Quantcast
Channel: kim-jongin « WordPress.com Tag Feed
Viewing all articles
Browse latest Browse all 621

LOVE ME LIKE YOU DO – #3 JEALOUS (APPLYO)

$
0
0

APPYLO

 

Title: Love Me Like You Do #3 Jealous

Author: Applyo (@doublekimJ06)

Cast:

  • Kim Jongin
  • Park Jiyoo

Other Cast:

  • Oh Sehun
  • Byun Baekhyun
  • Jung Krystal

Leight: Chapter

Genre: Drama, Romance, Pscyo

Rate: PG-18!! [Warning]

credit poster by. leesinhyo @ cafeposter

Inspriration by Ellie Goulding –  Love Me Like You Do (OST Fifty Shades of Grey)

 

Prev : Prolog – Chapter #1 – Chapter #2

.

So love me like you do
Lo-lo-love me like you do
Love me like you do
Lo-lo-love me like you do

.

Sehun mendongakkan kepalanya untuk menatap langit yang kini mulai berubah semakin terang bahkan nampaknya matahari siang ini tengah mencapai batas klimaks panasnya. Lampu-lampu mobil dan asap kendaraan di jalanan kini menambah buruk udara dan polusi kota London, menyebabkan rasa panas itu semakin menyengat dengan efek globalwarming.

Panas, amat panas bahkan peluh sudah membanjiri pelipis, leher, dan kemeja putih yang Sehun gunakan, tak lupa ia melampirkan jas hitam miliknya di bahu, pemuda itu terlalu jengkel menunggu dalam teriknya panas dan sialnya orang yang tengah ia tunggu itu masih sibuk dengan buku-buku dan sebuah ice cream.

Dia duduk bersilang di bawah sebuah pohon lebat—amat lucu seperti seorang anak tk yang tengah bermain— lalu tangan kanannya menenteng sebuah ice cream coklat dan satunya lagi ia gunakan untuk memegang sebuah buku terjemahan yang sengaja Sehun belikan untuk gadis itu tadi. Ya—dia Jiyoo.

“Tidak bisakah kau melanjutkan acara membacamu di rumah? Disini benar-benar panas.” ujar Sehun kemudian menolehkan kepalanya pada Jiyoo, yang masih sibuk dengan buku dan ice creamnya. “Dan aku benci cahaya matahari” lanjutnya lalu mengibaskan kedua tangannya di depan wajah.

Gadis Park itu mendongkak, kemudian menutup bukunya cepat. Dan matanya melotot ke arah Sehun. “Setahuku vampir memang membenci matahari. Jadi kauu…?” Dia lagi-lagi menuduh Sehun.

Dan sang tersangka yang terkena vonis tuduhan itu hanya mendelik kesal. “Oke. Cukup. Kau berlebihan. Jadi, sebelum aku benar-benar menyedot darahmu sebaiknya kita pulang karena aku masih memiliki banyak pekerjaan hari ini selain mengajakmu jalan-jalan.”

Sehun mengajak Jiyoo pulang, dan gadis itu dengan patuh menuruti permintaan dokter pribadinya itu lalu segera membereskan barangnya dan bergegas pergi. “Baiklah.”

.

Motor BMW putih Sehun berhenti tepat di pelataran mansion Jongin. Tak perlu waktu lama untuk memarkirkan motornya karena beberapa pelayan disana akan dengan senang hati memarkirkan motor Sehun di tempatnya tanpa perlu Sehun perintah.

Ya, Sehun sering datang kesini, bahkan ia sendiri mengangap bahwa mansion Jongin adalah rumah kedua baginya dan dengan otomatis semua pelayan di mansion itu menghormati Sehun layaknya menghormati tuan muda mereka—Jongin.

“Kuharap buku itu bisa membuatmu sibuk dibanding berdiam diri.” Sehun tersenyum datar lalu menatap Jiyoo yang sedikit lebih pendek darinya.

Jiyoo menganguk. “Kau vampir yang baik seperti Edward, tapi ku harap kau tidak mencintaiku seperti mencintai Bella di serial twilight.” ia menyeringai jahil.

Sehun yang mendengar hanya mendengus dan memutar bola matanya malas. “Kalau begitu masuklah. Dan sampai bertemu di jadwal check up berikutnya.” ia tersenyum singkat lalu berbalik dan berjalan menjauh dari Jiyoo, tapi detik berikutnya Jiyoo menahan tangannya.

“Dokter, terimakasih untuk hari ini.” ujar Jiyoo tersenyum.

Sehun menganguk lalu mengacak rambut Jiyoo gemas. “No Problem, Jiyoo.” Ujarnya lalu bejalan pergi dan melambaikan tangannya pada Jiyoo.

Dari kejauhan bahkan senyum Jiyoo masih terlihat jelas, dan sekilas Sehun kembali melihat Jiyoo dari kaca spion motornya. Tatapan mata gadis itu amat sejuk dan membuat hatinya yang beku kini ikut tersenyum.

Jongin berdiri di balkon mansionnya, menikmati cuaca siang hari London yang amat panas. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana, dan mata tajamnya menatap ke arah lantai bawah mansionnya, dimana dua mahluk yang amat ia kenal tengah bercengkrama dengan sebuah senyum yang tak pernah ia lihat sekalipun.

Miris rasanya.

Jujur saja Jongin iri kali ini—ia iri melihat Jiyoo yang dengan mudahnya tersenyum bersama Sehun. Amat bahagia hingga kerutan-kerutan lucu di matanya ikut tersenyum, eye-smile nya begitu khas. Dia cantik ketika tersenyum.

