by Tamiko
Threeshot || Romance & Hurt/Comfort || PG-17
Cast : Sehun, Jooyoung (OC)
Disclaimer : I don’t own any of the cast beside the OC
If I risk it all, could you break my fall? – Sam Smith
Summary : Jooyoung jatuh cinta sebanyak tiga kali dalam hidupnya. Satu kali di musim panas pada usia 17 bersama pria yang menyalakan rokok pertamanya. He is her first everything.
ℑζ
Dia pertama bertemu lelaki itu di pesta ulang tahun Kai. Pria bermata sehitam malam dan wangi rokok yang dibenci Jooyoung. Kai bukan salah satu teman baik Jooyoung. Well, Jooyoung sama sekali tidak akan datang ke pesta ulang tahun pria tan itu awal musim panas 2006 jika bukan karena sahabat terbaiknya, Krystal berkencan dengan manusia dingin itu. Jooyoung sendiri tidak begitu suka dengan Kim Kai dan untungnya dia bukan satu-satunya yang merasa begitu. Baik Jooyoung maupun Kai hanya saling mentoleransi satu sama lain karena Krystal.
Jooyoung masih bisa mengingat dengan jelas bagaimana dia mondar mandir di sekitar pekarangan Kai, tidak tahu harus melakukan apa saat menghadiri pesta dimana dia hanya mengenal sekitar dua orang ― tepatnya memang dua orang ― termasuk di antara keduanya pemilik pesta itu sendiri dan sahabatnya yang tidak satupun dapat ditemukannya sekarang.
Whatever.
Jooyoung sekitar 200% yakin dua orang itu pasti sedang bersembunyi di salah satu kamar di rumah luas Kai, berciuman atau melakukan hal lain yang tidak ingin dibayangkan oleh gadis remaja itu. Lagipula dia merasa tidak bisa peduli. Kepalanya sendiri terasa sangat ringan akibat banyaknya alkohol yang sudah dikonsumsi sejak tiba di pesta terkutuk itu. Rasanya seperti melayang di udara tanpa kepala. Semua yang ada di sekeliling Jooyoung seperti berputar. Dan dia ingin segera melarikan diri dari tempat ini. Tapi dia memutuskan untuk tetap tinggal, karena orang yang membawanya ke sini ― Krystal ― tidak tahu sedang ada di mana, melakukan apa dan Jooyoung tidak bisa pulang tanpa sahabatnya.
Dengan tubuh yang terasa terlalu ringan dan kepala tidak jernih, Jooyoung memutuskan untuk membuat dirinya lebih mabuk lagi. Jadi sambil mengambil sebotol bir dari kulkas Kai dan membawanya ke halaman belakang untuk dinikmati sendiri, dia menyeret kaki dengan gontai keluar dari dapur yang sangat sesak dengan orang asing itu kemudian menghirup udara banyak-banyak begitu berhasil lolos dari neraka yang mereka sebut dapur Jongin. Rasanya begitu lega, seperti bernapas untuk pertama kali.
“Di dalam terlalu sesak kan?”
Kalimat pertama yang dilontarkan pria itu kepada Jooyoung. Tidak ada yang istimewa dari suara maupun perkataannya. Tapi Jooyoung mungkin tidak akan pernah sadar kalau ada orang selain dirinya di halaman belakang Kai yang sempit jika dia tidak mengatakan hal itu. Dan tidak mungkin Jooyoung akan pernah berkenalan dengannya.
Untuk beberapa saat baik Jooyoung maupun lelaki di hadapannya tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Dan Jooyoung bersumpah dia sama sekali tidak tahu apakah dia ingin membalas perkataan pria itu atau berbalik lagi ke dalam dapur Kai yang sangat sesak ― persis perkataan pria itu sebelumnya.
Pria itu yang kemudian berbalik badan dan tersenyum kepada Jooyoung, membebaskan Jooyoung dari dilema singkatnya. “Di dalam sangat sesak kan? Rasanya seperti udara terhisap keluar semua dari tubuhmu dengan banyaknya orang di sana.”
Satu hal yang paling pertama Jooyoung sadari begitu bertemu mata dengan lawan bicaranya adalah bahwa dia memiliki senyum paling menawan yang pernah disaksikan oleh Jooyoung dan dalam hitungan detik gadis tujuh belas tahun itu seolah merasa ingin tersesat saja di dalam mata gelap milik pria di hadapannya. Meski tidak yakin apakah ini karena pengaruh alkohol atau pria yang duduk tidak sampai satu meter dari tempat dia berpijak memang terlalu tampan seperti sugesti otaknya.
“Haha kenapa berdiri saja di situ? Kemarilah duduk di sampingku gadis manis.” ujar pria itu lagi sembari menepuk-nepuk lantai di sebelahnya. Entah kenapa tubuh Jooyoung langsung menuruti komando pria itu tanpa menunggu perintah dari otaknya seolah tubuhnya memang diprogram hanya untuk mengikuti setiap perintah yang diberikan suara seraknya. Jooyoung mengambil posisi duduk tepat di sebelahnya, tidak peduli untuk menjaga jarak. Dan pria itu sama sekali tidak protes dengan kedekatan mereka.
Ini pertama kali bagi Jooyoung berinteraksi dengan orang asing di pesta. Atau dimana saja. Tapi si pria asing, dengan wajahnya yang sangat tampan ― meskipun saat ini Jooyoung setengah mabuk dan penilaiannya bisa saja salah ― membuat Jooyoung hanya ingin selamanya duduk di sebelah pria itu. Mungkin besok dia tidak akan mengingatnya lagi. Jooyoung tidak bisa peduli dengan detail kecil seperti itu lagi. Jooyoung tidak berencana untuk berhenti memandangi pria ini selama dia masih bisa melakukannya.
“Ngomong-ngomong aku Sehun.” kata pria itu tiba-tiba menarik Jooyoung keluar dari lamunan singkatnya. “Dan aku belum pernah melihatmu sebelumnya.” Sambungnya, kembali memamerkan senyum pada Jooyoung, memperlihatkan dua taring yang mengintip dari balik senyumnya.
Jooyoung berdehem sebanyak dua kali sebelum memalingkan wajahnya. “A..Aku Jooyoung.” balasnya terbata.
“Dan aku memang tidak terlalu sering ke pesta seperti ini.” Ujar Jooyoung lagi sambil memandang udara kosong di hadapannya lalu melanjutkan sambil tersenyum masam, “hanya kebetulan kenal dengan pemilik pesta ini.”
“Oh jadi kau teman Kai.” Suara Sehun tiba-tiba berubah ceria dan Jooyoung seolah bisa mendengar dia tersenyum hanya dari mendengar suaranya. Jooyoung merasa sangat tergoda untuk kembali membalikkan wajahnya demi melihat senyum Sehun. Tapi keinginan itu ditekannya keras-keras.
“Tidak juga.” jawab Jooyoung ringan seraya menenggak minuman dari botol bir yang sempat dilupakannya. “Kami tidak betul-betul berteman. Hanya kebetulan saja dia berkencan dengan temanku dan mau tidak mau kami jadi terlibat satu sama lain. Yah semacam itulah.” Dikedikkannya bahunya acuh.
“Aaah jadi kau teman Krys.”
Jooyoung mengangguk sebagai balasan pertanyaan Sehun dan kembali menenggak minumannya. Keheningan yang mengikuti setelah itu didukung oleh Jooyoung yang tidak tahu harus mengatakan apa dan Sehun yang juga mengunci mulut rapat. Jadi Jooyoung mengambil kerikil di dekat kakinya dan melempar kerikil itu ke udara kosong untuk menyembunyikan kecangggungan sambil sesekali menempelkan bibir botol ke bibirnya.
