Author : Bellecious0193
Poster : Lily21Lee
Genre : Romance, Action, Family
Rate : PG 17
Length : Chaptered
Casts :
Kim Jongin
Jo Eun Hee
Oh Sehun
Lee Na Ra
Kris Wu
Lee Ryu Jin aka Na Ra’ older brother
Etc
Note : Hi maaf untuk membuat kalian menunggu terlalu lama, silahkan buka chapter sebelumnya jika kalian lupa dengan ceritanya ya. Thank you ^^
Aku dibesarkan dengan didikan yang keras sejak kecil. Hal-hal remeh tentang jatuh cinta pada lawan jenis adalah apa yang selama ini aku kesampingkan. Yang aku tahu adalah cinta aboeji padaku, atau cinta noona, hyung, dan Sehun terhadapku. Selain itu aku tidak tahu. Tak mau tahu. Setidaknya aku memegang teguh prinsip itu selama nyaris dua puluh lima tahun, sebelum dia datang.
Hari itu dia duduk di bangku paling belakang di kelasnya. Gaun selutut dengan motif bunga membalut pas tubuhnya. Rambutnya yang bergelombang dia biarkan terurai begitu saja, yang selanjutnya aku rutuki karena mendadak aku ingin menenggelamkan wajahku di rambut cokelatnya yang menguarkan aroma black orchid. Bibirnya nampak bergumam mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak aku pahami. Mungkin dia sedang mencoba memahami apa yang dosen ajarkan, mungkin juga dia sedang mengataiku. Seperti kebiasaannya, bibir mungil itu memang suka sekali membantahku. Bibir yang sialnya juga aku sukai. Bibir yang baru sekali aku cium dan membuatku nyaris gila karena rasanya. Entah…aku juga tidak paham. Lagi-lagi aku harus mengakui bahwa dalam berciuman pun aku adalah seorang amatiran.
Dia mendongakkan wajah, dan tanpa sengaja pandangan kami bertemu. Dia menjulurkan lidah, menyeringai sebagai tanda betapa dia kesal padaku. Aku ingin sekali memakinya saat ini, sebab setelah ciuman di malam Natal tempo hari, dia masih bisa bersikap biasa saja. Seolah tidak ada apa-apa, seolah semuanya berjalan dengan normal. Ya…memang seharusnya seperti itu, kecuali perasaanku. Biasanya aku adalah ahli dalam memasang wajah datar dan dingin tanpa ekspresi. Biasanya aku lah orang yang begitu pandai dalam menyembunyikan isi hatiku. BIASANYA….
Tapi di hadapannya aku tidak bisa bersikap demikian. Jantungku selalu berdentum-dentum memukul rongga dada tiap kali dia mendekat. Seluruh tubuhku dipacu oleh sesuatu bernama adrenalin tiap kami dalam jarak keintiman yang lekat atau yang lebih parah seluruh organ tubuhku berteriak, memerintah agar aku merengkuhnya. Dan aku ingin melakukannya…..untuk kali ini biarkan aku menanggalkan harga diriku dan merengkuhnya. Sebentar saja.
Kyunghee University
Jo Eun Hee menghampiri Kim Jongin yang berdiri di ambang pintu kelasnya. Dia melemparkan tatapan sinis saat jarak mereka sudah kian dekat.
“Berhenti memelototiku, bola matamu nyaris keluar!” Dia mencibir Jongin yang masih belum mengalihkan tatapan matanya. Tak tahan, dia lah orang pertama yang memutuskan kontak mata tersebut dan berpura-pura sibuk dengan kuku jarinya yang baru dia cat dengan motif leopard.
“Sudah menjadi tugasku untuk mengawasimu.” Jongin menukas kalem, mengabaikan tatapan kagum dari segerombolan mahasiswi di sana. Dia mulai terbiasa dengan tatapan kagum gadis-gadis di kampus Eun Hee. Lagi pula jika ditinjau ulang, dia bisa semakin menikmatinya mengingat hal tersebut juga membuat Jo Eun Hee makin kesal.
