Title: Always Had, Never Will
Author: nchuhae
Main Cast: Oh Sehun, Jung Soojung
Support Cast: Kim Jongin, Choi Minho
Length: Oneshot, 4.3k words
Genre: Friendship, Romance
Rating: PG-13
***
Kepada mereka berdua, Cupid selalu salah mengarahkan panah cinta.
***
“Sehun-ah, pinjamkan aku CD Chris Cornell-mu,” ujar Soojung tiba-tiba.
Kepala gadis itu menyembul dari balik pintu, membuat pria yang namanya baru saja ia panggil langsung melonjak dari kursi dan refleks mengurut pelan dadanya yang berdebar keras. Sehun merasa hampir saja terkena serangan jantung gara-gara melihat Soojung, dengan rambut hitam panjang yang tergerai berantakan serta muka pucat dan mengembang karena baru saja bangun tidur tiba-tiba muncul di pintu masuk kamarnya. Soojung, Sehun yakini, begitu bangun langsung bertamu ke rumah Sehun yang tepat berada di sebelah rumah Soojung. Tanpa mandi, tentunya.
Pemuda itu sengaja memasang tampang paling galak yang dimilikinya ketika ia berkata, “Sudah berapa kali aku bilang, ketuk dulu sebelum membuka pintu.”
Terkekeh, Soojung kemudian menjawab, “Kau sedang menonton film porno, ya?”
Sehun hanya mendesis sebal, tak tahu lagi harus menjawab candaan itu seperti apa. Setiap kali gadis itu menampakkan dirinya di depan Sehun kemudian menuduhnya yang tidak-tidak, pria itu selalu saja kehabisan akal dan akhirnya memilih diam. Bukan berarti tuduhan itu benar. Hanya saja, terkadang Sehun merasa tidak nyaman berlama-lama beradu mulut dengan gadis itu.
Mengabaikan tampang tidak bersahabat Sehun, Soojung memutuskan melenggang masuk ke dalam kamar tidur pria itu dan langsung menghempaskan tubuhnya ke atas kasur yang baru beberapa saat lalu dirapikan oleh si empunya kamar. Melihat hal itu, Sehun kembali mengomel, tapi kakinya tetap saja ia langkahkan ke salah satu sisi kamar tidurnya, di mana terdapat rak tinggi yang dia gunakan untuk menyimpan koleksi CD miliknya.
“Kau ingin album yang mana?” tanya Sehun.
Soojung yang saat itu masih memakai baju tidur putih lusuh kesayangannya memutuskan berguling malas di atas kasur Sehun sambil menimbang album mana yang ingin dipinjamnya kali ini. Sebenarnya, kalau boleh jujur, alasan meminjam CD hanyalah sesuatu yang ia buat-buat agar punya alasan bertamu ke kediaman keluarga Oh pagi ini. Di rumahnya sedang tidak ada makanan dan dia lapar berat. Kalau dia datang begitu saja, harga dirinya bisa sedikit ternoda. Tapi kalau dia datang dengan alasan ingin meminjam sesuatu dan pamit pulang tepat setelah ibu Sehun menyajikan sarapan, dia bisa memperoleh sarapan gratis tanpa khawatir Sehun kembali mengejeknya.
“Yang ada lagu Preaching the End of the World-nya,” gadis itu menjawab setelah cukup lama berpikir.
Pria bertubuh tinggi itu mengangguk pelan lalu mulai menggerakkan jari-jarinya menelusuri susunan CD, mencari album yang dimaksudkan Soojung. Ketika akhirnya dia menemukan benda itu, dia langsung melangkah ke arah tempat tidur dan melemparkannya ke atas kasur.
Soojung bangkit dari posisi malasnya dan meraih benda itu, kemudian memutar-mutarnya dengan satu jari, persis seperti pemain bola basket memutar bola hanya dengan satu tangan lalu menumpukan benda itu di ujung telunjuk. Dia memerhatikan Sehun yang sudah kembali ke posisinya semula, duduk di atas kursi sambil menatap intens ke arah layar laptop yang bertengger di atas meja besar di dekat jendela. Jari-jari kurus pria itu bergerak lincah di atas papan ketik. Sesekali dia meraih tetikus merah yang berkedip-kedip di samping laptop, menekan-nekan bagian kiri atas benda itu dengan serius demi memperbaiki tampilan desain rumah tiga dimensi yang tampak di layar.
“Kau sedang apa? Kelihatannya sibuk sekali. Ini kan hari libur,” tanya Soojung ingin tahu.
“Arsitek tidak mengenal hari libur,” jawab Sehun pendek tanpa menoleh. Matanya fokus ke arah layar yang menyala.