Sejauh ia mengenal Jiyoo, dia memanglah gadis yang amat ceria dan lucu tapi entah mengapa Jongin tak pernah merasakan kecerian dan kelucuan gadis itu ketika bersamanya. Tak sekalipun gadis itu tersenyum hangat seperti barusan pada Jongin.

Jongin meremas saku celana nya sendiri. Menahan rasa irinya pada Sehun—Dan saat mata Jongin masih terfokus pada pemandangan itu tiba-tiba seseorang masuk ke kamarnya tanpa sebuah ketukan, terdengar bunyi Stiletto dan lantai marmer yang mengetuk lalu detik berikutnya orang itu tiba-tiba melingkarkan tangannya pada pinggang Jongin amat erat—dia juga menyandarkan dagunya yang lancip di pundak Jongin.

What are you looking at?” bisiknya lalu mengikuti arah pandang Jongin, tapi tak ada apapun disana. “Apa kau melamun?” ujarnya lagi memastikan, karena Jongin sama sekali tak menggubris.

“Krystal, bisa kau menolongku.” Jongin berbalik lalu melepas ikatan tangan gadis bernama Krystal itu di pinggangnya. Terlalu muak dengan sikap bar-bar an gadis ini yang tak berbeda jauh dengan seorang jalang.

Krystal yang sama sekali tak mengerti hanya mengernyitkan alisnya. “Apa itu?”

Setelah melihat Sehun pulang, buru-buru Jiyoo masuk kedalam mansion Jongin dan disambut dengan beberapa pelayan di depan pintu dan salah satu pelayan itu memberi Jiyoo sebuah sticky notes yang isinya menyatakan bahwa Jongin menunggunya di kamar untuk membicarakan sesuatu.

Gadis itu lalu bergegas menaiki tangga memutar di mansion Jongin. Sebelumnya ia menyimpan tas dan mengganti sepatunya dengan sandal rumah lalu membawa beberapa buku yang ia beli dengan Sehun untuk di tunjukan pada Jongin. Amat bersemangat dan Jiyoo sendiri heran kenapa ia sebegitu antusias untuk bertemu Jongin dan bercerita banyak tentang apa yang ia lakukan lima jam terakhir saat Jongin tengah pergi.

Jiyoo sedikit tergesa lalu buru-buru memasuki kamar Jongin bahkan tanpa mengetuknya terlebih dahulu, lagipula Jongin pasti sudah tahu bahwa Jiyoo akan kesini jadi untuk apa ia mengetuk pintu. Jiyoo masuk dan ternyata pintunya memang tidak terkunci, tapi baru dua langkah ia berjalan tiba-tiba tubuhnya mendadak kaku.

Jiyoo tersentak, melihat sebuah pemandangan yang seharusnya tidak ia lihat sama sekali. Seolah petir baru saja meledak disamping tubuhnya, Jiyoo sangat terkejut melihat Jongin sedang asyik berciuman dengan seorang gadis yang memang dirasa lebih cantik darinya. Badannya lebih tinggi darinya, dan rambut berwarna merahnya yang terlihat amat menyala. Amat serasi dengan kulitnya yang seputih porselen.

Gadis berambut merah itu  terduduk diatas meja kerja Jongin dengan kaki yang melingkar erat di pinggang Jongin. Tubuh mereka amat dekat dan dilihat dari sisi manapun bisa di jelasakan dengan gamblang apa yang tengah mereka lakukan.

Tangan Jiyoo mendadak lemas, dan saat itu juga ia menjatuhkan buku-buku di tangannya hingga menimbulkan bunyi berdebam cukup keras dan membuat Jongin menatap ke arahnya, melepaskan tautan bibirnya dari gadis itu.

Dia bahkan sama sekali tak menunjukan rasa bersalahnya. Dan malah dengan terang-terangan mengusap bibir gadis itu lalu mengancingkan beberapa kancing kemeja nya yang terbuka. Jiyoo mendadak beku, mulutnya kaku dan hatinya teriris sakit tanpa alasan pasti.

Buru-buru Jiyoo memungut bukunya yang terjatuh lalu menunduk sebagai permohonan maaf. Dadanya terasa sakit dan ia ingin marah pada Jongin saat ini juga, tapi entah, ia merasa ragu kenapa ia harus marah toh Jongin bukan siapa-siapa baginya. Dia hanya sebatas calon suami bagi Jiyoo. Hanya itu dan tidak lebih. Bahkan ia tak yakin bahwa ia memang mencintai Jongin seperti apa yang Jongin claimkan.

Gadis itu berbalik lalu membuka pintu dan berjalan keluar dari kamar Jongin karena nampaknya ia salah memilih waktu.

“Park Jiyoo!”

Langkah Jiyoo terhenti di ambang pintu saat suara serak Jongin memanggil namanya. Amat jelas ia dengar. Jiyoo berbalik dan melihat wajah Jongin menatapnya serta gadis yang tadi Jongin cium juga menatap kearahnya.

“Maaf aku lupa mengetuk pintu. Silahkan lanjutkan saja.” ujar Jiyoo berusaha agar tidak terdengar bergetar sedikitpun. tapi sekuat apapun ia menahannya tetap saja jantungnya terasa di pukul-pukul amat kuat oleh Jongin, menyebabkan kepalanya kembali terasa pusing dan tubuhnya mendadak lemas. Ya, jelas sekali kalau Jiyoo memang sakit hati dan benci melihat Jongin seperti itu, melukainya.

“Jiyoo! Apa kau tak merasa cemburu sedikitpun?” Jongin berteriak, dan berjalan pelan kearah Jiyoo, menatapnya dengan sebuah senyuman licik di wajahnya. “Bagaimana perasaanmu melihatku?”

