source pic: Nini World
–
© Miss Candy | Kim Jongin, OC | Sad
| Sequel of Lay Me Down |
–
Do not Copy! -
I’ll be the one, if you want me to
(from Boyce Avenue – Say Something (cover))
–
–
Jasmine tak tahu kemana ia harus pergi. Melangkah dengan serampangan sambil terus mendekap erat bahunya yang menggigil. Tubuhnya hanya berbalut cardigan putih yang jelas tak sebanding untuk menangkal dinginnya malam selepas hujan. Sambil terus menunduk, ia menyesali perbuatannya meninggalkan rumah bobroknya. Merasa tak bisa kembali ke sana karena tak mampu menghadapi Jongin.
Semua yang Jongin lakukan untuk menghiburnya percuma. Pria itu tidak tahu persis bagaimana rasanya ditinggal oleh semangat hidupmu sendiri. Seolah tak ada lagi gunanya untuk hidup, tak ada lagi kebahagiaan tersisa. Meskipun begitu, setengah hati Jasmine merasa bersalah karena tahu bagaimanapun Jongin hanya berusaha untuk membantu. Keegoisannya untuk terus hidup dalam bayang-bayang Jory membuatnya menepis semua upaya Jongin untuk sekedar membuatnya kembali tersenyum.
Jangan berpikir kalau Jasmine tak tahu perasaan Jongin kepadanya. Siapa dulu yang mengenalkan Jory padanya? Siapa selalu mengantarnya ke sekolah? Siapa melindunginya dari remaja-remaja jalanan yang usil? semua karena kakak kelas bernama Jongin. Tapi, tentu hati tak dapat berbohong, kalau yang Jasmine inginkan adalah Jory—kembaran Jongin.
Mereka identik dari segi fisik. Baik wajah, hidung, bibir, warna kulit sampai bentuk mata mereka sama persis. Yang membedakan hanya warna iris. Milik Jory berwarna hitam, sedangkan Jongin coklat gelap. Untuk masalah sikap, Jongin lebih berani dan blak-blakan. Dia selalu terlihat agresif dan serius sementara Jory terlihat lebih lembut dan santai.
Tapi, Jory berani bunuh diri… Kenapa?
Sama sekali tak terlintas di benak Jasmine kalau kekasihnya itu akan mengambil tindakan ekstrim. Segala jenis alasan terdengar tak masuk akal. Hubungan mereka baik-baik saja; baru merayakan hari jadi mereka di tahun kelima, Jory mendapat proyek bagus di instansi tempatnya bekerja dan sempat terucap dari bibir Jory bahwa ia akan melamar Jasmine. Lantas kenapa?
Kenapa hanya selembar kertas bertuliskan aku harus bahagia yang kautinggalkan? Kau pikir aku bahagia dengan kepergianmu seperti ini?
Dulu ia meneriakkan kalimat itu sampai kerongkongannya sakit. Hari demi hari berlalu dan Jasmine tak kunjung mendapat jawaban apa motif Jory bunuh diri dan pesan itu. Rasa sakit mengisi seluruh organ tubuhnya. Mewariskan tubuh ceking yang kini semakin rapuh.
Jongin menyelidiki kematian saudara kembarnya sampai setengah gila. Berusaha mencari bukti kalau Jory tak mungkin bunuh diri, tapi nihil. Jasmine tahu Jongin tersiksa karenanya. Pria itu pasti lah terpuruk kehilangan saudara yang teramat baik sebagai teman hidup.
Jongin juga sakit…
Langkah kaki Jasmine terhenti. Telapak kakinya membeku akibat hanya memakai sandal karet. Ia menoleh ke belakang. Gelap.
Sorot lampu jalan tak sanggup mengurai kelamnya malam. Sampai di mana aku? Tubuhnya berbalik, mengamati jalanan panjang di belakangnya, namun tetap bergeming di sana. Ia urung untuk melangkah tanpa arah. Bibirnya terkatup rapat, tubuhnya mulai menggigil hebat dan rasa takut mulai menjalar. Jalanan sangat gelap dan Jasmine tak tahu pasti di mana ia sekarang. Awalnya ia sempat nekat untuk pergi ke makam Jory, tapi sepertinya ia berjalan ke arah yang salah.
