jongin hobi membolos. Dia juga sudah terlibat perkelahian sebanyak lima kali. Enam dengan yang ini.”

Soojung membelalakkan matanya. Enam perkelahian selama 3 bulan memasuki tahun pertama mereka? Soojung menggelengkan kepalanya lantas kembali menatap sosok Jongin dengan pandangan ngeri.

.

.

.

Kim Jongin. Satu nama yang harus kuingat. Karena aku tidak mau berurusan dengan berandal sepertinya.

.

.

.

Soojung tengah menikmati jalan-jalannya kali ini. Dia benar-benar merasa bebas. Tidak ada siapapun yang mengganggunya. Melarangnya ini dan itu. Soojung tersenyum membayangkan wajah cemas kedua orang tuanya. Atau bahkan Jinri, Seulgi, Sooji, dan juga Myungsoo. Mereka pasti akan mengomeli Soojung setelah ini. Biarlah, untuk kali ini saja Soojung ingin sedikit merasakan kebebasan.

“Hentikan! Jangan lakukan itu!”

Soojung menghentikan langkahnya. Dia bersama beberpa pejalan kaki yang lain kini menonton adegan yang benar-benar mengerikan. Beberapa preman mengeluarkan bahkan membanting barang-barang yang ada di dalam toko seorang nenek. Nenek itu terus menangisi nasib barang-barang jualannya. Dari yang Soojung kira, kelihatannya preman itu suruhan penagih hutang. Kelihatannya si nenek terlilit hutang pada renteinir hingga berakhir seperti ini.

“Jangan!”

Soojung menutup matanya saat nenek itu didorong dengan kasar. Serampangan Soojung menengok ke sana ke mari. Berharap ada yang menolong nenek itu. Tapi, kelihatannya orang segan melakukannya. Yah, mana ada yang mau berurusan dengan preman.

Sepertinya Soojung harus turun tangan langsung untuk membantu.

Bugh.

Soojung mengerjapkan matanya beberapa kali. Di depannya sudah ada seorang preman berbadan besar tersungkur di hadapannya. Soojung lantas menilik siapa yang baru saja bertanggungjawab atas tumbangnya si preman.

Dan Soojung nyaris menjatuhkan rahangnya saat melihat sosok yang tak asing.

“Kim Jongin?” gumamnya pelan. Beberapa kali Soojung harus mengusap matanya. Tak percaya dengan penglihatannya.

“Yak, apa maumu, bocah?”

Jongin meludah sembarangan sampai Soojung berjengit keget melihatnya. Jongin yang seperti ini baru kelihatan berandalannya.

“Aku hanya memberi pelajaran bagi orang yang tidak tahu bagaimana caranya menghormati orang yang lebih tua,” jawab Jongin dengan lantangnya. Tanpa ada rasa gentar sedikitpun.

“Dasar kau bocah brengsek!”

.

.

.

Perkelahian. Aku tidak pernah menyangka dapat menyaksikannya secara langsung seperti itu. Terlebih yang berkelahi adalah Kim Jongin, seseorang yang sudah kucatat namanya sebagai yang wajib untuk dihindari.

Jongin berkelahi seorang diri. Tanpa bantuan siapapun. Menumbangkan enam orang preman yang mengganggu nenek itu. Setelahnya, Jongin membantu nenek itu membereskan apa yang dirusak para preman tadi.

Hmm, kelihatannya penilaianku pada Jongin sedikit berubah. Dia dapat nilai 5 dariku karena sudah membantu nenek itu. Tindakan yang heroik menurutku.

.

.

.

“Kau berkelahi dengan anak sekolah mana lagi, Kim Jongin?”

Soojung lagi-lagi mendengar omelan yang dilayangkan untuk seorang Kim Jongin. Bedanya, kali ini di gerbang utama sekolahnya. Pemuda itu dihalangi masuk oleh sang guru kedisiplinan karena wajahnya yang lebam-lebam. Kelihatannya efek berkelahi kemarin.

“Jawab aku. Hei, kau bisu?!”

Soojung terdiam di tempat menantikan jawaban dari seorang Kim Jongin. Tetapi, pemuda itu tak berniat membela diri dengan membeberkan apa yang diperbuatnya. Dia malah diam dan menerima hukuman yang diberikan oleh sang guru.

Soojung menghela napas kasar. Seharusnya urusan Jongin bukanlah urusannya. Dia tidak berhak ikut campur. Tapi, Soojung merasa tidak benar dengan semua ini. Soojung merasa itu tidak adil bagi Jongin.

.

.

.

Aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya. Dia memilih diam dan melaksanakan hukuman begitu saja. Mungkin dia memang benar-benar bodoh?

Tapi, menurutku, akulah yang bodoh di sini. Kenapa begitu peduli padanya? Bahkan memberi obat diam-diam di lokernya. Huft, aku seperti seorang stalker.

Tapi, kuakui dalam diriku ada yang mendorong untuk tidak menyalahkannya. Jongin melakukan sesuatu yang benar. Dia menolong nenek tua dan tidak menceritakannya kepada siapapun. Hum, penilaianku terhadapnya meningkat. Jadi 7?

.

.

.

“Soojung ada yang salah denganmu, yah?”

Soojung yang tersenyum sendiri sambil memangku dagu menoleh kaget. Di depannya sudah ada Jinri, Seulgi, dan Sooji yang menatapnya penuh tanya.

“Apa yang sedang kau lamunkan?”

Soojung menggeleng cepat, “Tidak ada.”

