Chapter 22 : Release
Original Story by Lee-jungjung |
Cast : Jung Soojung, Kim Jongin, Oh Sehun |
Support Cast : Choi Minho, Choi Jinri, Park Chanyeol |
Length : Chaptered | Genre : Romance, Hurt, Angst | Rating: G
.
.
.
.
.
Minho menghabiskan air di gelasnya dalam sekali tegak. Dadanya naik-turun, napasnya tersengal. Ada sesuatu yang sesak hingga membuat dirinya kesulitan untuk mengganti karbon dioksida dengan oksigen di ruang alveolusnya. Pemuda itu tersenyum miris menyadari apa yang menimpanya sekarang ini.
Jatuh hati pada sesorang yang tidak mungkin dapat diraihnya.
Kenyataan yang cukup mengenaskan baginya. Meski mungkin ini bukan pengalaman cinta pertamanya, tetapi rasanya sangat menyakitkan. Bahkan dirinya sudah dipaksa menyerah sebelum berjuang. Ini semua karena takdirnya dan takdir si gadis jauh berbeda. Ada dinding penghalang di antara keduanya yang tak mampu Minho loncati bahkan hancurkan. Perbedaan status. Huh, masih ada saja penghalang cinta yang seperti itu di era modern seperti ini?
“Hei, Choi Minho.”
Minho berbalik cepat. Jantungnya bergemuruh liar ketika mengetahui siapa yang barusan memanggil namanya. Si gadis merepotkan yang menjadi alasan utama kegelisahannya akhir-akhir ini.
“Belum tidur?”
Minho hanya mengangguk. Pemuda itu sama sekali tidak berniat bersuara guna menjawab pertanyaan si gadis. Bukan karena tidak mau menjawab. Hanya saja suaranya tertahan di tenggorokan, tak mau keluar meski untuk gumaman pelan.
Gadis di hadapannya sendiri masih menatap Minho dengan aneh. Biasanya Minho akan menjawab pertanyaannya dengan begitu ketus. Atau mungkin akan meninggalkannya dengan menyisakan kedongkolan karena sikap ketidaksopanan Minho. Tapi, itu tidak terjadi. Minho malah tetap diam di tempat sambil menggenggam gelasnya erat.
Huh, itu bukan urusannya. Si gadis mememilih bersikap acuh dengan berjalan melewati Minho. Mengambil segelas air dan meneguknya perlahan.
“Dia itu siapa?”
Si gadis terdiam sebentar. Menatap Minho sambil mengernyitkan dahinya bingung. Siapa yang dimaksud Minho.
“Kim Jongin. Sebenarnya dia siapamu?”
Oh, Jongin? Si gadis mengerjap sebentar lantas menundukkan kepalanya. Dirinya bingung harus menjawab pertanyaan Minho seperti apa. Mudah sebenarnya, cukup bilang teman. Tapi, entah kenapa ada bagian dirinya yang menahan untuk mengucapkan kata itu. Kata teman tidak terlalu tepat untuk menggambarkan sosok Jongin yang kini terkesan spesial di kehidupannya.
“Dia kelihatannya menyukaimu. Dia bahkan memanggilku kakak ipar,” ujar Minho karena tak kunjung mendapat jawaban dari si gadis.
“Bukankah itu bukan urusanmu?”
Minho tercengang mendengar penuturan si gadis yang begitu tajam kepadanya. Perlahan kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Gadis yang kini mengisi ruang hatinya kembali bersikap seperti sebelumnya. Minho mendesah lega. Jika terus seperti ini, dia pasti akan lebih mudah menghapus perasaannya sebelum berkembang lebih jauh.
“Kau benar. Itu bukan urusanku,” balas Minho dengan senyum yang masih tercetak di wajah tampannya. “Aku hanya ingin sekedar mengingatkan seperti sebelumnya.”