Jasmine mencoba untuk melangkah pulang, menyisir jalanan sepi dengan semak belukar di kanan-kiri. Tak ada suara apa pun selain suara jangkrik dan gonggongan anjing di kejauhan. Sampai di perempatan, Jasmine kebingungan mengambil jalan pulang. Ia mulai menggigit bibir sambil menolehkan kepala ke segala arah, berharap ada seseorang lewat dan bisa ditanyai arah pulang. Tapi, pulang kemana? Ia bahkan lupa tentang alamat rumahnya. Serusak inikah otaknya karena kepergian Jory?
Terlihat sosok tinggi berbalut jaket hitam dan mengenakan topi berjalan dari arah kanan di mana Jasmine berdiri. Dari caranya berjalan, Jasmine tahu dia seorang pria. Langkahnya semakin cepat ketika kepalanya—lebih tepatnya matanya—mengarah pada Jasmine dan langsung mendekat dengan langkah lebar. Ketakutan, gadis itu memutar tubuhnya ke kiri, menjauhi sosok misterius dengan langkah tergesa. Kembali memeluk tubuhnya erat-erat dan berusaha menjauh secepat ia bisa dari sosok misterius itu.
Jasmine mulai berlari kecil ketika ia tahu sosok misterius di belakangnya memangkas jarak mereka. Setengah menangis, ia merasa sekujur tubuhnya ketakutan dan hanya bisa membisikkan sebuah nama berulang kali seperti berdo’a.
“Jongin, Jongin…”
“Ya? Ini aku, J.”
Jasmine berhenti. Ia menoleh ke belakang dan mendapati pria tinggi dengan napas tersengal yang kini ia kenali. Tangisnya pecah seketika. Jongin melangkah dengan hati-hati, menyesal karena tak memanggil gadis ini dan malah menakut-nakutinya.
“Maafkan aku. Aku tidak bisa memanggilmu karena aku takut kau lari sebelum aku meraihmu,” ujar Jongin.
Sang pemilik surai panjang menghapus air matanya. Ia merasa bodoh karena meninggalkan rumah, namun tetap tak mengatakan apa pun. Sementara Jongin hanya menepuk-nepuk bahu sang gadis dengan pilu.
“Kau tidak berpikir kalau aku tak akan mencarimu kan, J? Aku minta maaf.”
–
–
Keduanya duduk berjauhan di trotoar tepi jalan, di bawah sorot sebuah lampu yang dikerubuti serangga-serangga kecil. Tak ada yang berniat mengawali pembicaraan, bahkan setelah Jongin memakaikan jaket hitamnya ke tubuh Jasmine. Mereka berdua tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Jongin menengadah pada mendungnya langit malam. Segaris awan tipis menghiasinya. Mungkin Jory juga sedih melihat mereka seperti ini dari sana. Pesan dari Jory supaya Jasmine berbahagia tertulis singkat, tapi susah untuk diwujudkan karena Jongin sadar dirinya bukan Jory. Ia menoleh pada Jasmine yang kini sedang memainkan buku-buku jarinya dalam diam. Gadis itu terlihat kusut dengan cahaya hidup semakin meredup. Dengan perlahan, Jongin memangkas jarak tempatnya duduk supaya lebih dekat dengan Jasmine.
Kau harus kembali. Kau harus bahagia. Itu janji terakhirku pada Jory.
“K-kau—”
“Maafkan aku, Jongin,” potong Jasmine.
Jongin terhenyak, kembali terdiam.
“Kata-kataku keterlaluan. Maafkan aku,” tapi Jasmine mengatakannya tanpa menghadap pada Jongin. Ia masih menunduk dengan rambut menutupi sebagian wajahnya.
Jongin memikirkan kata-kata yang tepat sebelum menjawab. Semua harus ia utarakan malam ini. Bagian di mana ia mungkin terlihat memaksa Jasmine untuk membuka hatinya, serta perbuatan kasarnya di rumah tadi.
“Mungkin aku terkesan memaksamu. Aku memahami bahwa kau perlu waktu lama untuk membuka hatimu kembali. Jika kau ingin tetap tinnggal di sini, tidak masalah. Jika kau tak ingin aku sering mengunjungimu, tidak apa. Tapi…” Jongin berhenti, membuat Jasmine menatapnya. Mata keduanya kembali beradu selama sekian detik, “kumohon jangan membenciku, J. Aku akan selalu ada untuk membantumu. Aku menunggumu, jika kau berubah pikiran.”