Jiyoo sontak terkejut mendengar perkataan Jongin seolah-olah Jiyoo-lah yang bersalah saat ini. Dan jelas sekali kalo Jongin memojokan dirinya. “Apa maksudmu?”

Jongin tersenyum sinis lalu mengusap bibirnya sendiri menggunakan ibu jari. “Kau jelas tahu apa maksudku.”

Mata Jiyoo bergerak tak karuan dan disudut matanya ia bisa melihat kalo gadis yang tadi berciuman dengan Jongin juga tengah tersenyum sinis menatapnya. Seolah ikut mentertawakan kebodohannya. “Aku yang salah. Maafkan aku. aku lelah, jadi silahkan lanjutkan saja kegiatan kalian. Permisi.”

Jiyoo berjalan pergi, dan tangisnya turun meluncur saat ia menutup pintu kamar Jongin dengan tangannya, beberapa pelayan yang melihatnya nampak ikut bersedih lalu menghampiri Jiyoo tapi buru-buru Jiyoo menepisnya dengan lembut—merasa malu untuk sekedar bercerita alasan kenapa ia menangis.

Dan dibalik pintu, Jongin mengepalkan tangannya kuat-kuat lalu memandang kearah gadis yang duduk di mejanya dengan senyuman mengembang, amat menjijikan dan sinis. Jongin benci itu dan ia memilih melangkahkan kakinya dengan cepat menyusul Jiyoo, setelah melihat gadis itu berjalan tak jauh buru-buru Jongin menarik kasar tangan Jiyoo dan menyeretnya sambil sedikit berlari ke arah kamar Jiyoo.

Mata Jiyoo membeliak kaget dan ia berusaha melepas cengkraman tangan Jongin yang amat kasar menyeretnya. “Jongin! Lepaskan aku!”

Jongin tak mengidahkan permintaan Jiyoo, ia hanya terus berjalan hingga ia tiba di kamar Jiyoo lalu mengunci pintu itu dengan tangannya yang lain, setelahnya ia menghempaskan tubuh Jiyoo ke dinding amat kasar hingga Jiyoo meringis kesakitan.

“Kau membuatku marah!” Jongin berbicara dengan nada dingin dan tajam. Sorot matanya mengintimidasi Jiyoo begitu saja.

“Apa aku menggangu acara bercumbu-mu hoh?” Jiyoo mendongkak menatap Jongin sedikit nyalang.

“APA KAU BODOH HAH! KAU ADALAH CALON ISTRIKU TAPI KENAPA KAU TAK MARAH PADAKU SAAT AKU MENCIUM GADIS LAIN!” Jongin berteriak murka di depan wajah Jiyoo, membuat Jiyoo tiba-tiba memucat ketakutan.

“Kenapa aku harus marah? Bahkan hatiku sendiri seolah tak yakin bahwa kau memang calon suamiku.” Jiyoo berbicara pelan, dan ia tertunduk saat berbicara. Nyalinya seolah menciut melihat wajah murka seorang Kim Jongin yang baru kali ini ia lihat. Dan itu amat menyeramkan.

Jongin tersenyum licik, nampak jahat. Ia mencengkram tangan Jiyoo lalu menarik tubuh itu dan membantingnya ketempat tidur. Jongin tak peduli kalau        Jiyoo akan kesakitan atau apa, ia terlanjur marah mendengar penuturan Jiyoo yang seolah menuduhnya dalam semi kejujuran. Ia takut Jiyoo akan ingat semuanya, ia takut sekali saat ini bahkan tangannya bergetar ikut ketakutan. “Kau milikku dan tak ada seorangpun yang boleh menyentuhmu kecuali aku” Detik berikutnya Jongin merangkak naik ke atas tempat tidur lalu mencium bibir Jiyoo amat kasar, ia menyentak kedua tangan Jiyoo di atas kepalanya. Tak peduli dengan apa yang akan ia lakukan.

Perasaan takutnya terlanjur menghantuinya, ia takut Jiyoo akan meninggalkannya saat tahu kenyataan sebenarnya bahwa pemuda itu memanglah bukan calon suaminya. Tidak,, kau tidak bisa meninggalkanku untuk kedua kalinya.

Jiyoo meringis dan terus bergerak dengan sisa tenaganya, tubuhnya terasa sesak saat Jongin menghimpitnya amat dekat dan ia merasakan amarah amat besar saat Jongin melumat lalu mengigit bibirnya hingga berdarah. Luka di bibirnya amat perih, bahkan Jongin membuat luka itu semakin parah dengan mengigit ujung bibir lainnya hingga robek terkelupas. Jongin bahkan menyakitinya sekarang, setelah membuat tulang punggungnya terasa remuk, lalu merusak bibirnya dan sekarang pria itu malah menyiksa permukaan lehernya hingga terasa perih dengan kissmark-kissmark yang ia buat dengan paksa.

“Belajarlah untuk kembali mencintaiku Park Jiyoo!” Jongin menautkan dahinya pada Jiyoo dan menatap manik mata hitam di bawahnya dengan tajam. “Karena aku amat benci kau mengabaikanku.” Pemuda itu semakin merapatkan tubuh mereka, membuat Jiyoo merasakaan sesak yang amat menyiksa.