Dengan berani Minho melangkah mendekat. “Ingat statusmu, nona muda. Kau sudah memiliki tunangan. Ku harap kau bisa membatasi diri berhubungan dengan lelaki lain,” ujar Minho dengan nada menyindir.
Minho dapat dengan jelas melihat raut tegang ditunjukkan oleh gadis yang berdiri di hadapannya itu. Tangan si gadis mengepal sempurna. Sepertinya apa yang Minho ucapkan merupakan suatu hal yang begitu sensitif baginya.
“Minho-ya.”
Minho yang tadinya berniat melangkah pergi, mengurungkan niatnya. Kembali berbalik dan menatap si gadis yang kini tengah terlihat gelisah.
“Aku sudah mencoba bertahan, Minho. Tapi, aku bukan robot. Aku juga masih punya hati. Tidak bisakah aku menemukan kebahagianku sendiri selain yang ditawarkan tunanganku?”
Hati Minho terasa teremas mendengar ucapan si gadis. Kalimatnya barusan menunjukkan bahwa dia sudah lelah terus dilukai.
“Ahh, bahkan tidak ada kebahagiaan yang ditawarkan Sehun padaku,” si gadis terkekeh miris. Menertawakan kebodohannya selama ini. Terpaku pada satu orang yang belum tentu mencintainya.
“Apakah salah ketika merasakan cinta dari orang lain? Aku juga membutuhkannya, Minho. Sangat membutuhkannya.”
“Nona….”
“Ahh, sudahlah,” sela gadis itu segera. “Kurasa aku terlalu berlebihan menanggapi perkataanmu. Kau benar, seharusnya aku lebih tahu diri.”
Tidak. Minho berteriak dalam hati. Bukan itu maksudnya. Dia sama sekali tidak berniat membuat si gadis kembali bersedih.
“Terima kasih,” ujar gadis itu tulus. Senyumnya mengembang meski terlihat memilukan. “Kau tahu, kurasa lain kali aku butuh dirimu untuk sedikit berbagi. Tadi itu cukup membuatku merasa lebih baik,” ujar gadis itu sambil menerawang. Sekelebat bayangan Jongin dan Sehun muncul bergantian di benaknya. Dengan posisi yang berbeda.
Minho menatap punggung si gadis yang menjauh dari hadapannya dengan nanar. Ada secuil penyesalan dari dalam diri Minho. Seharusnya dia tidak bersikap seperti tadi. Si gadis begitu rapuh meski terlihat tegar. Seharusnya Minho menyadarinya sejak awal.
“Maafkan aku, Jung Soojung,” guman Minho pelan. “Jika terus begini, aku tak yakin bisa mengahapus dirimu dari dalam sini,” ujar pemuda itu sambil menekan dadanya. Entah kenapa rasanya semakin nyeri sekarang ini.
O0O
Soojung menatap buku yang dibacanya tanpa selera. Pikirannya sama sekali tidak fokus ke bacaannya. Pikirannya melayang-layang jauh entah ke mana. Bisa dibilang bahwa jiwa dan raga Soojung tidak berada di tempat yang sama. Semua berkat ingatannya mengenai ucapan Minho malam tadi.
Soojung menghela napasnya pelan. Dia kembali harus mengingat soal statusnya sekarang ini. Meski Soojung sudah berniat melepaskan Sehun –tungannya, tetapi perjodohan tak begitu saja berakhir. Karena baik Soojung maupun Sehun belum memutuskannya secara resmi. Dengan demikian, seperti kata Minho, tak seharusnya Soojung melakukan hal yang kelewat batas. Dia harus menyadari statusnya meski menginginkan cinta yang lain. Cinta yang tidak pernah diberikan oleh sang tunangan kepadanya.
“Soojung?”
Soojung mendongak segera. di depannya sudah ada Jongin yang menatapnya cemas. “Kau kenapa? Sakit?”
Soojung mengulas senyum tipisnya seraya menggeleng, “Tidak. Hanya sedang banyak pikiran,” jawab gadis itu, menyembunyikan fakta yang benar-benar mengganggunya saat ini.