Soojung mengangguk paham. Sambil bersenandung pelan, ia memegang CD yang tadi hendak dipinjamnya, pelan-pelan merangkak turun dari kasur dan berjalan menuju pintu, hendak meninggalkan laki-laki berkacamata bingkai hitam tebal itu agar lebih fokus pada pekerjaannya.
Penampilan rapi pria itu sebenarnya sudah menjelaskan banyak hal. Soojung memperkirakan sahabatnya itu akan ada meeting penting beberapa jam lagi, sementara materi presentasi yang seharusnya sudah siap ternyata masih perlu dilengkapi di beberapa bagian. Gadis itu mulai menduga-duga, apakah keterlambatan Sehun kali ini ada hubungan dengan peristiwa semalam.
Soojung baru akan membuka pintu ketika Sehun tiba-tiba mengajaknya bicara.
“Bagaimana keadaanmu? Masih pusing?”
Soojung menoleh ke arah Sehun lalu berjengit, teringat lagi kejadian menyebalkan yang dialaminya semalam. Masih terekam jelas di ingatannya, Jongin yang ketahuan berselingkuh, dirinya yang dengan emosi meledak-ledak memutuskan menangkap basah kekasihnya itu dan menarik rambut gadis berambut merah yang berdiri di sebelah Jongin hingga akhirnya mereka menjadi tontonan gratis orang-orang yang berlalu-lalang di kawasan ramai Gangnam, Jongin yang kemudian menamparnya di depan banyak orang, dan dia yang memutuskan untuk minum-minum hingga tak sadarkan diri di bar agar patah hati dan rasa malunya sejenak terlupakan.
Gadis itu tidak ingat kapan dan bagaimana Sehun akhirnya datang dan membawanya kembali ke rumah. Tadi pagi, saat dia bangun dan mendapati jaket pria itu tersampir di sofa dekat ranjangnya, rasa malu yang semalam sudah sempat dilupakannya mendadak kembali. Dia bukan lagi malu pada orang-orang tak dikenal yang melihatnya dipermalukan oleh kekasihnya sendiri di depan umum. Dia malu kepada Sehun yang semalam pasti sudah melihat sisi terburuk dari penampilannya selama ini.
“Lumayan,” beritahu Soojung. “Aku rasa sakitnya sudah berkurang setelah aku muntah semalam.” Gadis itu menyudahi kalimatnya yang terakhir dengan sebuah cengiran lebar, teringat ketika semalam dia muntah dan mengotori jaket kesayangan Sehun. Bahkan membayangkan hal itu saja sudah membuatnya jijik pada diri sendiri.
“Jangan kembalikan jaketku sebelum kau mencucinya sampai bersih dan wangi,” ujar Sehun sembari memutar kursinya agar kembali menghadap layar laptop, membelakangi Soojung yang saat itu masih berdiri di dekat pintu.
Soojung mengangguk patuh meski tahu Sehun tidak akan bisa melihat anggukannya itu. Dia meraih kenop pintu, berniat meninggalkan Sehun yang tampak sudah kembali fokus pada slide presentasi yang sedari tadi dieditnya dan berbasa-basi dengan Nyonya Oh yang sepertinya sudah selesai menyiapkan sarapan di lantai bawah.
***
“Aku sudah curiga kalau CD itu hanya alibimu agar bisa sarapan di rumah ini lagi.”
Sehun yang baru turun setelah berkali-kali mengabaikan panggilan ibunya untuk sarapan akhirnya muncul di kaki tangga. Dengan tangan yang disedekapkan di depan dada serta tas kerja yang disampirkan di bahu, dia melemparkan tatapan menuduh ke arah Soojung yang saat itu tengah asyik menikmati nasi goreng seafood buatan Nyonya Oh.
Ibu Sehun refleks mendelik kepada anaknya, lalu tanpa suara memberinya peringatan agar tidak lagi-lagi mencari ribut dengan Soojung. Wanita yang masih tampak cantik di usianya yang mendekati pertengahan abad itu langsung mengelus pelan rambut Soojung yang dibiarkan tergerai sampai ke punggung. “Makan yang banyak, Soojung-ah. Tidak usah pedulikan anak itu.”
Soojung mengangguk sambil tersenyum manis ke arah ibu Sehun, kemudian melempar seringaian nakal ke arah sahabatnya sebelum kembali menyendok nasi dari piringnya dan mengunyah makanan itu dengan lahap.
