also posted at writerssecrets
Pagi ini Rista bertemu tukang pos di depan pagar indekosnya. Rasanya mirip kebetulan karena Rista baru mau buang sampah, mumpung truk sampahnya belum datang. Sekonyong-konyong tanpa tanya sana-sini si tukang pos mengangsurkan sepucuk surat. Untuk Rista, katanya. Tertulis dari orang gila yang minta didoakan Mama Lauren sampai-sampai bisa masuk teknik mesin, katanya.
Rista menyembunyikan senyumannya sampai si tukang pos menghilang bersama motor jingga─yang sepertinya baru dicat kemarin sore di sebuah bengkel daerah Cibaduyut. Keinginannya untuk membuka amplop terasa meledak-ledak sampai Rista lupa kalau ia belum cuci tangan. Detik selanjutnya Rista tertawa.
Hai Rista. Pastikan surat ini kamu pegang setelah cuci tangan ya, soalnya bakalan nyampe pas jam-jam kamu lagi buang sampah.
Joni.
Joni, Geodi Januar lengkapnya. Yang membuat orang-orang bingung, tidak ada satu silabel pun yang kalau dipisah-pisah bisa membentuk nama Joni. Rista tahu orang ini, Rista kepalang kenal. Begitu mendengar namanya saja figur laki-laki itu langsung terpampang dengan konkret di hadapan Rista. Anak FTMD ITB angkatan 2013 yang paling tidak memenuhi kualifikasi sebagai anak teknik mesin, begitu kesan pertama Rista terhadap Joni.
“Eh kamu, jangan bengong. Nanti kalo kesurupan arwah nenek aku gimana? Dia biasanya milih cewek, biar ga ribet ganti suara kali ya.”
Itu tiga kalimat pertama yang Joni katakan padanya di sebuah warung nasi seberang Masjid Salman. Tidak ada kata ‘hai’, tidak ada pertanyaan ‘lagi ngapain?’. Kala itu Rista sedang dirundung kesal karena gagal bertemu teman semasa sekolahnya, dan Joni tiba-tiba datang bagaikan makhluk asing dari planet Jupiter yang menyamar jadi mahasiswa di siang bolong.
“Bukan anak sini ya pasti?”
Rista awalnya pura-pura cuek tapi tatapan Joni lama-lama bikin kesal. “Bukan.”
“Jadi mau ngapain ke sini? Ketemu temen? Ngga jadi ya ketemuannya? Kayaknya kamu udahngajogrog[1] di sini dari jaman Hitler belajar calistung.”
Rista saat itu berniat marah, minimal menyemburkan lava panas ke wajah Joni tapi tiba-tiba ia urungkan. Ia malah tertawa, kecil saja tapi sanggup membuat laki-laki yang duduk di hadapannyanyengir puas. “Ada-ada aja,” ujar Rista.
“Mau? Nih aku baru beli.” Joni menyodorkan sepiring tahu gejrot ke hadapan Rista.
“Ngga ah.”
“Ngga aku racunin ih suer. Nih mau liat aku makan? Tapi cengek[2]-nya ada lima biji ini yang jualannya keterlaluan. Tapi enak, termaafkan deh.”
Untuk yang itu, Rista diam saja.
“Mau makan apa atuh? Udah pernah nyobain ayam keju? Denger-denger minggu lalu setelah makan itu kakak tingkat aku langsung nanem saham di warungnya.”
“Ngarang.”
“Hehehehehe.”
Seingat Rista ia langsung berdiri, berniat untuk kembali ke indekos dan menggauli tugasnya sampai pusing. Tapi Joni protes, seolah-olah ia merupakan teman lama yang baru datang sambil jalan kaki dari Baduy dan pulang saat itu merupakan kesalahan paling besar yang pernah dipikirkan Rista.
“Kamu itu aneh.” Rista berusaha berkata jujur. “Perasaan baru ketemu lima menit yang lalu tapi kok udah sok kenal?”
“Lah kita ‘kan emang kenal?”
“Aku aja gak tau nama kamu, kok udah─”
“Nanya dari tadi dong.” Joni nyengir puas untuk yang kedua kalinya. “Joni. Jangan sampe lupa ya.”