“Kai adalah sahabatku.” Sehun kembali membuka suara sambil tangannya bergerak mengeluarkan kotak rokok dari saku jaket dan menyalakan sebatang lalu menyembunyikan kotak itu lagi. “Rumahku ada di sebelah.”
“Kalian berteman sejak kecil?”
“Yup.”
Muncul keinginan besar dari dalam diri Jooyoung untuk mengutuk diri sendiri malam itu karena meski bibirnya berusaha membalas setiap perkataan Sehun, dia tidak bisa tidak memirkirkan bagaimana Sehun terlihat sangat seksi saat menghisap rokok dan menghembuskan asap dari mulutnya. Jooyoung selalu benci jika Kai ― atau siapapun ― mulai merokok saat bersama dengannya. Tapi entah dengan trik macam apa, Sehun seketika membuat pikiran Jooyoung terhadap batang kanker itu berubah. Tiba-tiba kata rokok dan seksi bisa digunakan dalam satu kalimat yang sama ― hanya jika Sehun juga ada dalam kalimat itu. Sepertinya dia sudah benar-benar mabuk.
Dengan sekuat tenaga gadis itu berusaha menepis fantasi liar tentang Sehun jauh-jauh dan memaksa otaknya untuk fokus dengan pembicaraan bersama pria seksi di hadapannya. Fokus Jooyoung, fokus. “Pasti berat berteman dengan orang seperti itu.” katanya.
“Kai?” Sehun mengernyitkan dahi sambil memandang kepada Jooyoung dan mengulurkan tangan ke arah tangan Jooyoung yang menggenggam botol bir. “Boleh aku minta?”
Saat Sehun mengambil botol bir darinya, Jooyoung hanya mengangguk pasrah dan membiarkan pria itu melakukan apapun yang dikehendakinya. Sama sekali tidak keberatan untuk berbagi. Dia memandang pria itu menempelkan bibir botol ke bibirnya sendiri, membiarkan alkohol mengalir ke dalam mulutnya. Dan Jooyoung lagi-lagi tidak bisa menyingkirkan kata seksi dari kepalanya saat melihat jakun pria itu naik turun. Jooyoung benar-benar mabuk kepayang. Secara harafiah dan kiasan.
“Maksudmu sifat hiperaktif atau playboynya?” Sehun membalas sambil tertawa. Dua buah taring masing-masing di sisi kiri dan kanan menyembul dari balik tawa pria itu dan segera menghilang lagi saat Sehun menutup bibir dengan punggung tangan untuk membersihkan sisa alkohol yang menempel. Seksi.
“Dua-duanya?” Jooyoung mengedikkan bahu.
Senyum masih setia terpampang di wajah Sehun dan dia menggelengkan kepala pelan seolah sangat terhibur dengan pertanyaan Jooyoung. Sambil mengembalikan botol minuman kepada Jooyoung dia tampak berpikir sejenak. “Tidak juga. Mungkin karena sifat kami mirip.”
“Sifat hiperaktif atau playboynya?” balas Jooyoung mengembalikan kata Sehun mengundang gelak tawa dari pria itu.
“Bagaimana kalau dua-duanya?” jawaban Sehun membuat Jooyoung segera menutup mulut. Tanpa membalas kata-kata Sehun, dia hanya tertawa dan kembali menenggak bir. Berpura-pura tidak mendengar perkataan pria itu. Tapi sebuah suara ― yang berusaha Jooyoung halau dengan sisa akal sehatnya ― tidak mau berhenti bergema dalam kepala Jooyoung.
‘Bahkan jika kau playboy sekalipun, aku tidak keberatan.’
Setelah itu mereka kembali diam. Canggung. Suara yang terdengar hanya yang berasal dari dalam rumah Kai yang terasa jutaan kilometer jauhnya. Jooyoung menyibukkan diri dengan bolak-balik menenggak bir meski botol itu sudah kosong sejak beberapa menit yang lalu. Karena dia tidak tahu harus melakukan apa atau mengatakan apa lagi. Dalam hati berdoa Sehun tidak akan bosan dengan keheningan di antara mereka dan memutuskan untuk pergi. Jooyoung masih ingin berada di dekatnya lebih lama. Meski untuk itu dia harus menghirup semua sisa karbon monoksida yang Sehun keluarkan bersama asap rokok dari mulutnya, Jooyoung ingin tetap berada di dekatnya lebih lama. Mengagumi kesempurnaannya lebih lama. Tidak setiap hari Jooyoung bertemu dengan pria yang bahkan membuatnya tidak ingin bernapas jika tidak di dekatnya. Baiklah itu sedikit berlebihan. Dan mungkin itu pemikiran yang muncul karena seluruh syarafnya yang terlalu penuh dengan alkohol. Tapi kurang lebih Sehun memang adalah orang pertama yang membuatnya merasa seperti ini. Dan dia tidak peduli dengan fakta bahwa dia baru mengenal pria itu selama beberapa menit atau jika alkohol berperan sangat besar dalam pendapat itu.
“Kau tahu? Jika kau mengambil poto, kau bisa menyimpannya lebih lama.” Sehun kembali membuyarkan lamunan Jooyoung membuat si gadis tergagap.
“Ah maaf, aku sangat tidak sopan.” jawabnya. Wajahnya bersemu merah karena malu dan karena mabuk.
Semua rasanya sangat tidak jelas saat setengah dari otakmu berisi alkohol. Wajah yang bersemu merah. Apakah karena mabuk atau karena malu. Jantung yang berdebar melebihi batas normal. Apakah karena kadar alkohol yang terlalu banyak atau karena makhluk sempurna di sampingnya. Bahkan kesulitan bernapas entah karena asap rokok yang menyesakkan paru-paru Jooyoung atau karena alasan lain. Pikiran Jooyoung terasa kacau.
“Haha kau melakukannya lagi.” Sehun tertawa renyah dan kembali memberi perhatian pada rokok yang dihimpit di antara dua jarinya membuat Jooyoung melongo. “Melamun sambil memandangiku. Kau membuatku tersipu malu seperti ini.” katanya lagi diikuti tawa yang membuat nafas Jooyoung tercekat.
“Mau rokok?” ujar Sehun tiba-tiba seraya mengulurkan tangan ke depan wajah Jooyoung, menempatkan batangan rokoknya yang sudah dihisap setengah ― itu adalah batang kelima yang dihisap pria itu selama mereka duduk berdua di sini, dia merokok seperti kereta api ― tepat di depan bibir Jooyoung dan Jooyoung tidak bisa fokus selain kepada buku jari telunjuk Sehun yang menempel di bibirnya.
“Aku belum pernah…” ujar Jooyoung ragu dengan nafas yang sengaja ditahan, berusaha agar udara lembap yang keluar dari mulutnya tidak mengenai tangan Sehun.
Sehun lagi-lagi tertawa dan berkata “Karena itu cobalah untuk pertama..” tanpa memindahkan tangan dari depan wajah Jooyoung. Sehun mendekatkan wajahnya kepada gadis itu dan berbicara sambil menatap tepat ke mata Jooyoung. “Rasanya tidak lengkap kalau kau hanya minum tapi tidak merokok. Lagipula hanya sekali hisap, jika kau tidak suka, aku janji tidak akan memaksamu lagi setelahnya.”