“Benarkah?” Jinri memicing tak percaya. “Kau seperti orang kasmaran saja.”

Soojung tertegun. Kasmaran? Dirinya?

.

.

.

Kasmaran? Yang benar saja?

Aku yakin Jinri hanya mengada-ada. Mana mungkin aku kasmaran pada berandal yang namanya Kim Jongin? Itu mustahil. Aku tidak mungkin jatuh cinta. Titik.

 Aku menolak cinta yang banyak karena hatiku lemah untuk itu. Tapi, sekarang jatuh cinta pada seseorang? Itu pemikiran paling konyol yang pernah ada.

.

.

.

“Kudengar ada yang menyatakan perasaanya pada Kim Jongin.”

Secara otomatis Soojung menajamkan pendengarannya. Semua karena nama Jongin baru saja disebut.

“Benarkah? Si berandal itu? Apa yang dilihat darinya coba?”

“Hei, kurasa dia cukup tampan, kok.”

“Iya, sih. Lalu bagaimana jawabannya?”

“Ditolak. Padahal anaknya cukup cantik.”

“Ah, berandal itu jual mahal sekali.”

Telapak tangan Soojung mengepal tanpa sadar. Jantungnya berdenyut sakit. Tapi, ini sakit yang lain. Tidak seperti biasanya.

.

.

.

Entah apa yang membuatku merasa sakit. Rasanya nyeri. Dadaku saja terasa sesak. Bahkan ketika kambuh tidak sampai seperti ini. Mungkinkah karena Jongin? Karena aku cemburu?

Aku ingin sekali membantahnya. Tapi, rasanya semakin sakit ketika mengelak semuanya.

.

.

.

“Kita tidak sekelas lagi, Soojung. Huwaaaa….”

Soojung tersenyum. Berbeda dengan Seulgi dan Sooji yang memutar bola matanya malas. Jinri terkadang terlalu berlebihan untuk menyikapi sesuatu.

“Sudahlah, Jinri. Mungkin tahun ketiga nanti kau bisa sekelas dengan Soojung lagi,” Seulgi mencoba menenangkan Jinri.

Jinri memajukan bibir bawahnya, tak senang. “Kau bisa bilang begitu karena sekelas dengan Soojung, Seul.”

Soojung kembali mengulum bibirnya. Sangat lucu jika Jinri dan Seulgi mulai berdebat.

“Hei, paling tidak kau harus bersyukur karena tidak sekelas dengan berandal Kim itu, Jinri-ah.”

Soojung dengan cepat menoleh ke arah Sooji. Menuntut memberitahu berandal mana yang dimaksud dirinya.

“Kim Jongin. Dia sekelas dengan Soojung dan Seulgi. Bersyukurlah tidak sekelas dengan Soojung tahun ini.”

.

.

.

Ada perasaan aneh saat Sooji mengatakan kalau Jongin sekelas denganku.

Kuulangi, SEKELAS DENGANKU.

 

Rasanya senang sekali

 

Eh? Apa artinya aku jatuh hati pada Jongin? Sungguhan?

 

Hmm, tapi jika dipikir-pikir mungkin juga. Semakin hari penilaianku pada Jongin semakin bertbamah. Aku sudah lupa penilaian akhirnya sejak yang terakhir kali. Aku sudah lupa untuk menambah nilainya.

 

Jongin. Dia itu keras di luar. Tapi, aku yakin lembut di dalam.

 

Sepertinya aku benar-benar menyukainya. Bagaimana ini?

 

Entahlah. Aku tidak tahu.

.

.

.

Soojung menatap ke arah bangku Jongin. Masih kosong. Sejak awal masuk hingga sekarang dia tidak pernah menampakkan diri. Soojung menghela napasnya. Dia benar-benar tidak fokus dengan pelajarannya. Yang dipikirkannya saat ini hanya Jongin.

Soojung kelihatannya sudah tidak waras.

Tok. Tok.

Soojung dan seisi kelas mengalihkan perhatiannya. Di ambang pintu kelas suadah ada si berandal yang sejak tadi mengganggu pikiran Soojung. Kim Jongin.

“Kenapa baru masuk sekarang, Kim Jongin? Ke mana saja dirimu?”

Jongin menghela napas sebentar lantas membungkukkan sedikit badannya. Dengan tidak peduli dirinya melengos saja. Mengabaikan umpatan-umpatan yang dilayangkan sang guru padanya. Jongin memilih duduk tenang sambil membenamkan kepala di lipatan lengannya.

Soojung tersenyum tipis melihat sosok Jongin. Menyadari bahwa sosok sang pujaan hati begitu dekat dengannya. Sayang, meski dekat, Soojung masih sulit menjangkaunya.

.

.

.

Hei, sosok yang terlihat kelam.

Kau begitu dekat.

Berada dalam pandanganku.

Tapi, kenapa bagiku tetap jauh.

Lihatlah, kau bahkan tidak menyadari keberadannku.

 

Hei, kau penguasa hatiku.

Bagi orang lain kau adalah kegelapan.

Tapi bagiku kau adalah mentari yang bersinar cerah.

Aku adalah bunga mataharimu.

Yang selalu setia dan hanya mampu memandangmu.

Tapi, mampukah kau memandangku?

.

.

.

TBC

 

Niatnya chapter depan jadi yang terakhir… tapi, kayaknya dengan terpaksa nambah 1-2 chapter… tapi, yakin maksimal ini berhenti di chapter 10.. ^^ okee… masih ada yang inget di bagian ending?


Viewing all articles
Browse latest Browse all 621

Trending Articles