9094
by : Miss Candy
.
~
What’s small turn to a friendship,
A friendship turn into a bond
And that bond will never be broken
(Wiz Khalifa Feat Charlie Puth – See You Again)
~
Dec 29, 2015
Kim Kai merasa baik-baik saja. Bahkan saat memandang keluar jendela dan tak mendapati apapun di luar sana. Dari dalam warung, ia bisa melihat angin musim dingin bergulung-gulung. Debu-debu berterbangan dengan brutal ke seluruh penjuru jalan desa yang masih belum diaspal sampai sekarang. Seorang pelayan warung menyuguhkan teh hangat yang dipesannya di atas meja. Kai mengangguk, mengucapkan terima kasih kemudian menarik cangkir tehnya mendekat. Ia singgah bukan untuk makan. Di sini—di warung yang tidak merenovasi bangunannya semenjak Kai pindah keluar kota lima tahun lalu—ia ingin mengembalikan sesuatu. Sebuah buku harian di dalam tas hitamnya. Pada siapa? Pada sahabat yang lima tahun lalu berjanji akan menemuinya hari ini.
Warung ini masih sama seperti dulu. Keremangannya, mejanya, kursinya bahkan menunya tidak berubah. Sama seperti waktu ia menghabiskan uang jajannya untuk mentraktir Luhan. Aroma wangi nasi warung ini selalu membuat mereka lapar saat pulang dari sekolah desa tiap siang hari.
‘Ini enak! Ibu tak pernah memasak sendiri di rumah. Dan ibu selalu marah jika aku makan di sembarang tempat. Ini akan jadi rahasia kita, Kai. Aku akan sering makan di sini. Terima kasih!’ kata Luhan dengan mata berbinar siang itu.
Mentari semakin condong ke barat dan Kai mulai gelisah. Ia harus pulang hari ini juga dengan kereta terakhir. Pekerjaan menunggunya esok hari. Kursinya berderit saat Kai bangkit dan melongokkan kepalanya ke arah pintu masuk. Tidak ada tanda-tanda sahabatnya datang. Ia mulai gusar saat kembali duduk. Mereka memang sudah tidak berkomunikasi satu sama lain sejak Kai pindah. Hanya hari ini satu-satunya harapan untuk bertemu Luhan. Berharap sahabatnya itu mengingat janjinya. Semoga…
Kai melirik arloji di lengan kiri, tersisa waktu satu setengah jam sebelum kereta terakhir berangkat. Ia meraih ransel hitam dari kursi sebelahnya. Mengaduk isinya, mencari sebuah buku mungil bersampul kertas manila warna ungu. Kai yang melapisi sampul luarnya karena nyaris copot. Saat buku itu sudah di tangan, ia membukanya perlahan. Tertegun membaca halaman pertama buku itu.
“Buku Harian Lulu waktu Sekolah Dasar”
Kai ingat waktu meminta paksa buku ini. Karena buku ini yang akan membuatnya selalu mengingat Luhan. Masih segar dalam ingatan Kai tentang sosok Luhan sebelum mereka menjadi sahabat. Dalam benaknya, muncul kembali kenangan saat mereka pertama kali berinteraksi.
❾❾❹
17 tahun yang lalu… Taman Kanak-Kanak Sekolah Desa.
Lonceng tanda istirahat berdentang. Anak-anak berhamburan keluar kelas. Ada yang menuju kantin, bermain di bak pasir, sebagian berebut untuk memainkan jungkat-jungkit atau ayunan. Kim Kai keluar kelas dengan bimbang. Akan lebih baik baginya jika jam istirahat tidak ada. Karena ia tidak punya teman. Tak ada yang mau bermain dengan anak petani desa.
Kai bersandar pada sebuah tiang, mengamati teman-temannya bermain riang. Menggesek-gesekkan sepatunya ke tanah. Sepatu buluk dengan tapak aus dan jahitan mencuat kemana-mana. Ayah sudah janji akan membelikannya yang baru setelah panen raya. Ibu juga akan menjahitkannya seragam baru. Tapi, yang dibutuhkannya saat ini adalah teman bermain.