“Mau cerita?”
Soojung mengerjap pelan. Kepalanya kembali menunduk. Memandangi buku yang terbuka tanpa membaca kalimat yang tertuang di sana sama sekali. Gadis itu mengigit bibir bawahnya. Terlihat menimbang tawaran Jongin barusan.
“Tidak perlu,” kata gadis itu sambil menggeleng. “Bukan sesuatu yang penting, kok,” tambahnya lagi seraya mengangkat kedua sudut bibir ke atas.
Jongin menatap Soojung tidak percaya. Dilihat dari gelagatnya, gadis itu pasti memiliki masalah yang cukup pelik untuk dipikirkan. Tetapi, Jongin tidak berniat memaksa gadis itu untuk menceritakan kegelisahannya. Dia tidak ingin Soojung menjadi tidak merasa nyaman pada dirinya.
“Ahh, baiklah. Aku yakin kalau kau memang baik-baik saja.”
Soojung menghembuskan napas lega. Syukurlah Jongin tidak bertanya lebih lanjut. Di lain pihak, Jongin masih saja memandanginya khawatir. Tetapi, kelihatannya Soojung tidak menyadari kekhawatiran Jongin padanya. Dia kembali melamun hingga tidak menyadari kalau sedari tadi Jongin masih betah menatapnya.
Banyak hal yang Soojung pikirkan. Tentu saja. Bahkan pemuda yang duduk di hadapannya kini juga menjadi salah satu tokoh yang dipikirkan Soojung. Yang lainnya? Ada Sehun dan … entahlah, banyak bayangan orang yang lalu lalang memasuki pikirannya.
Soal Kim Jongin. Pemuda yang satu itu entah bagaimana kini sudah memporak-porandakan segala yang Soojung bangun. Pemuda itu datang dan memberikan secercah harapan lain bagi diri Soojung. Termasuk untuk mendapatkan kebahagian lain selain dari Oh Sehun –tunangannya. Jongin menuntunnya perlahan untuk melupakan sosok sang tunangan meski berat dilalui. Dan kini berakhir dengan dirinya yang terjebak dalam lingakaran Jongin-isme. Bolehlah Soojung menyebutnya begitu. Karena akhir-akhir ini Jongin memang memenuhi pikirannya. Menggantikan tempat Sehun. Sejak kapan? Entahlah. Mungkin sejak ciuman mereka, atau sebelum itu?
Dan setelah berhasil melalui fase dengan menerima Jongin dalam kehidupannya, Sehun justru kembali mengganggunya. Baiklah, mungkin ini tidak seperti sebelumnya. Seperti saat Sehun memberinya harapan palsu dengan menerima bekal buatan Soojung, bukan. Ini justru lebih parah. Sikap Sehun yang aneh ditunjukkan dengan bagaimana pemuda itu menciumnya dengan kasar, membuat Soojung sedikit terluka. Dia tidak mengerti dengan Sehun. Pemuda itu bersikeras membuat dirinya menyerah. Tetapi, secara bersamaan dia menarik Soojung kembali. Entahlah apa yang dimau pemuda yang satu itu. Apakah ini memang hobi Sehun? Dengan menyakitinya terus menerus?
Soojung kembali mendesah frustasi. Dia benar-benar merasa otaknya akan mendidih, kepalanya akan pecah, jika terus memikirkan Jongin dan Sehun bergantian. Ada suatu beban ketika memikirkan dua orang yang berbeda dalam satu waktu. Dan itu benar-benar menyiksa Soojung. Jika begini, dia butuh cara untuk menenangkan diri.
“Jongin?”
Jongin yang tadinya sedang memandangi Soojung sambil memangku dagu segera meraup kesadarannya. Pemuda itu mengerjap pelan saat melihat Soojung menatapnya penuh harap.
“Danau yang waktu itu,” ujar Soojung pelan. Gadis itu menarik napasnya dalam-dalam sebelum kembali bersuara. “Maukah kau mengajakku ke sana lagi?”