Sehun berdecak, masih tidak habis pikir mengapa ibunya bisa begitu memanjakan Soojung. Pria itu paham, sejak dulu ibunya memang menginginkan anak perempuan. Menurut ibunya, ada hal-hal tertentu yang bisa dengan lebih nyaman ia bagi kepada anak yang berjenis kelamin sama dengan dirinya. Sehun ingat, saat masih kecil, setiap kali orang tua Soojung bertugas keluar kota, ibunya pasti dengan senang hati menawarkan diri untuk merawat gadis itu. Mereka akan berbelanja dan memasak bersama. Ketika malam tiba, ibunya akan menemani gadis itu sampai ia benar-benar terlelap. Tidak jarang dia bahkan lebih memilih tidur dengan Soojung dibanding suaminya sendiri. Sehun bahkan sempat curiga kalau anak bungsu keluarga ini sebenarnya adalah Soojung, sementara dirinya hanyalah anak yang dipungut entah dari mana oleh kedua orang tuanya.
Pria berusia 24 tahun itu menarik kursi kosong di sebelah Soojung, kemudian menikmati makanan di piringnya tanpa berbicara lagi, membiarkan obrolan Soojung dan ibunya mengenai gosip terbaru seorang aktris senior menjadi topik pengisi sarapan mereka pagi itu.
***
Soojung mendongak dan mendapati Sehun sedang berdiri di sampingnya sambil menyodorkan sebuah kantung plastik berwarna putih. Perhatiannya yang beberapa saat lalu dicuri oleh adegan romantis Mr. Darcy dan Elizabeth Bennet di layar televisi kini beralih ke arah kantung yang disodorkan Sehun. Soojung meraih kantung itu dan mengeluarkan benda yang ada di dalamnya.
“Untuk berjaga-jaga, siapa tahu kau masih sakit kepala,” ujar Sehun kepada Soojung yang terlihat terharu melihat obat pemberiannya.
Tanpa dipersilakan, pria itu sudah mengambil posisi duduk tepat di sebelah Soojung dan menatap layar televisi yang menampilkan salah satu adegan dari film Pride and Prejudice yang sepertinya di-pause oleh Soojung beberapa saat lalu. Sehun segera mengenali adegan di hadapannya, lalu dengan tatapan mengejeknya yang seperti biasa, dia berkomentar, “Apa kau tidak bosan menonton film klise ini?”
Senyum yang sempat hadir di bibir Soojung setelah menerima obat pemberian Sehun mendadak hilang. Padahal baru saja gadis itu berpikir bahwa Sehun siang ini sedang terlihat tampan akibat bentuk perhatian sederhananya itu, tapi sepertinya dia harus menelan kembali ide itu.
“Ini klasik, bukannya klise,” ujar Soojung tidak terima. Tidak ada orang yang boleh mencela film favoritnya. “Lagi pula, aku butuh asupan adegan romantis setelah apa yang terjadi semalam.”
Gambar di layar kembali bergerak setelah Soojung menekan tombol play di remote yang dipegangnya. Dia dan Sehun juga tidak terlibat obrolan lagi sampai film produksi tahun 2005 itu berakhir. Soojung memilih untuk kembali membiarkan dirinya terbuai oleh keromantisan karakter Mr. Darcy, sedangkan Sehun hanya diam, entah karena sibuk melakukan apa di sampingnya. Setelah post-credit film itu selesai ditampilkan, barulah Soojung menoleh ke arah Sehun untuk mengajak tamunya berbicara lagi. Pria itu tampak tengah asyik mengunyah keripik kentang yang tadi Soojung geletakkan begitu saja di atas sofa bersama minuman ringan yang masih berada di dalam kantung belanjaan.
“Bagaimana meeting-mu?” tanyanya basa-basi.
Sehun mengedikkan bahu. “Tidak buruk. Setidaknya bahan presentasiku bisa selesai tepat waktu dan klien sepertinya tampak puas dengan ide yang aku ajukan.”
“Baguslah. Aku hampir saja merasa bersalah kalau sampai meeting-mu kali ini berakhir berantakan.”
Pria itu terkekeh pelan. Tampang mengejeknya lagi-lagi muncul. “Sejak kapan sukses tidaknya meeting-ku menjadi tanggung jawabmu?”
Kali ini giliran Soojung yang mengedikkan bahu. “Entahlah. Sejak semalam, mungkin? Kau tahu sendiri—”
Gadis itu tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Otaknya kembali memutar kejadian memalukan yang dia alami semalam, berikut bagaimana dia merepotkan Sehun yang terpaksa menggendongnya pulang dengan jaket penuh muntah.
“Bagaimana jaketku? Sudah kaubersihkan? Awas saja kalau sampai benda itu kenapa-kenapa.”