“Mengawasi bukan memelototi. Ayo pulang!” Eun Hee berjalan dengan kaki menghentak-hentak mendahului Jongin. Sedang pria itu tersenyum simpul, membalikkan badan dan dengan santai menggandeng tangan Eun Hee. Gadis tersebut terperanjat, menatap Jongin dengan tidak percaya.
“Tidak aman berjalan seorang diri.” Ujar Jongin menjelaskan seraya mengeratkan genggaman tangannya. Eun Hee nyaris memekik, tapi dia menahan diri dan hanya mendecakkan lidah sebagai tanggapan.
“Aku rasa aku memang harus membanggakan diri tentang pesonaku kan?” Gadis itu berkata saat keduanya berjalan beriringan menuju mobil di hall parkir kampus.
“Sesukamulah.”
“Mau bagaimana lagi? Pesonaku kan memang tidak tertandingi. Kau tahu aku seorang femme fatale, gadis penakluk. Dan aku-“
“Berhenti mengoceh dan cepat selesaikan kuliahmu. Hidup tidak selamanya berputar di atas kendalimu Miss Jo.” Jongin menyergah, merasa jengah dengan apa yang Eun Hee katakan.
“Dasar perjaka kadaluarsa, untung kau tampan kalau tidak sudah kutendang kau dari kemarin dulu.” Eun Hee mengomel dengan mulut nyaris tertutup rapat, takut jika Jongin mendengarnya.
“Sayangnya Jo Eun Hee…. kau tidak bisa mendepakku kapan saja semaumu. Jadi bertahanlah.” Jongin mengucapkan nama Eun Hee dengan penuh penekanan sebelum berjalan mendahului gadis itu. Dia…yang katanya seorang pria dingin dengan wajah datar diam-diam merunduk malu, menyembunyikan semburat merah muda di wajahnya karena terlalu lama berhadapan dengan Eun Hee. Jadi mungkin saja Kim Jongin sudah jatuh kian dalam pada Jo Eun Hee tanpa dia sadari.
**
Philadelphia, United States
Oh Sehun duduk di atas sebuah kursi kayu dengan cat cokelat yang sudah mengelupas. Keringat bercucuran membasahi tubuhnya, sedang organ lain di tubuhnya terasa mati rasa, terutama lututnya yang kini terasa begitu kebas akibat perkelahian dengan seorang bos gangster di Philadelphia. Dia meletakkan kedua tangannya di sisi tubuh, mencoba menghirup oksigen dengan paru-paru yang terasa begitu sempit. Seorang pria dengan rambut beludru terbujur penuh darah di hadapannya, sedang dia sendiri tak ada minat untuk sekedar mengecek denyut nadi pria tersebut. Dia sendiri nyaris mati, jadi tak ada lagi tenaga tersisa untuk memikirkan orang lain.
Samar-samar dia mendengar suara deru mobil yang kian mendekat. Hal tersebut memicu sebuah senyum kecil di wajah pualamnya. Dia hanya perlu bertahan sebentar lagi saja, sebelum akhirnya dia bisa merebahkan diri di ranjang yang nyaman. Rasanya dia sudah amat sangat lelah.
“Sehunnie…. Ya Tuhan….” Terdengar suara pekikan dari arah belakang. Sehun tak menengok sama sekali. Yang dia rasakan adalah dua tangan kekar merengkuhnya sebelum dia sendiri jatuh tak sadarkan diri.
**
A Town House, Philadelphia, United States
“Kau sudah sadar?” Suara yang sama menyapa indra pendengaran Sehun. Suara yang sama yang dia dengar sebelum dia jatuh pingsan di sebuah gedung tak terpakai di barat daya Philadelphia.
“Berapa lama aku pingsan hyung” Dia menukas, terkejut dengan betapa rendah volume suaranya.
“Delapan belas, sembilan belas jam mungkin.”