O0O
Jinri bersenandung ringan. Kedua kaki jenjangnya melompat pelan seiring dengan langkahnya. Kedua lengannya berayun pelan. Membuat tas belanjaannya ikut terbawa menari bersamanya. Langkah Jinri terhenti ketika melihat sosok asing tak jauh dari tempatnya berada. Kedua kelopaknya mengerjap pelan. Dirinya seperti tidak mempercayai bayangan yang ditangkap oleh retina matanya.
“Oh, Jinri,” sosok itu tersenyum saat melihat Jinri. Membuat si gadis mengeratkan pegangan pada tas belanjaannya. Dia harus menahan diri, jangan sampai jatuh terpesona pada senyuman itu lagi.
“Kau ada waktu luang? Mau jalan-jalan denganku sebentar?”
.
.
.
.
.
.
Jinri menggerakkan ayunan yang dinaikinya dengan pelan. Sesekali kedua matanya bergerak ke samping. Mencuri pandang ke arah pemuda yang duduk di sebelahnya. Pemuda ini terlihat aneh. Dia tampak frustasi, setidaknya itu yang dapat Jinri nilai.
“Jinri?”
“Eoh?” Jinri dengan cepat mengalihkan pandangannya. Segera menatap ke depan, takut si pemuda menyadari aksinya barusan.
“Kau pernah menyukai seseorang?”
Jinri mengerjap pelan. Dirinya lantas menoleh ke arah pemuda yang kini tengah menunduk sembari memainkan tanah di sekitar sepatunya. Jinri mengigit bibirnya. Bingung harus menjawab bagaimana. Haruskah dia mengatakan yang sejujurnya?
“Jinri?”
Jinri mengerjap sekali lagi. Kini si pemuda sudah menatapnya penasaran. Membuat Jinri akhirnya pasarah, “Iya, tentu saja.”
“Apa yang kau rasakan?”
Jinri menangkap nada ingin tahu dari pertanyaan yang terlontar dari bibir si pemuda. Bukannya merasa senang, justru ini membuat Jinri semakin merasa sakit. Sakit sekali hingga dirinya kesulitan bernapas.
“Kau akan selalu ingin memandangi wajahnya. Selalu merindukannya di setiap detik yang kau lewati. Sosoknya selalu menghiasi mimpi indahmu, dan yang terpenting kau selalu tersenyum saat dia tersenyum,” terang Jinri panjang lebar. Kedua lensanya menerawang ke depan. Bibirnya mengulas senyum tipis. Dia baru saja mengutarakan apa yang dia rasakan selama ini. Yang bisa dirinya sebut cinta.
“Tidak ada soal merasa sakit? Atau sesak seperti ada sesuatu yang memenuhi rongga dada?”
Jinri mendesah pelan. Ada. Dia sedang merasakannya malah. Tetapi, dia bingung bagaimana cara mengungkapkannya. “Apakah kau merasakan yang seperti itu?”
Si pemuda menghembuskan napas berat. “Yah,” jawabnya pelan.
“Aku merasakannya. Mungkin sejak dulu, tetapi baru menyadarinya sekarang. Aku merasa ada yang membakar diriku hingga merasakan panas saat Soojung dekat dengan Luhan. Dan sekarang lebih parah. Ada rasa sesak saat Soojung didekati lelaki lain. Parahnya aku merasa marah saat melihat gadis itu tersenyum pada lelaki itu. Dia bahkan tidak pernah tersenyum seperti itu kepadaku.”
Jinri tersenyum mendengar semua curahan hati pemuda yang diam-diam sudah mengisi hatinya. “Dia bukan tidak pernah tersenyum. Kau yang membuatnya jarang tersenyum,” ralat Jinri, memperbaiki apa yang baru saja dikatakan si pemuda.