Jooyoung dengan ragu menatap tangan Sehun yang sudah beberapa detik bergantung begitu saja di depan mulutnya. Tidak enak menolak tawaran pria itu dan membiarkan tangannya menunggu terlalu lama. Sedangkan seluruh otot dalam tubuhnya seperti ingin menuruti semua perintah Sehun, tapi sedikit sisa daerah otak Jooyoung yang tidak dipengaruhi alkohol mengingatkan betapa dia membenci batangan kecil yang terselip di antara dua jari Sehun itu. Jooyoung ― merasa tidak berdaya ― menatap kepada Sehun lagi, mata pria itu masih tetap setia terpaku kepadanya dan hanya butuh satu senyuman dari Sehun ― yang menampilkan taring dan menyedot seluruh kewarasan Jooyoung yang tersisa ― Jooyoung langsung menganggukkan kepalanya dan berbisik lemah “baiklah.”
Senyum di wajah Sehun semakin lebar dan matanya menjadi sipit hampir tidak terlihat begitu Jooyoung setuju untuk menghisap rokoknya. Tidak tahu apa yang membuat Sehun sebahagia itu hanya karena Jooyoung setuju untuk melakukan permintaan konyolnya. Dan Jooyoung tidak cukup peduli.
Sedikit ragu, Jooyoung meletakkan botol birnya dan mengulurkan tangan untuk mengambil rokok dari jari Sehun. Tapi pria itu segera menjauhkan tangannya dari Jooyoung dan menggeleng. Senyum di wajahnya tetap sama. Melihat tingkah Sehun, Jooyoung mengernyitkan dahinya bingung. Tapi pria itu tanpa mengatakan apa-apa masih hanya tersenyum mengulurkan jari-jari yang memegang rokok itu lagi dan mengantarnya ke depan bibir Jooyoung.
“Biar aku.” ujar Sehun sangat dekat ke pipi Jooyoung, membuat gadis itu dengan jelas bisa merasakan hangat nafasnya saat berbicara.
Jooyoung dengan patuh membuka mulut dan membiarkan Sehun mendorong masuk ujung batang putih itu melalui celah bibirnya lalu mengatupkan menutup celah itu setelah Sehun berhenti mendorong rokok lebih dalam. Jooyoung merasakan jantungnya yang berdebar begitu kencang dan tidak bisa memutuskan alasan yang tepat untuk itu. Apa karena takut sekaligus penasaran untuk menghisap rokok pertamanya, atau karena jari-jari panjang Sehun yang menempel di bibirnya atau tubuh Sehun yang begitu dekat atau karena dia bisa dengan jelas merasakan Sehun bernapas di pipinya. Semua membuat kepala Jooyoung berkabut.
“Hisap pelan saja.” ujar Sehun membuat pipi Jooyoung semakin panas terbakar, karena dia sama sekali bukan berpikir tentang rokok di antara bibirnya mendengar kata-kata Sehun. Jooyoung merasa benar-benar mabuk dan butuh segera pulang ke rumah, meninggalkan pesta ini dan Sehun ― yang keduanya bekerja dengan baik mengganggu sistem pernapasan Jooyoung. Tapi sesungguhnya itu bertentangan dengan hal yang ingin dilakukan Jooyoung. Dia sama sekali tidak ingin pulang. Dan sekonyol ini semua kedengarannya, Jooyoung ingin terus berada di dekat pria yang bahkan belum genap sejam dikenalnya.
Rokok pertama yang dihisap Jooyoung seumur hidupnya ― sebatang Dunhill bekas isapan Sehun ― dia menolak melupakan sensasi terbakar yang memusingkan itu. Perasaan penuh di kerongkokongan dan bagaimana nikotin terjebak dalam paru-parunya. Jooyoung sejenak lupa cara yang benar untuk menghirup oksigen.
Rasanya Jooyoung kehilangan kemampuan untuk merangkai kata-kata yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan apapun yang membuncah di dadanya malam itu. Dan tidak mau repot-repot memikirkannya. Terutama saat Sehun menarik tangannya menjauh dari mulut Jooyoung dan sebagai ganti mendekatkan wajah dengan wajah gadis itu. Jooyoung ingin berteriak kepada seluruh sel dalam tubuhnya ― yang menolak bekerja sama ― untuk menghindar, tapi seperti sedang terhipnotis oleh mata hitam Sehun, dia bahkan tidak bisa mengalihkan pandangannya. Membiarkan dirinya lebih jauh tersesat ke dalam malam di mata Sehun.
Ciuman pertama mereka tidak bisa disebut spesial. Canggung dan sedikit terburu-buru. Tidak klise dan romantis. Bibir mereka hanya bersentuhan begitu saja. Berbeda dengan apa yang selalu dipercaya Jooyoung tentang bagaimana dia akan mengalami ciuman pertamanya. Dan alih-alih merasakan kupu-kupu seperti menggelitik perutnya, Jooyoung hanya merasa pusing yang semakin menjadi setiap detik karena kadar alcohol dalam kepalanya. Dan bibir Sehun terasa seperti rokok. Pahit dengan bau tembakau mendominasi. Tapi Jooyoung tidak pernah bisa lupa saat nafas Sehun terasa hangat menyentuh hidungnya dan suara berat pria itu yang sarat dengan nafsu berbisik “Ingin keluar dari sini?” Jooyoung lagi-lagi seperti hilang kendali akan seluruh tubuhnya yang tanpa aba-aba langsung menurut pada komando Sehun dan pasrah membiarkan Sehun menyeretnya ke kamar pria itu di rumah sebelah.
Malam itu adalah awal liburan musim panas kelas tiga. Jooyoung jatuh cinta ― atau pikiran mabuknya berkata demikian ― pada sentuhan Sehun di setiap inci tubuhnya dan ciuman ganas yang membuat bibirnya bengkak. Semua kepolosan remajanya hilang bersama seprai putih Sehun yang berkerut dan dihiasi bercak merah yang tidak ada sebelumnya. Tapi Jooyoung tidak cukup peduli.
.
.
Keesokan harinya Jooyoung bangun dengan kepala terasa seperti baru dihantam beban seribu kilo dan membenci dirinya sendiri. Tidak perlu ingatan detail, Jooyoung tau apa saja yang sudah terjadi malam sebelumnya hanya dengan melihat setiap kain yang melekat di tubuhnya semalam berserakan acak di lantai. Tapi tidak ada sosok pria itu lagi di ruangan yang tidak dikenal Jooyoung ini. Satu-satunya tanda kalau sebelumnya memang ada pria itu sebelumnya di sana hanyalah kondom bekas di samping tempat tidur.
Jooyoung menghela napas kasar. Tidak pernah menyangka dia ternyata cukup bodoh untuk melakukannya pertama kali dengan orang asing yang bahkan tidak merasa cukup penting untuk menunggunya terbangun sebelum pergi.
Setidaknya semalam cukup hebat. Suara dalam kepalanya berbisik. Jooyoung tau suara itu tidak berbohong. Tapi tetap tidak bisa menyingkirkan kekesalan Jooyoung pada diri sendiri dan pria brengsek yang bersamanya semalam. Dia memunguti baju dari lantai dengan malas dan segera mengenakannya lalu pulang ― tidak tahan lebih lama berada di ruangan itu ― meskipun dia tidak bisa menemukan Kai, Krystal, dan juga branya.
.
.
Jooyoung mematikan ponsel dan mengurung diri di kamar selama dua hari. Memutuskan untuk menghabiskan seluruh liburan musim panas dengan menonton DVD drama marathon atau bermain video game. Yang jelas tidak bersosialisasi.
