Quantcast
Channel: kim-jongin « WordPress.com Tag Feed
Viewing all articles
Browse latest Browse all 621

[ONESHOOT] Lay Me Down

$
0
0

jongin

source pic: Nini World

© Miss Candy | Kim Jongin, OC | Sad

Do not Copy!


This hurt that I’ve been through
I’m missing you, missing you like crazy

(from: Sam Smith –  Lay Me Down)

Jasmine tahu benar kalau peluit dari ketel pertanda air mendidih melengking sedari tadi. Ia tahu benar belum menutup jendela meski sudah selarut ini, membuat embusan angin malam menerobos tirai-tirai putih dan menjadikan tubuhnya sedikit menggigil. Ia sama sekali tak terganggu dengan cahaya kuning lampu dapur yang bergoyang-goyang karena angin. Ia juga tahu benar hamparan hidangan makan malam di meja akan basi esok hari.

Selalu seperti ini. Berulang-ulang.

Ia tidak tuli, tidak buta dan tidak cacat fisik. Jasmine hanya tak mau bangkit dari duduknya untuk sekedar mematikan kompor, menutup jendela ataupun memperbaiki baut-baut lampu gantungnya. Ia tak mau memutuskan koneksi yang sedang susah payah ia bangun bersama memori-memorinya.

Tentang Jory.

Rasa-rasanya tak mungkin bagi Jasmine untuk melupakan hari itu. Hari saat dunianya serasa dijungkirbalikkan menjadi gelap gulita, berbumbu keheningan memilukan dari balik punggungnya. Tak ada suara senyaring suaranya, tak ada isakan sesendu miliknya. Bahkan saat Pastur dan beberapa orang hendak menutup peti mati, rasa-rasanya Jasmine masih ingat ratapannya kala itu.

Ia juga ingat saat sepasang tangan kekar menahan kedua lengannya untuk berhenti meratap sambil mengais-ngais tanah pemakaman—berupaya membongkar gundukan yang mengubur jasad Jory. Menasehatinya berulangkali untuk merelakan Jory. Keterlaluan! Mana bisa semudah bibir itu mengucapkan rentetan nasihat! Jory bukan sekedar pendamping, melainkan hidupnya.

Malamnya, saat pulang dari pemakaman dengan terseok-seok, Jasmine memandangi langit dengan deraian air mata. Bulan, bintang atau apa lah yang menghiasi langit, seperti memudar. Tidak ada lagi senyum Jory, sentuhan Jory, suara Jory—semua tentang hidupnya hilang. Ia tak sanggup di sini.

Meski ia selalu berharap Jory pulang.

Awal mula semua yang berlangsung hingga hari ini. Jasmine mengulang memori. Melakukan kembali semua kegiatan bersama Jory, hanya untuk sekedar mengenangnya. Bangun pagi untuk menyiapkan bajunya, membuatkan sarapannya, menemaninya makan, membuat kejutan, menunggunya pulang, memasakkan makanan kesukaannya—meski selalu berakhir busuk di tempat sampah.

Tapi yang ia dapati bukan Jory.

Sosok itu sudah berdiri di sana, kapan pastinya Jasmine tak mau tahu. Gerakannya terhenti saat Jasmine menatapnya—pria itu habis mematikan kompor. Kusut, lelah dengan jaket hitam tersampir di bahunya, Jongin menatap Jasmine dengan kehampaan, seperti tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Laki-laki itu mengusap wajahnya, meletakkan jaket di sandaran kursi, kemudian menekankan kedua tangannya di meja makan—persis di sebelah Jasmine.

“Ketelnya berbunyi, J. Apa kau tak dengar?” tanyanya sesabar mungkin. Seandainya ia pulang terlambat dan air di ketel sudah tandas, entah bagaimana Jongin memaafkan dirinya kelak. Jasmine hanya menoleh sekilas, tangan yang sedari tadi kaku meraih sebuah garpu dan mulai menusuk spaghetti buatannya. Tak ada jawaban.

Jongin menghela napas panjang. Ia menuju jendela, menutupnya dan menarik tirai menghalangi pemandangan dari luar. Harus berapa kali lagi ia mencoba membujuk gadis bersurai coklat itu untuk pindah dari sini. Jongin tak masalah dengan keadaan rumah yang sedikit rusak, tapi tingkat keamanan di sini membuatnya resah. Tak ada tetangga, semak belukar mengelilinginya dan ya, jauh dari pusat kota tempatnya bekerja. Bukan salah siapa-siapa kalau Jongin selalu pulang kemari. Hanya ada satu alasan.

