Author : slmnabil | Cast : Kim Jongin, Park Chanyeol, Hong Seoljin (OC)
Genre : Romance | Rating : PG15 | Length : Chaptered
credit poster : Poster by Jungleelovely @ Poster Channel
prolog : one dance | 1st | 2nd | 3rd
FOURTH SHOT
Sulit mengawali hari ini tanpa terbayang perkataan Raeum semalam. Masa, sih, kalimat ‘kau menyampah di mobilku’ bisa punya makna tersirat semacam itu? Mungkin lebih baik aku melupakannya saja, karena kalaupun benar itu tak akan memengaruhi apa-apa.
Aku berjalan menunduk, memerhatikan gerakan kakiku bergantian. Jongin tidak setuju kalau mobilnya kubawa-bawa ke rumah, takut disalahgunakan katanya. Cih, dia benar-benar membuat batasan yang jelas soal fasilitas kerja.
Begitu gedung agensi menjulang tepat di hadapanku, mau tak mau saran Raeum soal konsep photobook terlintas dalam pikiranku. Semoga saja ia tak menagih perkataanku kemarin, karena selain ide Raeum aku benar-benar tak dapat memikirkan hal lain. Dan membayangkan aku menyampaikan ide itu pada Jongin … wah mempermalukan diri namanya. Ia bisa berpikir kalau aku berharap kembali padanya atau apa.
“Pagi,” sapa seorang wanita yang tiba-tiba muncul di sebelahku. Wajahnya akrab, rasa-rasanya aku pernah melihatnya.
“Pagi,” sahutku.
Ekspresiku pasti mencerminkan jelas isi pikiranku, karena yang terjadi selanjutnya adalah ia memperkenalkan diri. “Aku Sena, resepsionis di sini. Kita belum berkenalan, ‘kan?”
“Oh iya, halo. Maafkan aku, harusnya aku yang menyapamu duluan. Kau bisa memanggilku Seoljin.”
Sena tersenyum, sembari membuka pintu dan mempersilakanku masuk. “Tak apa, aku mengerti soal posisimu. Bisa dibilang sekarang kau orang penting kedua di sini.”
“Aku? Kok bisa begitu?”
“Kau orang yang pertama direkrut langsung oleh Jongin, biasanya dia mengandalkan Yura.”
Aku praktis terheran-heran. Jelas-jelas yang mengirimiku surel adalah Yura. Kemudian aku ingat lagi perkataan Raeum. Masa, sih, dia mau kembali padaku? Lalu kenapa dia bertindak dingin begini? Sikap Jongin sekarang sama sekali tidak masuk kriteria lelaki sedang jatuh cinta, omong-omong.
Aku tak ingin punya hubungan yang buruk dengan mantan pacarku, oke?
Kutebak, dia bukannya ingin aku kembali padanya. Dia hanya mau menuntaskan perasaan bersalahnya, tanpa memedulikan akan seperti apa dampaknya terhadapku.
Kemungkinan besar aku akan menganggapnya brengsek seumur hidup.
Tapi tak ada yang tahu kalau mungkin saja, aku akan jatuh cinta untuk kedua kalinya pada orang yang sama. Atau malah sebaliknya, dialah yang begitu.
“Selamat pagi,” kata Sena tiba-tiba. Lamunanku sontak pecah. Di detik berikutnya, kulihat Jongin memperhatikanku diam-diam.
“Pagi,” katanya, berpaling sebentar pada Sena. “Bagaimana? Sudah siap dengan presentasimu?” tanyanya padaku.
Sial. Untuk kali ini saja, kuharap keberuntungan berpihak kepadaku. Karena sekarang rasanya nyaris seperti teka-teki, aku tak dapat menebak-nebak.
“Tentu,” jawabku percaya diri.
Lalu aku mengikuti langkahnya menuju ruang kerjanya. Selagi melintas, kulihat Sena mengepalkan jari menyemangatiku. Syukurlah masih ada orang yang ramah di gedung ini.