Dia belum menceritakan kejadian malam itu baik pada Krystal maupun Kai dan tidak berencana untuk melakukannya. Karena rasanya tidak akan sanggup menyinggung bagian dimana dia tanpa sengaja sudah memberikan keperawanannya pada pria asing ― yang namanya sudah tidak diingat Jooyoung. Meski merasa sedikit bersalah karena sudah mengabaikan Krystal ― itu sama sekali bukan salah temannya ― Jooyoung hanya tidak ingin bicara dengan gadis itu dan pacarnya untuk beberapa waktu, setidaknya sampai liburan selesai. Karena itu dia hanya menyuruh ibunya memberitahu Krystal kalau dia flu tapi sahabatnya itu tidak perlu menjenguk dan bersenang-senang saja dengan Kai.
Di hari ketiga dia menghindari telepon-telepon dan ajakan bermain Krystal, ibunya memaksanya untuk turun dan menjawab telepon. Jooyoung dibuat terkejut karena kali ini bukan dari sahabat keras kepalanya tapi dari Kai yang ngotot ingin berbicara dengannya tidak peduli dia sedang flu atau koma (Kai betul-betul mengatakan itu pada ibu Jooyoung). Dan Jooyoung tidak pernah membenci Kai sebesar saat itu.
“Aku juga tidak begitu mengerti, tapi kita harus bertemu sekarang juga.” Kai berbicara cepat begitu Jooyoung mengucapkan halo. Gadis itu mengernyitkan kening bingung.
“Hah?”
“Kafe Brazil di dekat sekolah nanti sore.”
“Hah?”
“Jam empat. Kau harus tepat waktu karena aku bukan orang yang sabar.”
Lalu suara telepon dibanting.
“Hah?” Jooyoung menatap bingung (dan sedikit geram) pada gagang telepon di tangannya.
Dia tidak berniat untuk pergi sama sekali.
.
.
Jam empat kurang sepuluh, Kai tidak berhenti menelepon ke rumahnya sampai ibu Jooyoung berteriak marah dan memaksanya kemudian untuk pergi bertemu pria tan itu. Jadi dia berjalan ke kafe yang disebutkan Kai sambil tidak berhenti mengutuki kekasih sahabatnya itu sepanjang perjalanan.
Saat tiba di kafe Brazil, Jooyoung melihat jam kayu di kafe itu menunjukkan pukul empat lewat dua puluh lima menit dan Kai duduk di sudut paling belakang sambil mengetuk-ngetuk kaki tidak sabaran. Hal pertama yang disadari Jooyoung saat berjalan mendekati Kai adalah wajah masam pria itu yang dibalas Jooyoung hanya dengan memutar bola matanya. Dia sendiri juga merasa kesal dengan Kai yang seenaknya mengajak ― memaksa ― bertemu, Kai sama sekali tidak berhak untuk merasa kesal.
“Kubilang jam empat.” sembur pria tan itu begitu Jooyoung berdiri cukup dekat untuk mendengarnya. Saat itulah baru Jooyoung sadar kalau dia tidak hanya akan bertemu dengan Kai sore ini. Dia terlalu sibuk mengutuki Kai dalam kepalanya sampai tidak sadar kalau seorang pria berambut coklat madu duduk berhadapan dengan Kai.
“Dan kurasa aku tidak setuju untuk bertemu.” balas Jooyoung kasar, dia meletakkan kedua tangannya di pinggang, berharap bisa memberitahu Kai betapa dia lebih kesal dengan sikap seenaknya Kai.
Kai mengerutkan wajah, tidak senang dengan sikap Jooyoung. Dia melirik kesal pada si rambut coklat di depannya sebelum dengan pelan berkata “Tsk. Dua orang menyebalkan dalam satu hari.”
“Kai.” Jooyoung dapat mendengar si rambut coklat mengerang manja dan ingatan tentang tangan yang menyodorkan rokok ke bibirnya beberapa malam yang lalu langsung membanjiri kepala Jooyoung sampai kepalanya terasa pening. Karena Jooyoung bersumpah seketika hidungnya seperti diserang wangi Dunhill yang terbakar dan dia bisa merasakan tembakau di lidahnya, entah berasal dari rokok yang dia hisap atau lidah pria asing yang bermain-main di mulutnya malam itu. Seluruh tubuhnya mengingat pria ini. Suaranya, sentuhannya, ciumannya, kulitnya, tapi Jooyoung tidak dapat menemukan nama pria itu di kepalanya.
Ingatan Jooyoung sesaat kembali ke malam mereka bertemu, tidak sadar bahwa Kai dan si rambut coklat ― yang namanya masih tidak dapat dia ingat ― sedang berbicara atau lebih tepat si rambut coklat berbicara cepat kepada Kai dan pria tan itu mengangguk singkat sebelum bangkit dari kursinya lalu berjalan menjauh setelah memberi tepukan ringan di bahu Jooyoung terlebih dahulu.
“Kau mau kemana?” Jooyoung segera berteriak ke arah pintu begitu sadar Kai sudah keluar dari kafe itu. “Yaa, jangan tinggalkan aku dengan orang ini.” Jooyoung berbisik kemudian, hanya dapat didengar olehnya sendiri.
“Jooyoung.” pria itu memanggilnya “Syukurlah aku bisa bertemu denganmu lagi.” Jooyoung mengalihkan perhatiannya dari pintu kafe Brazil ― dimana dia tidak bisa lagi melihat sosok Kai ― ke si rambut coklat yang menggenggam tangan Jooyoung tanpa merasa bersalah. Ini adalah pria yang meninggalkannya pagi hari setelah…
“Aku mencarimu kemana-mana. Bisakah kita bicara?” si rambut coklat melanjutkan sambil tersenyum. Jooyoung bisa melihat kedua taringnya mengintip dari balik bibirnya dan matanya yang berubah bentuk bulan sabit.
Jooyoung tidak mabuk. Tidak sedikitpun. Dia sama sekali tidak bersentuhan dengan alkohol sejak malam itu. Tapi kenapa otaknya lagi-lagi seperti berhenti berfungsi dan hanya ingin melakukan apapun yang dikatakan pria ini? Dan itu tepatnya yang dilakukan Jooyoung kemudian.
.
.
Si rambut coklat membawanya ke laut dengan motor besar miliknya. Mereka kembali dulu ke rumah pria itu untuk menjemput motor raksasa itu dan Jooyoung tidak berhenti menggerutu kenapa tidak membawanya ke kafe itu sekalian dari awal. Sepanjang perjalanan pria itu menjelaskan kalau malam itu mereka berada di kamarnya dan dia sama sekali tidak meninggalkan Jooyoung. Hanya sedang mandi sebentar dan sangat terkejut Jooyoung sudah menghilang saat kembali dari kamar mandi. Dan dia berpikir ― sedikit terluka ― kalau Jooyoung hanya menginginkan one night stand. Tapi setelah mencoba melupakannya selama beberapa hari, dia sangat ingin bertemu Jooyoung lagi kemudian dia memaksa Kai ― yang sangat keberatan ― untuk mempertemukan mereka lagi. Jooyoung menanggapi penjelasan panjang pria itu dengan mengangguk mengerti kemudian menertawai kebodohan mereka berdua dan akhirnya mengutuk Kai. Bukan karena apa-apa, hanya ingin saja.
“Aku tidak pernah naik itu.” Jooyoung kemudian berkata dengan wajah pucat saat melihat kendaraan yang akan mereka pakai untuk pergi ke laut. Si rambut coklat hanya membalasnya dengan tertawa ringan ― Jooyoung bersumpah dia tidak pernah jatuh cinta sebesar dia jatuh cinta pada tawa pria itu serta taringnya ― lalu mengacak rambutnya.
“Kau melakukan banyak hal pertama kali denganku hm?” Rambut coklat memasangkan helm ke kepala Jooyoung membuat kepala Jooyoung semakin pening karena suhu tubuhnya seperti meningkat beberapa derajat terutama di wajah. “kau akan baik-baik saja. Aku janji.” Pria itu berkedip pada Jooyoung dan itu satu-satunya dorongan yang dibutuhkan Jooyoung untuk naik ke atas motor pria itu dan memeluknya kencang.