“Dan berhentilah tersenyum untuk pria lain kecuali aku!” Jongin menyeringai, lalu melepas bajunya hingga ia setengah naked, alasan terakhir kenapa ia seperti ini adalah karena Jiyoo dengan sukar tersenyum pada Sehun, mengabaikan perasaannya yang merasa iri melihat itu. Lalu cumbuan dengan Krystal, dia hanya sebuah pelampiasaan yang sengaja Jongin buat agar Jiyoo cemburu, tapi alih-alih cemburu Jiyoo malah berkata bahwa ia tak yakin. Oh shit…

Jongin jelaslah marah dan ia benci semua itu, semua cara yang membuat Jiyoo akan pergi darinya termasuk Sehun. Ia merasa kegelapan itu kembali menyelubunginya membuat bayang-bayang saat Hyunjo meringis di hadapannya, meminta ampunan padanya. Tapi telinganya mendadak tuli seperti saat ini, saat Jiyoo melakukan hal sama seperti Hyunjo dulu.

Dia meringis dan Jongin tak peduli.

“Jo-mmp-in-lepas-ak-mppppppppppppp-kesaki—“

“TIDAK JIYOO!” potong Jongin kasar, pemuda itu gelap mata. Ia menarik blouse yang Jiyoo gunakan hingga lepas, tak lupa pemuda itu menarik bra hitam berenda yang terpasang rapih di baliknya. Tak peduli dengan apa yang Jiyoo rasakan, Jongin hanya menutup telinganya rapat-rapat.

“Jong-in..to-eunghh”

Sweatheart, panggil namaku!” Jongin menyeringai lalu menarik mini skirt yang Jiyoo gunakan hingga lepas dan membuat tubuh gadis itu benar-benar polos di banjiri keringat.

“Ti-dak-Jongin-mpppppppphh—“ Belum selesai gadis itu dengan kalimatnya, Jongin kembali membungkam bibir Jiyoo dengan bibirnya. Ia kembali memainkan bibir itu, melumat darah segar yang keluar dari celah bibir itu. Lalu melesatkan lidahnya kedalam mulut Jiyoo.

Jongin menelusupkan tangannya ke bawah tubuh Jiyoo, lalu melingkarkan tangannya dengan erat di tubuh gadis itu. Membuat tubuh mereka melekat, tanpa jarak. Refleks, Jiyoo ikut melingkarkan kedua lengannya pada leher pemuda itu.

Jongin kembali menyeringai, menunjukan wajah iblis nya yang benar-benar lebih mempesona dibanding biasanya—membuat mabuk siapapun yang melihatnya termasuk Jiyoo yang tiba-tiba ikut terbuai permainan Jongin.

Pemuda Kim itu semakin ganas menciumi bibir Jiyoo yang merah merona, menggodanya. Ia tak pernah merasa bosan mengecap bibir penuh darah itu, ada sensasi lain di dalam tubuhnya yang seakan suka dengan darah segar itu. Seakan tidak cukup hanya bibirnya, tangan Jongin kembali menyentuh bagian-bagian khusus yang tidak seharusnya ia sentuh. Membuat gadis dibawahnya menangis tertahan tetapi ikut menikmati setiap sentuhan demi sentuhan itu di tubuhnya.

“Jong-eggghttt—” desah Jiyoo tiba-tiba saat Jongin dengan mudahnya meremas bagian dadanya tanpa ampun.

Jongin tersenyum, dan dengan bersemangat ia melanjutkan permainannya. Mengelus perut Jiyoo dengan tangannya lalu sesekali mencubit kecil perut itu. Jiyoo terus bergerak, ia merasa terbebani, menikmati sekaligus tersakiti di waktu yang bersamaan.

“Henti…kan, Jong-in mppphh-eghttttttttt.” Pinta Jiyoo untuk kesekian kalinya dengan  susah payah, napasnya tersengal tak beraturan, dan dengan sisa tenaga yang ia miliki ia mencoba mendorong tubuh Jongin untuk menyingkir darinya.

Tapi dengan cepat Jongin menepisnya lalu menampar pipi Jiyoo dengan tangannya. Dia tertawa sinis melihat wajah Jiyoo yang terkulai lemas dan tak bergerak melawan lagi. Jongin memejamkan matanya rapat, lalu kembali melumat bibir itu.

Ia tak memperdulikan apa yang Jiyoo katakan karena ia terlanjur terbakar hasrat dan amarah, detik itu juga ia merusak segalanya, tanpa sebuah penyesalan. Hanya Jongin sendiri yang bermain-bermain dengan tubuh Jiyoo, membakar hasrat yang selalu ia tahan selama ini.

Sementara Jiyoo hanya mampu terdiam, menangis, mendesah dan berteriak di balik bungkaman bibir Jongin di bibirnya. Matanya sudah tak sanggup untuk sekedar menangis, atau mulutnya yang seharusnya bergumam menolak tapi berkhianat dan malah terus mendesah layaknya gadis jalang. Ia benci dirinya sendiri saat ini.

Jongin terduduk di tepi ranjang memungut celana dan kemejanya lalu menggunakannya dengan asal, matanya menatap pemandangan kamar Jiyoo yang berantakan akibat ulahnya. Dan cahaya matahari kini sudah tak menujukan sinarnya nya lagi dan itu artinya ini sudah malam.

Baju Jiyoo berceceran di lantai, bahkan seprai berwarna pink itu di kini mencuat tak menentu dengan bercak darah dimana-mana dan Jiyoo tertidur di atasnya tanpa sehelai benang apapun.

Rambut hitam nya acak-acakan. Matanya terpejam, bibirnya terkantup dan napasnya tak beraturan. Dia nampak lelah dengan peluh yang membanjiri setiap inci tubuhnya. Jongin meringis lalu menutup tubuh itu dengan selimut tebal dan menggendongnya menuju keluar kamar, ia membawa gadis itu ke kamarnya lalu menidurkan Jiyoo di ranjangnya yang hangat.