“Yak! Ryu Jin hyung kenapa tidak membangunkanku. Aku harus mengurus si brengsek Diego itu. Kau tahu aku sudah hampir membunuhnya kalau saja aku tidak kehabisan tenaga kemarin.” Sehun mengomel nyaris menghambur ke arah Ryu Jin, jika saja pria tersebut tidak terlebih dahulu menahan dahi Sehun dengan jarinya serta memaksa partnernya itu untuk tetap berbaring.
“Kau sudah menyelesaikan 90 % pekerjaannmu kemarin. Tidak usah khawatir.”
“90% katamu? Aku harus menyelesaikannya 100 %. Harus!”
“Berhenti menjadi seorang perfeksionis Monsieur Oh. Kau ini manusia dan bukan robot.”
Sehun mendecak mendengar omelan Ryu Jin. Walaupun dia sudah melumpuhkan Diego si gangster yang merugikan Korea Selatan tetap saja dia merasa gagal total karena tidak menghabisi bajingan itu.
“Tolong jangan tunjukkan wajah menyebalkanmu itu Hun.” Ryu Jin melanjutkan pembicaraannya. Dia mengambil nampan berisi sandwich di meja dan memberikannya pada Sehun, mengancam pria itu makan dengan tatapan tajamnya.
“Arra..aku akan makan hyung. Berhenti menatapku seperti seorang kriminal.” Sehun mendengus, buru-buru menjejali mulutnya dengan sepotong besar sandwich yang sialnya terasa sangat enak di mulutnya. Dia merasa seperti sudah tidak makan selama dua atau tiga hari. Ryu Jin tersenyum melihat Sehun yang menuruti perkataannya. Dia lalu menarik sebuah kursi dan duduk di sebelah ranjang Sehun, dia memasang wajah serius dan ekspresi datar yang membuat Sehun seketika mual. Sesuatu yang buruk pasti akan atau mungkin sudah terjadi.
“Hun…” Ryu Jin memanggil dengan suara rendah, seketika itu pula Sehun ingin memuntahkan sandwich yang belum sempat dia telan. “Ada tugas baru.” Ujarnya kemudian dengan nada frustasi.
“Kenapa kau memasang wajah seperti itu hyung? Biasanya kau akan semangat sekali setiap kali mengabariku soal tugas baru.” Sehun berseloroh, mencoba menghilangkan rasa sesak yang mendadak melingkupi paru-parunya. Ryu Jin tak lekas menjawab, dia justru mendesah berkali-kali, tampak begitu bimbang dengan apa yang akan dia sampaikan.
“Kali ini berat, Hun.”
“Seberat apa? Aku bahkan sudah terbiasa berhadapan dengan mafia lintas benua, gembong narkoba, mata-mata penghianat negara, dan-“
“Kali ini tugasmu tidak akan mudah, Hun.” Lee Ryu Jin berujar dengan wajah seriusnya, dia segera menyergah perkataan Sehun.
“Tidak ada yang begitu sulit untukku, hyung. Goo Soo, si penyelundup heroin saja bisa aku musnahkan dalam sekali tembak.”
“Tidak..tidak..kau tidak bisa meremehkan misimu sekarang. Sasaranmu bukan pria brengsek, gembong narkoba atau mata-mata penghianat negara. Dia..” Ryu Jin menarik nafasnya dengan berat, memberi jeda di antara kalimatnya .” Seorang pewaris.”
“Itu mudah.”
“Dia seorang wanita, cantik dan terlihat sebagai wanita baik-baik. Dan membunuh wanita baik-baik sangat bertentangan dengan prinsipmu kan?” Sehun membeku di tempatnya, bersusah payah memahami perkataan Ryu Jin. Dia tidak mungkin kan membunuh seorang wanita baik-baik, kan?