Cuaca luar biasa cerah. Sayang sekali kalau ia tidak mencoba perosotan setidaknya sekali saja. Maka ia melangkahkan kaki mungilnya menuju perosotan di seberang bak pasir. Menunduk sambil sesekali menghindari senggolan bahu dengan anak-anak dari kelas lain. Sesampainya di tangga perosotan, Kai berhenti. Membiarkan beberapa anak menyerobot gilirannya untuk meluncur. Bergeming di sana, tak berani membalas ejekan beberapa anak-anak yang lebih bongsor.
“Minggir kau, Jongin ceking yang dekil!” hardik seorang anak berperawakan gendut.
Nyali Kai menciut untuk mencoba perosotan. Ia beranjak menuju ‘gua’ di bawah perosotan, berlindung dari sinar matahari dan anak-anak nakal yang lain. Dari tempatnya bersembunyi, ia bisa melihat beberapa teman sekelasnya bermain sepak bola. Bukan lapangan sungguhan memang, tapi sepuluh anak lelaki itu bermain dengan semangat. Bergantian menggocek bola, mengoper dan berusaha membuat gol ke gawang yang mereka buat dengan menancapkan kayu sebagai penanda mulut gawangnya. Tak ada satupun dari mereka yang mengajak Kai. Jangankan mengajak bermain, mengingat Kai sebagai teman saja mungkin tidak.
Kai duduk bersila, sesekali menggaruk tulang keringnya. Berpikir untuk minta pindah sekolah saat Sekolah Dasar nanti. Tapi, kemungkinannya kecil. Di desa ini hanya ada satu sekolah desa. Keluarganya tak mungkin pindah ke desa lain. Sawah Ayah cuma ada di desa ini.
Entah kapan mulanya bola bundar itu menggelinding ke tempat persembunyian Kai. Saat hendak menyentuhnya, seorang anak melongok ke dalam untuk mengambilnya. Rambutnya agak gondrong dan merah, kulitnya pucat dan berwajah bersih.
Namanya Luhan.
“Heh, Kai? Sedang apa kau di sini? Mau ikut main?” ajaknya riang. Kai menggeleng pelan. “Ya, sudah,” pungkasnya sambil berlalu menghampiri teman-temannya yang lain.
‘Dia memanggilku Kai?’ Hanya orang tua Kai yang memanggilnya begitu. Kai tersenyum, melangkah keluar dari persembunyiannya dan mengamati Luhan. Ia senang Luhan tak menyapanya dengan jijik.
❾❾❹
Kaca warung di sebelahnya bergetar karena paparan angin. Kai bisa melihat awan berarak semakin tebal dan menggelap. Cuaca makin buruk. Apa Luhan tidak akan datang? Segera saja ia menghapus pikiran itu. Tidak mungkin. Dia akan ingat hari ini.
Jemari Kai mulai membuka buku harian Luhan. Membacanya ulang untuk sekedar mengisi waktu penantian. Ia selalu tersenyum mendapati isinya lembar demi lembar. Luhan menulis di lembar keduanya: ‘Aku benci sekali dengan Chanyeol dan geng-ku. Maksud mereka apa sih, main-main di tempat seperti itu?’ Sudah. Hanya dua kalimat itu yang tertulis. Awalnya Kai tak tahu ‘tempat seperti itu’ apa yang dimaksud Luhan. Saat ia menanyakannya, Luhan hanya menjawab ‘Gua dipinggir sungai, Kai. Mereka tidak peduli kalau aku takut gelap.’
Kai mengalihkan matanya pada lembar sebelahnya.