“Ah, yah benar. Aku selalu menyakitinya. Entahlah. Sekarang bahkan aku merasa sakit ketika melihatnya menangis. Mungkin efek karena ada orang lain yang menghiburnya saat dia menangis?”
Jinri menghela napas perlahan. Dirinya merasa berada pada pilihan sulit. Membiarkan si pemuda menyadari perasaannya dengan konsekuensi tidak ada harapan lagi untuknya. Atau tidak memberitahukan semua fakta yang ada. Menyimpannya rapat dengan tujuan agar si pemuda menjadi miliknya. Tetapi, Jinri tidak oleh egois, bukan? Tidak baik jika dia melakukan hal yang buruk hanya demi cinta yang tak berbalas.
“Kau menyukainya.”
Si pemuda mengerjapkan matanya beberapa kali.
“Kau menyukai nona Soojung, Oh Sehun,” kata Jinri sekali lagi.
Sehun membuka mulutnya. Entah kenapa dalam dirinya hendak menolak perasaan itu kembali. Hei, memang dia pernah mengakui perasaannya? Kapan?
“Jangan mengelak,” ujar Jinri segera. “Semua yang kau rasakan adalah tanda-tanda cemburu. Dan itu wajar dilakukan jika merasa posisimu terenggut oleh lelaki lain. Kau hanya menginginkan gadismu menjadi milikmu, bukan yang lain.”
‘Tapi….”
“Haaiish dengarkan dulu.”
Sehun segera mengatupkan rahangnya. Kembali menanti penjelasan Jinri dengan penuh kesabaran.
“Dan asal kau tahu saja. Menyukai sesorang tidak selamanya membuat kita bahagia. Kadang jug bisa membuat kita sakit. Apalagi kalau cinta itu hanya sebelah pihak. Jadi, makanya aku bisa menyimpulkan kalau kau jatuh hati pada nona Soojung. Kau cemburu saat dia tersenyum dan dekat dengan lelaki lain. Apakah itu tidak menjelaskan semuanya?”
Sehun menundukkan kepala. Mencerna setiap kata yang terucap dari bibir Jinri. Jinri benar, dia memang merasakan semuanya. Hanya saja dia tidak mau mengakui kalau dirinya tengah cemburu. Jadi, dia benar-benar menyukai Jung Soojung? Tunangannya sendiri?
“Tapi, apa yang harus kulakukan sekarang ini?” gumam Sehun pelan. “Dia sudah membenciku sekarang ini.”
Jinri menepuk bahu Sehun dengan lembut. “Belum terlambat. Kau masih bisa memperbaikinya. Datanglah pada nona Soojung dan katakan kalau kau memiliki perasaannya yang sama dengannya. Kau mencintainya,” saran Jinri kemudian. Gadis itu terus mengulas senyum terbaik hingga kepedihan hatinya tidak terlihat.
“Baiklah,” ujar Sehun dengan mantap. Pemuda berkulit putih itu lantas segara beranjak dari ayunan yang didudukinya. “Aku akan mengatakannya pada Soojung. Terima kasih, Jinri.”
Jinri mengangguk. Tangannya kemudian melambai seiring perginya Sehun. Pemuda itu kini tengah berlari, hendak bertemu dengan pujaan hatinya. Jung Soojung.
Jinri menghembuskan napas berat. Huh, kenapa dia jadi tidak seberuntung ini? Dia sekarang benar-benar merasa iri dengan Soojung, nona mudanya itu.
O0O
“Aaaaaaaaaaa!!!”
Jongin menatap Soojung was-was. Pasalnya sudah lima kali gadis itu berteriak dengan lantangnya. Gadis itu benar-benar melepaskan semua bebannya melalui teriakannya. Jongin tahu mungkin itu akan membantu, tetapi biar bagaimanapun masalah harus diselesaikan. Dan rasanya Soojung harus menyelesaikannya. Perlukah Jongin membantu kali ini?
“Soojung?”
Soojung menoleh ke arahnya. Menatapnya dengan penuh tanya.