Perlahan Jongin menarik nakas di ujung tempat tidurnya lalu mengambil sebuah kotak p3k, dan mengeluarkan sebuah plaster lalu menutup luka cakaran di pipi Jiyoo dengan plaster, ia menjambak rambutnya sendiri sebagai bentuk penyesalan begitu ia menyakiti Jiyoo separah ini. Bodoh, kau brengsek Kim Jongin! Gadis itu bahkan tak merasakan perih saat Jongin menimpakan cairan obat di bibirnya yang berdarah.

Dia hanya tertidur pulas.

“Maafkan aku Jiyoo-ku” desisnya pelan lalu mengecup dahi Jiyoo amat lembut. Detik berikutnya seseorang tiba-tiba masuk kekamarnya, dia berjalan amat berisik dengan ketukan stiletto dan marmer. Dia—Krystal.

Oppa, You are stupid?” dia berteriak kesal dengan logat inggrisnya yang amat kental.
“Kau hanya cemburu dan kau melukainya—lagi?” lanjutnya lalu memandang tajam punggung Jongin dengan mata birunya.

“Get out!” Jongin menunjukan jarinya ke arah pintu, dia bahkan sama sekali tak menoleh apalagi menggubris apa yang Krystal katakan padanya. Dia benci seseorang menggangunya saat ini. Termasuk Krystal. Salahsatu penyebab kenapa Jiyoo seperti ini.

Oppa~~” rengek Krystal kesal karena dengan teganya Jongin mengusirnya.

“Krystal Jung! Get out now!”

**

Sehun tiba di sebuah cafe di dekat apartementnya dan ia buru-buru memesan sebuah amaricano coffee  pada Kris selaku pemilik kedai coffee. Sering mendatangi tempat tersebut tentu membuat Sehun mengenal baik pemiliknya jadi ia tak perlu repot-repot mengantri seperti kebanyakan orang untuk menikmati secangkir coffee di pagi hari.

Sejujurnya ia sibuk hari ini, tapi salah seorang temannya menyuruh Sehun bertemu pagi ini. Membuat pemuda berusia 23 tahunan itu dengan malas bangun lebih awal dan bergegas menuju kedai coffee yang terletak di St. John’s Wood Underground Station Finchley Road, London, NW8 6EB, Inggris.

“Oh Sehun!”

Seseorang melambaikan tangannya pada Sehun dan ia bergegas menghampirinya lalu duduk bersebrangan dengan orang itu.

“Oh hai Park Chanyeol. Ada apa kau memanggilku?” Sehun melipat kedua tangannya di atas dada lalu menyeruput coffee panas nya yang baru saja datang, ia duduk bersilang dengan angkuh. selalu seperti ini—menjunjung imejnya.

Yakk—Sehun dan Chanyeol adalah teman satu kelas di University College London tapi karena kepandaian Sehun, akhirnya Sehun dua tahun lulus lebih dulu di banding Chanyeol, sementara Chanyeol harus menghabiskan waktu 2 tahunnya lagi untuk bisa lulus sebagai dokter spesialis darisana.

“Begini—adikku hilang satu bulan yang lalu di London. Dan hingga saat ini tidak ada berita atau kabar tentang pencarian yang polisi lakukan. Emm—Bisakah kau mencarikan daftar pasien di rumah sakit tempatmu bekerja-selama satu bulan terakhir? Mungkin dia terkena kecelakaan atau sebuah insiden..” Chanyeol berujar pelan nampak serius dan memperjelas apa yang ia sebutkan.

“Adikmu?” Sehun menatap Chanyeol sebentar untuk memastikan.

Chanyeol menganguk. “Adikku yang di Korea itu. Kau tahu bukan? Dia yang akan menikah itu dan membuatku harus cuti dari kuliah satu bulan yang lalu” ujarnya sedikit menaikan suara bash nya.

Sehun mengangguk paham. “Mmm, aku ingat. Tapi siapa namanya? Aku lupa.”

“Namanya ada di undangan yang waktu itu aku kirim. Kau bisa memeriksanya nanti. Okey! Dan sisa data dirinya akan aku kirim lewat email nanti siang!” Chanyeol berujar cepat lalu mulai memasukan beberapa barangnya kedalam tas dan meminum coffee nya terburu.

“Hey, kau mau kemana?” tanya Sehun saat melihat Chanyeol mulai berkemas.

“Aku ada kelas MrWilliam pagi ini, jika ada kabar kau bisa menghubungiku lewat telpon, sampai nanti dokter Oh!”

Pemuda itu pergi meninggalkan Sehun dengan sebuah lambaian tangan bahkan ia lupa untuk membayar coffee yang ia minum.

Sehun mengangguk ragu, “Ya, bye!”

Jongin berjalan tergesa. Pemuda itu terus menatap tajam semua orang yang balik menatapnya, ia tengah geram sekarang. Maka satu-satunya cara adalah menghindari tatapan Jongin saat ia tengah marah.

Langkah kaki pemuda itu berderap menyusuri lorong rumah sakit, lalu menaiki tangga dan berbelok di ujung lorong khusus untuk memasuki sebuah ruangan. Tangannya tak berhenti mengepal, rahangnya mengeras, dan urat-urat keras di kepalanya jelas menunjukan bawa pemuda itu tengah marah.

BLUG!

Jongin membuka pintu ruangan Sehun dengan kasar dan membuat Sehun yang tengah sibuk memeriksa beberapa dokumen dan layar laptopnya sontak menatap ke arah pintu dengan tatapan datarnya.

“Ada apa? Kau—“ belum sempat kalimatnya selesai tiba-tiba Jongin menarik kerah kemajanya dan..

BUK!!—Jongin meninju ujung bibir Sehun dengan kepalan tangannya.