Dug. Kakiku terantuk anak tangga kedua, segera aku mengusai diri kembali. Jongin menoleh, hanya sekadar memeriksa apa yang berpotensi membuat paginya gaduh. Melihat suaranya berasal dariku, dia mendengus dan menderapkan langkah ke depan.
Dia cuma mau mengerjaiku, Raeum. Kubilang juga apa.
Begitu kami sudah berada di ruangannya, Jongin menyilangkan lengan, mungkin lebih tepatnya menungguku memulai.
Oke, ini akan mudah. Aku akan menjelaskan ide dari Raeum, namun secara profesional. Seolah aku tak pernah punya hubungan dengan masa lalunya. Percaya kata Chanyeol, aku bukan amatir. Dan aku perlu berkomunikasi dengan baik agar keinginannya terpuaskan.
“Konsepnya adalah trasformasi dari waktu ke waktu. Bagaimana kau memulai, menjalani proses, dan sampai di posisi ini. Photobook ini akan berisikan sebagian foto masa lalumu dan yang kupotret selama dua minggu ini. Begitu konsep photobook kuberikan pada tim percetakan, mereka akan langsung bekerja. Produk jadinya direncanakan diterbitkan sebulan setelah kontrakku berakhir. Sisanya, kau berkomunikasi dengan mereka,” paparku. Oh, aku hampir lupa. Selalu akhiri dengan pertanyaan. “Bagaimana?”
Jongin tampak menerawang, kemungkinan besar mengira-ngira berapa biaya yang harus dikeluarkannya. Kemudian ia berpaling padaku, mencermatiku.
“Tidak buruk,” katanya.
Serius? Selancar ini?
“Setidaknya sekarang kau melakukan sesuatu yang jelas tujuannya, tidak asal,” imbuhnya.
Tentu saja tidak serius. Tentu saja tak akan selancar ini. Sudah kuduga Jongin akan menjatuhkanku setelah mengangkatku. Tak masalah, aku pernah dijatuhkan sekali. Aku bisa naik lagi.
“Tapi foto masa lalu … tidak perlu merekayasa sekarang, ‘kan?” tanyanya.
Dahiku berkerut. “Maksudmu?”
“Tentu saja kau punya koleksi fotoku yang dulu. Tidak perlu potret ulang untuk rekayasa,” sahutnya.
Kupikir aku tidak punya Tapi tunggu dulu … kurasa ada beberapa gambar, atau mungkin folder yang belum sempat kuhapus. Entahlah.
“Akan kuperiksa,” kataku. “Dan tolong, tidak usah membawa soalan pribadi lagi.”
“Kau yang duluan,” katanya.
“Baiklah, maaf. Jadi, apa kau ingin menambahkan sesuatu soal konsepnya?”
“Pastikan saja kau tidak mengacaukannya.”
Aku berusaha tersenyum agar tampak percaya diri. “Kau tak perlu khawatir.”
Ponselku menyalak nyaring begitu pembicaraan selesai. Pasti Chanyeol, katanya kalau tidak ada yang mendesak dia kembali ke hotel pukul segini. Kulirik Jongin, ekspresinya jelas menunjukkan keingintahuan. Dia tak berubah dalam hal ini setidaknya.
“Kalau urusan hidup-mati, bisa kutoleransi,” katanya.
Kusentuh tombol merah sebelum berpaling pada Jongin. “Bisa ditunda,” kataku. “Ada rencana hari ini?”
“Ada rapat, tapi perginya dengan Yura.”
“Kalau begitu, kurasa aku akan”—ya ampun, apa yang akan kulakukan?—”melihat-lihat saja di sini.”
“Kurasa tidak,” elaknya. “Kami perlu membicarakan beberapa hal di jalan, kau yang mengemudi.”
Benar, aku, kan, pekerja fleksibel.
*
Pembaca yang budiman, pejalan kaki, sesama pengendara, atau molekul-molekul udara saja sekalian, beritahu apa yang harus kulakukan kalau menghadapi posisi seperti ini:
- Aku sedang jadi supir dadakan;
- Penumpangku sedang berdebat di kursi belakang;
- Mereka mulai saling berteriak menyalahkan;
- Dan aku sejak tadi berpikir apakah aku perlu menyalakan musik atau tidak.