‘Ibu sedang sakit. Tapi, aku tak bisa menjaganya. Chanyeol mengajakku bermain ke tambak Pak Tua. Kami makan ikan banyak-banyak hari ini. Ibu tidak suka, katanya kami mencuri. Maafkan aku…’
Mau tak mau Kai tertawa. Ia ingat saat itu dirinya hendak mengambil buku catatan miliknya di rumah Luhan. Ibu Xi terlihat sangat pucat dan menyuruh Kai mencari sendiri bukunya di kamar Luhan. Luhan anak orang kaya, jadi kenapa ia susah-susah mencuri ikan milik Pak Tua? Pasti karena teman-teman nakalnya! pikir Kai saat itu.
Luhan selalu meminjam buku catatan milik Kai. Pelajaran apapun. Ia selalu terlambat dalam mencatat dan Kai selalu senang hati meminjamkan bukunya. Tidak ada pamrih apapun. Terlalu muluk jika ia meminta Luhan menjadi sahabatnya. Cukup diingat kalau Luhan itu anak baik; menjauhkan teman-teman usilnya dari Kai, menyapa Kai, sesekali main ke rumah Kai, meskipun tak pernah mengajak Kai bermain bersama teman-teman geng-nya.
‘Mereka menyebalkan! Aku tidak mau mengikuti Chanyeol lagi!’ Tulis Luhan pada beberapa lembar setelahnya. Waktu itu, Luhan mendatangi rumah Kai malam-malam. Bercerita panjang lebar tentang kenakalan Chanyeol dan teman-temannya.
“Mereka cuma suka uangku! Mereka bahkan tidak menjengukku saat sakit,” gerutunya.
Kai selalu memperhatikan Luhan di setiap pelajaran. Menyodokkan ujung pulpennya ke lengan Luhan saat temannya itu kedapatan tertidur, membantu Luhan mengisi PR dan beberapa kali memberikan jawaban pada Luhan saat ulangan. ‘Apa Luhan juga cuma menyukai otakku?’ Tapi, Kai diam saja. Mana mungkin Luhan seperti itu.
Jika Kai bermain ke rumah Luhan, tentu saja bila diundang, temannya itu akan mengeluarkan semua majalah anak langganannya. Membiarkan Kai berlama-lama membaca, bahkan ada yang Luhan berikan cuma-cuma. Rumah gedong itu selalu membangkitkan fantasi Kai. Seandainya ia punya rumah sebagus Luhan, buku-buku sebanyak Luhan dan baju-baju sebagus Luhan. Membayangkannya saja sudah membuat Kai bungah. Ia pernah meminjam telepon genggam Luhan, menelpon pamannya di desa sebelah dengan telepon rumah Luhan, mengambil es krim dari kulkas Luhan dan banyak lagi kegiatan Kai di rumah temannya itu. Luhan sering bilang begini, ‘Ibu tak pernah suka teman-temanku berkunjung, aku juga. Tapi, kami senang kalau kau datang, Kai. Jangan lupa main lagi, ya?’
Sayangnya saat Kai tadi berkunjung ke sana, rumah itu sudah berganti pemilik. Tak ada yang tahu keluarga Luhan pindah kemana. Tak ada harapan lain selain Luhan mengingat janjinya. Ia meneguk sisa tehnya sebelum kembali membaca. Membalik halamannya sampai carikan terakhir. Ia tertegun. Selalu berhenti di bait itu.
‘Namanya Kai. Perlu waktu lama untuk menyadari dialah sahabat terbaikku.’
Setelah lulus Sekolah Dasar mereka berteman dekat. Luhan tak lagi bergabung berama geng-nya. Ia lelah dengan semua kenakanalan Chanyeol dan yang lain. Merasa bodoh karena saat SD ia mengira geng-nya adalah teman-teman terbaik. Gerombolan itu hanya senang bermain-main, menjahili anak-anak lain dan segala kebadungan mereka menjengkelkan. Terutama dalam memeras Luhan secara baik-baik, mereka ahlinya.
