Dear, My Damn Luck.
From prompt #4 Bones.
***
Kris ingin saja menghancurkan Jongin, kalau bisa sampai ke tulang-tulangnya.
.
Pagi itu, mood Jong In benar-benar hancur.
Biasanya, kalau sedang begini, tidak ada yang berani melakukan apapun terhadapnya. Dia akan ngomel-ngomel dan berteriak-teriak sana-sini.
Jadi ringkasnya, itu semua dimulai ketika pagi hari ketika Jong In bangun, mama dan papanya sudah pergi. Katanya bekerja. Padahal hari itu Jong In ingat sekali, bahkan ia melingkari kalendernya kalau mereka sudah ada janji bakal pergi akuarium raksasa bersama-sama. Itu membuatnya bersungut-sungut, sambil nangis. Dikit. Jong In, kan, jagoan.
Jadi, Kris juga ikut-ikutan bete harus menjadi baby sitter untuk bocah yang sama-sama betenya.
“Besok akuarium itu masih ada. Ayolah. Hari ini mereka harus rapat mendadak. Harga saham perusahan menurun drastis. Nanti mama papamu bangkrut, kamu sendiri yang kena getahnya.” Kata Kris. Wajahnya tidak menunjukkan aura bersahabat, dan bukan merupakan wajah yang paling tepat untuk jadi pengurus anak dibawah lima tahun.
Jong In adalah kesialan terparahnya.
Muka Jong In makin kucel. Kris ingin tertawa, banyak yang bilang kalau bocah itu menawan dan bakal jadi tampan kalau sudah besar, andai orang-orang itu melihat tampang Jong In kali ini. “Kau sudah bilang itu jutaan kali. Dan aku tidak peduli! Aku kan maunya hari ini. Aku sudah nunggu lama, tau.”
Kris memijat pelipisnya. Dia tahu disini dia yang sinting. Ia jelaskan sedetil apapunlah kondisi perusaan kedua orang tuanya, Jong In tak akan bisa mengerti.
Tau-tau Jong In menangis dan melemparinya bantal. Mengancam Kris agar dia segera menelpon orang tua Jong In untuk pulang. Tapi Kris menolak. Ia tidak mungkin melakukan itu.
Kris memutuskan tidak mengurus Jong In dan mengambil buku matematikanya. Tadi pagi ia dikirim mamanya kemari, untuk menjaga Jong In katanya. Jong In tidak pernah suka ditemani baby sitter betulan. Apalagi dengan mood-nya yang betul-betul parah pagi itu. Kris yang jadi korban. Ia jadi baby sitter mendadak. Jadi-jadian. Padahal besok ia ujian. Setelah menaruh Kris di depan pintu neraka, orang tuanya kabur bersama orang tua Jong In untuk rapat direksi dadakan yang sibuk mereka bicarakan sejak di mobil. Banyak yang bilang hidup itu tidak adil, dan rasanya Kris setuju berat atas pernyataan yang satu itu.
Lama-lama Jong In diam juga. Kris membiarkannya bermain di ruang tengah dengan muka ketekuk. Asalkan Jong In tidak membakar rumah, ia akan membiarkannya.
“Siapa itu?”
“Apaan?” kata Kris. Kemudian ia menyadari Jong In menunjuk wallpaper ponselnya.
“Pacar, ya?” kata Jong In, dilihat dari ekspresi wajahnya, anak itu mulai berpikiran macam-macam. Jong In sudah tidak terlihat bete lagi, tapi Kris justru sebaliknya. Ia menatap Jong In kesal. Mana kecil-kecil sudah tahu cara mengejek lawan dengan senyum ganjil, “Oh. Nanti aku bilang ke paman Wu kalau kau pacaran. Aku ingat kau diomel-omel paman dulu gara-gara itu. Kau harusnya belajar dengan rajin, Hyung.” Kata Jongin dengan muka sok bijak, diakhiri dengan decakan tiga kali.
Ya Tuhan, Kris ingin melempar Jong In ke laut.
“Dan kau masih TK. Tau apa kau. Awas kau kalau masalah ini sampai bocor ke….”
Jong In merebut ponselnya dan membawanya lari.
“Hei, Kim Jong In, awas kau! Kembali!”
Jong In kabur keluar rumah. Bersamaan dengan berhentinya sebuah mercedes di depan mereka. Jong In lompat-lompat kegirangan sembari mengejar pamannya dan melaporkan tindakan kakaknya seolah melaporkan kriminalitas jahat.
Kepala Kris mendadak sakit.
Tamat sudah riwayatnya.
Kris bersumpah, ia akan berurusan dengan Jong In nanti. Bocah nakal yang satu itu.
***
Wah, apa-apaan gue bikin beginian? -_- betewe dulu juga pernah, nih judulnya Hero. Anggep aja bocah Jong In yang di sana sama dengan yang di sini. Wkwkwk. Dan iya, ini agak nggak nyambung sama ‘bones’. Dikit e kok. Wkwkk.