“Aku tahu kalau kau ingin memperingan beban dengan berteriak,” ujar Jongin hati-hati. “Tapi, terkadang masalah yang menjadi beban kita tak semestinya dilupakan begitu saja. Kau harus menyelesaikannya agar tidak terus merasa tersiksa,” lanjut pemuda berkulit tan itu.
Soojung menundukkan kepalanya. Yah, benar. Jongin sangat benar. Dia harus tahu kalau harus menyelesaikannya. Tapi, dengan cara apa?
“Kalau begitu kau harus membantuku, Kim Jongin.”
Entah ada angin apa hingga Soojung berkata demikian. “Kau yang membuatku seperti ini. Jadi harus bertanggungjawab,” ujar gadis itu lagi.
Jongin manatap Soojung tidak mengerti. Tanggung jawab seperti apa? Apakah Jongin melakukan kesalahan?
“Aku…. Aku sudah bertahan hingga selama ini. Menyuakai Sehun sebelah pihak. Dan tiba-tiba saja kau datang, menyadarkanku bahwa Sehun tidak cukup berharga untuk dipertahankan.”
Soojung menarik-hembuskan napasnya pelan sebelum kembali memberikan penjelasan, “Kau juga memintaku untuk melupakan Sehun dan hanya menatapmu, melihatmu. Dan kau tahu apa yang terjadi? Kau terus saja melintas di otakku. Bayanganmu terus saja mengganggu posisi Sehun. Hingga kadang aku sama sekali tidak memikirkan Sehun. Apalagi setelah ciuman itu. Yang kupikirkan hanya dirimu. Aku bahkan tersenyum sendiri seperti orang gila. Kau itu…. Hmmmp….”
Soojung membelalakkan kedua bola matanya saat bibir Jongin menempel di bibirnya. Tidak ada lumatan seperti sebelumnya. Hanya menempel, sekedar membungkam Soojung yang terus saja bicara.
“Kau….”
“Kau ini apa-apaan?” Jongin segera bersuara sebelum mendengar omelan Soojung. Kedua tangannya sudah mencengkeram kedua pergelangan tangan gadis itu. Siapa tahu Soojung akan menamparnya kali ini.
“Seharusnya aku yang mengucapkan itu semua. Kau tidak menghargaiku sebagai lelaki, hum?” tanya Jongin sambil mengusap hidung mancung Soojung menggunakan hidungnya.
“Apa maksudmu?” tanya Soojung tidak mengerti. Kini gadis itu sudah memalingkan wajahnya. Menyembunyikan rona kemerahan yang tercetak halus di kedua pipinya.
“Soojung.”
Jongin menangkup kedua pipi Soojung. Membuat gadis itu beralih menatapnya kembali.
“Aku juga merasakan hal yang sama. Kau selalu saja memenuhi pikiranku. Aku juga seperti orang gila saat merindukanmu. Dan kau tahu, aku sangat tidak suka saat mendengar nama Sehun terucap dari bibir manismu,” ujar Jongin pelan-pelan. Dia hanya ingin Soojung mengerti dengan apa yang dia rasakan.
“Kau tahu kenapa bisa begitu?”
Soojung menggeleng pelan.
“Karena aku menyukaimu. Mencintaimu. Sangat sangat mencintaimu.”
Deg.
Soojung merasakan jantungnya berhenti berdetak saat itu juga. Kembali dirasakannya letupan kembang api memenuhi rongga perutnya. Dan tubuhnya seketika memanas.
“A-apa kau bilang?” tanya Soojung tidak percaya.
“Aku mencintaimu, Jung Soojung.”
Glek.
Soojung menelan salivanya bulat-bulat. Ini pertama kalinya dia mendengar pernyataan cinta untuknya. Hanya untuknya. Dan tentu saja ini membuatnya senang. Tapi, tak lama. Karena Soojung kembali harus menyadari statusnya. Dia itu masih menjadi tunangan seorang Oh Sehun.