Soojung mendengus. Padahal dia sudah merasa bersalah atas kelakuannya semalam, tapi Sehun malah dengan santainya mengabaikan rasa bersalahnya dan lebih memilih membahas jaket.
“Sudah kucuci, tenang saja,” gadis itu berujar percaya diri. Sepanjang siang dia membersihkan jaket tebal itu dengan hati-hati, tahu betul kalau pemiliknya bisa jadi sangat cerewet kalau benda kesayangannya rusak meski hanya sedikit.
“Aku heran kenapa kau begitu menyukai jaket murah itu,” ujar Soojung lagi. Dia melemparkan pandangannya ke arah Sehun yang dengan santai memasukkan keripik kentang ke dalam mulutnya.
Sambil mengunyah, Sehun menjawab, “Aku senang membayangkan kau bersusah payah menyebarkan selebaran di tepi jalan demi membelikanku benda itu. Tidak ada yang lebih bisa menghiburku dibanding tampang kesusahanmu.”
Soojung mendengus lagi, kali ini sedikit lebih kasar dibanding sebelumnya. Salah besar karena dia sudah membuang waktunya dengan merasa bersalah telah merepotkan Sehun. Apalagi karena tadi sempat berpikir kadar ketampanan pria itu meningkat karena telah berbaik hati membelikannya obat sakit kepala. Usia sepertinya memang tidak akan pernah menjadi alasan bagi Oh Sehun untuk bersikap sedikit lebih lembut kepadanya.
“Kau sendirian lagi? Ke mana orang rumahmu?” tanya Sehun setelah menyadari bahwa sejak tadi tidak ada orang lain yang menyapanya. Biasanya, setiap kali dia datang, kedua orang tua Soojung akan menyambutnya dengan obrolan beragam topik. Sesekali, Sooyeon, kakak Soojung, juga akan berbasa-basi menegurnya, sebelum gadis yang lebih tua itu kembali fokus pada dunianya sendiri.
“Ayah dan ibuku sudah hampir seminggu ini di Nagoya, sedang sibuk mengurusi anak perusahaan mereka di sana. Sedangkan Sooyeon unnie,” Soojung menjeda bicaranya sejenak, tampak berpikir. Dia mengecek waktu yang ditunjukkan oleh jam kecil yang terletak di atas meja pendek di samping televisinya, lalu melanjutkan, “Di hari libur seperti ini biasanya dia sedang bersemedi di perpustakaan umum. Atau kalau tidak, dia pasti sedang memantau kafe barunya di dekat stasiun.”
Sehun menanggapi penjelasan panjang itu dengan sebuah kata oh yang diucapkan nyaris tanpa suara. Lalu, “Ibuku memasang samgyetang. Malam ini kau makan di rumahku saja,” beritahu Sehun sebelum bangkit dan berjalan menuju pintu kediaman keluarga Jung, meninggalkan Soojung sendirian di ruang keluarga.
***
“Ada yang perlu kubantu?” Soojung, dengan senyum manis melekat di bibirnya, menghampiri Nyonya Oh yang terlihat sibuk mengatur peralatan makan di atas meja.
“Tidak usah repot-repot. Ayamnya juga sebentar lagi matang,” sahut wanita yang lebih tua itu. Dengan cermat dia meletakkan sendok dan sumpit di samping tiga buah mangkuk yang sebelumnya telah dia siapkan untuk mereka bertiga. “Kau naik saja ke kamar Sehun dan ajak dia turun.”
Mengangguk patuh, Soojung langsung berlari menuju kamar Sehun di lantai dua, meninggaalkan Nyonya Oh yang berseru memperingatkannya agar berhati-hati saat menaiki tangga.
Saat sampai di kamar Sehun, seperti biasa gadis itu membuka pintu tanpa terlebih dahulu mengetuk, membuat sang pemilik kamar refleks menyembunyikan tablet yang sejak tadi dipandanginya. Bertahun-tahun bersahabat dengan Soojung, seharusnya Sehun sudah mulai terbiasa dengan sikap gadis itu yang suka seenaknya. Tapi malam itu, Sehun lagi-lagi harus mengurut pelan dadanya karena kaget.
Padahal kali ini Soojung datang dengan penampilan yang jauh lebih rapi dibanding tadi pagi. Baju tidur putihnya sudah diganti dengan baju kaos kuning longgar bergambar kelinci dan dipadukan dengan jeans ketat selutut. Rambut hitam panjangnya digelung asal sampai ke atas kepala. Wajah pucat dan mengembang khas orang baru bangun tidurnya juga sudah diganti oleh wajah segar dengan sapuan krim wajah dan pelembab bibir. Penampilan itu memang tidak bisa sepenuhnya dikatakan rapi, tapi setidaknya dia sudah tidak lagi tampak seperti hantu.