“Kim Jongin—ada apa denganmu?” tanya Sehun berteriak kaget lalu mendorong bahu Jongin agak kasar.

Tapi, bukannya menjawab—Jongin malah kembali menghampiri Sehun, mencengkram krah baju pemuda itu lalu meninjukan beberapa kepalan tangannya lagi tepat di wajah tampan Sehun. Buk, Buk, Buk!—Sehun jatuh tersungkur ke lantai dengan darah segar yang meluncur dari kedua ujung bibirnya. Jelas sekali kepalan tangan itu merobek bibir kecilnya yang halus.

“Jangan coba-coba untuk menghianatiku!!” Jongin berteriak murka lalu melemparkan beberapa buku yang ia bawa ke arah Sehun.

Sehun tersenyum sinis, lalu menyusut darah segar di bibirnya dengan ibu jarinya. Dan mulai berdiri lalu merapihkan bajunya yang sempat kusut. “Kau mulai termakan drama konyol ternyata!” ia berbisik kecil menepuk bahu Jongin.

“Aku serius, Oh Sehun!” Jongin melotot.

Lagi, Sehun hanya tersenyum sinis lalu mengambil sebuah tisu di mejanya—mengusap darah yang mengalir di ujung bibirnya—dokter muda itu amat cool walau ia tengah terluka. “Ini karena Jiyoo?” ia berujar santai sementara Jongin sudah amat geram mendengar penuturan santai Sehun.

“Bukankah aku sudah bilang untuk tidak ikut campur urusanku? Kau hanya dokter yang aku bayar untuk mengecek kesehatannya. Tidak lebih—“

“Aku tahu-aku tahu. Tapi apa salahnya jika Jiyoo bisa berinteraksi dengan para pelayan di rumahmu, berinteraksi dengan orang lain menggunakan bahasa inggris yang memang sudah seharusnya ia hapal ketika tinggal di London. Apa kau tak kasian melihat dia hanya melamun seharian di mansionmu?. Kau ingin dia mati muda seperti Hyunjo?” Sehun tertawa kecil. “Ternyata otak kecilmu itu tak berfungsi dengan seharusnya.”

Jongin terdiam menunduk, tak mengiyakan atau menyangkal apa yang Sehun katakan. Dia hanya mendelik lalu berjalan meninggalkan ruangan Sehun dengan sifat ego nya. Sementara Sehun hanya tertawa renyah di tempatnya. Jongin memang orang seperti itu, hanya mengandalkan emosi tanpa sebuah penjelasan pasti.

Sehun mengenal Jongin hampir sepanjang hidupnya, dia adalah teman Jongin sejak kecil jadi tak heran jika Sehun amat mengenal sifat Jongin yang terkadang tidak rasional. Dia memang seperti itu sejak kecil dan sifatnya menjadi bertambah buruk saat ia kehilangan calon istrinya yang dulu—Hyunjo.

Jiyoo mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha meyesuaikan cahaya matahari yang kini mengenai wajahnya—menerobos masuk dan memaksanya bangun dari tidur serta membuka matanya lebar-lebar.

Gadis itu merasakan tubuhnya remuk hancur, semuanya amat sakit. Ia ingin menjerit dan menangis merasakan gerakan tubuhnya amat ngilu, seolah-seolah semua tulang belulang nya patah. Dan saat ia hendak berbicara mulutnya terasa kaku, bibirnya terkantup rapat. Oh apa yang sebenarnya terjadi..

Jiyoo mencoba bangkit dari tempat tidur, lalu menapakkan kakinya yang sakit ke lantai dan bersiap untuk bangun. Namun, gerakannya terhenti begitu saja saat bayang-bayang kejadian semalam kembali bergulir di kepalanya. Saat bibir Jongin menyapu permukaan bibirnya dengan kasar, memijat dadanya dengan tak sabaran dan menampar pipinya hingga terluka. Semua itu terjadi secepat ia mengedipkan mata.

“Setelah membuat hatiku menangis dia mulai menyakitiku juga sekarang.” Seketika  itu juga Jiyoo merasa layaknya orang terbodoh di dunia karena begitu saja mempercayai bahwa Jongin memang benar-benar calon suaminya—ia terbedaya pedahal jelas-jelas Jongin mungkin tidak menyukainya dan pemuda itu hanya memanfaatkannya demi kepuasaannya semata. Jongin jelas-jelas mencintai gadis kemarin itu. “Kau Jahat, Kim Jongin!”

Dan kini Jiyoo hampir yakin bahwa dirinya terkena cacat dalam berjalan setelah apa yang Jongin lakukan padanya atau mungkin sebuah struk ringan yang menyebabkan semua organ tubuhnya lumpuh total. Yah, Jiyoo sendiri bingung dengan apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhnya.

Tapi rasanya menyakitkan.

Ini hampir menginjak sianghari pantas saja kalau cahaya matahari benar-benar terik dan oh—Jiyoo baru menyadari bahwa kamar yang ia tiduri saat ini adalah kamar Jongin pantas saja ia merasa asing dengan suasana disana. Dan bajunya sudah bersih lalu beberapa plester dan obat kering menempel di sekujur tubuhnya yang terluka. Apa Jongin juga yang mengobatinya?

“Kau sudah bangun, ternyata?” Jiyoo tersentak kaget lalu menoleh ke arah balkon kamar, dan ia baru sadar bahwa sejak tadi ada seseorang yang berdiri disana. Seorang gadis yang samar-samar ia ketahui kalau gadis itu adalah gadis yang kemarin bersama Jongin.

“Aku, Krystal Jung.” Gadis cantik berambut merah itu memperkenalkan namanya dengan angkuh. Dia bahkan sama sekali tak menunjukan tingkah sopan saat pertamakali bertemu.