“Ha-Ha-Ha cara bercandamu kuno sekali, hyung.” Sehun tertawa hambar, tahu betul bahwa apa yang Ryu Jin katakan bukanlah sebuah candaan. “Mana mungkin wanita baik-baik menjadi targetku. Sekalipun seorang wanita, harusnya dia seorang penkhianat negara, mata-mata atau orang jahat lain. Aku tidak akan membunuh orang baik-baik, hyung. Apa lagi seorang wanita. Oh… ayolah biar begini aku masih punya sisi kemanusiaan,”
“Aku tahu.” Ujar Ryu Jin lirih, merasa berdosa setiap kali dia berbicara mengenai sebuah misi membunuh wanita baik-baik. “Tapi ini adalah satu-satunya cara agar hubungan negara kita dengan Rusia tidak kian memanas. Rusia sedang sangat gencar membantu Korea Utara, dan jika wanita itu tidak segera kita lenyapkan hanya perlu menghitung mundur untuk melihat perang dunia ketiga antara negara kita dan Korea Utara.”
Sehun memijat pelipisnya dengan keras, luka-luka di tubuhnya kian memperparah keadaan yang tengah dan akan dia hadapi.
“Bisakah kau tidak bertele-tele, hyung? Siapa nama wanita itu? Dan sepenting apa sih dia sampai harus ikut andil dalam tetek-bengek soal perang dua negara? Dia bukan simpanan salah satu petinggi negara yang terlibat, kan?”
“Tidak. Bukan.” Ryu Jin menjawab cepat-cepat, nyaris tersedak napasnya sendiri.
“Lalu?”
“Dia adalah Jo Eun Hee, dan ayahnya Jo Jang Yeol sudah menjadi penghianat negara dengan memberikan bantuan dana besar-besaran pada Korea Utara melalui perwakilan perusaan pertambangannya di Rusia.”
Sehun menganga di tempatnya, lagi-lagi otaknya mendadak macet dan tidak bisa diajak untuk berpikir jernih. Nama yang baru saja diucapkan Ryu Jin sangat familiar. Maka diam-diam dalam hati dia berdoa agar wanita yang dimaksud Ryu Jin bukanlah wanita yang sama yang dicintai Jongin. Sebab jika iya, dia akan melakukan dua kejahatan tak termaafkan : membunuh wanita baik-baik dan menghancurkan hati sahabatnya.
“Kenapa kita tidak membunuh ayahnya saja? Semua selesai. Kita tidak perlu melibatkan putrinya.” Sehun mencoba berargumen setelah kemampuan otaknya kembali. Dia mencoba mencari titik temu, sebuah titik pencerahan agar dia tidak berakhir menjadi manusia super keji.
“Jo Jang Yeol akan segera pensiun dan mewariskan seluruh asetnya pada Jo Eun Hee. Jadi, aku hanya tidak mau kau membunuh dua orang sekaligus. Cukup salah satu saja, pewarisnya, dan kau akan sedikit bisa merasa tidak terlalu berdosa.”
“Sejak kapan membunuh wanita baik-baik bisa membuatku tidak terlalu merasa berdosa, hyung?” Sehun menggeram dengan gigi terkatup rapat. Dia tidak habis pikir, andai saja Ryu Jin tahu bahwa membunuh Jo Eun Hee justru akan melukai hati sahabat terbaiknya, Kim Jongin.
“Mau bagaimana lagi?” Ryu Jin berdiri seraya mengangkat bahu, wajah frustasinya berganti dengan wajah datar tanpa emosi. “Kita hidup di dunia yang begitu keras, membunuh atau terbunuh. Sebaiknya kau pergi ke gereja, mungkin suasana hatimu akan lebih baik.”
“Gereja?” Sehun menjawab dengan bibir mencebik. “Aku sudah lama tidak percaya pada Tuhan, hyung.” Pria itu kemudian terdiam lagi, mengabaikan Ryu Jin yang sudah meninggalkan ruangan. Lalu kepada siapa doa yang tadi dia tujukan?
**
Wu’ Mansion, Beverly Hills, C.A
Kris Wu duduk dengan gusar di meja kerjanya, dia terus menerus menatap pintu berpelitur cokelat mengkilap di hadapannya. Dia nampak tengah menghitung mundur, mengerutkan dahi dan nampak gusar dengan apa yang saat ini tengah dinantinya. Jemarinya dengan teratur mengetuk meja kaca di bawahnya, bibirnya menggumamkan angka ketukan yang sudah dia lakukan. Lalu pada hitungan ke seribu dua puluh, pintu cokelat tersebut menjeblak terbuka. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum mendapati sosok seorang wanita dengan tubuh tinggi menjulang dan rambut cokelat sebahu yang menghampirinya dengan wajah dingin.
