Avenoir
Author: Rista Nurmalita
Cast: Kim Jongin, Monggu/?
Bang Minah, Lee Gikwang, Jung Jinwoon (mentioned only)
Genre: Romance
Length: Ficlet
***
avenoir – n. the desire that memory could flow backward. We take it for granted that life moves forward. But you move as a rower moves, facing backwards: you can see where you’ve been, but not where you’re going.
***
‘Hyung, kau sudah gila.’
Aku menatap dalam-dalam matanya yang seperti kancing hitam. Ia balas menatapku nyalang. Aku berkedip, dia tidak. Dia mengendus-endus lalu menjilati bulunya sendiri. Dia adalah Monggu, si poodle kecil sok tahu.
Tentunya dia tidak benar-benar ‘bicara’ tadi. Dia menggonggong. Tapi aku perlu mendengar orang mengkritikku, kalau perlu mencaci maki sekalian. Aku ingin melakukannya sendiri tapi ketidakwarasanku belum sampai tahap itu.
Jadi kupandangi lagi Monggu. Dia menggonggong dan aku mengartikannya sendiri.
‘Kau sudah gila, kurang waras, tidak punya akal sehat, bodoh.’
Helaan nafasku begitu keras sampai Monggu tampak terkejut dan melemparkan pandangan menghinanya padaku. Kami masih dalam posisi yang sama sejak kira-kira setengah jam lalu. Aku berjongkok di hadapan Monggu yang setengah berbaring di depan jendela. Aku masih bimbang, dan Monggu masih nyaman. Kami berdua terpaku dan bingung.
Atau mungkin hanya aku.
Padahal sebelum Gikwang hyung pulang aku harus sudah pergi.
Surat perpisahan bernada dramatis sudah kutinggalkan di atas mejanya. Ia jarang pulang ke apartemen sebetulnya, kakak sepupuku itu. Sejak paman meninggal, hyung sibuk bekerja. Kuliahnya sedikit kacau. Kuliahku juga.
Tapi setidaknya hyung punya masa depan yang cerah walaupun skripsinya tak tersentuh. Masa depanku tidak jelas. Hampir kelabu. Bahkan mungkin gelap gulita. Aku tidak punya harapan lagi.
Itulah kenapa Monggu tidak suka padaku lagi.
“Ayo pergi, Monggu-ya.”
‘Jangan ajak aku menempuh hidup yang suram, anak muda.’
Kuhela lagi nafasku. Monggu yang biasanya menempel padaku seperti permen karet saja sudah membenciku. Apalagi mereka yang lain-lain.
“Kau akan berakhir tragis kalau kutinggal, Monggu-ya.”
Kupaksa Monggu bergelung di pelukanku. Bulunya yang lebat menolak sentuhanku, seakan-akan aku bisa merasakannya saja.
Ruang TV tampak sama berantakan seperti biasa. Dua orang laki-laki pemalas dan kacau balau hidup bersama membuat ruangan jadi mengerikan. Gelas kecil terguling di karpet, seakan baru saja Gikwang hyung atau Jinwoon tidak sengaja menendangnya sampai jatuh. Bantal-bantal tergeletak di mana-mana, seakan baru tadi aku dan Jinwoon berkelahi dan melempar-lempar semuanya. Ah Jinwoon adalah tetangga sekaligus salah satu sahabatku. Angelina Jinwoon, begitu aku memanggilnya.
Kupandangi lagi ruangan kecil itu. Ada banyak hal di balik kesunyian dan debu.
Semua yang pernah kulakukan di sofa itu, semua pertandingan bola dan noona-noona SNSD yang pernah kutonton bersama Jinwoon di TV itu, semua makanan yang pernah disajikan Gikwang hyung di meja itu, semuanya membisikkan perpisahan padaku.
Waktu berlalu seperti minum wine mahal di restoran Prancis. Belum sempat aku menikmati rasanya, semua sudah habis.