Jasmine sedikit terkejut mendengar kalimat terakhir Jongin. Ia buru-buru menatap aspal kembali. Perasaannya campur aduk. Jongin kembali menjadi pahlawan untuknya selama enam bulan belakangan sementara Jory tak akan kembali. Dia sudah pergi. Dia memilih meninggalkan gadis yang diakuinya sebagai kekasih hati tanpa alasan. Mungkin sudah saatnya Jasmine memutuskan…
Berbahagialah, J.
Tunggu…
Jory tak pernah memanggilnya ‘J’, kecuali Jongin.
‘J’ adalah istilah Jory untuk menyebutkan nama saudaranya saat mereka berbincang tentang Jongin.
‘J’ di sini adalah…
Astaga… Betapa bodohnya aku.
“J-jongin…” panggilnya lirih.
“Eum?”
Jasmine meraih jemari tangan pria itu dengan lembut. Ia mencoba menatap mata Jongin dalam-dalam. Mereka benar-benar mirip. Yang membuat Jasmine merasa getir jika harus menatap Jongin adalah karena pria ini sangat mengingatkannya pada Jory. Tapi kali ini ia harus bisa.
“Jory bilang kau harus bahagia,” kata Jasmine setengah berbisik dengan bibir mungilnya.
Netra Jongin melebar. “Apa maksudmu?”
“Pesan itu untukmu Jongin, bukan untukku. Jory selalu menyebutmu dengan ‘J’ saat bicara denganku. Kau yang diminta Jory untuk bahagia,” papar Jasmine.
Reaksi itu terkesan terburu-buru, Jongin yang menarik tangannya dari jemari Jasmine. Pria itu langsung berdiri. Perlu beberapa detik untuk menguasai dirinya. Matanya mengerjap-ngerjap tak percaya.
“Tidak mungkin!” semburnya.
Ini tidak mungkin. Jika Jory bermaksud demikian, maka…. Maka aku sangat bersalah pada gadis ini. Ya Tuhan!
Memang Jongin tak pernah terlalu kentara memperlihatkan perasaannya pada Jasmine, tapi bagaimana Jory bisa tahu. Ini tidak benar. Angin malam kembali berembus, meniup tengkuk Jongin yang semakin merasa gelisah dan bersalah. Kembali mendongak pada langit, ia berbisik, ‘apa kau melihat semua ini? Kau bunuh diri supaya aku bisa bersama Jasmine? Konyol! Katakan sesuatu, Jory!’
Jongin kembali menatap Jasmine yang menunggunya. Wajah manis itu terlihat sedih, namun menyiratkan kemantapan ucapannya barusan.
“J, dengar,” Jongin berjongkok di hadapan si gadis, “ini tidak masuk akal. Aku tidak, maksudku, kau tidak berpikir—”
“—aku berpikiran sama denganmu saat ini, Jongin. Meski kau tidak mengatakannya, aku tahu,” sela Jasmine.
Jongin menunduk, merasa benar-benar kacau.
“Maafkan aku. Sungguh,” ujarnya lirih.
“Kurasa bukan begitu. Dia memang ingin kau bahagia karena aku tidak pernah melihatmu,” ucapan Jasmine membuat Jongin mendongak. “Kami bersalah padamu…”
Rasanya seperti ada baja dingin menyentuh ulu hati Jongin. Ia diam saja setelahnya.
“Mari kita pindah, Jongin,” kata Jasmine. Ia membuang jauh rasa egoisnya untuk terus terkubur dalam bayangan Jory. Sudah saatnya ia kembali menata hidup.
Jongin masih berusaha keras mencerna semuanya. Tapi satu yang pasti, Jory sudah pergi. Tak akan ada yang bisa menjelaskan apa motifnya. Dan ia tak mungkin meninggalkan Jasmine seorang diri. Pesan itu tidak penting karena bagi Jongin kebahagiaan Jasmine adalah kebahagiaannya juga. Melihat gadis itu susah payah mengambil keputusan untuk mau pindah, Jongin mencoba tersenyum.
“Sungguh?”
“Ya, tapi kita akan mengunjungi Jory sebelum pindah,” jawab Jasmine.
Jongin mengangguk, berdiri kemudian mengulurkan tangan berharap Jasmine menyambutnya. Bukan harapan palsu karena sang gadis langsung meraih tangan itu dan berdiri. Mereka dalam perjalanan pulang untuk sesuatu yang baru.
Aku tidak akan pernah berterima kasih akan hal ini padamu, Jory. Tapi, aku harap kau bahagia di sana —Kim Jongin.
-fin
Notes:
- Terima kasih sudah membaca… :)