“Tapi, aku tahu kalau aku menyukai Se….”
“Apakah kau benar-benar masih menyukainya?”
Soojung menunduk lantas menggeleng pelan, “Aku tidak yakin.”
Jongin tersenyum penuh kemenangan. Tak yakin, itu artinya Soojung benar-benar sudah berpaling kepadanya. “Berarti ada kemungkinan kalau kau menyukaiku sekarang ini.”
Soojung tertegun mendengar perkataan Jongin. Dia menyukai Jongin? Jika sebelumnya Soojung segera mengelak, sekarang lain. Entah kenapa perkiraan yang satu itu cukup mengusiknya. Dia harus memastikannya sendiri.
“Jongin?”
“Yah?”
Cup.
Kini Jongin yang dibuat terkejut. Jantungnya seolah lepas kendali. Berdentum tidak karuan saat bibir Soojung menempel di bibirnya. Dia sama sekali tidak menyangka kalau Soojung akan menciumnya lebih dulu.
“Baiklah. Akan kuingat perasaan ini,” ujar Soojung setelah melepaskan tautan bibir mereka.
Jongin menatap Soojung tidak mengerti. Tetapi, gadis itu hanya mengulas senyum yang entah mengapa begitu misterius bagi Jongin.
“Jongin, tunggulah di sini sebentar. Aku harus memastikan sesuatu, kumohon.”
Entah ada dorongan apa, Jongin segera mengangguk patuh. Namun, detik berikutnya pemuda itu sedikit menyesal. Terlebih saat Soojung pergi menjauh. Bagaimana kalau Jongin kehilangan gadis itu?
O0O
Jinri terus berjalan tak tentu arah. Sesekali gadis itu terkekeh pelan. Menertawakan diri sendiri. Dirinya sangat menyedihkan. Setelah sekian lama berharap penuh pada perhatian lelaki yang mengisi hatinya, tiba-tiba saja dia harus menerima fakta lain. Lelaki yang dicintainya tidak memiliki perasaan yang sama dengannya. Lelaki itu hanya mencintai satu gadis. Sejak dulu, dan seharusnya Jinri menyadari itu sejak awal.
“Aku bodoh, benar-benar bodoh.”
Jinri ingin sekali tertawa. Tetapi, air matanya tidak mendukung. Perlahan cairan bening itu justru menetes. Membasahi pipinya dan membuat dadanya semakin bertambah sesak.
“Kenapa sakit sekali rasanya?”
Jinri jatuh terduduk. Dia sama sekali tidak mempedulikan orang yang lalu lalang melewatinya. Biarkan saja mereka melihat dirinya yang menyedihkan. Toh, dia memang menyedihkan. Sangat menyedihkan.
Seharusnya Jinri menyadari, kalau berharap pada Sehun seperti punuk merindukan rembulan. Sehun begitu jauh dari jangkauannya. Dan Jinri takkan mampu menggapainya.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
Jinri mendongak di depannya sudah ada pemuda jangkung yang menatapnya dengan aneh.
Pemuda itu memicingkan matanya. Merasa mengenal sosok Jinri. “Ahh, kau pacarnya Sehun?”
Jinri menahan napasnya. Sesaknya bertambah parah saat nama Sehun disebut oleh pemuda itu.
“Hikss…. Hikkks…. Huaaaa….”
.
.
.
“Hei, kenapa menangis?”
Pemuda itu setengah kacau mengahadapi Jinri yang terus terisak dengan keras. Kini bukan hanya Jinri yang menjadi pusat perhatian. Dirinya pun juga.
“Aiish, Park Chanyeol kau benar-benar dalam masalah karena terlibat dengan gadis ini,” gumam pemuda itu sambil mengacak rambutnya frustasi.
Huh, dia harus mencari cara untuk membuat gadis yang satu ini berhenti menangis.
O0O
Soojung, kau di mana? Bisakah kita bertemu. Ada yang mau kubicarakan.