Kutinggalkan apartemenku yang gelap dan sunyi, menuju terik sinar matahari kota Seoul. Aku membiarkan Monggu bergelung di pojokan jok belakang mobil, menolak melihatku. Aku biarkan diriku memutar setir tak tentu arah sebelum siap untuk benar-benar pergi.
Sayangnya jalanan di sekitar bangunan apartemen tidak membantu. Mereka sama seperti Monggu, menatapku sinis, menarik-narikku untuk kembali. Banyak hal terjadi, di depan halte bus itu, di bawah pohon itu, di dekat gerbang Paperworld University itu, di abandoned area itu.
Aku memelankan laju mobil, melihat jalan yang entah sudah berapa ratus kali kulalui. Setiap cabang dan ranting pohon, setiap kabel listrik sampai tempat-tempat sampah, semuanya meledekku.
Tiba-tiba langit gelap, berubah malam, dan aku melihat diriku sendiri di jalan, menarik tangan seorang gadis. Dilihat dari sepinya jalan dan absennya kendaraan, kurasa ini dini hari.
Gadis itu Bang Minah. Aku nyaris menabrakkan mobil mahalku ke dinding terdekat setelah melihat wajahnya. Sudah cukup Monggu, Gikwang, dan Jinwoon yang menggelayutiku di dalam pikir. Mengapa harus Bang Minah juga.
Aku menonton diriku menggenggam tangan Minah, menatap matanya dengan lembut. Bahkan di dalam gelapnya malam, wajah gadis itu jelas terlihat seakan disinari lampu sorot. Aku mendengar aku bicara padanya. Aku mendengar Minah bicara padaku.
Lalu aku melihat diriku mencium bibirnya. Seketika bibirku sendiri mengingat sentuhan itu, manis, lembut, menyetrum. Aku sadar seratus persen, dengan seluruh akal sehat dan kewarasanku, aku mencintainya. Aku mencintai tidak hanya sentuhan kulit tipis di bibirnya, aku mencintai seluruh eksistensinya.
Langit gelap menghilang. Terik matahari membutakanku, hiruk pikuk jalanan menulikanku. Sesaat kututup mataku, membiarkan kelopak mata menghitamkan semua yang nyata dan membawaku kembali ke fantasi. Aku mengingat Minah lagi, setiap senti dari dirinya. Eyesmile-nya. Pipinya. Ujung jemarinya.
Monggu menyalak dari jok belakang. Aku terdiam, merasakan paru-paru yang sesak tak karuan. Hyung harus bagaimana, Monggu-ya? Harus bagaimana?
Aku mencintainya lalu aku meninggalkannya. Itu hal terbodoh dan terpayah yang pernah kulakukan. Kalau tahu aku akan meninggalkannya, seharusnya aku tidak mencintainya.
Samar, seakan dari dunia lain, suara Monggu terdengar, ‘Terbalik, hyung. Kau mencintainya, maka harusnya kau tidak meninggalkannya.’
Kadang Monggu sangat pintar mengatakan… ah menggonggongkan kata-kata bijak yang menusuk ulu hati. Harusnya Monggu mendaftar jadi DJ Lovecast.
Tapi di saat-saat tertentu, nasihat terbijak pun harus diabaikan. Mungkin karena sudah terlambat. Mungkin karena sudah tidak ada jalan untuk kembali.
Matahari sudah tergelincir ke kaki langit ketika aku akhirnya membuka mata, agak berkunang-kunang dan berbintang-bintang. Monggu sudah tidur, barangkali. Aku pening. Aku hancur.
Aku menginjak pedal gas setelah menyalakan radio yang sialnya memutar lagu sedih mendayu. Aku menyampaikan selamat tinggalku dalam hati. Tiga setengah tahun yang damai dan indah, cukup damai untuk membuatku beristirahat. Sekarang liburku sudah selesai. Hidupku yang sesungguhnya tidak pernah damai.
Begitulah, jelas, ketika perintah mengantarkan satu koper sabu ke negeri seberang sampai padaku pagi ini. Jelas, ini waktunya aku pergi dan tak kembali.
Sayonara.
–Narrated by Kim Jongin
-end-
-161015-