Gadis itu.

Gadis yang masih duduk tegap di kursinya tanpa memakan hidangan di hadapannya. Bernapas, tapi tak berdaya.

Hidup, tapi seolah mati.

Tidak. Jongin tidak marah atas pengabaian Jasmine. Ia tidak marah sebanyak apa pun Jasmine menyia-nyiakan makanan. Ia paham betul kenapa gadis malaikat itu berubah menjadi manusia setengah hidup. Semua karena saudara kembarnya yang tewas enam bulan lalu. Dari semua alasan untuk mati, kenapa Jory malah memilih bunuh diri? Saat itu, Jongin mati-matian memecahkan kasus tewasnya Jory. Bersikukuh kalau kembaran hebatnya itu tak mungkin mengakhiri hidupnya sendiri. Ada yang membunuhnya! Alasan baku Jongin sampai dua bulan setelahnya. Tapi kesimpulan penyelidikan membuat Jongin menyerah, tak ada alasan ia mengkambinghitamkan orang-orang atas kematian Jory.

Sepucuk surat wasiat berisi pesan supaya ia menjadi polisi hebat masih disimpannya. Yang Jongin penasaran sampai hari ini, tak ada pesan terakhir untuk Jasmine, hanya sepenggal kalimat ‘Berbahagialah, J.’ Mungkin saja kalimat itu berarti sejuta pesan untuk kekasihnya. Hanya Tuhan dan keduanya yang tahu.

Jongin tak pernah pulang kemari karena merasa bersalah membuat Jasmine menjadi seperti sekarang. Ada sebab lain. Dan mungkin tak akan pernah tersampaikan. Untuk yang satu ini, ia tak seberani saat menembak penjahat.

“J, kita akan pindah minggu depan. Ke apartemen,” kata Jongin memecah kesunyian. Masih tak ada reaksi. Gadis itu menjatuhkan sendoknya, tapi tak mengambilnya.

‘Sampai kapan kau akan seperti ini, J.’

Maafkan Jongin yang tak bisa sesabar hari biasanya. Hari ini ia harus memecahkan banyak kasus sulit sebagai anggota baru. Kemarahan Inspektur atas kesalahan laporannya dan keadaan yang tidak menjadi lebih baik saat perjalanan pulang—ia nyaris menabrak anak kecil. Sudah enam bulan ia terjerumus dalam kepalsuan, menampilkan wajah tegar penuh senyum di markas, mungkin hari ini sudah saatnya Jongin menyadarkan Jasmine.

Laki-laki itu melangkah menuju meja makan, duduk di sebelah Jasmine, mengambil garpu dan berusaha menyuapkan spaghetti kepada gadis itu. Entah berapa kilogram bobot Jasmine turun, Jongin tak pernah melihatnya makan.

Kepala Jasmine miring ke kiri, mengisyaratkan penolakan. Jongin mencobanya lagi, terus-menerus sampai gadis itu jengah dan menampik lengan Jongin keras-keras, membuat garpunya terpelanting ke lantai. Jongin menatapnya dengan marah sekarang, sementara Jasmine membuang muka.

“Kau pikir Jory akan hidup lagi setelah kau melakukan semua ini?” tanya Jongin sarkastik. “Dia tak akan kembali, tak peduli berapa tahun kau akan bersikap seperti ini!” tambahan kalimat ini membuat Jasmine menatapnya tak percaya. Seperti ditampar, rahang gadis itu mengeras, menahan tangis. Mata cekungnya menatap Jongin dengan penuh kekecewaan. Berani-beraninya dia!

“Bukan urusanmu! Tak ada yang memintamu kemari!” balas Jasmine marah.

“Urusanku, J! Kau pikir aku akan membiarkanmu menjadi mayat hidup?!” suara Jongin meninggi. Dia harus bisa menyadarkan gadis di hadapannya ini, meski dengan kata-kata semenyakitkan mungkin.

“Oh, begitu? Kenapa kau peduli? Apa tak ada gadis lain yang bisa kau urus?” mata Jasmine sudah memerah sekarang.

“Jory bilang kalau kau harus bahagia! Aku akan membantumu, J. Kumohon hentikan semua ini…” Intonasi Jongin berubah mengiba, meminta dengan penuh harap.