“Singkirkan senyum tololmu, Kris.” Wanita tersebut menghardik, nampak sama sekali tidak terpesona dengan senyum separuh pria di hadapannya.
“Welcome Lee Na Ra. How’s your flight?” Kris mencoba berbasa-basi, menyembunyikan keterkejutannya karena tak mendapatkan sambutan hangat dari Lee Na Ra.
“Aku tidak ada waktu berbasa-basi, cepat tanda tangani kontrak perusahaan kita.” Ujar Na Ra, seraya meletakkan sebuah map berwarna hijau di meja Kris. Dia lalu duduk di hadapan pria tersebut, seraya berusaha menebak-nebak apa isi pikiran pria itu. “Sebenarnya apa sih maumu? Kenapa harus aku yang datang untuk sebuah kontrak ini, huh? Kau bahkan bisa mengirimkannya lewat e-mail, faximile juga mungkin. Aku yakin kau bukan seseorang yang gagap teknologi.” Dia menambahkan, merasa setengah mati kesal karena harus terbang dari Paris ke California demi menyelesaikan kontrak perusahaannya dengan perusahaan Kris. Sesuatu yang menurutnya sangat tidak efisien, mengingat semua bisa diatasi dengan kecanggihan teknologi.
“Karena aku merindukanmu, dan aku hanya ingin melihat wajahmu. Apa itu salah?” Kris menjawab kalem. Na Ra yang sudah siap memaki, mengatupkan kembali bibirnya, sama sekali tidak menyangka dengan ucapan blak-blakan pria di hadapannya.
“Konyol sekali.” Ujarnya kemudian, sebagai jawaban yang sama sekali tidak relevan dengan pertanyaan Kris.
“Masalah perasaan Lee Na Ra, sangat rumit sejujurnya.”
Na Ra menghempaskan punggungnya di kursi, sementara Kris berjalan ke sudut ruangan mengambil dua botol minuman dari lemari pendinginnya.
“Ini minumlah. Udara sedang sangat panas, kau bisa dehidrasi.” Dia meletakkan sebuah botol di hadapan Na Ra, yang segera diminum gadis itu hingga tersisa setengahnya saja.
“Maaf untuk membuatmu datang kemari di musim panas yang kau benci. Jika saja aku bisa mewakilkan peresmian gedung apartemen milikku di sini tentu aku akan dengan senang hati datang ke Paris.”
“Dasar tukang pamer!” Na Ra setengah mencibir.
“Tentu saja tidak, Na Ra-ya. Aku rasa aku harus cukup bangga dengan hasil kerja kerasku. Paling tidak aku bisa menjamin masa depanmu tidak akan kekurangan apapun nantinya.”
“Pardon?” Na Ra mencoba meyakinkan indra pendengarannya, terutama soal masa depan yang baru saja Kris katakan.
“Masa depan Lee Na Ra, di mana aku bisa menyebutku dan kau dengan kita. Sangat indah, bukan?”
“Kau memang tidak waras.”
Kris mengangkat bahu, dia lalu berjalan menghampiri Na Ra menarik lengan wanita itu untuk mengikutinya. Kali ini wanita tersebut tidak menolak, dia menuruti saja arah tarikan tangan Kris. Mereka berjalan menyusuri tangga memutar di mansion mewah tersebut, sebelum mereka pada akhirnya sampai di lantai paling atas. Na Ra mendelik sebal pada Kris, sebab pria tersebut membuatnya harus susah payah menaiki ratusan anak tangga, padahal di mansion itu tersedia lift yang lebih praktis dan efisien.
“Kau mengerjaiku, ya?” Desisnya kesal. Kris terkekeh pelan, mengusap peluh di dahi Na Ra.