Satu jam dan sepuluh belokan yang membuat Jooyoung berteriak sepertisedang dalam audisi film horror kemudian mereka sampai di pantai Barat. Wajah Jooyoung tiga kali lebih putih dari warna kulit aslinya dan jantungnya tidak bisa kembali berdetak normal.
“Itu sangat menakutkan.” katanya kepada si rambut coklat yang membantunya turun dari motor besarnya. Dan pria itu hanya tertawa.
Langit sudah gelap saat mereka menginjakkan kaki di pasir dan di pantai itu tinggal sedikit orang yang kelihatannya juga sudah berencana pulang. Si rambut coklat membawa Jooyoung berjalan-jalan di sepanjang pantai tanpa mengatakan apa-apa. Mereka menghabiskan sepuluh menit berjalan bersisian di sepanjang pantai sambil memegang sepatu masing-masing sebelum Jooyoung tersadar sesuatu. Dia menahan tangan pria itu yang saling bertautan dengan tangannya untuk menarik perhatiannya.
“Aku tau ini sangat terlambat untuk dikatakan. Tapi aku lupa namamu.”
Rambut coklat menatapnya terkejut kemudian berganti dengan ekspresi terluka. “Kukira kau sangat menyukai namaku.”
Jooyoung terdiam sejenak lalu berbisik “kurasa aku sangat mabuk malam itu.”
“Padahal kau meneriakkannya berkali-kali waktu kita melakukannya.” kata Sehun lagi, berhasil membuat wajah Jooyoung memerah. Jooyoung menyangkal bahwa itu karena udara malam yang terlalu dingin dan bukan karena kata-kata pria itu mengingatkannya kepada sentuhan dan ciumannya di seluruh tubuh Jooyoung. Bahkan bekas-bekas kecupan pria itu masih banyak yang tertinggal di sekitar perutnya.
“Huh tidak adil, padahal aku ingat namamu sejelas langit musim panas. Tapi namaku, kau malah lupa.” Rambut coklat menatap Jooyoung yang menundukkan kepalanya. “Tidak akan kuberitau lagi. Kau harus mengingatnya sendiri.”
Jooyoung tidak merespon perkataan pria itu. Sedikit merasa bersalah.
“Dan jangan berpikir untuk menanyakannya pada Kai.”
Jooyoung memang bermaksud begitu.
.
.
Jooyoung sangat menyukai mata hitam pria itu. Dan dia menghabiskan berjam-jam hanya menatap matanya.
“Matamu sangat kelam seperti malam. Seperti langit malam yang bersih di musim panas.” ujar Jooyoung tanpa aba-aba setelah menyeruput bubble tea nya, kata-kata yang muncul begitu saja dalam kepala Jooyoung dan segera diutarakannya. Sore itu rambut coklat membawanya ke kedai bubble tea yang sangat disukai pria itu. Setelah seruputan pertama, Jooyoung langsung kecewa karena ternyata Rambut coklat hanya melebih-lebihkan rasa minuman itu. Jooyoung sudah protes dan pria itu hanya menyuruhnya untuk meminum lebih banyak supaya mengerti kelezatan minuman kesukaannya itu. Tidak ada yang berubah.
“Apa itu pujian?” si rambut coklat mengernyitkan kening.
Jooyoung tidak menjawab, sibuk mengaduk bubble tea dengan sedotan.
“Karena aku tidak merasa itu seperti pujian.”
Jooyoung kemudian merespon dengan mengedikkan bahu. Tidak ingin memperpanjang pembicaraan tentang mata pria itu lagi. Karena Jooyoung jauh lebih suka memandanginya daripada membicarakannya.
“Apa aku sudah bilang kalau matamu seperti laut di musim panas?” kata Rambut coklat akhirnya, merasa Jooyoung tidak akan menjawab pertanyaan tadi lebih jauh. “Sangat hangat dan aku ingin tenggelam di dalamnya.” lanjutnya sambil menunjukkan senyum taringnya ― begitu Jooyoung menyebut senyumnya.
“Eew cheesy.”
Rambut coklat tidak pernah tau kalau Jooyoung sudah sejak lama tersesat ke dalam malam di matanya.
.
.
Apa yang awalnya hanya pertemuan-pertemuan singkat di kafe dan sedikit ciuman-ciuman cepat di gang-gang sempit yang kebetulan mereka lewati tanpa Jooyoung sadari malah sudah menjadi seluruh aktivitasnya di musim panas itu. Dia tidak bertemu siapapun selain pria rambut coklat dan mengabaikan setiap panggilan di ponselnya jika bukan dari pria itu. Pria itu sendiri seolah tidak memberinya kesempatan berhubungan dengan orang lain selain dirinya. Jooyoung membatalkan rencana pergi ke pantai bersama Krystal dan beberapa teman karena dia sibuk bermesaraan dengan pria rambut coklat di kamarnya, menolak menginap di rumah Krystal hari Jumat ― padahal itu adalah aktivitas wajib mereka ― karena dia akan menonton DVD di rumah Rambut coklat. Seluruh musim panas Jooyoung adalah ‘rambut coklat’ dan Jooyoung tidak mendapati dirinya keberatan.
.
.
“Kapan kau akan mengingat namaku?” rambut coklat berbicara tanpa mengalihkan mata dari langit malam yang dipandanginya sejak tiga puluh menit lalu. Dia berbaring di atas pasir pantai Barat dengan satu tangan direntangkan sebagai bantal untuk kepala Jooyoung ― begitulah perhatiannya dia ― dan tangan yang lain sibuk dengan sebatang Dunhill yang sudah hampir habis.
Jooyoung menatap asap yang keluar dari mulut pria itu lalu berkata “Bagaimana kalau habiskan seluruh sisa hidupmu dipanggil rambut coklat saja?”
Rambut coklat tidak menjawab untuk beberapa saat, kembali menghisap rokoknya sebelum memalingkan wajah sehingga dia bertatapan dengan Jooyoung, senyumnya sangat lebar Jooyoung khwatir itu dapat merobek wajahnya (secara kiasan) “kau berencana untuk menghabiskan seluruh sisa hidupmu denganku?”
Jooyoung saat itu mengutuki pertanyaan Rambut coklat dan senyum bodoh yang melekat bangga di wajahnya karena sudah berhasil membuat otak Jooyoung berhenti bekerja untuk beberapa detik. Jooyoung berharap asap rokok pria itu bisa menyembunyikan wajahnya yang memerah. Dan memaksa dirinya untuk tidak mengatakan “Ya, tentu saja.”
.
.
“Kudengar dari Kai kau akhir-akhir ini sering berkeliaran di rumahnya.” Krystal berkata sambil mengocok-ngocok cappucinonya. Jooyoung yakin sahabatnya itu sudah ketularan sikap tidak sabaran Kai. Dasar pembawa pengaruh buruk.
“Aku tidak berkeliaran di rumahnya.” Jooyoung memutar bola matanya. “Dan tolong berhenti menggoyang-goyangkan kakimu. Rasanya seperti gempa bumi lokal.”
“Baekhyun juga melihatmu di sana.”
Jooyoung memutar bola matanya. Lagi. “Tapi tidak di rumah Kai. Aku tidak menguntit pacarmu.”
“Aku tau.”
“Lalu?” Jooyoung menautkan alisnya.