Kebahagiaan. Jasmine menyeringai, setengah tertawa. Tahu apa Jongin tentang kebahagiaan? Dalam pemikiran Jasmine, dia tak melakukan apa-apa. Hanya pulang untuk memastikan kalau mantan kekasih kembarannya tidak menyusul mati bunuh diri. Pria itu hanya diam saja. Kenapa hari ini malah marah-marah?

“Kau tahu caranya?” Jasmine menatap Jongin lekat-lekat. Sorot mata keduanya beradu, menunggu keyakinan siapa yang akan mengalahkan siapa, tapi Jasmine kembali tersenyum sinis mendapati Jongin tak punya jawaban.

“Bangkitkan Jory dari kubur dan aku akan bahagia,” tantang Jasmine.

Sudah cukup! Jongin menggebrak meja dan menggulingkannya di depan Jasmine. Bunyi berdebam disertai benda-benda yang pecah menggema di seluruh penjuru ruangan. Hidangan makan malam berserakan di lantai, bahkan sepasang cangkir yang dibeli Jasmine bersama Jory saat mereka pertama kali menempati rumah ini pecah berkeping-keping. Gadis itu hanya menatap kaku, ia bangkit perlahan dengan seluruh tubuh gemetar. Ia tak mau menatap Jongin selama beberapa saat sementara laki-laki itu berkacak pinggang.

“Kalau aku tidak memercayaimu untuk bisa terbebas dari penjara yang kau buat sendiri, meja ini sudah terguling berminggu-minggu yang lalu. Kau bukan gadis lemah seperti ini, J. Jory mungkin pergi, tapi kau masih punya—” Jongin tak bisa menambahkan kata ‘aku’ di akhir kalimat. Ia menengadah menatap lampu gantung yang bergoyang-goyang menyaksikan mereka.

Jasmine masih gemetar. Air matanya mulai mengalir. Hatinya seolah kembali teriris sembilu setelah lama mati. Benar. Jasmine tak merasakan apa pun setelah Jory mati, bahkan ia tak merasa lapar maupun sakit. Seolah diingatkan kembali, malam ini Jongin membuat hatinya merasakan lara. Namun ia masih tetap saja belum mau menerima, tidak dengan cara seperti ini. Ia menangis sejadi-jadinya, menutupi wajahnya dengan kedua tangan, membuat Jongin merasa bersalah karena terlalu keras bertindak. Ia merasa sangat bodoh karena tak tahu bagaimana mengambil hati seorang gadis yang depresi. Jory akan tahu banyak hal tentang Jasmine, bagaimana menenangkannya saat ia bersedih, menghiburnya saat ia kecewa.

Lantas di akhir tindakannya menggulingkan meja, Jongin tersadar bahwa hanya Jory yang bisa mengerti gadis ini. Bukan Jongin yang selalu menunggunya saat pulang kuliah. Bukan Jongin yang membantunya saat menyelesaikan skripsi. Bukan Jongin yang memberitahunya semua kesukaan Jory. Bukan Jongin yang membantunya menjadi kekasih Jory. Dari dulu tujuan Jasmine hanya Jory, bukan Jongin.

Apakah Tuhan mengabulkan doanya dengan cara seperti ini?

Maka Jongin mencoba maju selangkah untuk meminta, namun Jasmine malah mundur menjauh.

“Maafkan aku…” tangan Jongin berusaha meraih lengan gadis kesayangannya itu.

“PERGI! PERGI, KAU!” lengking Jasmine sembari menangkis tangan Jongin.

Look, J. I’m really sorry…

Sebuah sentakan lagi dari Jasmine untuk tangan Jongin.  “Aku membencimu! Pergi!

Jongin berhenti. Rasanya perih sekali saat Jasmine melontarkan kata-kata tadi. Dari semua pengabaian Jasmine, baru hari ini gadis kesayangannya itu berkata penuh kebencian padanya.

Dia membencimu, Jongin.

Bahkan di sela-sela teriakan Jasmine, Jongin masih berdiri di sana, tak melakukan apa-apa. Menunduk dan menyembunyikan air matanya yang juga menetes. Terakhir ia menangis ialah pada hari pelantikannya, itu pun tangisan bahagia, bukan tangisan pilu seperti saat ini. Yang ia dengar dan ingat terakhir kali adalah langkah kaki Jasmine memasuki kamarnya kemudian keluar rumah, menembus udara malam.

-fin


Notes:

  • This might be a series story of Jongin and Jasmine ^^
  • Terima kasih sudah membaca… :)

 


Viewing all articles
Browse latest Browse all 621

Trending Articles