“Tidak sepenuhnya. Hanya saja aku sangat suka berlama-lama bersamamu, apa lagi dengan tangan saling bertaut seperti ini. Rasanya aku sudah menjadi orang paling bahagia di dunia.” Mendengar pernyataan Kris, Na Ra segera mengibaskan tangannya yang ada di genggaman Kris. Dia nyaris lupa bahwa sedari tadi mereka saling menggenggam tangan yang lain. “Ayo ku tunjukkan sesuatu kepadamu.” Mengabaikan delikan kedua mata Na Ra, Kris berjalan menuju ke jendela kaca besar di ruangan tersebut, menyibak tirai beludru berwarna abu-abu. Seketika itu juga cahaya jingga menyergap ruangan dengan dominasi warna putih itu, membias di wajah Kris dan benda-benda di sana.
“Kau suka senja, kan? Cahaya oranye, secangkir macchiato, ketenangan…kau bisa mendapatkan semuanya di sini. Bonus pemandangan sungai Palazzo di Amore tentu menjadi bonus tersendiri buatmu.” Kris berbicara lembut, sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari bias cahaya senja yang menyorot tepat ke wajahnya. Na Ra berjalan mendekat, melihat apa yang Kris katakan. Dia tersenyum simpul, terlalu gengsi untuk melontarkan pujian pada pria di sampingnya. Kris Wu tahu betul hal-hal yang menjadi favoritnya, padahal mereka jarang sekali menghabiskan waktu bersama.
“Kau terlalu banyak tahu soal aku, Kris.”
“Terima kasih pujiannya.” Dia menukas kalem. “Tapi maaf tidak ada macchiato untuk saat ini, mengingat minuman itu tidak baik untuk kau yang baru saja melakukan perjalanan jauh.”
Na Ra hanya menggumam sebagai jawaban, terlalu terkesima dengan pemandangan yang kini terpampang nyata di hadapannya. Pemandangan yang menjadi favoritnya, senja dengan bias cahaya oranye juga jernihnya air sungai, serta gedung-gedung di Beverly Hills yang berdiri menjulang dengan angkuh. Andai saja dia membawa kamera SLR andalannya, dia yakin dia bisa merengek pada Kris untuk mengijinkannya tinggal di lantai paling atas mansion milik pria tersebut. Sesuatu yang akan melukai harga dirinya tentu saja. Maka bersyukurlah kamera SLR tersebut tersimpan rapi di Chevrolet Corvette Stingray miliknya.
“Terkadang aku bertanya-tanya bagaimana bisa kau tahu begitu banyak hal tentangku, padahal kita tidak pernah menghabiskan banyak waktu bersama. Kau tidak menjadi penguntitku, kan?” Na Ra menyuarakan pertanyaan yang sedari tadi berputar-putar di otaknya. Kris terkekeh mendengar pertanyaan Na Ra seraya diam-diam mengamati wajah cantik gadis tersebut lekat-lekat, nyaris tanpa berkedip.
“Jika seorang pria sudah jatuh cinta, kau akan sangat terkejut tentang betapa pedulinya dia pada wanita yang berarti dunia baginya.”
“Kau sangat picisan tahu!”
Mereka terdiam lama hingga matahari benar-benar tergelincir dan kembali ke peraduannya. Kris masih tak mengalihkan tatapannya pada Na Ra, bahkan saat wanita itu sudah menatap balik padanya. Tatapan itu masih sama, jenis tatapan yang membuat seluruh tulang wanita meluruh dengan begitu mudahnya. Sayangnya, selalu ada pengecualian. Pengecualian yang terkadang membuat sakit hati dan melukai harga diri.
Kris menatap Na Ra, lekat..masih dengan tatapan memuja yang sama. Dia bertanya dengan nada datar nyaris tanpa emosi
“So, what’s the point of me loving you? You loving him? And how about him? Don’t you know how does it feel? So, please just gimme a little chance to make you happy. To bring those kind of happiness that you may dream of. After that..after I do my best you can consider again. Am I the right man to be loved by you? If I’m not, I will give up. As simple as that” Ujarnya panjang lebar. Kali ini dia mendenguskan napasnya kasar, merasa nyaris kehabisan tenaga dengan serentetan kalimat panjang yang benar-benar bukan gayanya.