“Lalu?” Krystal ikut-ikutan menautkan alisnya seperti berkata ‘hei kau tidak berhak menautkan alismu, aku yang harusnya mendapat penjelasan di sini.’ Dan meski itu semua hanya ada di kepala Jooyoung, dia tetap akan setuju jika Krystal benar-benar mengatakan itu padanya.
“Lalu? Tidak ada.” jawab Jooyoung enggan. Masih berpura-pura tidak tahu apa yang sebenarnya Krystal bicarakan, membuat sahabatnya itu melotot kesal padanya.
“Kim Jooyoung aku bersumpah kalau kau berkencan dengan sesorang tanpa sepengetahuanku..”
“Aku tidak berkencan dengan siapa pun.” Jooyoung memotong cepat.
Krystal memasang wajah ‘yeah tentu saja aku percaya’ pada Jooyoung yang artinya dia sangat jauh dari kata percaya. “Tetangga Kai…”
“Yang sama sekali tidak ada hubungannya denganku.” Jooyoung kembali memotong Krystal lalu mendapat pelototan dari gadis itu. Krystal terlihat masih ingin melanjutkan. Tapi kemudian memutuskan untuk tidak mendorong Jooyoung terlalu jauh dalam pembicaraan itu.
“Setidaknya angkat teleponku sekali dalam beberapa hari.” ujar Krystal akhirnya, mengerucutkan bibirnya ― yang tidak pernah bekerja untuk Jooyooung. “Aku benar-benar merasa kehilangan sahabat, kau tau.”
Jooyoung merasa bersalah saat membalas permintaan Krystal dengan anggukan ringan. Karena dia tau dia tidak akan melakukan seperti yang diminta Krystal.
.
.
Jooyoung mungkin (atau mungkin juga tidak) sedang jatuh cinta. Itu yang dipikirkannya saat berbaring-baring malas bersama rambut coklat di kamarnya. Sebenarnya secara teknis Jooyoung tidak bisa memanggilnya rambut coklat (lagi). Sejak dua hari lalu pria itu mewarnai rambutnya pink. Demi Tuhan pink. Memangnya ada pria yang mau mewarnai rambut mereka pink? Oh yea, dia mengenal satu dari pria-pria itu (kalaupun masih ada pria lainnya).
Sebagai pembelaan, rambut coklat ― sekarang rambut pink ― mengatakan “aku awalnya meminta noona itu mewarnainya hitam, entah bagaimana tidak sengaja tertukar dengan warna pink.”
“Mana mungkin dia tidak sadar warnanya tertukar saat membuatnya di kepalamu? Memangnya dia buta?” Jooyoung menutup matanya, mencoba menahan diri untuk tidak memukul seseorang di ruangan itu. Sebagus apapun warna itu di kepala kekasihnya ― Jooyoung tidak akan menyangkal kalau warna itu terlihat sangat cocok dengan kulit pucatnya ― tapi tetap saja terlalu feminim dan Jooyoung malu jika terlihat di publik bersama seorang pria yang kepalanya berwarna pink. Karena itu dia dan si rambut pink (panggilan itu terasa sangat janggal) di kamar pria itu, tidak melakukan apa-apa. *Selain bermesraan dan melakukan hal-hal yang tidak ingin saya sebutkan di FF ini*
“Aku benar-benar berpikir kau harus meminta ganti rugi kepada salon itu.”
Rambut pink mengerang mendengar Jooyoung mengulangi kata-kata yang sama sebanyak hampir sepuluh kali selama satu jam terakhir.
“Sudahlah. Lagian warna ini bagus kok.”
“Tapi aku ingin kencan di luar kamarmu yang bau ini. Dan aku bosan makan mie dingin.”
“Ayo kita ke laut.”
Kali ini Jooyoung yang mengerang. Kesal. “Aku tidak mau orang melihatku dengan kepala pink di pantai.”
Rambut pink mendengus. Terkadang wanita sangat sulit dimengerti. “Berhenti memanggilku kepala pink.”
“Kau lebih suka kupanggil rambut pink?”
Dia mendengus lagi. Kemudian menggerakkan tangannya mengelus rambut Jooyoung lembut dan berbicara dengan lembut juga “Kapan kau akan ingat namaku?”
“Kurasa aku semakin nyaman memanggilmu dengan panggilan-panggilan begitu.” Jooyoung tersenyum lebar, mengundang senyum di wajah pria itu juga. Dan meski bukan pertama kali, Jooyoung tetap merasakan efek nafas tertahan yang sama melihat taringnya saat tersenyum.
“Kalau begitu aku juga ingin memberimu nama panggilan.” Pria itu memperlebar senyum di wajahnya. Masih melanjutkan kegiatan mengelus rambut Jooyoung, dia tampak berpikir sejenak. “Bagaimana kalau kupanggil gadis musim panasku?”
Jangan salahkan Jooyoung yang hanya fokus pada pemakaian unsur kepemilikan dalam panggilan itu. ‘Gadis musim panasku’. Dia adalah milik si kepala pink. Jooyoung tidak ingin menjadi hal lain lagi dalam hidupnya.
.
.
“Kalian benar-benar serius berkencan ya?” Kai berkata suatu siang saat mereka berpapasan di depan pagar rumah kepala pink. Saat itu cuaca begitu panas dan Kai berwajah masam saat berbicara dengan Jooyoung. Jooyoung tidak bisa mengartikan ekspresi Kai saat itu dan jujur saja sama sekali tidak tertarik untuk melakukannya.
Jadia Jooyoung menjawab pertanyaan Kai dengan “yap” singkat, tidak mau berbasa-basi panjang. Dia kembali sibuk dengan ponselnya, memberitau Kepala pink kalau dia sudah di depan pagar rumahnya. Jooyoung mungkin saja menambahkan ‘bertemu dengan orang menyebalkan di sini, cepat keluar’ di akhir pesan yang dikirimnya kepada pria itu, tapi Kai tidak akan tau dan dia memang tidak perlu tau.
Kai kemudian meninggalkan Jooyoung berdiri sendiri di depan rumah Kepala pink. Ekspresi wajahnya jauh lebih aneh dari sebelumnya, seperti menatap Jooyoung simpati. Jooyoung tidak mengerti. Dan meski Kai terlihat seperti ingin menyampaikan sesuatu tapi mengurungkannya, Jooyoung tidak bertanya. Tapi wajah Kai sore itu terus menghantui Jooyoung sampai bertahun-tahun kemudian.
.
.
Di antara perjalanan panjang dengan motor dan pantai-pantai yang mereka kunjungi bersama, Jooyoung tidak pernah berhenti bertanya arti hubungannya dengan Kepala pink. Apa mereka pacaran? Apa mereka jatuh cinta? Kepala pink sekarang menyebutnya ‘gadis musim panasku’. Apakah Jooyoung akan berhenti menjadi gadisnya begitu musim panas berakhir?
Karena meski tidak bisa menamai hubungan mereka saat ini, Jooyoung yakin dia juga ingin berkencan dengan pria itu saat tanah penuh dengan daun-daun coklat yang berjatuhan atau saat menggantung mistletoe dan musim kue jahe juga saat banyak cherry blossom di jalan-jalan.
Tapi topik mengenai perasaan dan hubungan mereka tidak pernah sekalipun dibicarakan. Seperti ada persetujuan tersirat untuk tidak pernah menyinggungnya. Jooyoung takut untuk mencaritau apa artinya itu.
.
.
“Ayo kita ke laut.” Kepala pink berbisik pelan melalui telepon. Jooyoung tidak tau kenapa dia melakukan itu. Tapi Jooyoung membalasnya dengan berbisik juga.
“Sekarang?”
“Ya.”
Kepala pink pasti sudah kehilangan kewarasannya. Itu pikir Jooyoung. Siapa yang mau pergi ke laut jam satu pagi?