Pemandangan ketika Sehun dengan panik menyembunyikan gadget tujuh inch-nya saat Soojung datang tadi tidak terlepas dari perhatian gadis itu. Dengan mata menyipit curiga, dia langsung mendekati Sehun yang berbaring santai di atas kasurnya dan dengan lincah merebut benda yang berusaha keras disembunyikan pria itu.
“Ya, Oh Sehun, kau sedang menonton film porno, kan?” candanya.
Soojung dengan cepat mengakses browser history, mengabaikan Sehun yang tidak berhenti mengomel di belakangnya, berkata bahwa Soojung hanya akan menyesal melihat video itu. Tentu saja, Soojung tidak berniat mengindahkan peringatan tersebut.
“Kenapa? Kau malu akan fantasimu sendiri?” cela Soojung sambil terkekeh pelan.
Alis Soojung sedikit mengernyit ketika membaca judul video yang dibukanya. Gadis itu lebih heran lagi saat video itu sudah terputar dan apa yang tampak di hadapannya sama sekali jauh dari apa yang dia bayangkan. Seringai nakal yang beberapa saat lalu menghiasi wajahnya kini hilang. Ekspresinya berubah semakin suram ketika video berdurasi tiga setengah menit itu selesai dan kesadaran menghampirinya. Wajah orang-orang di video itu tidak terlalu terlihat jelas akibat pencahayaan yang minim, tapi Soojung tahu betul siapa mereka.
Seseorang rupanya telah merekam pertengkarannya dengan Jongin dan selingkuhannya semalam, kemudian mengunggah video itu ke internet. Adegan itu kemudian mengundang perhatian cukup banyak orang, terbukti dari jumlah viewer yang sudah menembus angka empat puluh ribu. Itu belum termasuk komentar-komentar yang ditinggalkan oleh orang yang melihat.
Gadis yang saat kecil pernah bercita-cita menjadi penyanyi itu sekarang benar-benar terkenal, tapi tidak dengan cara yang dia inginkan.
Hatinya seketika diserang perih yang entah berasal dari mana. Seolah semua itu belum cukup, dia memutuskan membaca komentar-komentar yang ditinggalkan para pengguna internet untuk video itu.
Aku merasa kasihan kepada wanita itu. Pacarnya benar-benar menginjak-injak harga dirinya. Kalau aku jadi dia, aku pasti sudah tidak ingin hidup lagi.
Mengerikan! Aku tidak menyangka seorang pia bisa bersikap sekasar itu, terlebih lagi ini dia lakukan kepada pacarnya sendiri.
Aku menyaksikan kejadian ini semalam saat berjalan-jalan di Gangnam. Lumayan, hiburan gratis.
Inilah alasan kenapa kau tidak boleh seenaknya menjambak rambut selingkuhan pacarmu di depan umum. Hahaha.
Semakin Soojung menggeser halaman itu ke bawah, semakin besar rasa malu yang dia dapatkan. Akhirnya, setelah membaca belasan komentar, gadis itu menghentikan kegiatannya. Dengan daya yang masih tersisa, dia mengembalikan benda elektronik yang dipegangnya kepada pemiliknya.
Sehun mengambil benda yang disodorkan Soojung dengan kasar dan langsung melemparkannya ke atas kasur. Ekspresi wajahnya berubah kesal saat dia mengoceh panjang lebar, “Sudah kubilang, jangan membuka video itu. Kau ini benar-benar tidak pernah mengindahkan peringatan orang, huh? Sekarang kau lihat sendiri kan, apa akibatnya. Dulu saat aku bilang tidak usah dekat-dekat dengan Kim Jongin, kau tidak mempedulikan omonganku. Barusan, saat kubilang tidak usah melihat video itu, kau juga tidak mendengar.”
Dan dengan itu, Soojung berlari dengan tidak lupa membanting pintu kamar Sehun keras-keras sambil berteriak, “Kau menyebalkan!”
Sehun menggelengkan kepalanya, sedikit menyesal juga karena telah membentak Soojung seperti tadi. Tapi pria itu berpendapat bahwa sekali-kali sahabatnya itu memang harus diperingatkan dengan cara yang kasar, karena selama ini peringatan bernada halus tidak pernah diperhatikan olehnya.
“Soojung kenapa?”
Mendadak, kepala ibunya menyembul dari balik pintu, membuat Sehun merasa hampir terkena serangan jantung ringan. Untuk satu hal ini, Sehun harus mengakui kalau ibunya dan Soojung punya kebiasaan yang persis sama.