Kai dan Luhan bersekolah di SMP dan SMA yang sama. Memupuk persahabatan mereka lewat kisah-kisah bermacam rasa. Kai yang dibantu Luhan saat menyatakan cinta pertamanya pada gadis bernama Yoon—meski gagal, mengikuti berbagai macam kegiatan bersama, berada di kelas yang sama dua kali dan bergantian mentraktir satu sama lain. Luhan tak menolak jika Kai sesekali membayar makan siang mereka. Ia tak pernah melihat status Kai yang hanya anak petani biasa. Mereka bergaul tanpa mengindahkan itu. Kelakuan konyol mereka saat pulang sekolah adalah: berkomunikasi dengan bahasa inggris di sepanjang jalan desa. Adalah gagasan Luhan untuk melakukan itu, supaya fasih katanya. Meskipun, kegiatan itu selalu berakhir dengan logat aneh keduanya.
Pada sore hari setelah pengumuman kelulusan SMA, Ibu Xi menghukum Luhan membersihkan loteng karena tidak mendapat nilai memuaskan. Jadi, Luhan meminta Kai untuk membantu. Saat itulah Kai menemukan buku harian Luhan saat SD dan memintanya untuk disimpan. Mulanya Luhan malu dan meminta Kai untuk mengembalikan buku itu, tapi saat Kai bilang untuk kenang-kenangan wajahnya berubah sedih.
“Kau yakin akan pindah?” tanyanya. Kai mengangguk. Tanah pertanian Ayah sudah dijual untuk membuka usaha baru di kota juga untuk biaya kuliah Kai. Sebenarnya sangat berat untuk meninggalkan desa, tapi semua demi masa depan yang lebih baik.
“Aku akan sering berkunjung kemari. Atau kau akan kuliah di ibukota? Kita bisa janjian bertemu kapan saja, Lulu.”
Luhan menatapnya murung. “Aku tidak yakin, Kai… Nenek memintaku kuliah di Beijing.”
Kai kaget bukan main. Ia sampai tak bisa berkata-kata sampai mereka selesai membersihkan loteng. Ketika turun ke bawah untuk mencuci tangan, Kai menatap pantulan dirinya pada cermin wastafel. Tiba-tiba saja semua kenangannya bersama Luhan seakan memenuhi cermin. Saat mereka tertawa, berselisih, bercanda, menguntit gadis, mendapatkan nilai jelek bersama seakan diputar ulang bak sebuah film. Terlalu banyak waktu kebersamaan mereka sampai hari ini. Kai pikir Luhan akan kuliah di luar kota, sama dengannya. Itu tidak terlalu buruk. Mereka masih bisa bertemu saat liburan, Kai akan mengusahakan itu. Tapi, Beijing? Ia sendiri tak yakin Luhan akan kembali ke negara ini nantinya. Bagaimanapun Beijing adalah kampung halaman Luhan.
Suasana makan malam setelah membersihkan loteng terasa suram, membuat Ibu Xi mengerutkan alis. Tak biasanya mereka sehening ini. “Kalian bertengkar di loteng?” tanya beliau. Keduanya menggeleng bersamaan.
Kai menelan ludah dan memberanikan dirii untuk bertanya. “Er… Apa Anda akan pindah ke Beijing?”
Luhan berhenti makan, menatap ibunya. Ibu Xi tersenyum sebelum menjawab pertanyaan Kai. “Sepertinya tidak, Nak. Tapi, Luhan akan pulang untuk berkuliah di sana, sekaligus menemani neneknya.” Beliau mengamati Kai yang menunduk. “Kau masih bisa main ke sini, ada atau tidak ada putraku. Kalian bisa bertemu saat liburan panjang, Bibi akan meminta Luhan pulang,” tambahnya seakan tahu isi hati Kai.
Luhan tersenyum dan mengusak kepala Kai, bercanda. “Nah, Kai. Habiskan ayam goreng ini, aku tahu cacingmu kelaparan di dalam perutmu,” godanya sambil menyodorkan sepiring penuh paha ayam goreng.
Kai merasa lega. Yah, itu lebih baik daripada mereka tak bertemu sama sekali. Jika Ibu Xi masih di sini, pasti Luhan akan pulang kembali. Pasti.