Na Ra tertegun dan segera mengalihkan pandangan dari tatapan yang sebenarnya mengusik relung hatinya. Dia menimbang-nimbang, mencoba mencari jawaban yang tepat untuk dikatakan tanpa melukai hati Kris, hal yang nyaris mustahil tentu saja. Sebab sampai detik ini, dia belum bisa membalas perasaan pria tersebut padanya, tidak peduli pada kenyataan betapa baik dan memahami pria itu terhadap dirinya. Kris menyeret topik cinta segitiga yang melibatkan dirinya dan Kyuhyun. Kalau saja dia bertemu Kris lebih dahulu dibandingkan dengan Kyuhyun, mungkin dia bisa mencintai Kris. Kalau saja Kyuhyun mempunyai sedikit ketegasan untuk meresmikan cinta mereka. Kalau saja Kris tidak mencintainya. Kalau saja…dan kalau saja. Semua kemungkinan itu hanyalah angan-angan, karena pada faktanya mereka bertiga terjebak pada lingkaran setan tanpa ujung. Mereka bertiga menderita, tanpa tahu penyelesaian yang tepat.
“You’re a good man, Fan Fan.” Na Ra memanggil Kris dengan nama panggilan khusus yang menjadi favorit pria tersebut.
“But sometime being good isn’t enough, is it? Because no matter how good I am, there’s a man deep in your heart that always have such a best place. He lives in your heart, how could I expect to beat him? I am nothing compared to him. I am nothing.” Suara Kris makin merendah, tahu bahwa masih saja dia belum bisa meluluhkan hati Lee Na Ra. Ada Kyuhyun yang setengah mati Na Ra cintai. Dia seharusnya tidak menjadi sosok idiot nan masokis yang menyakiti diri sendiri demi seorang wanita. Tapi dia bisa apa? Hatinya seolah hanya tercipta untuk Lee Na Ra seorang.
“I’m so sorry.” Desah Na Ra putus asa. Dia sendiri tak menyukai kenyataan bahwa dia juga sudah terlalu banyak menyakiti hati pria sebaik Kris.
“Not every sorry deserves an it’s okay thing Miss Lee. I’m not okay, definitely not.” Kris lalu meninggalkan ruangan tersebut, sambil berusaha menerima kesakitan lagi seraya berusaha kembali kuat untuk mencintai Lee Na Ra. Lagi.
**
A lake, Seoul
Mereka menikmati sebuah senja di tepi danau, dengan cahaya matahari yang menyorot tubuh Jongin. Hal itu membuatnya untuk beberapa saat nampak begitu menyilaukan. Eun Hee tergagap napasnya sendiri mendapati pesona tak manusiawi Jongin. Pria itu bahkan sudah menggodanya habis-habisan tanpa perlu bersusah payah. Dan kehadiran pria itu sendiri, sama sekali tidak membantu. Hanya menambah deretan buruk kelakuan memalukannya di depan pria tersebut.
Jongin membalikkan tubuh, membuat Eun Hee nyaris terjungkal ke belakang karena malu sekaligus terkejut bahwa dia sudah tertangkap basah mengagumi pria itu. Dia bersyukur bahwa dia tidak meneteskan liur mengingat pria di depannya benar-benar menggiurkan. Sialannya, Jongin justru tersenyum miring, memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. Kali ini dia mengubah posisi membuat Eun Hee bisa dengan jelas melihat punggung lebarnya. Dia tahu betul kelemahan gadis itu. Mengerti benar bahwa Jo Eun Hee begitu menyukai punggungnya. Tergila-gila, mungkin?
Apa lagi sekarang Jongin mengenakan kemeja putih pas badan. Jo Eun Hee bisa pingsan kapan saja.