“Eomma!” teriak Sehun jengkel. Dia mengelus dadanya yang berdebar kencang.
“Kau sedang menonton film porno, ya?” canda ibunya dengan mata menyipit iseng.
Ada efek dejavu yang menyerang diri Sehun, seolah dia merasakan kejadian dengan Soojung kembali berulang. Pria itu memutar bola matanya, putus asa. “Aku tidak sedang menonton film porno dan aku juga tidak tahu Soojung kenapa.”
Nyonya Oh berdecak penuh ketidaksukaan atas kelakukan anak bungsunya itu.
“Awas saja kalau sampai kau membuatnya menangis, Eomma tidak akan tinggal diam.”
Setelah berkata demikian, wanita paruh baya itu menghilang lagi di balik pintu, meninggalkan Sehun yang sebal sendirian. Pria itu kembali bertanya-tanya, sebenarnya anak ibunya itu yang mana? Dirinya atau Soojung?
Sehun menjatuhkan badannya ke atas kasur setelah berulang kali berusaha mengembalikan mood bagusnya namun tetap saja gagal. Ibunya sempat berteriak dari lantai bawah, memberitahunya kalau makan malam sudah siap, tapi Sehun tidak mengacuhkannya. Dia berbaring telentang menatap langit-langit kamarnya yang miring mengikuti bentuk atap rumahnya. Pria itu lalu memejamkan matanya untuk berpikir dan membiarkan hembusan angin dari jendela yang terbuka membuai dirinya hingga terlelap.
Di dalam perangkap alam bawah sadarnya, Sehun terus menghitung semua waktu yang dihabiskannya bersama Soojung.
Soojung saat berumur lima tahun, dengan seragam taman kanak-kanak dan rambut dikepang dua menghampiri dirinya yang baru saja pindah dari kota lain. Gadis kecil itu, sambil tersenyum manis kepadanya, menyodorkan sebuah lollipop rasa stroberi dan langsung mengajaknya bermain bersama.
Soojung saat berumur tujuh tahun, dengan mata yang sembab akibat terlalu banyak menangis, datang kepadanya untuk mengadukan Sooyeon yang memarahinya karena telah merusak buku cerita milik kakakknya itu.
Soojung saat berumur sembilan tahun, dengan tas ransel kecil bergambar sailormoon bertengger di bahunya, berdiri di depan pintu rumah keluarga Oh bersama kedua orang tuanya. Itu adalah pertama kali orang tuanya menitipkan Soojung di rumah Sehun. Kebiasaan yang sama berulang dalam jumlah tidak terhitung, karena setiap kali kedua orang tuanya pergi ke luar kota, gadis itu pasti akan menginap di rumah Sehun.
Soojung saat berumur lima belas tahun, dengan mata berbinar datang ke kamarnya, berdalih ingin meminjam komik tapi akhirnya malah asyik bercerita tentang seorang senior yang belakangan mencuri perhatiannya.
Soojung saat berumur dua puluh dua tahun, sambil tersenyum bahagia memeluknya dan ngotot ingin diberi ucapan selamat karena diterima bekerja sebagai editor junior di sebuah kantor penerbitan ternama. Aku bisa membaca banyak buku dengan gratis, katanya waktu itu.
Soojung saat berumur dua puluh empat tahun, dengan setengah sadar meneleponnya dan menangis sesengukan karena baru saja dicampakkan oleh pria yang baru tiga minggu menjalin hubungan dengannya.
Soojung yang manis dan suka berbuat seenaknya. Soojung yang mencintai drama romantis. Soojung yang hampir setiap pagi datang ke rumahnya untuk numpang sarapan. Soojung yang selalu dengan mudah jatuh cinta namun akhirnya dikecewakan. Soojung yang rapuh. Soojungnya.
Ketika Sehun membuka matanya lagi, dia sudah kembali ke masa kini, di mana dirinya dan Soojung sudah berumur dua puluh empat tahun, di mana dirinya berbaring di atas kasur dan Soojung berada entah di mana, di mana Soojung baru saja marah kepadanya, di mana perutnya berbunyi dengan tidak tahu malu karena belum diisi sejak sore.
Pria itu bangkit dari kasurnya dan melangkahkan kaki menuju dapur di lantai satu. Dia baru ingat tadi tertidur sebelum sempat mencicipi samgyetang yang dimasak ibunya sebagai hidangan makan malam.
Saat sampai di tangga, Sehun memperhatikan bagian bawah rumahnya yang sudah redup. Lampu-lampu banyak yang sudah dimatikan, hanya tersisa beberapa lampu neon berdaya rendah yang memang selalu dibiarkan menyala. Dia melayangkan pandangan menuju jam antik yang dipajang di ruang keluarga, mendapati bahwa waktu sudah menunjukkan lewat pukul sepuluh.