Perangainya Joni? Tinggi, berkulit agak cokelat, dan rambutnya acak-acakan. Bibirnya seperti disengat lebah pilihan sehingga bentuknya bagus. Kedua matanya sayu seolah-olah ia bisa tidur kapan saja. Waktu pertama kali bertemu Rista, ia memakai kaos oblong warna hitam, kemeja pola garis-garis yang seperti tidak dicuci sekitar sepuluh hari, dan celana jins warna biru tua. Tapi ia wangi, seperti aroma kayu, jahe, dan sedikit buah persik.
Hal yang sulit Rista lupakan dari Joni adalah pertemuan mereka untuk yang ketiga kalinya. Kala itu mereka bertemu lagi di warung nasi seberang Masjid Salman dan Joni berhasil mendapatkan alamatnya, entah bagaimana cara menyampaikannya Rista lupa. Mungkin Rista keburu dipukul stik bisbol sampai amnesia.
“Untuk apa?”
“Ngirimin kamu surat.”
“Kan kita udah tukeran kontak?”
“Aku gak terlalu suka pake ponsel.” Joni selesai mengaduk-ngaduk ranselnya, mencari bolpoin dan secarik kertas di tumpukan tugas-tugasnya yang seolah tengah tawuran antar RW. “Kecuali telepon rumah.”
“Itu mah beda lagi.”
“Iya iya, tau. Kamu ‘kan pinter.”
“Nggak ada hubungannya. Ponselnya dipake untuk nelepon aja deh, ‘kan fungsinya sama kayak telepon rumah.”
“Jalan?”
Rista mendengus. Ia mendiktekan alamat indekosnya dan Joni mencatat dengan khidmat. Setelah itu dengan seenaknya Joni beringsut dan mengambil kunci vespanya yang teronggok di atas meja.
“Udah mau pergi?”
“Aku ada kelas hehehehe. Dosennya temen Ayah aku, jadi aku gak berani titip absen.”
Waktu itu Rista menurut, lagi pula mereka sudah bertatap muka dari adzan dzuhur sampai pukul dua. Awalnya Joni─yang di kali pertama bertemu sukses mendapatkan kontak Rista─bilang kalau ada sesuatu yang mau ia tanyakan. Lagi-lagi Rista lupa mengapa ia harus mengiyakan ajakan Joni untuk duduk di hadapannya, ditemani dua gelas es jeruk yang terlampau manis dan lantunan suara cempreng pengamen yang memaksa pendengarnya supaya memberi recehan.
“Kamu mau pulang?”
“Iya, nggak tau mau ngapain lagi.”
“Ada yang nganter?”
“Nggak, aku naik angkot.”
Joni terdiam sambil memegangi helmnya, terlihat seperti ingin bicara sesuatu tapi lupa kode pengaman untuk menggunakan mulutnya. “Eh Rista.”
Rista menoleh. “Apa?”
“Jadi, aku dapet izin nggak?”
“Izin apa?”
“Maksudnya, aku dapet izin nggak buat bikin kamu suka sama aku?”
Kala itu Rista tidak sanggup berpikir. Rasanya seperti ketahuan maling ayam milik tetangga. Dan tetangganya adalah Joni, si anak teknik mesin yang perangainya tidak memenuhi kualifikasi untuk jadi anak teknik mesin. Apalagi jadi kandidat kekasih Rista
Oh, Joni … Joni. Kamu pikir Rista harus bilang apa?
fin.
A/N
[1] HAHAHAHA. Semacam nunggu gabut ga jelas gitu
[2] Cabai rawit
Okey, jadi ada beberapa hal yang mau aku klarifikasi di sini:
- Terinspirasi dari Dilan-Milea dua karakter fiksi karya Pidi Baiq (of kors).
- Kim Jongin -> Joni
- Krystal -> Kristal -> Rista
- Awalnya ini project ficnya kaistal tapi lagi pengen bikin orific.
- Dibebaskan menganggap wajah Joni kayak Jongin dan Rista kayak Soojung BAHAHAHAH.