Lepas makan malam, Luhan mengantar Kai sampai gerbang depan. Ia tak percaya kalau Kai benar-benar meminta buku hariannya.
“Serius? Kau akan menyimpan aibku sepanjang masa,” katanya saat menyodok rusuk kanan Kai.
“Ya. Jika kau tidak kembali, aku akan mengancammu dengan ini,” goda Kai. Luhan memiting lehernya cukup keras, membuat Kai berteriak minta ampun.
Ketika harus benar-benar berpisah di depan gerbang, Luhan memeluknya dan membisikkan sesuatu.
“Lima tahun lagi, di warung favorit kita, persis di tanggal ini, kita harus bertemu. Janji?”
Alis Kai bertaut saat Luhan melepas pelukan mereka. “Ibumu bilang kau akan pulang tiap liburan. Kenapa kau bilang begitu?”
Temannya itu mengangkat bahu. “Yah, jaga-jaga saja. Siapa tahu gadis-gadis kota teramat cantik dan kau melupakan Lulu-mu ini. Atau kita terhalang sesuatu untuk bertemu. Yang penting janjiku tadi itu pasti. Janji, sahabat terbaikku?” Luhan mengulurkan tangan kanannya. Kai menyambutnya dengan mantap
❾❾❹
Luhan tak akan datang.
Kai mengambil buku catatannya dari ransel. Menyobek kertasnya selembar dan mulai menulis. Tangannya sedikit bergetar dalam menyusun kalimat, tapi ia berhasil menyelesaikannya. Tinggal setengah jam sebelum kereta terakhir berangkat. Ia membungkus buku harian Luhan bersama suratnya dalam kotak. Melangkah berat menuju kasir, meminta tolong pada anak ibu pemilik warung untuk menyerahkan bingkisan itu jika ada anak berambut merah yang mencari Kim Jongin. Gadis itu mengangguk dan Kai meninggalkan warung dengan getir.
❾❾❹
Hai, Lulu.
Aku telah menepati janji kita untuk bersua denganmu hari ini. Maafkan aku tak bisa menunggumu sampai hari benar-benar berlalu. Aku yakin kau tidak akan lupa janji kita, kau pasti datang dan mengambil ini. Kukembalikan buku harian ini bukan karena aku membencimu, tapi supaya kau membacanya lagi dan tidak melupakanku. Jadi Lulu, setelah kau menerima surat ini, hubungi aku:
+82XXXXXX9094
Kita akan bertemu lagi, aku janji.
Sahabat terbaik Lulu, Kim Kai.
Mata Luhan terasa panas. Cepat-cepat ia merogoh saku mantel untuk mengambil ponsel. Seandainya saja penerbangannya kemarin tidak ditunda karena cuaca buruk, mereka pasti bisa bertatap muka. Luhan menunggu panggilannya dijawab sambil meneguk teh buatan warung favoritnya bersama Kai.
“Hallo?” Eh. Suara gadis? Luhan mengecek nomor di layar ponselnya. Benar, kok. Muncul ide jahil dalam benaknya. Ia meninggikan suaranya seperti seorang gadis.
“Halo, bisa bicara dengan Kim Jongin? Katakan ini dari Lulu. Bagian terbaik dalam hidupnya.” Bisa ditebak kalau gadis itu sangat terkejut. Perlu waktu lama Luhan menunggu panggilannya diberikan pada Kai.
“Halo, siapa ini? Maaf aku tidak kenal gadis bernama Lulu. Jadi, jangan mengerjai kami!” Suara berat di seberang telepon membuat Luhan terhenyak. Sudah lama sekali ia merindukan suara itu. Suara seseorang yang perlu waktu lama menjadi sahabat terbaiknya.
“Bagaimana kalau Lulu bukan seorang gadis, Kai?” Luhan menormalkan suaranya.
Xi Luhan yakin kalau Kim Kai sedang tersenyum saat ini.
.
.
.
-fin