“Kerjamu payah! Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?!” seru Jongin marah.
Yang kutangkap, mereka berdebat soal kehilangan satu sponsor penting dan sponsor-sponsor yang lainnya mulai meragukan Jongin. Kutebak, kami sedang dalam perjalanan menuju rapat untuk menuntaskan hal itu.
“Aku sedang berusaha menyelesaikannya dulu, jadi kupikir lebih baik merahasiakannya dulu darimu agar kau fokus berlatih untuk pertunjukanmu. Kinerjamu tidak akan maksimal kalau banyak pikiran,” jelas Yura.
“Dan mengejutkanku dengan kehilangan sponsor tiba-tiba? Mulai sekarang lakukan saja tugasmu, laporkan segalanya. Kau bukan orang yang berhak menyusun prioritasku dan mengkhawatirkanku. Mengerti?”
Astaga, kejamnya dia.
Kulirik Yura dari spion, kalau bisa ingin kutunjukkan ekspresi kalau aku tak mendengar apa-apa. Tapi mustahil bisa begitu, aku ini orangnya ekspresif sekali.
Dia juga sama saja, bisa kulihat Yura seperti hendak menangis dan marah dalam satu waktu. Kalau aku jadi dia, terlepas dari fakta bahwa dia adalah atasanku, aku akan menamparnya meski akhirnya dipecat. Bagaimana mungkin Yura tahan dipermalukan di depan orang lain?
“Hentikan mobilnya,” kata Jongin ketus, memerintah.
Segera kutepikan mobil. Diam-diam kuperhatikan dia dari spion. Mau apa lagi?
“Turun.”
Turun? Siapa? Aku atau Yura? Kemungkinan besar, sih, Yura. Tapi berhubung dia tak kunjung ke luar … ya sudah, aku saja.
“Bukan kau,” potong Jongin saat melihatku melepaskan sabuk pengaman. “Turun,” katanya pada Yura.
Oh, Tuhan. Sangat tidak berperikemanusiaan. Bisa-bisanya dia!
“Cari sponsor sepatu yang baru, datangi setiap sudut Seoul atau bahkan ke luar kota kalau perlu,” perintahnya.
“Tapi bagaimana dengan rapatnya?”
Jongin menunjukku dengan dagunya. “Dia bisa menggantikanmu.”
Aku bisa? Wow, aku saja baru tahu. Tapi kabar baiknya Jongin, aku saja tidak tahu apa tugas Yura.
“Baiklah,” kata Yura. Dengan wajah lesu ia ke luar dari mobil. Aku merasa bersalah sekali.
“Jalan,” kata Jongin.
“Kau tidak mau bilang hati-hati atau semoga berhasil kepadanya?” Parah, perkataanku ke luar begitu saja sejalan dengan pikiranku.
“Jalan.”
Oke, terserah kau saja.
*
Mau dengar berita terbaru? Jongin benar-benar membawaku untuk menghadiri rapat dan kami sudah di sini. Kami memasuki sebuah hotel besar dan sedang menuju convention hall, di mana mereka menggelar rapatnya. Jongin tampak sangat yakin, namun di sinilah aku gemetaran karena tak tahu apa fungsiku di sini sebenarnya.
Mungkin sebaiknya aku pura-pura sakit perut. Atau lari saja sekalian. Bagaimana kalau ia memecatku? Tapi mau aku masuk atau tidak, lagipula dia akan memecatku. Astaga, baiknya bagaimana?
Namun selagi pikiranku merencanakan pergi, tungkaiku tetap bergerak mengikuti Jongin. Sampai-sampai aku tak sadar saat kami tiba di ruang rapat.
Mati aku.
Kupendarkan pandangan ke sekitar. Orang-orang di sini memakai jas, kebanyakan sudah agak tua, dan wajah-wajahnya seperti tidak mau mengucapkan selamat datang atau sekadar halo yang singkat.