“Nampaknya aku perlu mengabadikan momen ini, ya?” Jongin berseloroh, yang ditanggapi Eun Hee dengan kedua alis bertaut. “Kapan lagi aku bisa melihat Jo Eun Hee yang katanya femme fatale, penggoda nomor satu nyaris meneteskan liur hanya karena melihat punggung seorang pria. Nampaknya kau sudah setengah mati jatuh cinta kepadaku, ya?”
“Mati saja kau Kim Jongin.”Eun Hee membalas dengan bibir mencebik, mengucapkan apa saja yang bisa dia katakan saat itu.
“Kau tidak akan hidup sejahtera hanya karena meninggikan gengsimu Jo Eun Hee. Kau harus mengandalkan kepintaranmu juga, tahu?”
“Berhenti menjadi penceramah Jong. Aku sudah nyaris tuli karena mendengar ayahku berbicara ini dan itu setiap hari,”
“Ayahmu terlalu baik hati hanya dengan menceramahimu setiap hari. Jika aku jadi ayahmu, aku akan memasukanmu ke sekolah berasrama, mendidikmu ala militer agar kau tidak menjadi putri manja seperti sekarang. Atau membuangmu juga ide yang bagus mengingat rasanya kebodohanmu sudah sangat tidak tertolong.”
“Bisa tidak sehari saja tidak mengataiku?” Eun Hee menghentak-hentakkan kakinya dengan kesal, memasang wajah kekanakan yang membuat Jongin diam-diam tersenyum. Gadis itu lalu duduk dengan tangan terlipat di depan dada di sebuah kursi kayu panjang di sana, memajukan bibir sebagai tanda bahwa dia sangat kesal. Jongin hanya menggelengkan kepala, lagi-lagi tersenyum untuk hal yang tidak ada penting-pentingnya.
“Aku serius Eun Hee-ya. Dunia ini terlalu keras jika kau hanya mengandalkan kecantikan dan kekayaan orang tuamu.”
“Holy Jesus! Akhirnya kau mengakui bahwa aku cantik, eh?” kedua bola mata Eun Hee berbinar terang, dia bahkan lupa jika beberapa detik yang lalu dia begitu kesal karena perkataan Jongin.
“Jangan menyelaku.” Jongin mendesis dingin . Bak terkena kutukan imperius Eun Hee segera mengatupkan bibir, duduk tegak bak anak sekolah dasar yang ketahuan tidak mengerjakan PR.
“Aku mengatakan hal-hal yang kau anggap hanya ceramah tak penting karena aku peduli. Dan kau perlu tahu bahwa tidak mudah bagiku untuk peduli pada orang lain. Jadi tolong, jangan menyelaku. Ini semua aku lakukan demi kebaikanmu.” Jongin merendahkan suaranya, melembut dan Eun Hee hanya bisa mengangakan mulut nyaris tidak bisa percaya dengan indra pendengarannya, mengingat Jongin berkata begitu lembut padanya.
“Kau tahu? Di luar sana ada banyak orang yang iri pada kecantikanmu, kekayaanmu juga kehidupanmu. Apa kau lupa jika kau seorang pewaris, kau bisa saja dengan posisimu yang seperti sekarang ini menjadi sasaran pembunuhan oleh saingan-saingan bisnis ayahmu.”
“Aku bukan anak kecil yang bisa kau takuti, tahu?” Ada nada merinding yang kentara dengan jelas saat Eun Hee berbicara. Sejujurnya, dia tahu benar bahwa Jongin tidak sedang menakutinya.
“Kau hanya perlu belajar dengan tekun, selesaikan kuliahmu dan jadilah seorang anak yang bisa ayahmu banggakan. Untuk urusan keselamatanmu, biar aku yang bertanggung jawab.” Jongin berbicara dengan nada lembut, seolah penuh cinta jika Eun Hee boleh berbesar kepala. Dan ada satu hal yang membuatnya nyaris berteriak saking bahagianya, bahwa Jongin menjamin keselamatannya dengan hidup pria itu sendiri. Bukankah sudah jelas bahwa dia tidak sedang jatuh cinta seorang diri?