“Kau-“

“Aku mantan kekasih Jongin” potongnya. Gadis cantik itu—maksudnya Krystal, berbicara amat angkuh, tapi dia benar-benar cantik dengan mata biru, kulit putih dan rambut merah mencolok. Dia amat sexy dengan sebuah mini skrit berwarna putih dan blouse pucha kebesaran yang menonjolkan lekukan tubuhnya yang lain—oh, jadi dia mantan kekasih Jongin.

Jiyoo tersenyum kecil, “Oh, begitu. Nampaknya kau mengenal Jongin begitu dekat.” ujarnya, berusaha pura-pura tersenyum. Sejujurnya Jiyoo malas untuk terus tersenyum karena toh, gadis yang ia ajak bicara sama sekali tak membalas senyumannya, dia hanya mendelik dan mencibir sesukannya.

“Begitulah, dan kuharap kau tak salah paham dengan apa yang Jongin lakukan kemarin. Dia memang seperti itu, selalu membutuhkanku saat dia kesepian.” ujar Krystal mendelik.

“Nampaknya kalian benar-benar dekat hingga Jongin dengan sukar selalu membutuhkanmu.” Jiyoo berbicara pelan. Nada bicaranya masih sama. Datar.

Krystal tersenyum sinis lalu melangkah sedikit mendekat. “Kami amat dekat.” Bisiknya pelan lalu melangkah keluar dari kamar yang Jiyoo tiduri.

Sementara Jiyoo, dia hanya tersenyum sinis di tempat tidurnya lalu melipat kedua tangannya di atas dada. “Oh, jadi aku harus menonton adegan seperti itu saat kau kesepian?” dia berbicara pada diri sendiri, amat mengerikan membayangkan bahwa Jongin akan melakukan hal seperti kemarin di hadapannya.

Sehun melepas kemeja dan jaketnya, lalu melemparkannya sembarangan ke sofa besar di depan TV, dia hanya menggunakan celana kerjanya dan berjalan setengah naked ke arah dapur. Mengendarai di cuaca panas  London tentu membuat perut dan dahaganya terasa kosong.

Sehun langsung berkutat dengan alat-alat masak, ia mengambil beberapa bahan di kulkas lalu menyatukan semua bahan itu di atas panci, memasaknya menjadi suatu hidangan faforitenya—Bubble & Squeak—Sebuah makanan khas Inggris yang  berbahan dasar daging beku, kentang dan kubis, tetapi bisa di tambah dengan wortel, kacang polong, kecambah brussels, dan sayuran lainnya yang juga sering dipadukan. Sayuran dan daging dingin dicincang dan kemudian digoreng. Serta ditambah dengan kentang tumbuk kemudian dicampur sampai daging matang dan berwarna kecoklatan.

Hanya butuh waktu lima belas menit untuk menyelsaikan masakannya itu hingga tersaji kepiring. Ia sudah terbiasa melakukannya sendiri, memasak, mencuci, dan tinggal sendirian di apartemennya sejak muda.

Delicious !” Sehun tersenyum senang, lalu membawa piring berisi Bubble & Squeak –nya itu ke ruang Tv. Dia duduk di sofa lalu mulai menyalakan televisi. Menganti-ganti channel di Tv-nya hingga ia berhenti pada sebuah tayangan tentang sepak bola.

Sehun menyendokan makanannya perlahan sambil menonton. Sejujurnya Sehun amat jarang bersantai seperti ini, biasanya dia menghabiskan waktunya di rumah sakit hingga larut malam lalu kembali bekerja di pagi hari nya. Tapi kali ini moodnya mendadak buruk, dan luka robek di bibirnya amat menggangu pekerjaannya.

Hampir semua pasien dan suster bertanya padanya—bertanya tentang asal luka di bibirnya itu—yang Sehun rasa itu tidak penting dan hanya membuatnya semakin merasa pusing. Jadi lebih baik ia pulang dibanding harus merepotkan diri dengan pertanyaan-pertanyaan tak penting itu. Sehun bukan tipe orang yang suka membahas tentang hal privasinya. Dia benci jika orang-orang yang tak begitu mengenalnya bertanya macam-macam tentang hidupnya kecuali jika Sehun sendiri yang memang ingin menceritakan hal pribadinya pada oranglain.

Selesai makan, Sehun membawa piringnya ke wadah pencucian. Saat hendak keluar dari dapur, matanya tak sengaja menangkap sesuatu di bawah meja pantry. Sebuah undangan pernikahan dari seseorang yang hampir ia lupakan. Oh—itu undangan milik adik Chanyeol.

Seakan teringat percakapannya dengan Chanyeol tadi pagi, buru-buru Sehun menarik kartu undangan itu dan tanpa berpikir dua kali Sehun membuka kartu undangan itu dan betapa terkejutnya ia ketika menyadari bahwa adik Chanyeol yang hilang itu adalah orang yang amat dia kenal.

Park Jiyoo—nama dan foto yang sama seperti sosok Jiyoo yang memang Sehun kenal selama ini.

“Jadi dia orangnya..” Sehun menggelengkan kepalanya, tak percaya dengan apa yang baru saja ia temukan. “Dia adik temanku sendiri?”

Sehun tersenyum menyeringai. Masih merasa bingung dengan fakta yang ia temukan sendiri. Disisi lain ia merasa bingung dengan apa yang harus ia lakukan.

“Haruskah aku memberitahu Chanyeol tentang apa yang terjadi?”