Pria itu bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan Soojung di jam seperti ini. Mungkin gadis itu sudah terlelap, berhubung besok pagi dia harus berangkat kerja. Mungkin juga dia masih berkaca di depan layar televisi, mencekoki dirinya dengan drama-drama romantis sembari mulutnya tidak berhenti mengunyah makanan. Entah sejak kapan kesadaran itu datang, tapi Sehun tahu bahwa Soojung memang selalu melampiaskan semua masalahnya dengan menonton dan makan.
Sehun kembali ke kamarnya untuk mengambil telepon genggam dan mengetik pesan kepada Soojung sambil melangkah menuruni tangga.
OhSehun: Masih marah?
Balasan dari Soojung datang beberapa belas menit kemudian, saat Sehun sudah berada di meja makan, siap menyantap samgyetang yang disisakan ibunya.
SoojungKrystal: Aku ingin es krim.
Sehun terkekeh membaca pesan dari Soojung. Dengan cepat jari-jarinya mengetik balasan.
OhSehun: Kutraktir di kafe langgananmu, mau?
SoojungKrystal: Cool! Aku ganti baju dulu. Kita bertemu di depan rumahku, oke?
Tanpa berpikir panjang, Sehun memasukkan potongan ayam yang baru saja disendoknya ke dalam penghangat makanan, menaruh mangkuk serta sendok bekas pakainya di tempat piring kotor, berlari cepat ke kamarnya di lantai dua untuk menyambar cardigan, dan langsung melenggang ke rumah Soojung.
***
Meluruhkan kekesalan Soojung ternyata tidak segampang memesan seporsi besar es krim rasa stroberi. Meski gadis itu membalas pesannya, tapi sejak Sehun menjemputnya di depan rumah sampai mereka kini sudah duduk berhadap-hadapan di kafe langganan Soojung, gadis itu tetap tidak berkata apa-apa kepadanya. Sehun beberapa kali berbasa-basi mengajaknya mengobrol, tapi jurus itu seolah melempem karena Soojung hanya menanggapinya dengan gumaman pendek. Satu hal yang disyukuri Sehun, setidaknya sorot mata penuh kekesalan yang beberapa jam lalu dialamatkan Soojung kepada dirinya kini menghilang, diganti oleh tatapan lain yang tidak bisa diartikan oleh Sehun.
Soojung menyendok makanan beku yang tersaji di atas meja di depannya tanpa berkata apa-apa, hanya helaan napasnya yang sesekali terdengar.
“Masih marah kepadaku?” tanya Sehun. Dengan kikuk pria itu meraih satu lagi sendok yang terbungkus rapi di samping wadah bulat berisi es krim dan ikut menyendok es rasa stroberi itu sambil menunggu jawaban dari gadis di depannya.
Soojung menghela napas lagi, kali ini lebih panjang dibandingkan sebelumnya.
“Menurutmu, apa aku ini benar-benar membosankan?” ujar Soojung akhirnya.
“Maksudmu?”
“Aku penasaran, kenapa hanya ada satu pria yang betah berada di sisiku selama ini.”
“Aku, maksudmu?”
“Siapa lagi?”
Sehun diam sejenak. Dia berusaha mengingat nama-nama pria yang pernah dekat dengan Soojung, tapi di antara semuanya, tidak ada yang bisa bertahan lebih dari sebulan. Kecuali dirinya.
“Di antara semua pria yang ada, kenapa hanya kau yang bertahan? Kenapa bukan pria idaman yang betul-betul memenuhi kriteriaku? Kau tahu kan, seseorang yang karenanya jantungku terus berdegup kencang. Jongin, misalnya.”
“Sudah kubilang, Kim Jongin itu brengsek. Kau masih belum puas diperlakukan buruk olehnya?” Sehun dengan sinis mengomentari kegalauan Soojung soal pria yang pernah disebut-sebutnya akan menjadi kandidat kuat calon suaminya nanti.
Soojung merengut tapi tidak punya jawaban yang tepat untuk membalas perkataan Sehun. Jadi, yang dia lakukan hanyalah melipat tangan dan memajukan bibirnya hingga mengerucut maksimal, sebuah gestur yang selalu berhasil membuat Sehun terkekeh. Bukan karena Soojung manis, tapi karena itu membuat Sehun makin ingin mencelanya.