Jongin mengambil tempat di samping kanan kursi utama. Aku sempat berpikir kenapa dia melakukannya sebelum menyadari kalau agensinya adalah anak dari agensi yang dulu menaunginya. Aku berdiri beberapa langkah di belakang Jongin. Ada setidaknya sepuluh wanita dan lima laki-laki sekertaris berdiri di beberapa tempat. Syukurlah hari ini aku memakai setelah yang tepat.
Rapat pun dimulai. Aku berusaha merekam pembicaraan mereka dengan seksama. Tapi kalian harus tahu, kalau isi pembicaraannya membuatku lebih pusing ketimbang mendengar musik metal. Performa kerja, keuntungan, kegagalan mencapai target penjualan, apalah itu.
“Pertunjukanmu di dua negara terakhir tidak memenuhi ekspektasi. Peminatnya turun dari jumlah pertunjukan keliling duniamu sebelumnya,” kata salah satu lelaki berambut abu-abu.
“Kau terlalu banyak menghabiskan waktu di meja kerja, bukan ruang latihan,” tambah lelaki rambut abu-abu lain.
Oke, semuanya berambut abu-abu di sini kecuali Jongin.
“Kudengar pagi ini Trendy mundur jadi sponsor, bisa dijelaskan mengapa?” Dia berpaling padaku. Ya Tuhan. Dia. Bertanya. Padaku. Mati. Aku.
“Mereka mendengar tentang peminat pertunjukan terakhir dan memutuskan kerjasama,” jawab Jongin cepat.
Aku selamat.
“Kau percaya hanya itu? Sudah kau cari tahu data penjualan mereka yang terbaru? Bisa saja karena penjualan meningkat, mereka tidak mau gagal gara-gara kerjasama yang belum pasti apakah tiket pertunjukannya akan habis semua atau tidak.” Sial, dia menatapku lagi.
“Saya sudah memeriksanya dan kedua hal ini tidak berhubungan. Penjualan tiket akan dibuka seminggu sebelum pertunjukan, kita masih punya waktu untuk mencari sponsor lain,” jelas Jongin.
Wah, tindakan penyelamatan lain.
“Apa kau tidak memperkirakan sponsor lain akan ikut mundur juga karena Trendy memilih memutuskan kerja sama?”
Pertanyaan demi pertanyaan muncul dari orang-orang ini, dan rasanya nyaris seperti sedang sidang skripsi. Lebih parahnya mereka terus-terusan melihatku seolah akulah yang seharusnya bicara dan bukannya Jongin yang terus menjawab pertanyaan dan meyakinkan mereka. Mungkin inilah tugas Yura, seharusnya dia yang melaporkan segalanya. Mungkin kata Yura benar, seharusnya sekarang Jongin lebih fokus berlatih dan meningkatkan kualitasnya.
“Sekertarismu benar-benar seperti pajangan saja. Tidak biasanya kau bicara sebanyak ini dalam rapat.”
Oh, sial.
“Pantas saja pertunjukanmu gagal. Sekertarismu hanya mengekorimu kemana-mana.”
“Kau memecat Yura? Kau menggantikan seseorang seprofesional Yura untuk amatiran seperti ini? Apakah kau mempekerjakannya sejak dua pertunjukan terakhir?”
“Yura sedang saya tugasi hal lain, dan wanita ini bukan amatiran,” suara Jongin terdengar geram.
Ya ampun, bisakah seseorang menjelaskan apa yang sedang terjadi sekarang?
“Jadi Nona, bisa paparkan rencanamu untuk menyelesaikan masalah sponsor ini?”
Jongin sudah hendak menjawab sebelum laki-laki memotong. “Biarkan dia yang menjawab, Jongin.”
Oke, tenang. Aku pintar membual. Kuderapkan kakiku ke depan beberapa langkah sehingga seisi ruangan memusatkan seluruh perhatiannya padaku.
“Saat ini Yura sedang mencari sponsor pengganti. Kami tengah mengupayakan agar hal-hal teknis seperti ini tak akan memengaruhi kinerja saat pertunjukan,” paparku.