“Ini jam satu pagi.”
“Aku tau.”
“Lalu?”
“Ayolah, kita sudah lama tidak ke laut.”
“Kita ke laut minggu lalu. Dan bukan salahku kau mewarnai rambutmu pink jadi aku tidak mau keluar denganmu.”
“Ayolah.” Kepala pink memohon. “Lagipula aku sudah di depan rumahmu.”
“Kau gila.”
“Gila karnamu, sayang.” Kepala pink tertawa di akhir kalimatnya. Dan Jooyoung bisa merasakan jantungnya seperti berusaha melompat keluar dari tubuhnya mendengar kata-kata pria itu.
Dia selalu tau kata yang tepat untuk membujuk Jooyoung.
“Orangtuaku akan membunuhku kalau sampai ketauan.” Jooyoung menggerutu seraya membuka gerbang rumahnya sepelan mungkin. Dia tidak pernah menyelinap keluar tengah malam sebelumnya. Kepala pink sudah menunggu di depan rumah dengan jaket kulit dan motor besar yang selalu mereka kendarai bersama.
Si kepala pink tertawa renyah. “Aku janji akan mengantarmu sebelum matahari terbit.”
Jooyoung meraih helm yang diberikan kepala pink padanya lalu mendesah. Ini sebenarnya sangat mendebarkan tapi dia tetap merasa sedikit gelisah. “Kau harus menepati janjimu.”
“Tenang saja.”
.
.
Jooyoung melirik jam tangannya saat mereka tiba di pantai. Hampir pukul dua pagi. Kepala pink membawanya ke pantai paling dekat dari rumah Jooyoung. Ini bukan pantai yang biasa mereka datangi, tapi waktu mereka terbatas jadi mereka tidak bisa terlalu pemilih.
“Apa yang kau lakukan?” kata Jooyoung seraya mengernyitkan bahunya saat melihat Kepala pink yang melepas satu per satu pakaiannya.
“Mau berenang.” Kepala pink menjawab sambil tersenyum. Tidak berhenti melepas setiap kain dari tubuhnya. “Kenapa? Kau memikirkan yang lain hm?” sambungnya.
“Dasar gila.”
“Kau sangat menyukai orang gila ini.”
Jooyoung tidak menyangkal.
Kepala pink betul-betul berenang. Tidak peduli air laut yang terasa dingin di malam hari. Dan Jooyoung sendiri kemudian mulai mempertanyakan kewarasannya saat dia ikut-ikutan membuka bajunya dan ikut berendam di air bersama pria itu.
“Ini musim panas yang benar-benar menyenangkan.” kata Kepala Pink setelah berendam cukup lama dalam air.
Jooyoung mengamini kata-kata kepala pink dalam hati juga sedikit mengoreksi. Bukan hanya menyenangkan. Ini bagian terbaik dalam hidupnya. Menghabiskan begitu banyak waktu dengan pria ini. Dan sekarang berenang di bawah sinar bulan ― seklise ini kedengarannya ― Jooyoung tidak pernah sebahagia ini.
“Kau harus berterima kasih padaku.” balas Jooyoung. Dia tidak dapat melihat wajah Kepala pink saat berbicara, tapi dia tahu pria itu sedang tersenyum menatap tubuhnya yang bergerak-gerak bebas di air.
Jooyoung kemudian tersentak kaget saat merasakan sepasang tangan menyelinap dari belakang melingkari pinggangnya dan dagu kepala pink yang disandarkan di bahunya. Titik-titik air dari rambut pink pria itu menetes di sepanjang bahu Jooyoung. Dan lagi-lagi Jooyoung merasa tubuhnya mengalami penurunan IQ yang dahsyat. Karena semua organnya lupa cara untuk berfungsi dengan benar. Lama-lama kepala pink bisa membunuhnya ― literally.
“Aku sangat mencintaimu.” bisik kepala pink lembut di telinganya membuat detak jantung Jooyoung membabibuta seperti gila.
Jooyoung membayangkan sebanyak hampir ribuan kali bagaimana kepala pink akan mengatakan cinta kepadanya untuk pertama kali. Membuat dan menghapus lagi berbagai adegan dalam kepalanya. Mungkin kepala pink akan mengatakannya sambil lalu saat bermain video game. Dia sepertinya tipe pria yang akan melakukan hal itu. Atau dia akan meneriakkannya saat mereka sedang bercinta lalu menciumnya lembut. Jooyoung bahkan pernah membayangkan pengakuan klise seperti meriakkannya di tengah kerumunan. Tapi ini adalah sesuatu di luar imajinasi Jooyoung.
Kepala pink mengatakan dia mencintai Jooyoung di laut ― tempat favorit mereka ― saat mereka mengambang beberapa meter dari tanah, tangan pria itu melingkar erat di pinggangnya, dan sinar rembulan memantul di atas air di depan mereka. Saat itu mungkin jam tiga pagi. Dan suara kepala pink tidak berhenti terngiang di kepalanya. Dan bagaimana ini semua sangat klise tapi Jooyoung untuk pertama kali dalam hidupnya jatuh cinta dengan keklisean itu.
“Aku juga mencintaimu.” Jooyoung berbisik malu. Akhirnya mengucapkan tiga kata itu untuk pertama kali. Perasaan ini jauh lebih hebat dari saat bibirnya bertemu dengan bibir kepala pink pertama kali. Dan rasanya bertahan lebih lama dari bau rokok di nafas kepala pink. Meski tidak mengkonsumsi alkohol, mereka berdua merasa mabuk. Dan ini sengguh adalah perasaan terhebat yang pernah ada.
.
.
“Seharusnya sekarang kau sudah mengingat namaku.” Kepala pink menghembuskan rokoknya ke wajah Jooyoung yang disambut dengan cubitan keras di pinggangnya dari gadis itu.
“Berhenti melakukan itu.”
“Melakukan apa?” Tanya kepala pink santai. Mukanya sama sekali tidak menggambarkan rasa bersalah. “Meniup asap rokok padamu atau menyuruhmu mengingat namaku?”
“Dua-duanya.”
Kepala pink mengatupkan bibirnya. Sedih. Atau pura-pura. Jooyoung tidak tau. “Bagaimana bisa kau selalu hanya memanggil kekasihmu Kepala pink?”
“Sebutan itu sangat cocok untukmu. Manis.”
Kepala pink memutar bola matanya. “Kau tidak menyebut seorang pria macho manis.”
“Pria macho tidak mewarnai rambutnya pink.”
Kepala pink membalas perkataan Jooyoung dengan menciumnya tiba-tiba dan memindahkan asap rokok dari mulutnya ke mulut gadis itu. Memaksa Jooyoung kembali merasakan pahitnya residu batang kanker itu di lidahnya.
Entah kenapa Jooyoung tidak menemukan keinginan di dirinya untuk protes meski benci dengan fakta betapa tidak sehatnya perlakuan kekasihnya itu untuk paru-paru Jooyoung. Menurutnya itu seksi. Dan Kepala pink satu-satunya pria yang membuat Jooyoung sebahagia ini. Karena itu bahkan jika Kepala pink membawanya melompat jurang dengan motor raksasanya, Jooyoung merasa tidak akan keberatan (mungkin) Setidaknya dia akan mati dalam keadaan bahagia dan jatuh cinta. Itu lebih dari apapun yang bisa dia harapkan.
.
.
Tapi seperti liburan musim panas yang akan segera berakhir, kebahagiaan Jooyoung dengan kepala pink juga segera mencapai akhir. Bedanya adalah Jooyoung sudah mengantisipasi akhir liburan ini dan sudah menyiapkan seluruh tugas sekolah. Tapi dia tidak menyangka akan berakhir secepat itu dengan Kepala pink pujaannya.