“Mungkin kau harus sedikit menurunkan standarmu. Kau tahu Jungsoo ahjussi, kan? Sekuriti yang menjaga kompleks perumahan kita. Sepertinya dia menyukaimu,” ujar Sehun, tahu bahwa kalimat itu akan membuat Soojung membelalakkan mata sipitnya seperti akan meloncat keluar. Tapi memang itu tujuannya, untuk membuat Soojung yang sudah jengkel semakin jengkel lagi.
“Kau tega melihat sahabatmu menikahi pria tua seperti itu?”
Sehun menaikkan alisnya dan tersenyum lebar, mengiyakan pertanyaan Soojung. Pria itu menambahkan, “Ketika anak kalian besar nanti, Jungsoo ahjussi sudah akan berumur tujuh puluh tahun lebih. Dia akan memanggil ayahnya dengan sebutan harabeoji. Sedangkan kau, karena terlalu sering marah-marah, akan cepat menua dan akhirnya juga akan tampak seperti seorang halmeoni, menyesuaikan penampilan dengan suamimu. Kedengarannya menarik, bukan?”
“Menyebalkan!”
Soojung menaikkan tangan kanan seolah akan memukul Sehun yang tertawa meledek dirinya, tapi belum juga dia melayangkan tangannya yang sudah berada dalam posisi siap, secara aneh gadis jadi ikut tertawa juga.
Mereka berdua, seperti dua orang bodoh, tertawa terus menerus selama bermenit-menit tanpa tahu pasti hal lucu mana yang membuat mereka tertawa selama itu. Ketika tawa tak beralasan itu akhirnya berhenti, Soojung tahu bahwa perasaan galaunya yang timbul-tenggelam selama seharian ini sudah tidak seharusnya muncul, apalagi jika penyebabnya masih hal yang sama. Kesadaran itu tentu saja tidak akan datang jika bukan karena Sehun, pria yang sejak dulu selalu ada di sampingnya setiap kali dia bersedih.
“Aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan kalau kau tidak ada,” ujar Soojung pada Sehun lugas.
Sehun diam, tertegun oleh senyum penuh terima kasih yang diberikan oleh Soojung kepadanya. Ia menatap Soojung yang menoleh ke luar jendela tanpa mengedipkan matanya. Seumur hidupnya, belum pernah dia merasa Soojung secantik ini. Jantung Sehun seketika berdebar seperti genderang sedang ditabuh. Ia berusaha mengucapkan kalimat apa saja untuk mencairkan suasana yang mendadak jadi melankolis ini, tapi hanya geraman tertahan yang terdengar.
Sehun sedang menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya ketika mendadak Soojung mencengkeram tangan Sehun dengan kuat. Gadis itu, dengan senyum sangat manis, menunjuk ke luar jendela.
“Itu temanmu, bukan?” tanya Soojung.
Sehun mengikuti arah pandang Soojung dan mendapati seseorang berwajah familiar di balik jendela.
Adalah Choi Minho, seorang sunbae-nya saat masih kuliah. Pria bermata besar dengan senyum yang sejak dulu selalu digilai oleh para wanita itu kini sedang tersenyum sambil melambaikan tangannya pada Sehun. Dia memberikan kode agar pria yang lebih muda itu menunggu di tempatnya, kemudian melangkah cepat memasuki kafe di mana Sehun berada.
Sekitar beberapa belas detik berselang, Minho sudah berada di dekat meja Sehun. Dengan antusias pria berbadan tinggi itu memeluk Sehun dan menyatakan kegembiraannya bisa bertemu lagi dengan dongsaeng yang saat kuliah dulu sempat terlibat beberapa proyek penelitian bersamanya. Sehun menganggapi dengan tidak kalah antusias, meski dalam hati pria itu merasa ada daya magis yang tiba-tiba menyedot habis energinya setelah melihat tatapan yang dialamatkan Soojung kepada pria yang lebih tua itu.
Tatapan itu lagi. Tatapan memuja yang terakhir kali dilihat Sehun hadir di mata Soojung saat dia baru saja menjalin hubungan dengan Kim Jongin. Tatapan memuja yang tanpa alasan tiba-tiba saja dia benci. Tatapan memuja yang tanpa sadar, sudah bertahun-tahun dia impikan akan ditujukan Soojung kepada dirinya.
Soojung sudah sejak beberapa menit lalu tidak berhenti menendang-nendang kaki sahabatnya di bawah meja, memberi isyarat agar Sehun tidak lupa mengenalkan dirinya kepada pria tinggi berwajah tampan yang tengah berdiri di hadapan Sehun saat ini.
Dengan hati yang mendadak kosong, pria itu berujar sekasual mungkin. “Sunbae, kenalkan, ini Soojung, sahabatku.”
end.
A/N: I completely know that Kaistal is a real couple now. But Sestal will always have a special spot in my heart.