**

Ini hampir menginjak pukul satu malam, dan Jongin baru kembali ke mansionnya. Seharian ini ia menghabiskan waktunya di kantor, berdiam diri tak mengerjakan apapun, dia hanya melamun merenungi perbuatannya. Setelah mendengar apa yang Sehun katakan ia merasa menjadi sosok yang amat bersalah dan mengerikan di mata Jiyoo.

Jongin berjalan pelan ke kamarnya untuk beristirahat, dan saat ia membuka pintu hal pertama yang ia lihat adalah wajah tidur Jiyoo di ranjangnya. Gadis itu amat cantik dengan sebuah baju tidur berwarna pink. Dia terlihat lebih baik walau beberapa plester masih menempel di sudut pipi dan darah yang mengering di ujung bibirnya masih ada disana. Oh ya lagi—Jongin merasa amat bersalah melihat luka itu masih menempel disana.

“Maaf.’’ Ujarnya pelan lalu duduk di samping gadis itu. Jongin hanya memandangi wajah penuh luka itu selama berdetik-detik dengan perasaan bersalah, dia bahkan mencoba mengelus salah satu luka robek di bibir Jiyoo. Luka itu bahkan belum kering sama sekali.

Hatinya menjerit, meruntuki perbuatannya yang terasa amat gila. Dia bahkan melukai gadis yang ia cintai untuk kedua kalinya. Lalu bagaimana kalau Jiyoo akan lari sama seperti Hyunjo dulu? Jongin menggeleng, menepis pikirannya sendiri. Bagaimana mungkin ia akan kehilangan orang yang sama untuk kedua kalinya? Dan kata mati adalah kata terakhir yang akan Jongin pilih dibanding harus kehilangan Jiyoo-nya itu.

Jongin mengepalkan tangannya sendiri kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Pemuda itu begitu takut, bahkan keringat dingin begitusaja meluncur dari pelipisnya. Dia selalu seperti ini ketika ketakutan. Sebuah sindrom yang tak pernah bisa pemuda itu hilangkan.

“Kim J-jongin“

Tanpa diduga mata Jiyoo terbuka dan sontak Jongin memandang ke arah Jiyoo. Tatapan keduanya bertemu selama beberapa saat tapi buru-buru Jiyoo mengalihkan matanya menatap ke arah lain. Terlalu takut untuk bertatapan secara langsung dengan Jongin.

“Aku menggangumu?” iris mata Jongin menunjukan betapa menyesalnya ia telah melukai Jiyoo. Bahkan kini Jiyoo tak mau memandangnya lagi. Membuat hati Jongin menjerit kesakitan.

“Tidak.” Jiyoo menggumam, lalu bangun dari posisinya dan terduduk di tepi ranjang seperti Jongin, dia tak memandang Jongin seperti Jongin memandangnya—dia hanya menunduk atau menatap kearah lain. Yang jelas ia tengah menghindari tatapan Jongin. Karena sekalinya ia memandang Jongin maka kenangan buruk kemarin malam akan muncul di benaknya.

“Kau marah padaku?’’ Jongin meraih tangan Jiyoo, mengengam tangan itu erat. Dan sesekali mencium telapak tangan itu dengan penuh permohonan.

“Jongin.. boleh aku bertanya” Jiyoo bertanya dengan suara serak, berusaha menguasai diri sebaik mungkin walau kini Jongin terus menatapnya dari jarak dekat.

Pemuda Kim itu menganguk. “Sure. Honey.” Dia tersenyum, kembali menciumi telapak tangan Jiyoo dengan caranya.

“Siapa  aku?” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Jiyoo. Membuat Jongin seketika diam tak berkutik dan hanya memandang Jiyoo kaget.

“Kau Jiyoo-ku. Memangnya siapa lagi.” Jongin menjawab tegas, menyembunyikan rasa keterkejutannya setelah beberapa detik ia lewatkan untuk berpikir tentang apa jawabannya.

“Kau yakin?” Jiyoo memberanikan diri menatap balik manik mata Jongin. Walau ia takut tapi ia harus menanyakan hal itu pada Jongin. Dia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi saat ini dan ingatannya harus pulih agar ia tidak merasa terbodohi oleh semua orang.

Jongin menangkup wajah Jiyoo dengan kedua tangan. “Kau miliku. Jiyoo!” ujarnya mencoba tersenyum di depan wajah Jiyoo—walau ia tahu bahwa kini perlahan-lahan Jiyoo menusukan pisau tak terlihat itu untuk hatinya, membuatnya tersakiti secara perlahan dengan menanyakan siapa dia sebenarnya.

“Kalau begitu, bawa aku pulang ke Korea dan ajak aku menemui keluargaku.”

To be continue….

Lyo comingback say ^^J

Astaga maaf udah nelantari dua ff (Day Dream #10 & LMLYD #3) selama lebih dari sebulan TTvTT maaf banget yah temen-temen..

Jujur deh, bulan Nov-Des kemaren Lyo sibuk uas dan tugas di kampus TTvTT jadi aktivitas buat ngetikk/fangirl semakin berkurang ::( Dua ff ini pun akhirnya Lyo ketik dengan cepet, gak mikir eyd, gak mikir alur, ga mikir feel~

Maafin juga kalo banyak typonya, gagal feel atau ada adegan yang emang kurang pas buat di baca TTvTT maafinn gaess..

Intinya maafin dan makasih buat kalian yang masih mau menunggu chapter-chapter ff Lyo :D

Thankss untuk Like + Komentar nya ~ semoga bisa Lyo bales semuanya ya^^ dan buat DayDream #10 insyaallah Lyo post secepatnya^^

HAPPY NEW YEAR 2016 & HAPPY HOLIDAY~~ 


Viewing all articles
Browse latest Browse all 621

Trending Articles