“Kau menugasi Yura untuk pekerjaan melelahkan seperti itu dan sebagai gantinya kau membawa wanita ini. Nona, kau pasti punya rencana penyelesaian yang bagus sampai-sampai Jongin membawamu ke mari. Bisa jelaskan soal itu?”
Apakah dalam rapat selalu harus bertanya dan menjelaskan? Bukankah harusnya ada jeda bernapas dan istirahat?
Pikirkan sesuatu Seoljin, pikirkan sesuatu. Kalau sedang menonton konser atau acara musik apa yang kuinginkan sebagai penonton? Jangan posisikan diri sebagai penyelenggara, aku harus berpikiran lain. Aku mau apa? Aku menginginkan apa? Penonton mengharapkan apa?
“Bagaimana dengan mendatangkan bintang tamu?”
Sontak seisi ruangan tertawa—atau lebih tepatnya menertawakanku. Kenapa? Apa ada yang salah dengan itu? Bukankah penonton akan senang kalau dengan membeli satu tiket pertunjukan satu orang, didatangkan dua penampil meski hanya bintang tamu?
“Itu hanya akan memperbesar anggaran, Nona. Dan pertunjukan ini berbeda, seluruh perhatian harus berpusat pada Jongin.”
“Kita bisa mengurusnya—“
Segera saja perkataanku terpotong oleh layangan perdebatan, yang jujur saja terlalu menjatuhkanku sampai-sampai tak bisa kudiktekan apa saja.
Tiba-tiba Jongin berdiri dan mohon diri. Bagus, dia akan meninggalkanku di sini sendirian dan dipermalukan. Yura saja yang menurut orang-orang ini bekerja dengan sangat baik dia turunkan di jalan, apa lagi aku yang sekaligus mempermalukannya juga hari ini?
Tapi aku salah. Jongin meraih tanganku dan menarikku ke luar. Dia menuntunku dengan cepat menuju parkiran. Aku memilih tak bicara banyak, aku tidak mau disembur dengan hujatan lagi. Sudah cukup aku dihujat di dalam sana.
Dia membuka pintu penumpang lalu mendorongku masuk, sedangkan dirinya sendiri masuk ke kursi kemudi. Beberapa menit berselang, mobil sudah berjalan dengan kecepatan sedang di jalan raya.
“Maaf,” kataku mengawali pembicaraan. Di posisi seperti ini akulah yang harus minta maaf, ‘kan?
“Kau tahu kau baru saja mengacaukan rapatnya?”
“Iya, makannya aku minta maaf.”
“Bodohnya kau berpikir masalah ini selesai dengan kata maaf.” Nada bicaranya terdengar merendahkan.
“Kurasa kita sudah sepakat akan saling menghargai sekalipun kau atasanku,” debatku. Lagipula ini salahnya juga karena memaksaku ikut dalam rapatnya.
“Tidak! Kau pantas diperlakukan seperti ini sekarang. Tidak tahukah masalah sebesar apa yang kau ciptakan sekarang? Segera orang-orang ini akan meragukan kinerjaku, sponsor-sponsor lain bisa mundur juga. Dan kau tahu apa yang terburuk? Pertunjukanku akan batal!”
“KAU TIDAK BISA MELIMPAHKAN SEMUANYA PADAKU! AKU TIDAK TAHU APA-APA! KAU KIRA AKU AKAN PERCAYA KALAU KALIAN TIDAK MELAKUKAN KESALAHAN SEBELUMNYA?!”
“DIAM!”
Oke, cukup. Aku tidak bisa menghadapi ini lagi. “Turunkan aku.” Dia tak mendengarkan. “Jongin, turunkan aku di sini. Sekarang.” Perkataanku benar-benar dianggap angin lalu. “Sial, Jongin turunkan aku sekarang atau—“
“Atau apa? Kau akan melompat?” Dia menambah kecepatannya. “Lompat saja kalau kau berani.”
Apa yang diingkannya dariku sebenarnya?
TO BE CONTINUED
updated every saturday-sunday