Soojung memegangi lutunya sambil mengatur napas. Kepalanya lantas mendongak. Menangkap sosok Sehun yang tengah menantinya di depan pintu depan kediaman keluarga Jung sambil mondar mandir. Perlahan kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Ternyata memang benar Sehun sudah menunggu di depan rumahnya. Soojung kira pesan Sehun itu main-main ternyata nyata.
“Sehun.”
Sehun akhirnya menghentikan kegiatannya. Pemuda itu segera menyunggingkan senyum saat Soojung tiba. Kedua lensanya tampak berbinar cerah. Sayangnya, ekspresi berbeda Sehun tidak disadari Soojung. Karena gadis itu hanya fokus dengan satu hal.
“Oh, kau sudah pulang?” tanya Sehun basa-basi.
Soojung hanya mengangguk pelan. Keheningan lantas tercipta. Keduanya enggan bersuara lebih dulu.
“Ada yang ingin kubicarakan.”
Keduanya berujar bersamaan. Membuat mereka saling mengulas senyum kikuk, menyadari kebodohan yang baru saja mereka lakukan.
“Kau dulu saja,” Sehun memersilahkan.
Soojung menghela napas lega. Syukurlah dia diberikan kesempatan lebih dulu. Karena setelah ini dia harus bergegas dan memberi jawaban pada Jongin.
“Sehun, aku ingin memastikan sesuatu. Apa boleh?” tanya Soojung hati-hati. Bibir bawahnya digigit guna menahan gugup saat menantikan persetujuan Sehun.
Sehun menatap Soojung tidak mengerti. Tetapi, selanjutnya pemuda itu mengangguk. Dia ingin Soojung segera mengatakan apa yang ingin disampaikannya. Sehingga dia bisa mengutarakan perasaannya yang sebenarnya pada Soojung.
“Baiklah. Maafkan aku.”
Cup.
Selepas kata maaf terucap, Soojung segera menempelkan bibirnya ke bibir Sehun. Membuat si pemuda mengerjapkan kedua matanya pelan. Dia sangat terkejut dengan perlakuan Soojung yang tiba-tiba.
Tapi, Sehun menyukainya. Berbeda dari sebelumnya. Kali ini dia benar-benar bisa merasakan kalau bibir Soojung manis sekali. Ada nuansa aneh saat bibir gadis itu bersentuhan dengan bibirnya. Seolah ada tegangan tinggi yang menyengatnya. Menimbulkan sensasi yang sangat disukai Sehun.
Perlahan Sehun memejamkan matanya. Pemuda itu berniat menikmati sentuhan Soojung. Dia berniat menggerak bibirnya perlahan, sebelum gadis itu melepaskan tautannya.
Sehun menatap Soojung kecewa. Kenapa Soojung menyudahinya? Baru saja Sehun akan menikmatinya.
“Aku mengerti,” Soojung terlihat menganggukkan kepalanya.
Membuat Sehun menatapnya aneh. Apa yang dimengerti oleh gadis ini?
“Sehun, kurasa kau bisa bernapas lega sekarang ini,” ujar Soojung dengan senyum terkembang.
Deg.
Sehun merasa aneh. Dia merasa sakit saat melihat Soojung tersenyum seperti itu. Tiba-tiba saja firasat buruk menghampirinya.
“Kurasa aku benar-benar melepaskanmu sekarang ini, Sehun.”
Sehun merasa kesulitan bernapas. Dadanya terasa nyeri sekarang ini.
“Ayo kita akhiri perjodohan ini, Sehun.”
.
.
.
TBC
Annyeong… maaf lama baru kembali.. WB-ku cukup akut, dan terpaksa butuh penawar dengan banyak-banyak baca cerita atau nonton film.. yah, cukup deh buat memulihkan mood nulis.. dapet feel dan… berakhir dengan segala tulisan di atas… semoga gak mengecewakan… ditunggu review-nya… dan selamat baper ria (perasaan disuruh baper mulu) ^^ Gomawo