Saat itu dua hari sebelum sekolah dimulai. Kepala pink mengajaknya bertemu setelah hanya berhubungan lewat ponsel selama beberapa hari. Kepala pink membawanya ke pantai yang mereka datangi beberapa malam sebelumnya. Dan Jooyoung terkejut bagaimana pantai itu sangat berbeda di malam hari. Begitu banyak orang dan lautnya berwarna hijau.
Mereka berdua bersandar di motor pria itu memakan popsicle beku. Jooyoung bahkan tidak menginjakkan kakinya di pasir. Dan kata-kata itu mengalir begitu ringan dari mulut Kepala pink. Seolah dia hanya sedang membicarakan cuaca cerah hari itu, bukan perpisahan mereka.
“Ini sudah direncanakan sejak lama.” ujar kepala pink. Memberi perhatian penuh kepada popsicle di tangannya yang mulai mencair. “Jauh sebelum pesta ulang tahun Kai.” bisiknya lagi. Tidak berani menatap wajah Jooyoung. Kepala pink berhenti sejenak menunggu respon dari Jooyoung. Tapi gadis itu tidak mengeluarkan suara sedikitpun. Bahkan tubuhnya tidak bergerak sama sekali. Cairan merah dari popsicle cair mengalir di tangannya lalu menghantam tanah dengan cepat. Secepat titik merah itu jatuh, secepat itu juga jejaknya menghilang dari tanah. Seperti hubungannya dengan kekasihnya.
“Aku tau seharusnya tidak melibatkanmu lebih jauh tapi aku tidak bisa menghapus wajahmu malam itu dari kepalaku. Dan aku benar-benar menyukaimu.”
Hening.
“Aku tau ini benar-benar terdengar seperti hobi buruk. Tapi aku tidak sengaja menghabiskan seluruh sisa musim panas terakhirku di Korea denganmu hanya untuk main-main. Aku betul-betul sangat sangat sangat sangat sangat mencintaimu.”
Tapi seberapa banyakpun kata sangat yang digunakan Kepala Pink, tidak sebanding dengan besarnya keinginan Jooyoung untuk membunuh pria itu sekarang. Jooyoung merasa ditipu. Kepala Pink tidak boleh melakukan ini padanya. Membuatnya jatuh cinta sangat dalam lalu meninggalkannya begitu saja ke Amerika. Demi Tuhan Amerika sangat jauh dari Korea. Dan yang lebih buruk rencana pindah itu sudah ada sejak sebelum mereka bertemu. Kalau dia tau hubungan mereka tidak akan bisa bertahan lama sejak awal, kenapa dia membuang begitu banyak waktu Jooyoung membuat puluhan kenangan seolah mereka akan sering-sering tertawa saat mengingat kenangan itu nanti? Kepala pink menyebutnya bukan hobi buruk, tapi Jooyoung benar-benar berpikir sebaliknya.
Seharusnya pria itu tidak mencarinya lagi setelah malam itu.
“Jooyoung, ini bukan berarti kita berpisah. Kita selalu bisa saling menelepon dan..”
Jooyoung tidak mendengar lanjutan kalimat pria itu. Atau pria itu yang tidak melanjutkan kalimatnya lagi. Karena Jooyoung melempar popsicle nya dengan kasar ― mengenai seorang pria yang berteriak marah tapi segera menutup mulutnya melihat wajah Jooyoung yang tidak kalah marah dan air mata memenuhi wajahnya yang merah karena emosi ― lalu berjalan menjauh dari Kepala pink. Mengabaikan namanya yang diteriakkan berkali-kali dan perhatian orang-orang yang seketika beralih padanya.
Jooyoung terus berjalan. Membuang ponselnya di tengah perjalanan.
“Aku tidak mau saling menelepon denganmu, Brengsek.”
Jooyoung menangis keras saat tiba di halte. Berteriak dan memaki Kepala pink. Tidak peduli dengan seorang pria yang menggeser duduknya menjauh dari Jooyoung dan menatapnya ngeri.
Dia menangis bukan hanya karena Kepala pink mengatakan akan pindah ke Amerika dan dia benar-benar hanya menjadi gadis musim panas pria itu. Atau karena Jooyoung merasa dibohongi. Tapi karena fakta singkat bahwa Kepala Pink bahkan tidak mengejarnya. Jooyoung tidak pernah tau kalau kekasihnya ― mantan ― sekejam itu.
.
.
Bagian terburuk dari patah hati adalah saat segala sesuatu terus mengingatkanmu akan orang yang menyebabkan hatimu tidak utuh lagi. Jooyoung menolak bertemu Krystal jika ada Kai. Karena pria itu adalah sahabatnya. Terkadang dia menangis saat melihat Dunhill di deretan rokok di toko kelontong. Dan Jooyoung menolak pergi ke laut untuk alasan apapun.
Pria itu mengirimnya surat dari Amerika ― karena Jooyoung sudah membuang ponselnya ― yang tidak pernah dibalas Jooyoung. Bahkan dia berhenti membaca surat pria itu sejak menerima surat yang ketiga. Kemudian surat itu berhenti datang setelah surat kesepuluh yang diterima Jooyoung awal Desember dan langsung dimasukkan ke dalam kotak penyimpanan yang tidak pernah dibuka.
Saat melihat salju pertama, Jooyoung akhirnya merasa musim panas benar-benar berakhir seiring dengan berhentinya surat-surat dari Kepala pink. Keinginan untuk menggantung mistletoe bersama kepala pink dikuburnya jauh dalam ingatan. Cinta pertama tidak selalu memiliki akhir yang indah kata orang. Cinta pertama Jooyoung berakhir dengan tragis.
Tapi Musim panas 2006, Jooyoung tidak pernah lupa. Dia jatuh cinta untuk pertama kali. Dengan seorang pria bermata sehitam malam dan wangi rokok yang dibenci Jooyoung. Dengan sebatang Dunhill menempel setia di antara bibir dan topeng angkuh di wajahnya, dia adalah seorang aktor yang tidak pernah tau kapan untuk berhenti bersandiwara. Di antara bir yang mereka bagi bersama, dia menyalakan rokok pertama Jooyoung dan menciumnya seolah tidak mengenal hari esok. Dia memanggil Jooyoung gadis musim panasnya ― tidak disangka panggilan itu memang diartikan secara harafiah. Cintanya seperti hujan badai di suatu sore musim panas di Seoul. Dahsyat dan cepat berlalu. Meninggalkan hati Jooyoung tidak tertata. Hingga akhir Jooyoung tidak pernah mengingat namanya.
–kkeut–
A/N :
Halo, saya kembali dengan ff baru ㅋㅋㅋ
Iya iya tau BTL belum dilanjut, aku janji bakal lanjut kok
Sedikit penjelasan tentang ff Break My Fall ini
Jadi ff ini bakal jadi threeshot
Ada tiga bagian cerita dan ada tiga laki2, seperti yang aku buat di summary.
Nah nanti setelah threeshot nya selesai bakal aku kasih satu chapter bonus buat jadi penyelesaian cerita ini. Jadi totalnya ada 4 chapter, tiga cerita utama plus satu sequel.
Maap kalo penjelasannya ngebingungin.
Nanti di chapter 2 bakal aku buat Q&A jadi kalau sedikit bingung sama penjelasan di atas, silahkan bertanya di kolom komentar.
Jangan lupa tinggalkan tanggapan kalian tentang cerita ini juga yah :)
Sampai jumpa di BTL chapter 3 atau BMF chapter 2 nanti
Lots of love.
Tamiko